Pertemuan
Event Weekend, 16 Februari 2019
Tema: Kembar yang Terpisah Jauh.
Kata Kunci: Pinang, Pesugihan, Gubuk Buluk, Gagal Keren, dan Pak Bos.
Diksi : Abaimana, Ablepsia, Abrasi, Aksa, Anggara.
*****
"Am, gimana rasanya punya saudara kembar?"
Abraham yang sedang mengunyah potongan lontong, buru-buru menelan dengan bantuan teh manisnya. Setelah berdeham, dia mengernyit. "Maksud kamu?"
Rachel tersenyum. "Aku kalau lihat kamu lagi sama Ibrahim, itu kayak lihat saudara kembar. Dan aku jadi kangen Amara."
*****
Meski keadaan abaimananya tidak baik, Abraham tetap berusaha untuk duduk tenang. Tanpa erangan apalagi teriakan ketika mobil melintas di jalan yang bolong-bolong, dia tetap sesekali mencuri pandang ke Rachel dan tersenyum. Terkutuk hasratnya untuk menyantap makanan yang kelebihan cabe. Kemarin-kemarin, mulutnya yang kepedasan. Sekarang, abaimananya yang terasa panas disertai sakit akibat sembelit. Mungkin ada abrasi di sana. Dia akan meminta saran Ibrahim, jika sudah sampai di rumah.
"Am, kira-kira mami seneng enggak, aku jenguk dia?"
Abraham tersenyum dan sedikit meringis. "Mungkin yang buat kamu khawatir itu Amara?" Dia menggeser sedikit posisi duduknya, berharap perih di bokong bisa sedikit berkurang. Jarak ke rumah calon ibu mertuanya masih lumayan. Mereka belum melewati deretan pohon pinang yang dijadikan patokan.
Abraham menarik napas dalam. Tidak masalah. Dia kuat. Abaimananya sanggup bertahan.
Rachel mengalihkan pandangan. Dia mulai menggigit jari. Memang, yang membuat dia susah tidur hingga tidak nafsu makan adalah Amara. Bagaimana kondisi Amara sekarang? Terakhir mereka bertemu saat Natal dua tahun lalu. Ketika itu Amara yang melanjutkan pendidikan di luar negeri pulang. Dan Rachel yang tinggal bersama ayah mereka datang. Berkumpul di rumah yang pernah menaungi mereka sewaktu kecil, di sana saling bertukar kado dan kabar. Lalu setelah itu, seolah benang tipis yang mengikat mereka diputus, Rachel kehilangan Amara.
Rachel bersandar dan memejamkan mata. Sekalipun Amara menolak untuk dijenguk, tetapi dia selalu hadir di setiap Rachel menatap cermin. Keberanian yang sempat menduduki posisi ambara kini menciut seiring jarak yang semakin pendek. Bagaimana kalau Amara murka? Bagaimana kalau Amara menyalahkannya? Bagaimana kalau Amara menginginkan sepasang matanya?
Rachel menggeleng. Dia masih sering bertukar sapa dengan maminya secara diam-diam di telepon. Emosi Amara sudah stabil, meski masih sering menangis. Hal inilah yang mendasari niatnya untuk berkunjung. Dan semakin kuat ketika Abraham turut memberi dorongan.
Abraham ....
Rachel menoleh dan tatapannya bertemu dengan senyum Abraham. Amara benar, dia lebih beruntung. Dia yang ikut papi mereka mendapat pengganti sosok mami yang luar biasa baik dan perhatian. Dia yang bersama papi mereka bisa menetap di Jakarta dan tidak dikekang. Dia yang tinggal bersama papi mereka bisa menjadi apa yang diinginkan. Lebih dari dulu, dari semua yang dia terima, ada sosok Abraham yang kini mendampingi.
Jika saja saat itu dia tidak mengalah, mungkin sekarang tidak akan terjadi. Mungkin sekarang yang duduk di samping Abraham adalah Amara. Atau di antara mereka tidak ada yang menempati posisi ini.
"Am, makasih." Rachel mengelus bahu Abraham. Dia terkekeh mendapati kerutan di dahi Abraham. "Mudah-mudahan Amara udah bisa menerima."
"Oke. Bentar lagi sampai." Abraham mendesah lega. Dia memang belum pernah ke rumah maminya Rachel. Perkenalan mereka sebatas telepon dan kirim video. Namun, sekali diberi tahu dia paham dan ingat. Setelah melewati deretan pohon pinang, mobil yang mereka kendarai belok kanan. Sekitar seratus meter dari gubuk buluk di pinggir jalan, ada rumah dengan pagar berwarna emas. Di sana, sang calon mertua dan calon adik iparnya tinggal.
Atas instruksi Rachel, Abraham memarkirkan mobil di lahan, di seberang rumah. Sebelum turun, dia remas tangan Rachel. Meyakinkan si kekasih jika semua akan berjalan baik. Niat mereka baik. Seharusnya, apa yang didapat juga baik.
