UNFULFILLED PROMISE
Karya ini dikarang oleh porifera
******
Di dalam sebuah taksi, seorang ibu muda yang sedang mengandung duduk di kursi belakang supir. Ibu muda tersebut memakai dress khusus untuk ibu hamil berwarna putih, jaket kain berwarna merah, dan sepatu flatshoes berwarna putih. Rambut coklatnya yang panjang terurai sampai ke bahu, matanya yang bulat dan berwarna coklat, kulitnya yang terlihat mulus dan berwarna kuning langsat, dapat disimpulkan bahwa ibu muda ini memiliki paras yang manis.
Di sampingnya, terdapat kotak makanan yang terbungkus oleh sebuah kain. Ujung kain tersebut diikat pita sehingga menggambarkan bahwa hari ini adalah hari yang spesial.
"Rumah sakit Summerstone."
Supir tersebut berhenti di depan rumah sakit terbesar di kota Tokyo, Jepang. Ibu muda tersebut langsung memberikan biaya perjalanan taksi kepada supir sebelum dia turun dari taksi. Dengan senyuman di bibirnya, dia melangkah masuk ke dalam rumah sakit menuju keberadaan lift.
"Oh, Haruko-san?"
Seorang dokter muda menyapanya dari belakang ketika dia menunggu lift terbuka.
"Oh Halo Kashiba-san, selamat siang!" sapa ibu muda tersebut.
"Selamat siang. Anda semangat sekali hari ini, pasti ingin bertemu dengan Ichiyama-san."
"Hm! Aku membawakannya makan siang, karena ini adalah Hari Valentine," kata Haruko.
Ting.
Pintu lift terbuka.
"Oh Sudah terbuka. Aku duluan ya Kashiba-san. Sampai jumpa!" Haruko berkata sambil melangkah masuk ke dalam lift dan melambaikan tangannya.
"Iya, sampai jumpa Haruko-san."
Saat pintu lift mulai menutup, Kashiba sedikit menundukan kepalanya sebagai tanda hormat perpisahannya.
Di dalam lift, Haruko tidak sabar untuk segera tiba di lantai 10. Matanya dialihkan ke bungkusan makanan di tangannya. Dia sudah membayangkan betapa senangnya sang suami saat dirinya datang membawa makan siang. Apalagi, Haruko mempunyai satu keinginan yang harus dikabulkan hari ini.
Ting.
Pintu lift terbuka di lantai 10. Kakinya segera melangkah keluar lift untuk menuju ruangan suaminya.
****
Di dalam ruang kantor khusus dokter, duduk seorang pria memakai jas putih yang terpasang pin nama Ichiyama Yasura. Dia mempunyai wajah yang tampan, tatapan mata yang tajam nan dingin, rambutnya yang berwarna hitam pekat, kulitnya yang putih seperti susu, sudah cukup menggambarkan bahwa dokter muda ini adalah sosok yang sempurna.
BRAK.
"ICHIYAMAAAA!!"
Kedua bahu Ichiyama meloncat ketika mendengar dobrakan pintu dan teriakan yang memekikkan telinga.
"Haruko?"
Ichiyama terkejut melihat sosok istrinya datang ke kantornya. Buru-buru dia berdiri dari duduknya untuk menghampiri sang istri, "Kenapa kau kemari? Seharusnya kau istirahat di rumah."
Mendengar perkataan sang suami, wajah ceria Haruko langsung cemberut. "Kenapa kau berbicara seperti itu? Kau tidak senang aku datang?"
"Bukan seperti itu. Kau kan sedang mengandung. Usia kandunganmu baru saja 5 bulan dan jarak dari rumah sakit ke rumah sangat jauh, bagaimana jika terjadi sesuatu padamu?"
Haruko berdecih sebal. "Aku datang bukannya disambut dan disuruh masuk, tetapi malah diceramahi seperti ini. Yasudah aku pulang! Dasar perusak mood!" Haruko langsung berbalik pulang sambil menghentak-hentakan kakinya.
Ichiyama menghela nafasnya. Temperamen istrinya semakin lama semakin memburuk dan semakin seperti anak kecil semenjak dia mengandung. Melihat Haruko semakin lama semakin jauh dari hadapannya, dia buru-buru menangkap lengan sang istri dari belakang. Sang istri malah memberikan tatapan mata jengkel kepadanya.
"Baik-baik. Maafkan aku. Aku hanya khawatir padamu−" Ichiyama memegang kedua bahu sang istri. "−Sekarang ayo masuk." Ichiyama memberikan senyuman kelembutan kepada sang istri.
