Peserta 1

Genre: Romance
Sub genre: Action
Tema: Meraih Mimpi

Deserve to be Happy

“Vee!” Sosok yang dipanggil namanya itu berhenti melangkah kemudian berbalik seraya menunjuk dirinya sendiri. “Noona¹, panggil saya?”

“Ah, ya.” Kemudian gadis yang memanggil itu melangkah mendekat. “Ada apa, Noona?”

“Ini, divisi keuangan sepakat membuat sebuah grup chat. Hanya untuk mengobrol, apa aku boleh minta ID-mu? Untuk kumasukkan ke dalam grup.”

“Maaf, Noona. Aku ingin sekali masuk, tetapi aku tak menggunakan ponsel untuk saat ini. Ponselku dipakai adikku tuk sekolah, Noona.”

Perempuan itu mendesah kecewa. “Kalau begitu, ini.” Dia menyodorkan sebuah kertas. Vee mengernyit. “Ini apa, Noona?”

“Nomorku.”

“Ah, Noona ingin kita berkirim pesan?”

“Tidak!” sangkalnya cepat. Namun itu mengundang senyum dari Vee meski lelaki itu menahannya.

“Baiklah kalau begitu aku permisi, Noona.” Vee berbalik lagi, kembali melanjutkan langkahnya.

———————————

1. Noona : panggilan untuk seorang perempuan yang lebih tua dari laki-laki yang lebih muda.

“Hei! Aku memberikannya agar kau menghubungiku saat sudah bisa gunakan ponselmu!” teriaknya sekali lagi menjelaskan.

“Iya, Noona. Terima kasih nomornya.” Namun Vee tak berbalik. Perempuan itu memandang punggung tegap Vee. Tidak tahu bila senyum kotak merekah dari pemiliknya.

Keesokan harinya. Pagi hari yang cerah seperti biasanya. Vee berjalan dengan santai, tangan kirinya menggenggam tali tas selempang yang bertengger di bahu kirinya. Siulan halus ia ciptakan tuk iringi tiap langkahnya. Hari yang indah.

Namun rupanya dia terlalu asik menunduk sampai tak menyadari seseorang juga berjalan ke arahnya, mendekat, dan pada akhirnya mereka bertubrukan.

“Aw!” Perempuan itu ingin marah, tetapi saat dia mendongak dan dapati wajah tampan Vee. Niat itu ia urungkan.

“Eh? Noona tidak apa-apa?” tanyanya. Padahal bahu kanannya agak sakit karna bertubrukan dengan kepala perempuan itu.

“Ah, ya, aku tidak apa-apa.”

“Kalau begitu aku pergi lebih dulu. Maaf karena menabrakmu, Noona.” Laki-laki itu membungkuk sopan. Setelahnya berjalan lebih dulu memasuki kantor.

“Tunggu, Vee!” Tapi dia punya segala cara tuk buat pria itu hentikan langkah. “Ya, Noona?”

“Mau berjalan bersama?”

Vee tersenyum formal. “Berjalan tinggal berjalan saja, Noona. Mengapa harus bertanya?”

Perempuan itu mengusap belakang kepalanya. “Haha, kau benar, mengapa aku harus bertanya?” Itu karena kau selalu berjalan lebih dulu! Baikalah, biarkan itu tetap di dalam hati saja. Kemudian yang ia lakukan setelahnya adalah menyusul Vee yang berada 5 langkah di depannya.

Sebenarnya, dia Irene. Ya, perempuan yang kalian lihat di lembar pertama. Umurnya genap 25 tahun ini. Dia gadis pantang menyerah. Tujuan hidupnya adalah menjadi direktur, dan dia hampir saja bisa mendapatkan itu. Ah, tapi tak semudah yang dibayangkan. Memangnya tak ada yang merasa iri? Jelas banyak. Dia pintar, berbakat, sebab itu pangkatnya cepat berubah naik hanya dalam kurun waktu kurang dari satu tahun. Siapa yang tak menyimpan rasa iri padanya?

Bahkan banyak yang ingin menjatuhkannya. Namun dia tetap bertahan di posisinya—
—menjadi manajer divisi keuangan. Setidaknya sampai sekarang. Tidak tahu besok, lusa ataupun seterusnya.

Kedua orang tuannya hanya pekerja biasa. Dia dibesarkan oleh keluarga yang amat sederhana namun penuh kasih sayang. Ibunya seorang pembantu, dan ayahnya tukang bangunan. Hei! Begitu pun dia tak malu mengakuinya. Dia dengan bangga memperkenalkan kedua orang tuannya di depan semua orang.

Ah, ya, dibalik kerja kerasnya. Dia juga selipkan cinta tuk asah hati. Hanya mengecek setidaknya hatinya tidak mati rasa. Dia memang gila akan jabatan, tetapi bukan berarti dia tidak jatuh cinta. Ah, pasti kalian sudah menebaknya. Ya, benar, perempuan itu jatuh cinta pada Vee. Pegawai baru di divisi keuangan.

Mengingat itu. Jadi kembali teringat akan perjuangan Irene tuk berhasil ubah embel- embel namanya saat dipanggil lelaki itu.

Awalnya Vee selalu memanggilnya dengan embel-embel manajer. Ya, karena dia anak yang sopan.

“Manajer John, apakah seperti ini?”

“Manajer, ini saya letakkan di mana?”

“Manajer Nona, maaf saya terlambat.”

“Manajer Nona.”

“Manajer Nona.”

“Manajer No—“

Baiklah. Irene sudah tak tahan mendengarnya. Lantas wanita itu jengah. Dia kesal padahal seharusnya tidak. Itu membuat Vee heran.

“Manajer, kau kesal padaku?” Vee pada akhirnya bertanya. Sebab Irene memasang raut mendung sedari pagi.

“Kenapa baru tanya!?” Iya, jadi Irene mengharapkan itu, tapi seharusnya dia tahu Vee tak sepeka itu tuk mengerti perasaannya.

“Memangnya aku berbuat apa sampai manajer kesal?” Hei, padahal memang Irene kesal karena keinginannya sendiri.

“Karena kau memanggilku manajer terus!”

“Ah? Manajer tak suka saya panggil terus?”

“Aish! Bukan itu!” Kesal sudah rautnya. Mood-nya tidak bersahabat dengan langit cerah di luar sana.

“Lalu apa, Manajer?” Tolonglah. Vee tidak peka. Tidak akan pernah. Bahkan sekarang lelaki itu masih bertanya tanpa rasa bersalah.

Pada akhirnya Irene mengatakan dengan sangat jelas. “Jangan panggil aku manajer
lagi!”

“Loh? Manajer kan memang manajer.”

“Vee! Dengarkan aku saja bisa tidak, sih?”

“Ah, iya. Lalu aku harus memanggil manajer dengan apa?”

