Tiga Masa Sebelum Tiada (1)
Nama Penulis: Samaran
Jumlah Kata: 740
Sebuah penyakit aneh menyerang anak angkatnya yang sejak dahulu mereka rawat, walaupun Sakuntala tidak memiliki identitas karena mereka menemukan Sakuntala di tepi sungai. Namun, mereka sangat Menyayangi Sakuntala.
Semua pengobatan telah mereka lakukan. Namun, tetap saja tidak berpengaruh sama sekali. Hingga mereka memutuskan untuk menyembunyikan sisik itu menggunakan sarung tangan.
Sakuntala kini dikenal sebagai gadis kurus pemakai sarung tangan. Setiap Sakuntala keluar sarung tangan itu selalu terpasang.
Kehidupan berjalan seperti biasa hingga Sakuntala menginjak usia remaja. "Aku ingin menjadi seorang penari, Bu." Sakuntala menyatukan kedua tangannya di depan wajah.
Seorang guru menatap Sakuntala malas. "Ah, lihatlah penampilanmu! Kau kurang tinggi dan kurang berisi! Jadi, pergi sana!"
Sakuntala menunduk, ia ingin sekali ikut dalam perlombaan menari. Namun, dengan penampilannya yang kurang membuat Sakuntala harus mundur.
Arkian, beberapa waktu berlalu. Kini Sakuntala hanya bisa menyaksikan di antara penonton acara lomba menari tersebut. Namun, betapa terkejut ia ketika melihat penari utama tersandung yang membuatnya tersungkur.
Semua orang tertawa, dengan sigap Sakuntala turun dari arah penonton. Ia berlari mendekati sang penari yang tersungkur tersebut. “Anggap saja ini bukan kecelakaan, kita improvisasi. Kamu siap? “ bisik Sakuntala.
Musik kembali terdengar. Sakuntala berdiri dengan tegap dan tersenyum, tangan kanannya ia ulurkan kepada penari itu. Namun, penari itu terlihat kesakitan. Sakuntala paham, lalu ia naik ke atas panggung hendak mengganti penari utama yang kakinya terkilir.
Sakuntala menari di antara penari lainnya. Ia kini menjadi penari utama di atas panggung. Semua mata tertuju kepadanya, tepukan terdengar menyatu.
Arkian, semua usai. Sakuntala berhasil menyelamatkan pentas menari itu, bahkan ia berhasil mengantarkan sekolahnya menjadi juara.
Usai penerimaan piala, satu sisik terlepas dari punggung tangannya. Sakuntala tersenyum seraya menarik napas panjang. Ia letakkan sisik itu di samping piala, lalu pergi begitu saja.
Sakuntala kini tidak pernah melepaskan sarung tangan meskipun berada di dalam rumah, ia menutupi kejadian ini dari orang tuanya agar tidak timbul pertanyaan dari mereka.
Sang Surya mulai terbit menyilaukan mata, menghangatkan raga, netra terpejam, ketenangan merangkul seraya menghirup udara segar di waktu sinar matahari seakan malu ‘tuk muncul.
Sakuntala mulai berjalan melewati berbagai pejalan kaki yang berlalu lalang seraya bercengkrama di tepi jalan. Hingga sampailah ia di sebuah halte bus.
Sakuntala duduk menunggu bus sekolah yang akan menjemputnya. Beberapa menit berlalu semua orang terlihat panik tatkala teriakan dari seorang ibu terdengar nyaring.
Seorang pria paruh baya berlari ke tengah jalan di saat dirinya dikejar oleh beberapa orang, karena ia mencuri barang dari seorang ibu.
Semua orang di halte bus berdiri, begitu pun dengan Sakuntala. Semua mata tertuju kepada pria itu. Kini, sang pencuri berlari ke tengah jalan yang sangat ramai dengan kendaraan berlalu lalang. Hingga, sebuah bus melaju cepat.
Sakuntala membulatkan matanya, lalu berlari ke tengah jalan. Dengan keberanian yang luar biasa, ia mendorong pria itu dari tengah jalan. Semua orang amat terkejut ketika tubuh Sakuntala terpental karena tertabrak bus.
Semua orang menghampiri Sakuntala. “Kamu tidak apa-apa, Nak?” tanya salah satu pengguna jalan ketika melihat Sakuntala yang tengah duduk di tepi jalan.
Sakuntala tersenyum menatap semua orang di sana. “Terima kasih. Aku baik-baik saja.”
Tidak ada luka serius, hanya ada goresan kecil di tubuh yang membuat semua orang merasa heran dengan kejadian itu. Kini Sakuntala bangkit, lalu memberikan sisik yang kembali terlepas kepada seorang pencuri itu.”Ini untukmu. Semoga kamu akan menjadi manusia lebih baik dari sekarang. Aku pamit.”
Sakuntala kembali tersenyum dengan menarik napas dalam. Air mata mulai keluar menemani langkah, ia hampir sampai di puncak kehidupan.
Kini, Sakuntala duduk di dalam kamar dengan terdiam merenung seraya menatap bulan yang terhias bintang. Jigen dan Jirga menghampiri Sakuntala, mereka duduk di samping anaknya itu seraya mengusap pucuk rambut Sakuntala.
“Kenapa? Apa ada masalah?” tanya Jigen.
“Apa kamu memerlukan sesuatu?” lanjut Jirga.
Sakuntala menunduk, lalu membuka sarung tangan kanannya. “Sebuah keanehan yang timbul dalam diriku merupakan sebuah pertanda jika kehidupanku akan segera berakhir.” Sakuntala meneteskan air matanya. “Ayah, Ibu. Setiap satu pertolongan yang aku ciptakan, maka sebuah sisik pun akan terlepas. Sampai pada waktunya sisik ini tersisa satu, itu artinya---“
“Kami menyayangimu.” Jirga memeluk Sakuntala erat. “Terima kasih telah melengkapi hidup ayah dan ibu selama ini.”
Sakuntala terpejam dengan air mata yang terus membasahi pipi. “Terima kasih telah memberi kehidupan bagiku. Apakah aku berhasil menjadi anak yang baik untuk kalian?”
Jigen seketika memeluk Sakuntala dari sisi kanan. “Kamu berhasil menjadikan kami orang tua yang paling beruntung, Sayang. Kamu berhasil ....”
Sisik terakhir terlepas, sebuah cinta keluarga berhasil membuat Sakuntala bahagia, tawa dan air mata menyatu dalam perjalanannya. Ketika luka berasil tertutup oleh suka, ketika itulah Sakuntala meninggalkan dunia dengan tersenyum bahagia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top