Haruko masih menatap sebal. Dia mempunyai suami yang tampan dan sempurna. Namun, sifat suaminya ini begitu menjengkelkan. Jika Haruko tidak mengingat ini adalah hari yang spesial, dia sudah menepis tangan suaminya dan langsung pulang ke rumah.
"Ini. Aku membawakan makan siang untukmu. Selamat Hari Valentine." Haruko berkata sambil menodongkan bungkusan kotak makan siang tersebut.
Ichiyama tidak dapat menahan senyuman senang. Istrinya ini memang mempunyai temperamen buruk dan suka bertingkah seperti anak kecil ketika dia marah. Tetapi, Haruko sangat tau dimana titik kebahagiaan untuk dirinya.
Di dalam kantor, Ichiyama dan sang istri duduk berdampingan di sofa. Kebahagiaan Ichiyama semakin bertambah melihat sang istri memasak makanan kesukaannya. Senyuman kelembutan semakin terlukis di wajah Ichiyama.
"Selamat makan," kata Ichiyama.
"Bagaimana? Lezat?" tanya sang istri.
Ichiyama memasang wajah tanpa ekspresi. Mulutnya mengunyah dan dia melihat wajah sang istri dari sudut matanya. Eskpresi penasaran bercampur khawatir terlihat lucu sekali.
"Hm." Ichiyama mengangguk kecil dan memberikan senyuman lembut. Reaksi dirinya memberikan ekspresi senyum sumringah di wajah Haruko.
"Ichiyama, hari ini adalah Hari Valentine dan aku telah membuatkan masakan spesial untukmu. Sekarang giliranmu, mana hadiahku?" pinta Haruko. Dia mengadahkan satu telapak tangannya di depan wajah sang suami.
"Aku belum sempat membelikanmu hadiah. Nanti malam aku akan memberikanmu hadiah."
"Itu terlalu lama. Aku mau Sekarang! Detik ini juga!" perintah Haruko.
"Aku belum bisa Haruko. Banyak pasien yang harus kutangani, nanti malam ya."
Wajah Haruko cemberut dan bibirnya berdecih sebal.
"Padahal hari ini adalah Hari Valentine. Semua orang merayakan hari ini bersama pasangan mereka. Banyaaaaak sekali yang pergi berdua... ke taman... ke kebun binatang... ke mall... ke pantai... pergi menonton... haaaahhhh... beruntung sekali mereka yang merayakan Hari Valentine... jangan bersedih ya nak... mungkin belum saatnya kita merayakan Hari Valentine bersama ayah..." Haruko berkata sok sedih sambil mengelus-elus perutnya.
Melihat Haruko yang menggerutu dan memasang wajah sok memelas, membuat Ichiyama tertawa kecil. Istrinya ini suka sekali mengatakan keinginannya dalam bentuk kalimat teka-teki. Dia sudah paham bahwa sang istri menginginkan dirinya untuk izin hari ini.
Ichiyama menaruh sumpitnya dan duduk miring ke arah istrinya. "Aku mengerti. Aku akan izin di jam 4 sore. Aku akan membawamu kemanapun yang kau inginkan."
Haruko tersenyum lebar dan memasang wajah sumringah. "YANG BENAR?! KAU JANJI?!" dia mendekatkan wajahnya ke wajah sang suami.
"Janji," kata Ichiyama sambil memberikan senyuman lembutnya.
"WAAAAH! HAHAHAHA! TERIMAKASIH ICHIYAMAAA!!! AKU SENANG! AKU SENANG SEKALIIII!!" Haruko langsung memeluk sang suami erat-erat.
Pelukan Haruko yang tiba-tiba membuat Ichiyama terkejut. Istrinya ini ketika sedang bahagia langsung memeluk tubuhnya dalam gerakan super cepat. Walaupun terkejut, sang suami tetap tidak dapat berhenti tersenyum bahagia. Kedua tangannya membalas pelukan sang istri sekaligus membelai lembut rambut sang istri. Jauh di lubuk hatinya, Ichiyama merasa sangat beruntung memiliki istri seperti Haruko.
"Ichiyama. Aku menyayangimu." Bisik Haruko.
"Aku juga menyayangimu, Haruko." Balas Ichiyama.
*****
Waktu makan siang sudah selesai. Haruko harus segera pulang ke rumah karena sang suami akan kembali bekerja. Tempat makannya kembali dia bungkus menggunakan kain dan diikat pita di ujung kain. Sebelum dia melangkah keluar, Haruko kembali memeluk tubuh sang suami. Kali ini, dia memberikan pelukan sepuluh kali lebih erat dan mengubur wajahnya dalam dada sang suami. Lalu, kepalanya didongakan ke atas untuk melihat wajah Ichiyama.