Benar. Apa ya? Irene berpikir keras seketika. Sampai kemudian dia berbatuk kecil tuk netralkan tenggorokan yang terasa kering karena kebanyakan berteriak.

“Panggil aku Noona.”

“Tapi, Manajer. Kan, tidak sopan jika terdengar yang lain.”

“Kalau begitu panggil aku Noona saat tak ada siapa-siapa saja. Seperti sekarang ini.”

“Baiklah, Noona. Aku akan kembali ke mejaku.”

Kemudian yang terjadi setelahnya
adalah Irene yang tersenyum penuh kemenangan karena Vee mengikutinya. Ah, dia seharusnya sadar jika Vee mengikutinya karena dia atasannya. Jadi lelaki itu patuh.

Ah, tapi Irene tak peduli. Perempuan itu tetap bersorak di dalam hati.

**✿❀ ❀✿**

Hari-hari berlalu. Irene mengerahkan semua yang ia bisa. Dia melakukan pekerjaan semakin baik dari hari ke hari. Dia kompeten, pekerja keras, dan dapat diandalkan. Selain cantik, dia juga baik. Setidaknya itu yang dinilai para orang-orang ketika bertemu dengannya.

Sampai suatu ketika masalah datang menghampiri perusahaan tempatnya bekerja. Orang yang menjabat sebagai direktur tiba-tiba saja jatuh sakit, sakit keras yang mengharuskan untuk rehat beberapa lama. Ya, itu mungkin tak akan berpengaruh banyak, tetapi untuknya. Coba bisa tebak apa yang terjadi setelahnya? Yap. Benar. Gadis itu ditunjuk untuk jadi direktur sementara, menggantikan direktur asli yang sedang berjuang sembuh di rumah sakit.

Apa yang dilakukan Irene? Tentu saja dia senang. Tapi, ini pasti tak mudah. Di hari pelantikannya sebagai direktur sementara. Gadis itu gugup maksimal. Menghafal beberapa kalimat yang akan ia utarakan nanti saat dia dipinta tuk bicara. Ah, pasti itu. Kemudian lagi- lagi Irene coba netralkan degupan jantungnya. Dia berkali-kali melirik cermin rias tuk pastikan jika penampilannya dikatakan cukup formal yang cocok sesuai acara.

Setelah cukup(sebenarnya dia tak yakin) perempuan itu segera beranjak dan pergi ke aula. Duduk di barisan paling depan di antara pegawai dengan jabatan tinggi. Sebisa mungkin tuk terlihat sopan. Dia salah bicara atau bertingkah dikit saja bisa gagal semuanya. Sebenarnya alasan dia yang ditunjuk tuk jadi direktur sementara adalah karena dia yang paling bisa diandalkan dari yang lainnya. Yang paling cepat tanggap. Tetapi bukan hanya itu saja, karena direktur sendiri yang memilihnya. Ya, hubungan mereka bisa dikatakan cukup dekat. Ingat, Irene ini ramah pada siapa pun. Direktur menyukainya, tentu saja itu bukan hal yang aneh lagi.

“Baiklah. Sekarang, mari kita panggil direktur pengganti sementara kita—John Irene!”

Kemudian Irene berjalan dengan anggun ke panggung. Menaiki tangga dengan hati- hati. Perempuan itu benar-benar terlihat berwibawa. Aura kepintarannya memancar saat dia mulai berdiri di atas panggung. Memosisikan mik dengan mulutnya.

“Halo, selamat malam. Terima kasih telah mengizinkan saya berdiri di atas sini, mengucap dua atau tiga kata. Saya John Irene dan saya siap menjadi direktur pengganti untuk perusahaan ini. Memang saya sudah banyak belajar, tetapi saya masih butuh banyak bimbingan. Mohon bantuannya semua!” Kemudian dia membungkuk, memberi salam hormat. Cantik sekali dia hari ini. Rambut panjang itu kanan kiri tepiannya diikat ke belakang. Jadi wajahnya terpancar jelas. Perempuan itu fokus berbicara, sementara di antara kursi pegawai biasa, di situlah ada seseorang yang sedang tersenyum tulus untuknya. Yang jika dia tahu, pasti akan senang bukan main.

Hari-hari ia lewati selama menjadi direktur. Sebenarnya tak banyak berubah. Hanya bertambah sedikit lebih sibuk dari biasanya. Harus mengurus ini, memantau proyek di mana- mana. Ah, melelahkan sekali. Tapi tak apa. Dia menyukainya. Dia mencintai pekerjaannya. Anggap saja ini adalah
bentuk pelatihan sementara sebelum dia benar-benar jadi direktur. Ah, dia memang sangat percaya diri. Tak apa. Itu bagus.

Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai direktur. Sampai dia lupa dia mempunyai seseorang tuk ia perjuangkan. Ya, dia juga agak sedih. Dia tak bisa bertemu Vee terlalu sering, tidak seperti saat dia masih menjadi manajer divisi keuangan.
Irene menyesap kopi dingin yang ia buat di siang hari dengan panas menyengat seperti ini. Menatap ke arah luar, memandangi seseorang yang tengah mencetak suatu dokumen. Ya, itu Vee. “Kenapa dia tampan sekali?” gumamnya.

Sore harinya Irene berjalan malas ke luar kantor, menuju tempat parkir. Dia akan pulang? Oh tidak tentu saja. Sebagai seorang direktur dia punya pekerjaan lain selain terus berada di dalam kantor dan berkutat dengan banyak berkas yang bertambah setiap harinya.

Belum sampai sana, dia liat Vee yang berjalan santai di lobi kantor. Menatap depan. Irene terlihat bersemangat seketika, perempuan itu memanggil Vee dengan tak hilangkan senyum di wajah lelahnya.

“Vee!” Tangannya ia isyaratkan Vee untuk mendekat.

Vee menurut dan hampiri Irene yang berjarak 10 meter darinya. “Ada apa, Noona?”

“Temani aku, yuk!” Ini semacam perintah, bukan mengajak dan butuh persetujuan
sepertinya.

“Ke mana, Noona?”

“Meninjau proyek di Busan.”

Vee tak menjawab, tetapi dia mengikuti langkah kaki Irene menuju tempat mobil kantor terparkir.

Irene ingin membuka pintu kemudi, tetapi Vee mencegahnya. “Tunggu, Noona.”

“Aku ini laki-laki, dan aku tak akan biarkan perempuan menyetir untukku. Jadi, Noona.
Biarkan aku menyetir untukmu, ya?”

Suasana dalam kabin mobil yang lenggang. Atmosfer kecanggungan menyelimuti mereka. Langit sudah berubah warna menjadi gelap, dan untuk sampai ke Busan butuh waktu sekiranya dua jam lagi. Irene mati-matian menahan kantuk tuk bisa temani Vee yang masih fokus menyetir.