Rachel memantapkan hati. Walaupun keinginan mundur mendominasi, tetapi tidak ada jalan untuk membalikkan badan sekarang. Bukan karena maminya berteriak heboh ketika dia dan Abraham masuk pekarangan. Namun, tujuannya datang ke rumah ini. Tentang rindunya pada Amara. Lagi pula, dia dan Abraham sudah menjalin hubungan serius. Dia tidak ingin membuat Amara merasa lebih tidak diinginkan dan tidak dianggap. Jika perlu, dia akan mengajak Amara untuk tinggal bersama.
"Amara ada, Mi?" Rachel menginterupsi. Maminya terus saja berceloteh, mengagumi Abraham yang terus tersenyum sambil meringis.
"Ayo masuk. Amara ada di kamar. Tapi ...."
Rachel membuang napas pelan. "Aku masuk dulu, yah." Tanpa menunggu sahutan dari maminya atau Abraham, Rachel meninggalkan pekarangan.
Jantungnya berdetak cepat. Amara masih menempati kamar mereka yang dulu. Dan tubuh itu kini sedang duduk di pinggir ranjang, memunggungi pintu. Berulang kali dia menarik dan mengembuskan napas. Langkahnya pelan mendekati Amara.
"Kamu dateng?"
Rachel tersentak. Dia bahkan belum menyapa.
"Kamu tahu, satu indraku sudah mati. Tapi, itu membangkitkan indra yang lain." Amara berdiri dan mengarahkan tubuh ke pintu. "Aku kenal parfum kamu, Rachel. Jadi, apa kabar?"
Rachel membeku. Amara memang masih berupa duplikat dirinya. Namun, raga itu jauh lebih kurus dan tidak ada cahaya di kedua mata yang setengah tertutup itu. Kata mami mereka, ini ulah tetangga yang melakukan pesugihan. Bahwa ablepsia yang dialami Amara karena dijadikan tumbal. Namun, dia yakin Amara juga paham, kalau mata Amara seperti sekarang karena kontak lensa yang sering diabaikan untuk dilepas.
"Ma-maaf ...."
"Kamu enggak mau peluk aku?" Amara merentangkan tangan. Bibirnya tersenyum seolah menanti Rachel mendekapnya.
Rachel tidak dapat menahan lagi perasaan di hati. Dia berjalan cepat dan menyambar tubuh kurus Amara. Terisak dia di bahu Amara.
"Kenapa kamu enggak pernah dateng? Aku terus nungguin kamu."
Rachel hanya mampu menggumamkan maaf. Pikirannya terlalu picik. Kejadian di mana Amara mengamuk begitu menghantui benaknya. Dia takut Amara akan menyalahkannya juga. Dia takut Amara menudingnya sebagai pembawa sial. Bahkan pikiran itu masih menghantui sampai tadi. Padahal, kalau dia mampu membangun pikiran aksa, di sini hanya ada Amara yang membutuhkan dia untuk memeluk dan memberi kekuatan.
"Ma-maaf ...."
"Kamu kayak Mpok Minah Bajaj Bajuri yang minta maaf terus."
Di sela-sela isaknya, Rachel tertawa.
"Aku kangen kamu."
Rachel mengangguk.
Mungkin ada satu waktu ketika Amara tidak dapat menahan semua, hingga meluapkan beban dengan berteriak dan menangis; menyesali yang sudah terjadi. Namun, ada satu waktu lain di mana Amara bisa menerima takdir. Saat Amara rapuh, Rachel ingin ada di sana. Menggenggam tangan Amara dan memeluk seperti tadi. Ketika Amara sudah kuat, dia ingin lebih menguatkan lagi agar keterpurukan tidak bisa lagi menguasai saudaranya.
"Aku jadi ingin ngajak Amara tinggal bareng. Biar terus bersama. Enggak misah kayak gini." Jika tadi Rachel berangkat dengan hati kalut, kini lega yang dia dapat. Bahkan senyumnya belum mau hilang. "Aku seneng banget, Am."
Abraham tersenyum--masih--sambil meringis. "Makanya, kita harus punya keberanian. Selama niat kita baik, Tuhan pasti akan kasih kebaikan juga." Sebenarnya, itu kutipan dari Ibrahim ketika dia ragu untuk mengambil tindakan.
Rachel memberi hormat. "Siap, Pak Bos!" serunya sambil terkikik. "Oh iya, dari tadi aku perhatiin kamu kayak lagi nahan sakit. Kamu sakit?"
Abraham menoleh sebentar sambil tertawa pelan dan singkat. "Enggak apa-apa, kok. Aku sehat. Cuma kursi ini agak kurang nyaman aja." Tidak mungkin dia mengaku kalau abaimananya masih merasa perih. Bisa gagal keren.
"Makasih, Am. Aku sayang kamu."
Dan sumpah serapah Abraham pada abaimana hilang begitu saja.
Selesai.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top