"Ichiyama. Kau janji ya. Tepati janjimu, nanti malam kita akan merayakan Hari Valentine." Haruko memasang wajah mengancam.
"Iya. Aku janji," kata Ichiyama. Lalu, dia mengecup lembut kening sang istri, "Sekarang pulang dan hati-hati di jalan. Tunggu aku jam 4 sore ya."
Haruko tersenyum.
"Hm! Kalau begitu aku pulang. Kutunggu di rumah Ichiyama!" kata Haruko bersemangat. Dia melepaskan pelukannya dan melangkah keluar.
Di ambang pintu, kaki Haruko berhenti. Kepalanya menoleh ke belakang. Sang suami masih tersenyuman lembut ke arahnya. Entah kenapa, melihat Ichiyama dari ambang pintu seperti ini membuat niat Haruko untuk pulang menjadi diurungkan kembali. Haruko berlari kecil dan memeluk suaminya lagi. Pelukan Haruko disertai dengan sebuah dorongan sehingga tubuh suaminya hampir saja terjatuh ke belakang.
"Ichiyama. Aku tidak mau pulang," gumam Haruko.
"Apa yang kau bicarakan. Aku sedang bekerja, Haruko. Aku akan pulang jam 4 sore."
"Tapi... aku memang tidak mau pulang−" Haruko mendongakkan kepalanya. "−Aku di sini saja ya. Aku akan menunggumu di sini saja. Aku mau pulang bersamamu."
"Haruko−" Ichiyama memegang wajah Haruko dengan kedua telapak tangannya. "−Kau sedang hamil. Aku tidak bisa memperhatikanmu setiap saat. Aku tidak ingin kau kenapa-napa. Istirahatlah dan tunggu aku."
"Aku akan menunggumu di kantin."
"Tetap tidak bisa... kau sedang mengandung. Menunggu di rumah sakit itu melelahkan. Kau harus merebahkan badanmu di kasur dan di sofa yang lembut, bukan di bangku kantin rumah sakit."
Haruko terdiam. Melihat perilaku istrinya, Ichiyama sedikit khawatir.
"Yasudah..." lirih istrinya. Hati Haruko bersedih. Kesedihan hatinya ditutupi senyuman ceria, "Aku pulang kalau begitu. Dadah Ichiyama!" Haruko melambaikan tangannya dan melangkah pergi meninggalkan Ichiyama di belakang.
"Kenapa... aku merasa perasaan aneh?" gumam Ichiyama.
Untuk pertama kalinya, perasaan Ichiyama bersedih melihat istrinya pulang ke rumah. Padahal, kedatangan istrinya membawa makan siang bukanlah hal pertamakali. Apa mungkin karena ini Hari Valentine dan dirinya memang ingin sekali merayakan hari ini bersama istrinya?
"Lebih baik aku izin lebih awal." Dia segera kembali ke mejanya dan membuat laporan sang pasien dari hasil ronsen di komputernya.
******
Di dalam taksi, Haruko menghela nafasnya. Sedih sekali rasanya tidak dapat pulang bersama sang suami. Padahal, dia ingin melihat bagaimana suaminya bekerja di rumah sakit. Banyak rumor yang mengatakan tentang bagaimana suaminya dikelilingi oleh para wanita. Sesekali Haruko ingin menunjukan bahwa Ichiyama adalah suaminya dan tidak ada yang bisa merebut suaminya. Memikirkan hal ini membuat perasaan Haruko untuk pulang bersama Ichiyama semakin kuat.
'Tidak Haruko. Dia sedang bekerja, kau tidak boleh menganggu pekerjaannya. Dia sudah janji. Hm! Sebentar lagi dia akan pulang,' tekad Haruko dalam hati.
Seketika Haruko mendengar suara hantaman di dekat telinganya. Dia merasakan tubuhnya terguling-guling di dalam taksi. Dia merasakan kepalanya dan perutnya terbentur sana sini.
Beberapa detik kemudian, pandangan Haruko mulai berkabut. Pendengarannya mulai menghilang. Hidungnya mencium baru aroma darah bercampur bau hangus mesin. Nafasnya mulai menghilang sedikit demi sedikit. Tidak ada anggota tubuh yang bisa dia gerakan. Satu-satunya yang dia pikirkan, hanyalah satu kata.
"I... chi... ya... ma..."
Haruko kemudian kehilangan kesadaran dirinya.