Vee menyadari itu. Kemudian vokal baritonnya mengudara. “Kalau Noona mengantuk lebih baik tidur saja. Aku tidak apa-apa, Noona kan lelah.”

Irene menolak. Dia mengatakan kalau tidak benar-benar mengantuk. Perempuan itu ingin menemani Vee, tapi rupanya setelah lima belas menit berlalu dia melirik lagi dan dapati Irene sudah terlelap dengan sangat pulas. Lelaki itu kembali menatap depan kemudian tersenyum. Hei, apa yang kau pikirkan Vee?

Pagi harinya mereka sudah berada di depan sebuah bangunan restoran yang masih dalam proses pembangunan. Banyak para pekerja yang mondar-mandir lalu kemudian mereka semua berbaris, memberi salam hormat pada direktur sementara. Sebenarnya dia ke sini bukan tak lain lagi karena ingin menyelesaikan masalah yang terjadi.

“Bu direktur, beberapa warga melakukan demo tuk menolak dan tak terima pembangunan resto di sini.” Salah satu pekerja melihat ke arah warga yang sudah ramai berkumpul dengan membawa berbagai macam bentuk slogan yang tulisannya mengandung penolakan.

“Apa maksudnya? Bukankah kita sudah membeli tanah ini?” Pastilah itu sudah dilakukan sejak awal.

“Kami tidak tahu, mereka melempari bangunan ini pakai batu, kami tak bisa berbuat apa-apa. Juga, ada beberapa preman yang mengancam kami. Sebab itu kami memutuskan untuk berhenti bekerja.”

“Apa!?” sungut sudah emosinya. “Kalian tak bisa seenaknya berhenti seperti itu!” Irene menghela napas kasar. “Ayolah, katanya kalian bisa melakukannya sampai akhir? Ini bahkan belum ada setengahnya, heol²!”

Namun para pekerja itu tak bisa melakukan yang lain, mereka tetap memilih berhenti bekerja. Irene menyibak rambutnya ke belakang. Dia harus melakukan sesuatu, dia harus mencari sumber masalahnya. Kalau masalah ini sampai terdengar ke direktur utama, habis sudah.

————————

2. Heol (헐) : alias ‘aku tidak percaya itu’ sering digunakan ketika tengah merasa kaget dan
kagum dalam sekali waktu.

Irene berjalan malas ke arah Vee yang tengah bersedekap dengan menyandarkan tubuhnya ke mobil—menunggu direktur. Vee melihat wajah murung Irene membuatnya tergerak tuk bertanya.

Noona, apa yang terjadi?” Namun sepertinya Irene sedang tak ingin menjelaskan. Dia masih bingung harus melakukan apa. Lantas yang ia lakukan hanya menatap kosong seraya masuk ke dalam mobil.

“Baiklah, kalau noona tak mau beritahu, biar aku yang cari tahu.”

Vee ambil ponselnya dari dalam kantung celana bahan hitamnya kemudian menelepon seseorang.
“Jim, tolong cari tahu masalah tentang pembangunan resto di dekat pantai Busan.”

**✿❀ ❀✿**

Mereka kembali pulang ke Seoul. Dua hari sudah terlewat. Irene tak mood sama sekali. Perempuan itu bahkan melupakan makan siangnya hanya karena terus memikirkan cara menyelesaikan masalahnya. Dia benar-benar pusing.

Sementara dilain tempat, Vee langsung bergegas meminjam mobil milik temannya tuk pergi ke Busan selepas membaca sebuah isi pesan dari kroninya itu.

'Katanya pekerja di sana mogok kerja. Para warga berdemo tak setuju, juga ada
beberapa preman yang mengancam pekerja di sana.'

Rahang Vee mengeras. Dia menyetir cukup cepat. Penuh emosi. Dia tahu siapa preman yang mengancam itu. Lelaki itu bukan berasal dari Busan.

Hanya mendiami kota indah itu sejak kecil. Makanya dia tahu seluk beluk Busan juga seisi
circle orang yang berteman dengannya.

Sesampainya di sana, Vee memarkirkan mobil di depan sebuah gedung mati. Yang dia yakini para preman itu berada di sana. Kemudian dia berjalan masuk dengan tanpa takut sedikit pun.

“Di mana bosnya? Aku ingin bertemu.” teriaknya saat mendapati para preman berkumpul sekitar 5 orang dengan tubuh lebih besar darinya.

“Wah, wah, lihat. Siapa yang datang ke sini?”

“Siapa yang membayar kalian?”

“Memangnya kami segampang itu sampai bisa dikendalikan dan dibayar dengan uang.”

Vee menarik sudut bibirnya. “Benarkah? Tapi yang kutahu kalian tak mengganggu orang yang tak bersalah. Lantas mengapa kalian membuat masalah di proyek resto yang ada di dekat pantai Busan?”

“Sudah pangkat hanya sebatas preman, kelakuan juga hina. Malu sekali aku jadi kau.” Vee lepas tawa remeh yang terdengar jelas sebab mereka diam.

“Beraninya kau berkata seperti itu!” Kemudian anak buah preman itu menyerang Vee. Lelaki itu menghindar dengan cepat, mengambil langkah mundur ke belakang.

“Tunggu, tunggu!” Kemudian semua berhenti.

“Aku tak mau berkelahi sia-sia. Jadi, kalau aku mengalahkan kalian, kalian harus beritahu siapa yang membayar kalian, ya?”

“Deal!”

Perkelahian itu benar-benar terjadi. Vee sendirian. Melawan 4 anak buah preman. Sementara bosnya asik duduk santai seperti menonton sebuah pertandingan sepak bola. Belum saja belum.

Vee tak sempat buat pertahanan, di menit pertama dia tersungkur sebab pukulan dari beberapa orang. Tapi dia tak pantang menyerah. Lantas Vee kembali berdiri, memasang kuda-kuda. Kali ini preman lepas serangan kedua. Namun tak berhasil sebab Vee mengunci tangan itu, kemudian membantingnya. Membuat preman itu mengerang kesakitan di lantai.

Vee tersenyum sinis. “Aku bilang tadi itu hanya pemanasan.” Kemudian preman itu kesal, yang tersisa kembali menyerang. Vee dapat satu pukulan di bagian bahu kanannya. Terasa nyeri sekali. Tetapi setelah itu dia balas menyerang. Memukul, menendang preman-preman itu sekuat tenaga. Menggunakan teknik kecepatan yang pernah ia selami di Jepang.

Wajahnya gesit bergerak mundur tuk hindari pukulan lawan. Dia punya prinsip berkelahi, namun tak membiarkan wajahnya jadi sasaran. Itu memalukan. Kemudian yang terjadi setelahnya adalah bos preman itu turun tangan setelah anak buahnya dibuat tumbang oleh tangan kekar Vee. Padahal dia hanya pemegang sabuk hitam. Dia juga sudah lama tak terapkan itu, namun rupanya Vee tidak melupakan caranya berkelahi dengan benar.

