Becak Pahlawanku (1)
Nama Penulis: Sweet Chubby
Jumlah Kata: 968
Gembul, nama panggilan khas keluarga terdekatku. Hidup dalam pedesaan yang terpencil membuatku tak memiliki minat fashion seperti zaman modern, tubuhku yang pendek disertai pipiku yang tembam membuatku seperti gembul.
Terlahir sebagai anak bungsu dalam keluarga, membuatku selalu dimanja oleh sanak saudara. Seperti halnya sekarang, aku pergi bersama omku, bernama Tayo. Dia menepati janjinya setelah naik kelas, untuk mengajakku ke pasar malam atau lebih kenal dengan “Pasar Gambir” yang jauh di kota.
“Ayo Mbul! Keburu gelap jalanan nanti,” seru om Tayo menyusulku dengan sepeda anginnya.
Perkampunganku masih tergolong lampau, sepeda angin menjadi kendaraan yang dominan tak lepas dari setiap perjalanan. Sepeda motor masih tergolong luar biasa bagi orang yang punya, sedangkan mobil hanya seperti bayangan yang tidak nyata.
“Iya Om, bentar lagi,” ucapku menyisir rambutku agar terlihat rapi.
“Udah cantik, nggak perlu berhias,” protesnya.
Aku menggumam pelan, “Siapa juga yang berhias?”
Setelah selesai, aku melangkah pamit pada kedua orang tuaku dan keluar melihat om Tayo yang sudah siap di sepedanya.
“Ayo jalan!” seruku bersemangat. Baru kali ini aku pergi ke pasar malam yang selama ini hanya menjadi bayangan mimpiku.
Dengan semangat empat lima, om Tayo mengayuh sepedanya kuat-kuat. Selain membonceng diriku yang lumayan berat, jalanan yang lengang membuat om Tayo mengayuh cepat.
“Yeaayy … terbang Om!” teriakku senang.
Jalanan berkelok dalam persimpangan, membuat om Tayo memiringkan tubuhnya, aku juga mengikuti gerakannya dengan terkikik senang. Namun ….
Brakkk!!!
Musibah tak dapat dihindari, sepeda yang melaju cepat tak bisa dihentikan begitu saja. Pohon yang menutup jalan membuat satu-satunya tabrakan yang tak bisa disalahkan.
Om Tayo sudah menarik remnya namun ternyata blong, dia terpental ke depan, melewati pohon tumbang. Sedangkan, aku yang tak menyadari, langsung terjungkal ke rerimbunan. Efek kelajuannya masih terasa jelas ditubuhku, akibatnya tubuhku seolah melesak ke dalam dan terdorong sampai mencium tanah.
Aku terkejut dengan apa yang terjadi, kesadaranku tak hilang meski pening terasa di kepalaku. Dengan sekuat tenaga, kucoba untuk keluar tapi kakiku … oh tidak!
“Om!!! Hiks … hiks ….” Kuangkat kakiku, namun terasa sangat sakit.
Kulihat om Tayo tergesa-gesa ke arahku, kondisi tubuhnya banyak yang terluka namun masih bisa berjalan dan berlari.
“Kenapa? Ada yang sakit?” pertanyaan yang tak butuh jawaban. Om Tayo akan menarik tanganku, namun kucegah.
“Kakiku sakit Om, aku sulit berdiri.”
Dengan hati-hati, om Tayo mengangkat tubuhku dan memindahkannya ke tepi jalan. Aku tergeletak lemah, kakiku membujur ke depan tak bisa dilipat. “Sakit Om!”
Aku terus merengek kesakitan membuat om Tayo kebingungan. Ia melihat sepedanya yang roboh dan membenahinya sebentar. “Gimana? Kita pulang saja yah,” putusnya.
Aku hanya mengangguk mengiyakan, bagiku ini sudah menghapus semangat dan kebahagiaan yang baru terpancar. Jalanan masih sepi, seolah hari sudah tengah malam. Om mengangkatku untuk naik ke sepeda.
“Tidak Om! Jangan! Kakiku sakit sekali,” jeritku tak bisa ditahan.
“Kita nggak ada cara lain, nanti pulang ke rumah, kasih salep panas,” jawabnya memaksa.
Memang benar, jam malam tidak akan ada kendaraan lewat, karena sangat rawan dengan kejahatan. Dengan usaha omku dan tentunya sakit yang menjerat kakiku, aku berhasil dinaikkan sepeda dengan kaki yang membentang.