*****
Kesibukan Ichiyama sebagai dokter spesialis gigi kembali. Beberapa pasien duduk berjejer di ruang tunggu. Setiap kali pasien yang masuk ke dalam ruangan, wajah mereka selalu tersipu malu dan menjadi salah fokus. Ketampanan dan kewibawaan Ichiyama sudah bagaikan sihir penggoda. Bahkan, hampir setiap pasien bertanya apakah dirinya sudah menikah atau belum. Jika dia tidak mengingat dirinya seorang dokter, Ichiyama sudah memberikan kesan dingin dan angkuh.
Ichiyama duduk di kursi setelah memeriksa kondisi gigi sang pasien.
"Gigi Anda berlubang cukup parah. Harap kurangi memakan makanan yang mengandung gula tinggi, makanan keras, dan jangan menggosok terlalu kuat dalam menggosok gigi. Saya akan memberikan obat pereda sakit gigi. Setelah sakit gigi Anda hilang, kembali lah ke sini untuk melakukan pencabutan gigi," kata Ichiyama sambil menuliskan resep obat, "obat diminum setelah makan tiga kali sehari. Jangan diminum ketika rasa sakitnya sudah hilang."
Sang pasien menerima resep obat dari tangan Ichiyama. "Dok, haruskah gigi saya dicabut? Tidak bisakah dilakukan penambalan saja?"
"Penambalan gigi tidak akan berhasil. Walaupun dilakukan, Anda akan tetap merasakan sakit gigi. Satu-satunya jalan untuk menghilangkan rasa sakit adalah mencabut gigi Anda."
"Oh... yasudah dok kalau begitu. Terimakasih banyak dok," kata sang pasien.
Ichiyama hanya memberikan sedikit tundukan kepala dan tersenyum tipis, walaupun sang pasien memberikan senyuman tersipu malu.
Ichiyama melihat waktu di jam tangannya. Sudah pukul setengah dua. Entah kenapa Ichiyama merasakakan sesuatu yang aneh. Dia terus memikirkan wajah sang istri sampai sempat membuat konsentrasinya buyar. Dia tidak bisa bekerja dalam kondisi seperti ini. Dia pun mengambil ponselnya di meja untuk menghubungi temannya menggantikan dirinya di jam 3 sore nanti. Saat jemarinya ingin memanggil temannya, sosok dokter wanita masuk ke dalam ruangannya.
"Aoi-san? Ada apa Anda kemari?" tanya Ichiyama.
"I-Ichiyama-san, istri Anda..."
****
Tidak mungkin....
Ini tidak mungkin terjadi....
Baru saja aku bertemu dengan Haruko....
Baru saja aku memeluknya dan mengatakan kepadanya bahwa aku menyanginya.....
Baru saja aku diberikan kotak makan siang oleh Haruko.....
Sial...! Sial Sial Sial Sial Sial...!
Ichiyama tidak berhenti berlari dari lantai empat menuju lantai satu melewati tangga darurat. Dia tidak merasakan kelelahan pada kakinya. Pikirannya terpusat pada istrinya yang dikabarkan masuk UGD akibat kecelakaan tabrakan. Hatinya terus berdoa dan berharap sang istri dapat diselamatkan.
Terpeleset.
Terguling.
Berlari dalam kecepatan tinggi membuat Ichiyama terpeleset dan terguling di beberapa anak tangga pada lantai dua menuju lantai satu. Cedera di pergelangan kakinya dan darah yang mengalir di keningnya, tidak dihiraukan oleh Ichiyama. Dia tetap berdiri dan kembali berlari untuk melihat sang istri.
*****
Di ruang ICU, seorang dokter senior, Kashiba Yamamoto, dan beberapa dokter junior sibuk menyelamatkan nyawa Haruko. Darah mengalir dari bagian kepala dan perut Haruko. Masker oksigen telah terpasang dan generator telah tersambung. Haruko terlalu banyak kehilangan darah di perjalanan, sehingga para dokter menggunakan defibrillator untuk mengembalikan detak jantungnya.
Shock 1, gagal.
Shock 2, gagal.
Shock 3, gagal.
TIIIIIIIIT.
Generator menunjukan sebuah garis lurus dalam dua menit.
"Kamis, 14 Februari 2019. Pukul 13.30, pasien bernama Haruko Yasura meninggal dunia..." lirih Kashiba, "tolong beritahu Ichiyama-san... Aoi."
****
Nafas terengah-engah setelah mendobrak pintu ruangan pasien. Matanya tertuju pada sosok wanita yang terbaring tidak bernyawa di atas ranjang sana. Dia melihat wajah wanita tersebut sangat pucat pasi dan penuh dengan luka goresan.
"I-Ichiyama-san..." lirih Kashiba.