Rupanya bos preman itu tak ada apa-apanya. Sama saja kemampuannya dengan anak buah yang sudah terkapar di lantai itu. Berkali-kali bos preman itu melepas pukulan namun dapat dihindarkan dengan baik oleh Vee. Preman bukan tandingannya. Vee menyerang, memukul dengan mengerahkan seluruh kekuatannya. Namun bos preman itu berhasil mencuri celah, memukul rahang Vee dengan tangan besar miliknya. Sudut bibirnya ciptakan luka sobek juga gusi yang berdarah. Pasti sakit sekali.

Vee marah, lantas langsung memukul preman itu lagi. Kali ini tanpa ampun, sampai akhirnya dia menendangnya. Preman itu jatuh ke lantai dengan babak belur. Namun Vee tak membuatnya pingsan, lantas dia mendekat tuk tagih kesepakatan mereka di awal.

“Siapa yang membayarmu?”

“Aku bilang aku tak di bayar.” Masih saja mengelak.

Vee lempar senyum remeh kemudian memutar bola mata jengah. “Aku bisa saja membunuhmu, kau tahu?”

“Mau kupukuli di bagian mana lagi, hm?” tanyanya dengan intonasi santai. Namun preman itu bergidik ngeri.

“Baiklah, baiklah. Aku beritahu, tapi jangan bunuh aku. Ini, dia tak beritahu namanya. Makanya aku memfotonya.” Preman itu menyodorkan ponselnya. Kemudian Vee memotretnya dengan ponselnya sendiri. Setelah itu dia berlalu keluar dengan kondisi berantakan.

Vee mengumpat seraya membuang air liur yang bercampur darah dari dalam labiumnya. Membuka jas kantor yang terasa pengap serta dasi yang mencekiknya dari pagi. Kemeja yang ia masukkan itu sudah keluar. Sudah tak serapi awal.

Dia tersenyum remeh memandangi potret yang amat ia kenali. Kemudian kembali masuk mobil, bergegas pergi ke pantai tuk selesaikan semuanya.

**✿❀ ❀✿**

Irene seperti mendapat kembali semangatnya. Perempuan itu baru saja dapat info kalau semua sudah mulai berjalan kembali seperti semula. Para pekerja juga sudah kembali bekerja. Dia bernapas lega.

Dia langsung saja bergegas menuju Busan. Ingin memantau sekaligus berterima kasih. Namun dia malah dapat respon tak terduga dari para pekerja.

“Jangan berterima kasih pada kami. Berterima kasihlah pada pegawai laki-laki itu. Dia yang membuat preman itu kapok dan tak berani kembali mengancam lagi. Dia juga yang membayar warga yang meminta uang lagi secara cuma-cuma. Kau beruntung punya pegawai sebaik dia, Direktur.” Irene berpikir keras. Siapa? Kemudian dia menanyakan ciri-cirinya.

“Tubuhnya tinggi tegap. Tapi aku tak pernah lihat dia sebelumnya, warna rambutnya coklat gelap. Senyum kotak. Juga alis yang tebal.” Ah, apa para pekerja harus serinci itu. Mungkin karena saat bertanya siapa namanya, pegawai itu tak beri tahu.
Rambut coklat gelap, bahkan sejak ciri-cirinya disebutkan di awal saja itu sudah buat Irene berpikir satu orang. Hanya satu orang yang berani memakai rambut warna coklat gelap. Serta alis tebal, dia seharusnya tak salah orang.

Ya, benar. Dia yakin itu Vee. Namun, karena terlalu sibuk, dia tak menyadari jika Vee tak masuk dua hari. Banyak yang bilang Vee izin karena ada keperluan. Hah, dia tak bisa menemui lelaki itu. Dia saja tidak tahu di mana alamatnya. Ah! Tapi mungkin dia harus mengecek data diri para pegawai.

Setelah dia kembali ke Seoul lalu mengetahui alamat Vee dari data diri. Dia bergegas pergi ke sana. Sebuah apartemen. Irene berdiri di depan pintunya. Kemudian menekan tombol bel. Butuh beberapa menit guna sang pemilik membuka pintunya. Dia seharusnya sudah sampai di alamat yang benar, lantai 4, unit nomor 9. Kemudian pintu terbuka. Sang pemilik agak terkejut melihat siapa yang datang.

Noona?”

Vee menyuruh Irene masuk. Vee tinggal sendiri, orang tuanya berada di Busan. Irene kagum padanya, sebab apartemennya cukup simpel dan rapi untuk seukuran pria lajang seperti Vee.

Irene menyadari   luka   lebam   di   wajah   Vee.   Dia   meringis   kemudian. Menawarkan diri tuk mengobati luka-lukanya.

“Tidak perlu diobati, Noona. Nanti juga sembuh sendiri. Ini hanya luka kecil.”

Irene berdecak sebal. “Nanti infeksi, Vee. Kalau sudah seperti itu harus operasi loh? Memangnya kau mau?” sebenarnya itu hanya akal-akalannya saja. Rupanya itu berhasil, sebab Vee akhirnya mau diobati.

Irene hati-hati terapkan kapas yang sudah dibasahi dengan alkohol pada sudut bibir Vee.

Vee merengek kecil. “Noona, sakit.”

“Tahan, Vee. Harus dibersihkan dulu lukamu.”
Irene dengan telaten mengobati lukanya. Berkali-kali Vee meringis kesakitan sebab lukanya bukan hanya di situ ternyata. Dia juga merasa tubuhnya sakit semua. Karena itu dia memilih cuti dua hari tuk netralkan semuanya.

Vee memandangi wajah cantik Irene yang tampak dekat. Lelaki itu mengulas senyum meski perih di bagian sudut labiumnya masih terasa. Irene tak lama kemudian menyadari itu, dia jadi salah tingkah sendiri. Tapi tetap tak cegah mulutnya tuk bertanya.

“Apa yang kau lihat, Vee?” Astaga. Mengapa tidak sekalian saja bertanya kau memandangiku, Vee? Itu kan lebih jelas lagi. Vee yang menyadari itu kemudian memutus pandangannya dan kembali menatap depan. Degupan jantung yang tak normal itu buatnya bertanya-tanya. Sebenarnya aku kenapa?

“Ah, iya, Noona. Kau ada perlu apa datang ke mari?” Dia mengalihkan pembicaraan, itu cara aman.

Tapi benar juga, Irene jadi melupakan tujuan awalnya datang ke mari.

“Ah, ini tentang proyek di Busan. Kau, kan, yang menyelesaikannya? A-aku ingin berterima kasih padamu, Vee.”

Noona mau kuberitahu cara berterima kasih dengan benar tidak?” Loh? Memangnya ia salah? Memangnya berterima kasih yang benar itu seperti apa?