“Tenang yah, tahan sakitnya bentar. Kita pulang.” Tangan kiri om memegangi tubuhku agar tak terjatuh, alhasil ia hanya menyetir dengan tangan kanan saja.
Om mengayuh dengan pelan, tak seperti saat berangkat. Namun itu malah lebih menyakitkanku karena kakiku terayun-ayun lebih lama.
“Di percepat Om, kakiku tambah sakit kalau lama,” rengekku kembali.
“Yaudah, Mbul pegangan erat biar Om lebih cepat,” sahutnya.
Aku menuruti perintahnya dengan berpegang erat sehingga kedua tangan om kembali menyetir semula. Meski sakit karena terayun lebih cepat, tetap kutahan sampai ahir belokan.
Naas … roda depan sepeda menabrak batu yang lumayan besar, membuatnya oleng dan lepas kendali. Om bingung dan takut apalagi melihat ada kendaraan roda tiga di depannya.
Aku yang terkejut kembali merasa sesuatu akan terjadi, sebelum sepeda terperosok kucoba melompat ke samping, tepat becak itu masih berjalan.
Hap …. Begitu tubuhku mendarat sempurna, sepeda itu melesak ke tanah setelah berbelok sembarang arah dan blum ….
Sepeda itu mencebur ke sungai bersama omku yang berteriak, “Aaaaa ….!!!”
“Gembul tolongin Om!” teriaknya lagi.
“Waduh Pak, gimana tuh?” tanyaku bingung. Sungai itu memang dangkal namun penuh dengan kotoran dan lumpur, alhasil sangat menjijikkan.
“Ayo ditolong Neng, kasihan omnya,” ucap tukang becak ikut panik.
“Kaki Mbul, sakit Pak. Tolongin Pak,” pintaku mengiba.
“Yasudah Neng di sini aja,” acapnya.
Tukang becak itu mencari-cari sesuatu di lacinya, ia berhasil menemukan tali kuat yang bisa menarik manusia.
“Bertahan yah Masnya, pegang erat-erat talinya!” serunya dengan melemparkan talinya ke bawah.
Tepat sekali! Tali itu masih bisa menjangkau omku yang jatuh ke sungai, dia menarik kuat-kuat untuk membantunya.
“Semangat Pak!” tukasku, entahlah sepertinya itu tugasku yang duduk di sini, menyemangati tukang becak.
Perlahan, tali itu semakin mengangkat dan berhasil membawa tubuh om Tayo dengan selamat, meski aroma busuknya menyeruak ke dalam hidung.
“Om bau banget,” ucapku seraya menutup hidung.
“Untung nih, ada tukang becak,” jawabnya mengabaikan olokanku.
“Iya, Mbul juga beruntung,” sahutku menyetujui sambil cengengesan melihat diriku yang mendarat dengan baik.
“Mbul curang! Masa ninggalin Om di bawah yang berjuang, malah Mbul enak-enakan disini. Dasar gembul!”
“Ish! Itu Mbul yah yang nolongin dengan bantuan tukang becak,” protesku tak mau mengalah.
“Mana ada?”
Entah sengaja bercanda atau tidak, tiba-tiba om Tayo ikut duduk di sampingku dan mendusel-duselkan tubuhnya ke pakaianku.
“Om Tay!!! Mbul kan jadi ikut bau,” sergahku cemberut.
“Rasain!” sahutnya balas dendam.
“Udah Mas dan Nengnya nggak usah marah-marah, biar saya antarkan pulang,” lerainya.
“Makasih yah Pak, baik banget kayak pahlawan.”
“Salah Mbul! Udah ditolongin masih bilang kayak. Becak ini sudah pahlawan kita,” protes om Tayo.
“Salah Om! Becak ini pahawannya Mbul, kalau tukang becak, baru itu pahlawannya Om,” jawabku meniru gaya om Tayo.
“Serah Mbul, serah!”
Aku tertawa melihat kekesalan om Tayo diikuti tukang becak yang juga tertawa dengan mengayuh becaknya.
Meski tak berakhir bahagia di pasar malam, aku masih bahagia dengan becak pahlawanku, karena aku dan omku masih bisa selamat sampai pulang. Salam bahagia dari Gembul ….
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top