"Aku akan menunggu di kantin."
Ichiyama berdiri mematung. Perlahan, kakinya melangkah mendekati sang istri. Dia tidak sadar kalau jalannya pincang. Dia tidak sadar darah mengalir di pelipisnya. Dia tidak sadar semua dokter yang berada dalam ruangan menahan rasa nangis melihat kondisi Ichiyama.
"Ichiyama. Aku tidak mau pulang," gumam Haruko.
"Haruko..." panggil Ichiyama, "kenapa kau berbaring di situ. Sudah kukatakan jangan menungguku, Haruko. Cepat bangun. Ayo kita pulang bersama."
Sang istri tetap tidak membuka matanya.
"Tapi... aku memang tidak mau pulang−" Haruko mendongakkan kepalanya. "−Aku di sini saja ya. Aku akan menunggumu di sini saja. Aku mau pulang bersamamu."
"Haruko, kau dengar aku kan? Huh?−" Ichiyama memegang wajah sang istri. "−Kau dingin sekali... wajahmu juga penuh luka gores... kuobati ketika sampai di rumah, buka matamu Haruko... ayo kita pulang..."
Sang istri tetap tidak bergeming.
"I-Ichiyama-san... istri Anda... dia sudah pergi... maafkan aku tidak bisa menyelamatkannya..." lirih Kashiba sambil meneteskan air matanya. Beberapa dokter juga ikut meneteskan air mata.
"Tidak. Dia hanya tidur Kashiba. Iya kan Haruko? Ayo buka matamu... Haruko sayang... ayo kita pulang. Kita berjanji untuk merayakan Hari Valentine kan? Kita sudah berjanji untuk pergi kemana pun yang kau mau kan? Ayo cepat buka matamu... aku akan pulang bersamamu Haruko..."
Ichiyama terus memegangi wajah Haruko. Air matanya tanpa di sadari menetes dan terjatuh di pipi Haruko. Tidak peduli Ichiyama mengulangi kalimatnya untuk pulang bersama hari ini, Haruko tetap tidak membuka matanya. Rahang Ichiyama mengeras. Tubuhnya bergemetar hebat. Keningnya ditempelkan ke kening sang istri yang telah meninggal dunia.
Ini terasa cepat baginya...
Ini terasa mimpi baginya...
Jika seandainya saja, Ichiyama mengizinkan Haruko menunggunya untuk pulang bersama...
Jika seandainya saja, Ichiyama dapat pulang lebih awal...
Pasti...
Pasti Haruko akan masih hidup...
"Maafkan aku... maafkan aku tidak dapat mengabulkan keinginanmu... kumohon buka matamu... aku akan mengabulkan semuanya... aku akan pulang bersamamu... kumohon... kumohon buka matamu... jangan tinggalkan aku..."
Isak tangis Ichiyama tidak terbendung lagi. Dia memeluk erat kepala sang istri sambil menangis. Menangis karena bersedih. Menangis karena bersalah. Menangis karena kehilangan. Bukan hanya kehilangan Haruko, Ichiyama juga kehilangan calon anaknya yang pertama.
Semua memori kembali terputar dalam pikiran Ichiyama. Memori ketika bertemu dengan Haruko untuk pertamakalinya, memori ketika melamar Haruko, memori ketika menikah dengan Haruko, memori ketika bertengkar dengan Haruko, dan memori ketika dirinya terakhir kali melihat Haruko...
"ICHIYAMAAAA!!"
Wajah Haruko cemberut dan bibirnya berdecih sebal.
"Padahal hari ini adalah Hari Valentine. Semua orang merayakan hari ini bersama pasangan mereka. Banyaaaaak sekali yang pergi berdua... ke taman... ke kebun binatang... ke mall... ke pantai... pergi menonton... haaaahhhh... beruntung sekali mereka yang merayakan Hari Valentine... jangan bersedih ya nak... mungkin belum saatnya kita merayakan Hari Valentine bersama ayah...." Haruko berkata sok sedih sambil mengelus-elus perutnya.
"WAAAAH! HAHAHAHA! TERIMAKASIH ICHIYAMAAA!!! AKU SENANG! AKU SENANG SEKALIIII!!" Haruko langsung memeluk sang suami erat-erat.
"Ichiyama. Aku menyayangimu." Bisik Haruko.
Ketika semua orang berbahagia merayakan Hari Valentine, Ichiyama justru berkabung dan tidak dapat memenuhi janjinya. Oleh karena itu, Ichiyama membenci Hari Valentine untuk seumur hidupnya.
****
Bagaimana???
Jangan lupa voment ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top