“Seperti ap—”

Pertanyaannya tertahan sebab Vee mendaratkan labium tipisnya di atas bibir milik Irene. Lelaki itu melumatnya lembut. Namun tak biarkan itu jadi hanya sekilas. Vee membiarkan seperti itu beberapa detik. Menyesap bibir sewarna kelopak sakura itu, entah mengapa Vee merasakan manis yang mendominasi. Vee ingin lama, tapi tidak kalau dia tak ingat jika Irene butuh udara.

Kemudian dia melepasnya. “Seperti ini Noona cara berterima kasih yang benar menurutku.” Apa-apaan? Sumpah demi apa pun Irene bahkan bisa rasakan debaran jantungnya yang tak normal. Vee, sebenarnya kau ini apa? Mengapa terus-terusan mengundang debaran? Melihat dirinya dari kejauhan saja sudah ciptakan itu, apalagi kontak fisik seperti ini?

Rona merah menghiasi pipi tirus milik Irene. Keduanya sama-sama menyadari apa yang mereka lakukan sebab itu membuang muka ke lain arah tuk tutupi rasa malu. Jadi canggung, kan.

Hening. Atmosfer-atmosfer beku melingkupi mereka. Irene menyeletuk.

“Emm, kalau begitu aku akan pulang.”

“Ya, Noona. Hati-hati.”

**✿❀ ❀✿**

Hari-hari berlalu. Semua kembali seperti semula. Vee juga sudah masuk bekerja. Lelaki itu awalnya ragu untuk memberi tahu siapa dalang dibalik semuanya, namun Irene mendesaknya. Ternyata itu adalah manajer bagian pemasaran. Irene tentu saja kesal, dirinya harus terbebani hanya karena masalah iri yang berlebihan. Tetapi perempuan itu tak berniat membeberkan atau memberi tahu pada manajer yang lebih tua darinya itu. Irene biarkan dirinya pura-pura tak tahu saja.

Sekarang, rapat mengenai proyeknya itu sedang berlangsung.

“Saya memilih Busan karena dia kota yang cukup terkenal. Apalagi pantai Busan adalah wisata paling ramai di sana. Ada beberapa yang membangun resto, tapi dengan jarak yang lumayan. Berbanding dengan saya yang mendapat lokasi pas.”

Salah seorang manajer bertanya. “Kau yakin bisa mendirikan resto itu dan membuatnya jadi terkenal?”

Belum sempat Irene menjawab, Direktur utama langsung menyahut. “Kau bicara apa? Tentu saja dia pasti bisa. Irene kan yang paling bisa diandalkan dari pada kalian semua.” Irene tersenyum dalam hati saat manajer itu terlihat menciut.

“Benarkah? Tapi saya mendengarkan katanya proyek di sana sedang bermasalah.” Itu dari si manajer yang dimaksud Vee—Krystal. Irene menegang, bersamaan dengan kepalan tangan Vee yang semakin mengeras di atas meja.

Setelah melihat Krystal, direktur utama menoleh kembali pada Irene yang masih berdiri di depan layar. “Benar begitu, Irene? Ada masalah apa?”

Irene tak tahu harus bicara apa. Harusnya dia bilang saja tadi pada wanita itu. Atau mungkin sekedar keluarkan kalimat mengancam agar tak banyak bertingkah. “Ah, itu. Iya, memang benar kemarin sempat ada beberapa masalah. Namun,
itu semua sekarang sudah teratasi.”

“Katanya dia telaten. Kalau telaten tidak mungkin terjadi masalah,” cibir Krystal lagi.

Irene menarik napas dalam. Dia mencoba setenang mungkin, menahan rasa emosi yang mulai melonjak naik. Dia tersenyum. “Maaf, Bu Krystal. Tetapi aku juga merasa aneh, mengapa Anda tahu jika terjadi beberapa masalah di sana? Saya saja tidak memberitahu pada siapa pun. Bukankah itu aneh? Anda kan bukan siapa-siapa. Tak ada hubungan apa pun dengan proyek itu. Ah, atau kah Anda memata-matai saya?” Semua mata tertuju pada Krystal yang tampak menegang.

Pada akhirnya direktur utama melerai. “Sudah-sudah. Saya percaya dengan Irene, dia tidak akan mengecewakan perusahaan ini. Jadi, rapat kita selesaikan sampai sini saja. Terima kasih.” Kemudian direktur utama melenggang pergi disusul yang lainnya. Krystal merapikan catatannya kemudian bangkit, hendak pergi juga, namun Irene mencegahnya.

“Saya tahu siapa dalang di balik terjadinya permasalahan proyek di Busan, dan ibu jangan bersikap yang membuat saya ingin memberitahunya ke semua orang.” Kemudian Irene berbalik pergi keluar ruangan. Meninggalkan Krystal yang terdiam.
Hampir satu bulan sudah dia menjabat sebagai direktur. Dia harus banyak belajar, jadi sering lembur. Meski tidak terbiasa, tetapi lama-lama akan jadi tidak apa-apa.

Omong-omong, tentang dia dan Vee. Tidak ada yang terjadi lagi setelah hari itu, hari ciuman pertama mereka. Tapi, tentu saja Irene tak bisa melupakannya. Terlebih lagi itu first kiss-nya. Perempuan mana yang bisa lupakan itu. Sejujurnya ‘mungkin, jika itu bukan Vee yang menciumnya, pasti dia akan marah. Tetapi karena itu Vee—lelaki yang ia suka, ya jadi tidak apa-apa.

Namun, sepertinya dia tak bisa setenang itu tuk jalankan tugasnya. Sebab beberapa hari yang lalu dia kedapatan info kalau investor-investor yang ingin bekerja sama semua memutuskan kontrak dengannya begitu saja. Bukankah itu aneh? Siapa lagi yang ingin menjatuhkannya?

Masalah itu menyebar ke seluruh kantor. Bahkan saat ia memasuki lobi, semua mata tertuju padanya. Biasa, bisik-bisik mulai tercipta saat itu juga. Kemudian rapat diadakan setelahnya. Apalagi? Tentu saja membicarakan masalahnya ‘lagi.

Irene berdiri di hadapan para pegawai, serta direktur utama. Dia menunduk, membiarkan semua orang yang hadir dalam rapat itu bertanya ataupun berbicara. Dia berkali-kali meminta maaf.

“Apa kau sudah tahu mengapa mereka membatalkan kontrak investasi?” Irene menggeleng.

“Belum, Pak.”

“Kenapa tidak cari tahu? Atau setidaknya adakan pertemuan dengan mereka satu-satu. Tanyakan baik-baik mengenai apa masalah dominan yang buat mereka memutuskannya. Jangan diam saja!”

Irene tersentak. “Maaf, Pak. Baik akan segera saya lakukan.”

