Kamu Cahayaku (1)
Nama Penulis: Roti Bakar
Jumlah Kata: 739
Pahlawan bagi orang lain mungkin menyebutkan beberapa nama-nama tokoh besar di masa lalu. Contohnya, Ir. Soekarno, Muhammad Hatta, Kartini, dan lain sebagainya. Namun, menurutku ... pahlawan adalah seseorang yang berani berjuang atas hidupnya sendiri. Seseorang yang dapat bertahan dalam kerasnya hidup dikatakan pahlawan bagi diri mereka sendiri dan orang yang mereka sayangi.
Sama seperti ayahku. Aku menganggapnya sebagai pahlawan keluargaku. Dia telah telah membesarkanku sejak berumur lima tahun sendirian. Tanpa ibu.
Ayahku adalah orang yang baik. Dia senang menolong orang lain. Dia berhati lembut. Namun, bodohnya aku baru sadar sekarang. Saat semua penyesalanku datang terlambat.
Mari biar aku ceritakan kepada kalian pahlawanku yang bukan dari orang hebat, tetapi menyayangiku dengan kuat.
Pagi itu seperti pagi sebelumnya. Aku membantu ayahku pergi ke ladang. Kami membantu mengurus ladang milik orang lain, kemudian akan mendapat upah. Upah itu biasanya dibelikan makanan oleh kami.
Hari itu berjalan biasa, ayah dan aku membantu memanen singkong.
Aku berjalan ... menyusuri satu per satu singkong kemudian memanennya keluar dari tanah. Tanganku penuh dengan benda kotor berwarna cokelat gelap itu.
Sampai di tengah ladang, aku menghela napas. Mataku berkunang-kunang, kepalaku sangat berat, kemudian pandanganku menggelap. Ayah tergopoh-gopoh berlari ke arahku. Setelah itu, aku tidak tahu lagi.
Saat aku membuka mataku. Ayah di sampingku. Ia tersenyum dengan matanya yang sayu. Menyambutku dalam kehangatan pelukannya.
Ia berkata, "Nak, syukurlah kamu sudah bangun."
Aku tidak berkata apa-apa. Mungkin, saat itu aku hanya tidak mampu mengeluarkan sumpah serapah pada ayahku. Dia yang telah membuatku seperti ini. Menjalani hidup yang keras seperti ini.
"Kamu lapar, ya?" Ayah menyodorkan singkong rebus padaku. "Makanlah."
Singkong itu sudah dingin. Begitu juga dengan tangan ayah. Tangan ayah saat itu juga dingin, tetapi diriku yang dulu bukan memakannya, justru membuang singkong itu karena kesal dengan ayahku.
Andai saat itu aku tahu kalau singkong itu adalah makan siang ayah yang tidak dimakan olehnya. Andai saja ....
Ayah tersenyum. Ia masih tersenyum padaku, kemudian mengambil singkong yang terjatuh di tanah. Tangannya sedikit gemetar membersihkan singkong itu. Dia kembali tersenyum sambil meyodorkannya kepadaku.
"Makanlah sedikit, Nak. Ayo ...."
Perutku terasa perih. Akhirnya, aku menurut padanya. Membuka mulutku kemudian memakan bagian bersih dari singkong yang telah dipungut ayah. Sedangkan, ayah hanya memakan bagian kotor yang telah jatuh ke tanah.
Ayah berkata waktu itu, "Nak, kamu harus hidup dengan baik. Makan dengan baik, kemudian tumbuh dewasa. Jangan seperti bapak, bapak bukan orang hebat, tetapi kamu harus."
Saat itu, aku tertawa mendengar ocehannya. Aku tertawa karena bagiku yang dulu, itu sangat tidak mungkin. Hampir mustahil. Bayangkan, seorang anak miskin yang bahkan tidak pernah sekolah, tetapi ayah ingin aku menjadi orang hebat.
Ayah mengelus kepalaku dengan lembut. Rasanya masih membekas di kepalaku. Tangannya yang kasar, mengelus lembut kepalaku dengan wajah yang terlihat sangat lelah. Aku waktu itu tidak tahu tekanan pekerjaan seperti apa yang dialaminya. Aku tidak paham betapa sulit dirinya mencari sebuah singkong untuk dimakan olehku. Dulu ... dulu aku tidak tahu.
Lalu ...
Saat aku remaja. Aku mulai mencari uang sendiri. Aku tidak mau bersama dengan ayahku. Aku kabur dari rumah, tidak memikirkan perasaan ayahku yang saat itu hancur karena kehilangan anak satu-satunya.
Aku pergi, mengambil semua uang simpanan ayah. Iya, aku mengambil semuanya.
Lima tahun kemudian, aku kembali ke kampung. Aku sudah tau rasanya kelaparan, kedinginan, dan kesendirian. Aku sudah tahu. Aku ... aku sudah besar, aku sudah mendapat gaji sendiri. Aku merasa aku sudah hebat saat itu.
Aku pulang, tetapi ayah juga sudah pulang. Ia pulang ke sisi-Nya. Saat itu aku tidak menangis. Belum ... aku belum menangis.
Aku bertanya kepada tetangga ke sekitar. Mereka menceritakan kehidupan ayahku yang seperti orang tidak waras saat aku menghilang. Satu-satunya harapan hidupnya saat itu menghilang dari pandangannya. Mereka bahkan berkata, uang yang aku curi tidak pernah diungkit olehnya.
Ayahku hanya mencari ... terus mencari diriku. Ayah pergi ke dusun lain, bahkan ketika warga sudah lelah mencariku, ayah masih terus mencari. Ia sampai dipecat oleh atasannya di ladang singkong. Namun, dia tetap mencari keberadaanku. Ayah dengan keberanian yang tersisa, pergi ke kota. Ia hampir bertemu denganku. Tetapi kota sangat luas dan sangat ramai. Ayah tidak dapat menemukanku.
Ayah pulang dari kota, lalu beberapa hari kemudian ia meninggal.
Saat itu aku terduduk lemas. Aku menangis sejadi-jadinya. Mataku entah mengapa terasa sangat panas. Air mataku berjatuhan tanpa aku suruh.
Aku merasa telah kehilangan cahaya hidupku. Aku ... ingin menunjukkan kepadanya kalau aku hidup baik di kota. Aku ingin menunjukkan kepadanya kalau aku bisa hidup sendiri. Aku ingin menunjukkan kepadanya kalau aku sudah pernah makan daging ayam. Aku sudah pernah makan daging sapi. Aku ingin menceritakan kepadanya ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top