Cahaya (2)

Nama Penulis: Awan Biru
Jumlah Kata: 476



"Selamat ulang tahun, Sayang."

Cahaya menatap lurus mata seseorang yang baru saja mengucapkan selamat padanya. Tatapan hangat yang selama sepuluh tahun terakhir itu tak pernah ia lihat lagi, kini seolah menampakkan rasa rindu.

Tanpa disadari, tangannya terkepal kuat membuat jari-jari kukunya memutih, Cahaya menahan rasa sesak yang sekarang memenuhi rongga hatinya.

Gadis yang tengah memakai gaun biru tua selutut itu tak bisa berbohong, walau rasa kecewa lebih menguasai dirinya, tetapi setitik kerinduan tetap muncul.

Sebuah tangan besar yang terasa hangat menggenggam jari jemarinya diikuti sebuah bisikan, "Sapa Bunda, Sayang."

Cahaya menoleh pada sang ayah, laki-laki berkemeja yang terlihat sangat tangguh di sampingnya. Laki-laki yang selama sepuluh tahun ini berjuang mati-matian merawat dan membahagiakannya.

Cahaya kembali menoleh ke depan, tepat ke arah seorang wanita berusia empat puluh tiga tahun yang masih kelihatan cantik, meski uban sudah tampak di rambutnya bersama wajah lelah yang tidak dapat disembunyikan.

"Ma-makasih, Bun ... da," ucap Cahaya dengan bibir bergetar dan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.

Cahaya semakin erat menggenggam tangan ayahnya, kilat bayangan masa lalu muncul di ingatannya.

Pada sepuluh tahun yang lalu, wanita yang ketika ia masih ada di dalam kandungan pun sudah menyayanginya tiba-tiba berubah menjadi seseorang yang sama sekali dirinya tidak kenal. Memang pada saat itu Cahaya belum mengerti banyak, namun ia sedikit tahu apa yang terjadi.

Di depan mata kepalanya sendiri, ia melihat bundanya itu bermesraan di dalam rumah mereka dengan seorang laki-laki yang tak Cahaya kenal. Mereka sama sekali tidak memedulikan Cahaya yang ketika itu baru pulang sekolah.

Cahaya hanya bisa diam tanpa mempunyai keberanian bertanya apa yang terjadi pada bundanya atau sekadar mengatakan hal yang ia lihat pada ayahnya, sampai semua hal busuk yang dilakukan bundanya diketahui oleh ayahnya, dan tanpa rasa bersalah sedikit pun bundanya pergi bersama laki-laki itu meninggal mereka berdua dalam kondisi ekonomi yang kacau.

Bersama rasa kecewa dan keterpurukan, ayahnya berusaha mati-matian merawat Cahaya seorang diri sembari bekerja memperbaiki ekonomi mereka.

Seiring bertambahnya usia, lambat laun Cahaya mengerti dengan apa yang terjadi saat itu, bahkan luka dan rasa kecewa semakin membekas di hatinya, apa lagi ia selalu melihat kesedihan yang berusaha ayahnya tutupi.

Cahaya pernah menyimpan semua perasaan sakit tersebut dan tidak mau lagi bertemu dengan bundanya, tetapi ayahnya yang hebat itu menjelaskan pada Cahaya bahwa seburuk apa pun bundanya, ia tetap wanita yang telah melahirkan Cahaya. Ayahnya yang lebih menderita pun sudah memaafkan bundanya dan berusaha berdamai dengan masa lalu, lantas mengapa Cahaya masih menyimpan semua kesakitan itu?

Jadi, Cahaya memutuskan pada hari ulang tahunnya ke-18 tersebut yang diselenggarakan di sebuah kafe pada malam hari yang cerah, ia akan melepaskan semua luka dengan kembali menjalin hubungan dengan bundanya yang sejak dua tahun lalu sudah berusaha meluluhkan hati Cahaya.

"Bunda ... Cahaya kangen," kata Cahaya dengan lirih dan tak bisa lagi menahan tangisnya.

"Bunda juga, Sayang." Bundanya langsung mendekap Cahaya erat. Tidak menyangka Cahaya mau menerimanya lagi.

Cahaya akan berdamai dengan masa lalu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top