“Dari awal aku sudah menduga dia memang tak becus. Dia tak pantas menjadi Direktur. Selama ini tak pernah ada masalah sampai tiga investor memutuskan kontrak. Benar, kan?” Krystal mulai lagi dengan kalimat penuh provokasinya. Sementara Irene diam saja. Memang dia salah di sini, dia akui itu. Dia tak segera bertindak setelah mendengar itu. Dia justru malah diam di dalam ruangannya, memikirkan. Dasar bodoh. Memikirkan apa? Tindakan lebih berguna ketimbang hanya memikirkan, kan? Irene merutuki dirinya sendiri.

Kemudian rapat dibubarkan setelahnya. Irene berjalan murung. Namun dia kesal karena Krystal dengan mulutnya sangat tak bisa diampuni. Memang ini salahnya, tapi haruskah wanita itu menjelek-jelekkannya? Jika iri bilang saja, sialan.

Ayolah, tidak bisakah biarkan ia bernapas sebentar saja? Irene pusing sekali sungguh.

“Tidak usah terlalu dipikirkan, Bu—“

“Bagaimana bisa!?” Irene menggeprak meja. Tubuh Yuri tersentak. Tetapi sudah terbiasa dengan atasannya itu. Irene cenderung suka kesal sendiri ketika mendapat masalah. Dia menyeramkan ketika marah. Tentu saja itu tak banyak yang tahu.

“Yuri, tolong buat pertemuan dengan investor dari Cina itu. Segera!” Kemudian setelah mengatakan itu, Irene meraih blazer-nya kemudian berjalan keluar ruangan.

Dia mampir ke sebuah kafe, letaknya masih di sekitar kantornya. Dia butuh makanan manis. Biasanya untuk pereda amarahnya.

Gadis itu melahap cheescake dengan raut yang masih tak bersahabat. Dia sendirian. Tidak menyadari jika sosok Vee mulai memasuki kafe. Vee melihatnya, kemudian lelaki itu memesan sebuah minuman dingin. Setelah pesanannya siap, Vee langkahkan kakinya ke arah meja di ujung sana, lalu meletakkan segelas minuman dingin di atas meja tempat Irene duduk.

Gadis itu mendongak, dan dapati wajah Vee yang tengah tersenyum. “Untuk
noona.” Begitu katanya, setelahnya lelaki itu melenggang keluar kafe.

Irene mengambil minuman yang diberikan Vee. Membaca tulisan dari secarik kertas kecil yang tertempel di balik gelas plastik itu.

Tidak apa-apa, Noona. Semua akan baik-baik saja.

Astaga, Irene benar-benar sangat suka dengan lelaki itu. Buktinya perempuan itu tersenyum ketika membaca isi kertasnya. Ah, tapi untuk apa Irene merasa senang? Dia bahkan masih tak mengerti, sebenarnya hubungan kita ini apa? Mengapa Vee selalu bersikap baik padanya? Padahal mereka hanya sebatas atasan dan bawahan.

Dunia tempat mereka bertemu pun hanya kantor dan apartemen Vee waktu itu, dan—ciuman itu ... sepertinya Vee tak peduli akan itu. Lagi-lagi Irene hilangkan senyumnya. Jadi, bukankah dia sendiri yang buat dirinya seperti itu?

**✿❀ ❀✿**

“Saya bilang, saya tidak ingin bekerja sama.”

Sekarang Irene sedang berusaha berbincang dan—jika bisa ia ingin membuat investor itu membuat kontrak lagi dengannya.

“Saya ingin tahu apa alasan Anda memutuskan kontraknya, Tuan Xi Lucas yang terhormat?”

Investor itu seorang pria, masih muda. Mungkin seumuran dengannya?—lelaki itu tertawa remeh. “Bukankah sudah jelas? Itu karena kau hanya direktur sementara. Juga kau ini dulu manajer. Saya tidak bisa melakukan kontrak dengan orang yang belum punya pengalaman.”

“Lalu mengapa Anda menyetujuinya waktu itu?”

“Ah, itu—karena kesalahan. Sudahlah lupakan saja, kita tak akan pernah bekerja sama.” Kemudian Lucas bangkit dari duduknya berniat pergi. Namun lima langkah kemudian berhenti sebab pertanyaan Irene mengudara.

“Berapa suap yang kau dapat, hm?” Irene melipat dua tangan di depan perut seraya menyenderkan tubuhnya pada sandaran kursi.

Lucas berbalik kemudian tersenyum kaku. “Aku tidak disuap.”

“Benarkah? Kau terlihat seperti itu?” Perempuan itu mengangkat sebelah alisnya.

“Kau tahu mengapa mereka memilihku tuk jadi direktur sementara? Itu karena aku pintar dan tak mudah dibodohi.” Yah, pada dasarnya itu memang kenyataan.

“Jika kita bekerja sama, keuntungannya pasti akan banyak. Bahkan lebih besar dari uang suap yang ia berikan padamu. Kau harusnya tahu dan lebih pintar lagi menyikap. Dia yang menyuapmu itu hanya iri padaku.” Irene perempuan tangguh, ingat? Dia tak akan biarkan dirinya dijatuhkan. Dia akan melawan selagi ada tempat. Dia bertindak tanpa merugikan siapa pun. Irene menggunakan otak serta akal tuk menjalankan tugasnya. Bukan mulut yang gunanya hanya untuk bergunjing.

Well, tentu saja Lucas pada akhirnya tersihir oleh ucapan perempuan itu.

Dia kembali ke kantor setelah bertemu dengan tiga investor yang memutus kontrak. Entah karena dia cantik atau pandai mengelabui seseorang dengan kata-kata, akhirnya dia kembali mendapatkan kontrak itu. Mereka kembali terikat. Irene tersenyum senang dalam hati. Merasa menang.

Irene berjalan santai ke toilet, namun samar-samar dia mendengar suara seseorang yang tidak asing lagu dari balik tembok toilet. Jadi, sebelum masuk, ia putuskan tuk menguping terlebih dahulu.

“Tuan Lucas, Anda kan sudah menerima uangnya dari saya. Apa kurang? Saya bisa tambahkan. Tidak, saya tidak ingin dikembalikan, saya ingin Anda tetap memutuskan kontrak. T-tapi, Tuan—“ terdengar geraman kesal sebab yang Irene tangkap adalah seseorang di seberang sambungan telepon sana mematikan sambungannya terlebih dahulu.
Irene tertawa dalam hati, kemudian memasuki toilet itu.

“Wah, wah ... kau tidak ada kapok-kapoknya, ya?” Benar dugaannya. Pasti orang yang sama yang melakukan itu.

Krystal terlihat terkejut. “Ap—“
“Awalnya aku sudah sabar, sumpah. Aku sudah peringatkan padamu untuk berhenti, tapi mengapa kau melakukan ini lagi? Jangan kekanakan. Cobalah menerima dengan lapang dada, terutama terima saja jika kau tidak pernah bisa mengalahkanku, Bu Krystal yang terhormat.” Tepukan singkat ia terapkan pada bahu Krystal sebelum perempuan itu keluar toilet.

Lalu pada akhirnya perempuan itu dipuji lagi karena berhasil membuat kerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar. Mengenai siapa yang iri, itu sudah tak ada lagi, dan sebab itu juga dia membiarkan Krystal. Tanpa pernah memberitahu semuanya. Pada dasarnya dia tak jahat. Terkadang seseorang butuh diancam tuk berhenti, ‘kan?

Beberapa waktu kemudian direktur yang asli sudah kembali ke kantor. Sudah bisa bekerja seperti biasanya. Irene tidak pernah menyesal, dia senang karena pernah merasakan menjadi direktur walau sementara. Perempuan itu merapikan barang- barangnya. Memasukinya ke dalam kotak.
Pintu ruangan terbuka, menampilkan direktur yang sebenarnya. Irene membungkuk sopan.

“Kau sedang apa, Irene?”

“Merapikan barang-barangku, Pak direktur. Anda, kan, sudah kembali, jadi ruangan itu bukan tempat saya lagi.”

“Kata siapa?”

“Loh? Memang benar, kan? Bapak kemari pasti ingin memakai ruangan ini, ya? Sebentar, ya, Pak. Saya rapikan barang-barang saya terlebih dahulu.”

“Kau salah, Irene. Justru saya ke sini ingin melihatmu. Saya memantaumu dari rumah sakit. Irene, kan, tahu saya sangat menyukaimu. Oh, iya, Irene belum dengar, ya, jika saya akan segera dipindah tugaskan ke Jepang? Sebab itu saya memintamu untuk menjadi direktur sementara. Awalnya memang saya jatuh sakit, tapi saya berpikir sekalian saja tuk melihat kemampuanmu. Apakah kamu bisa menjadi direktur yang kompeten? Dan saya mendapat jawaban itu sekarang.

Saya melihat sisi direktur yang baik dari dalam dirimu. Saya jadi tidak takut menyerahkan jabatan saya padamu. Kalau begitu saya permisi dulu. Jangan bereskan barang-barangmu. Ruangan ini akan jadi milikmu setelah pelantikan jabatan dua hari lagi.” Kemudian direktur itu berlalu keluar dari ruangan, meninggalkan Irene yang masih tidak percaya. J-jadi selama ini? Harusnya kalau tahu begitu dia akan berusaha lebih baik lagi agar hasilnya maksimal. Tetapi tidak apa. Itu sudah terjadi. Dia benar- benar tidak percaya akan ini. Jadi direktur? Bukankah itu impiannya sejak di bangku SMP? Bayangkan betapa bahagianya dia bisa mencapai itu.

**✿❀ ❀✿**

Irene mencondongkan tubuhnya. Memastikan jika itu adalah Vee yang tengah berdiri di bawah atap halte. Tampan sekali. Gadis itu berlari kecil tuk menghampirinya.

“Menunggu bus, Vee?”

Vee menoleh. Irene sudah berdiri sejajar dengannya. “Ya, Noona. Noona juga?”

Perempuan itu mengangguk. Kemudian setelahnya hening. Tak ada yang berani membuka percakapan lagi. Atau mungkin Irene tengah bergelut dengan serebrumnya. Berpikir topik macam mana yang bisa cairkan atmosfer beku yang melingkupi mereka.

“Omong-omong ... aku suka apartemenmu. Rapi, juga bersih.”

“Kalau suka kenapa tidak tinggal saja di sana, Noona?”

“Apanya ... kan, itu apartemenmu. Kau, kan, tinggal di sana.”

Noona bisa tinggal bersama denganku kalau noona mau.” Vee menatap Irene sembari ciptakan senyum. Tetapi Irene salah tangkap. Berbanding terbalik dengan Vee yang berucap tanpa berpikir terlebih dahulu, seperti itu sama saja dengan mengajak makan bersama.

Kenapa dia sesantai itu mengatakannya?

“Kau berlebihan, Vee.”

“Loh? Katanya, kan, Noona suka apartemenku.”

“Iya, tapi aku hanya mengakuinya. Tak ingin apa pun. Apalagi tinggal bersamamu.”

“Kalau suka itu pasti muncul keinginan, Noona. Seperti noona menyukai seseorang dan tumbuh hasrat ingin memilikinya. Noona pasti merasakan seperti itu, kan?”

“T-tidak.” Benarkah tidak? Ah, ataukah itu hanya sebuah sangkalan agar dirinya tetap di zona aman?

“Aneh. Kenapa aku merasa ingin memiliki, Noona?”

Irene masih mencerna. “Huh?”

“Aku menyukai noona. Sudah sangat lama.” Vee berbalik menghadap Irene. Tubuhnya terlihat menjulang di hadapan wanita itu. “Noona pikir kenapa aku mau jauh-jauh pergi ke Busan dan biarkan diriku babak belur padahal aku tak suka berkelahi hanya karena untuk menyelesaikan masalah noona?” What? J-jadi? Apa ini? Kenapa semua terlalu tiba-tiba?

Vee menatap dalam sepasang mata menawan milik Irene yang tak berkedip. Dia membungkukkan badannya agar wajahnya sejajar dengan perempuan yang usianya tiga tahun lebih tua darinya itu.

Noona ....” Vee jeda kalimatnya guna pandangi seluruh pahatan wajah Irene. “Menyukaiku, kan?”

Irene diam tak berkutik. Hampir tersedak air liurnya sendiri jika saja dia tak kontrol itu. Dilihat dari dekat pahatan wajah serta rahang yang terbentuk begitu menggoda itu semakin membuatnya gila.

“A-aku ....” Maklum, dia salah tingkah dipandangi Vee sedemikian intens.

Noona tidak menyukaiku?” Tiba-tiba saja wajah ceria itu berubah murung.

“T-tidak, bukan seperti itu! A-aku menyukaimu, Vee. Sangat menyukaimu! Sampai aku kesal sendiri karena terlalu menyukaimu!” Irene menutup dua bola matanya. Dia malu sekali mengakuinya, sungguh!

Lihat, senyum Vee kembali merekah. “Benarkah? Kalau begitu noona sekarang milikku, ya?”

Irene tidak mimpi, kan? Tidak sedang dalam khayalan, kan? Dia benar-benar mendengar dengan jelas, kan, jika Vee mengatakan dia miliknya tadi? Bukan ilusi yang ia ciptakan tuk hibur diri sendiri, kan?

Kemudian Irene tak bisa bernapas sebab gerakan tiba-tiba dari Vee membuat matanya membola. Ya, laki-laki itu mencium Irene di halte. Tak ada yang berlalu lalang bahkan kendaraan saja jarang sekali. Sebab awan mendung sudah mulai tandangi semenjana sore sejak mereka berbincang tadi.

Tak ada lumatan penuh hasrat, hanya sekedar menempel, menyesapnya sedikit. Dalam hati Vee tersenyum, rasanya masih sama saat ciuman pertamanya di apartemen lalu. Kemudian setelah beberapa saat Vee melepasnya.

“Karena kita sudah berciuman waktu di apartemenku, jadi bukan first kiss lagi,
Noona. Ah, tapi anggap saja ini ciuman pertama kita sejak resmi berkencan.”

Irene angkat satu alisnya. “Sejak kapan kita berkencan?”

“Sejak aku bilang jika noona milikku.” Kemudian lelaki itu membawa Irene ke dalam dekapannya.
Perempuan itu senang bukan main. Lelaki yang selama ini ia sukai juga menyukainya. Bukankah itu indah? Irene balas memeluk Vee dengan senyuman yang sudah tak ditahan lagi. Bersamaan rintik-rintik air hujan yang mulai berjatuhan. Bisa dibayangkan, kan? Terkadang hujan jatuh bukan melulu menandakan kesedihan, tapi juga membuat suasana lebih menyenangkan. Saling menghangati dengan sebuah pelukan.

A hug i the rain. 

**✿❀   ❀✿**

Hari pelantikan

Gadis itu gugup setengah mati, seperti ketika dirinya dinyatakan jadi direktur sementara, tetapi ini lebih, bung! Dia akan jadi direktur sungguhan! Dia bahkan tak bisa tidur semalaman sebab memikirkan harus bersikap bagaimana? Dia tak ingin salah bicara. Dia menyiapkan dengan keras tuk berbicara dengan baik dan benar di depan semua para pegawai nanti.

“Mari kita panggil perempuan pertama yang menjadi direktur resmi kita! John Irene! Silakan naik ke panggung, Bu direktur.”

Perempuan itu berjalan dengan anggun ke atas panggung. Melepas sebuah sumpah yang akan membawanya pada kebaikan. Dia akan bekerja lebih keras lagi, dia akan berusaha tuk membawa nama baik perusahaan menjadi lebih tinggi. Dia tak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada tuk membuat dirinya lebih berkembang.

Irene sudah ditakdirkan menjadi perempuan cerdas yang bisa membanggakan kedua orang tuanya. Selama ini dia pantang menyerah meraih apa yang ia inginkan. Perempuan itu sangat berambisi. Meraih menjadi direktur memang bukan hal yang sulit untuk orang yang berpendidikan tinggi, namun dia hanya sarjana dari universitas yang tak begitu terkenal di publik.

Juga, dia adalah perempuan yang pertama yang memegang jabatan sebagai direktur di perusahaan itu. Setelah banyak laki-laki yang memegang jabatan itu, sungguh tidak menyangka. Bukankah dia memang benar-benar hebat? Dia harus membuktikan. Ya, dia benar, dia harus buktikan jika perempuan juga bisa menjadi direktur dengan baik. Dia tak akan membuat masalah apalagi menyusahkan siapa pun. Terlebih, dia tak akan biarkan siapa pun kecewa padanya. Dia akan tunjukkan jika kerja kerasnya selama ini bukanlah lelucon.

Irene menarik napas dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Setelah ini, dirinya siap tuk melangkah lebih jauh lagi. Mencoba lebih baik lagi. Belajar dari kesalahan dengan tidak melupakan yang sebenarnya. Orang jahat tak benar-benar musnah, itu bisa muncul kapan saja, dan dia selalu siap akan itu. Masalah apa pun dia akan selesaikan. Dia pasti bisa, dia punya kedua orang tua yang selalu mendukungnya, juga Vee—kekasih tampannya yang akan selalu berada di sampingnya.

“Merasa berhasil, Noona?” Vee menghampiri Irene yang tengah menepi di antara banyak presensi yang sedang nikmati pesta. Memandangi gemerlap lampu Ibu Kota yang menenangkan serta semilir angin malam yang tak buatnya beranjak. Dia peluk pinggang kekasihnya dengan posesif.

Irene tersenyum. “Tentu saja. Sejak awal aku tak pernah pesimis pada mimpiku.” Hei, kalau ini baru patut dicontoh, ya, kawan.

Noona, kenapa kau manis sekali?”

“Karena aku kekasihmu. Vee, kenapa kau tampan sekali?”

“Karena aku laki-laki.”

Hah, terlalu cringe. Baiklah, biarkan mereka menciptakan lelucon. Tak peduli apakah itu mengundang tawa atau tidak, yang jelas Irene dan Vee merasa menikmati waktu berdua mereka.

Noona di sini dingin sekali. Mau ke hotel? Kita beradegan saja agar panas.”

“Jangan bicara yang macam-macam, Vee!” Irene mencubit perut kekasihnya. Membuat sang empu mengaduh kesakitan. “Sakit, Noona. Aku, kan, hanya bercanda.”

“Bercandamu tidak lucu, tapi bolehlah kapan-kapan.”

Noona sendiri seperti itu!” Vee tak terima.

“Eyy, aku hanya bercanda, Vee!”

“Tapi aku tak bercanda, Noona.” Vee menatap Irene serius. Membuat perempuan itu salah tingkah namun tak bisa berpaling sebab wajah Vee terlalu tampan tuk dilewatkan.

“Karena tak jadi ke kamar. Ciuman, kan, masih bisa dilakukan di sini.” Vee mencium Irene tanpa aba-aba. Namun belum lima detik, Irene melepas paksa ciuman mereka dengan mendorong lelaki itu.

“Vee, jangan di sini! Nanti ada yang lihat, kan, jadi ketahuan kalau kita berkencan.”

“Biarkan saja, biar mereka tahu kalau noona hanya punyaku. Sungguh. Hanya punyaku!” Kalimatnya ditekan dengan penuh nada posesif. Lelaki itu kembali mencium kekasihnya. Melumatnya lembut. Menyalurkan banyak afeksi yang sudah sampai pada pemiliknya.

Biarkan saja hari ini berlalu dengan begitu banyak kebahagiaan yang tercipta secara bersamaan. Irene tak pernah lebih bersyukur dari ini. Tuhan baik, kan? Kali ini pemilik semesta itu tak pilih kasih. Dia memberi kebahagiaan pada orang yang memang pantas dapat itu. Ah, tapi semua orang deserve to be happy, right?

Juga, terlepas dari siapa kamu. Apa latar belakangmu, seburuk apa masa lalumu. Kamu berhak bahagia. Kamu bisa gapai mimpimu juga. Tidak peduli apakah kamu dapat meraih itu atau tidak, setidaknya usaha.

Remember? Effort never betrays results.

END

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top