Sweet Memorize Sunshine

Cerita ini dikarang oleh NamikazeHana

****

"Be like a 'SUN', it give us a warmth and give The light to The moon."

"Ayo coba sebut namaku lagi!" Seorang laki-laki tengah menarik kedua pipi anak perempuan di hadapannya. Dia begitu gemas pada teman yang baru dikenalnya minggu lalu.

Anak perempuan itu malah meringis. Tentu saja sakit. Mana bisa dia bicara kalau laki-laki di hadapannya masih menarik kedua pipinya. Sadar, anak laki-laki tersebut mengganti tindakan dengan menepuk kepala milik si anak perempuan.

Anak perempuan tersebut hanya mengusap kepalanya. Bibirnya maju beberapa sentimeter, dan matanya memandang tajam. Kali ini dia dengan sengaja mencubit lengan anak laki-laki itu.

"Harus berapa kali aku bilang? Aku tidak bisa menghafal nama kamu. Sulit," balas anak perempuan tersebut.

Anak laki-laki itu menunduk dan menggaruk belakang rambutnya kepalanya yang bahkan tidak gatal. "Cukup sebut aku Azka. Apa susahnya?"

"Berapa kali aku harus bilang? I'm different. Aku sulit menghafal nama seseorang," jelas anak perempuan pada anak laki-laki yang menyebut dirinya sebagai Azka.

"Tapi kamu bisa menyebut nama Yuan dengan benar," lirihnya, "sudahlah. Lalu bagaimana caranya kamu memanggilku? Atau setidaknya mengenaliku."

"Aku bisa memanggilmu laki-laki si permen kapas, si anggota basket bayangan, atau laki-laki sastra. Aku yakin mereka pasti tahu siapa yang aku cari." Argumen anak perempuan tersebut membuat Azka hanya mengembuskan napas pelan. Entah kenapa julukan-julukan itu membuat dirinya merasa ditampar secara tidak langsung.

"Terserah kamu deh, Aurel. Kalau OSIS butuh apa-apa tentang ekskul Mading, kamu hubungi aku aja besok. Aku permisi." Tanpa menunggu jawaban dari anak perempuan di hadapannya, dia pergi.

Sementara anak perempuan yang dikenal sebagai Aurel hanya bisa menunduk. Dia merogoh ponsel di saku roknya. Saat layar ponsel menyala, dia dapat membaca rangkaian kata di bawah jam. Aureliana Janan Kamalia. Nama yang terkadang dia lupakan. Nama dirinya sendiri.

Berlalunya si anak laki-laki, membuat dirinya sadar jika dirinya memang berbeda. Selama enam belas tahun dia hidup, dia hanya dapat mengingat empat nama : kakak, ibu, ayah dan dirinya. Itu pula masih sering dia lupakan. Tidak tahu kenapa.

Jangan tanya kenapa Aurel lebih sering menyendiri. Semua temannya di Bayanaka International School bahkan sudah menjauhinya. Lupa pada teman sendiri, alasan klasik sebenarnya. Walaupun Aurel tahu, mereka hanya tidak ingin memiliki teman yang cacat. Iya Aurel tidak normal.

Saat butuh dia ditumbalkan, seperti sebelumnya dia ditumbalkan menjadi kadet OSIS. Saat tidak dibutuhkan lagi, dia dibuang. Peribahasanya, habis manis sepah dibuang.

Senja telah menyapa hari, demikian pula lelah menghampiri Aurel. Lebih baik dia segera pulang. Besok lagi saja bertemu dengan anak laki-laki si permen kapas yang bikin murid Bayanaka senang. Sayangnya jika dia lihat pesan pada WhatsApp, Yuan, kakaknya sekaligus ketua OSIS SMA Bayanaka sudah menuntut tanda tangan ketua ekskul Mading baru dan lama.

Hari ini harus dapat. Kalimat itu terus terngiang di dalam kepalanya. Seolah-oleh berputar seperti film, di mana sejak kemarin malam dan tadi pagi kakaknya terus mengingatkan Aurel perihal tersebut. Benar-benar memusingkan!

Hari ini harapannya hanya satu. Jangan bertemu Yuan, pasti kakaknya akan menagih tanda tangan kedua Mading. Sialnya, harapan Aurel tidak terkabul. Di ujung koridor penghubung kelas dua dan ruang OSIS, kakaknya muncul sambil membaca beberapa lembaran. Mau kabur pun menurut Aurel percuma saja. Orang yang menagih sudah menemukannya.

"Aurel?" tanya Yuan. Lembaran itu dirapikan dengan cekatan. Lalu matanya menatap pada gadis yang tingginya berbeda 10 sentimeter dari dirinya.

"Kak Yuan, aku belum...."

"Belum dapat tanda tangan Azka juga, 'kan? Ada kendala apa?" Belum juga Aurel berucap, kakaknya sudah tahu. Namun, aneh juga kalau kakaknya mau mendengarkan alasan Aurel. "Jangan salah paham. Aku benar-benar membutuhkannya sekarang."

Salahkah seorang adik mengira jika kakaknya peduli? Aurel mengembuskan napas sebelum membalas, "Laki-laki permen kapas itu selalu meminta aku menyebutkan namanya."

Yuan hanya mengedipkan matanya beberapa kali, mungkin saja terkejut, tapi bisa saja sedang berpikir. Dia lalu hanya tersenyum. "Apa susahnya kamu bilang ke Azka? Kalau sebenarnya kamu disleksia!"

"Kakak!" Aurel membuang muka. Jawaban kakaknya sama sekali tidak membantu dirinya sama sekali. Suara tawa berat khas anak laki-laki dapat dia dengar, dan itu sungguh menyebalkan!

"Tenang saja, rahasia kamu akan aman bersama Azka. Dia sangat terpecaya. Lagipula dia... ah iya aku baru ingat kalau ada laporan dari Areka. Aku harus pergi, cepat minta tanda tangan Azka!" Informasi menggantung! Belum selesai malah main pergi saja. Aurel langsung kesal, dia mengembuskan napas. Menghentakkan kakinya ke lantai dan melipat tangannya.

Disleksia adalah hidupnya. Alasan jelas dia sulit mengingat nama siapa-siapa dan hanya memberikan ciri-ciri seperti yang dia lakukan pada Azka. Laki-laki permen kapas karena kabarnya dia sangat menyukai permen kapas.

Dari sekian banyak jenis disleksia, Aurel hanya tidak bisa mengingat nama seseorang, mengingat tempat dan sulit menghafal. Sejujurnya bisa, tapi selalu saja ada bagian kata yang menghilang dalam ingatannya tanpa pamit terlebih dahulu. Dia tidak seperti penderita disleksia lainnya yang tidak mampu membaca simbol, huruf terbalik, tidak bisa membaca dan menulis. Dia masih beruntung sebenarnya karena masih bisa membaca dan menulis, walaupun selalu ada kata-kata yang menyala. Semua ini juga berpengaruh pada ponselnya, dia bahkan lebih sering menunggu notifikasi atau malah sengaja charge ponsel agar dirinya bisa mengikuti pelajaran sekolah. Sulit. Aurel sudah lelah memikirkan tentang dirinya sendiri.

Berjalan dengan tenang di koridor kelas tiga sendirian membuat dirinya takut. Jarang sekali ada anak berlalu lalang di lantai ruangan kelas tiga. Di sini pun ada ekskul bahasa yang kurang diminati oleh orang-orang biasa. Tentu saja Azka ada di sekretariat mading sekarang. Tempat yang menjadi pemberhentiannya sekarang.

Tok Tok Tok

Tidak berselang lama, seseorang muncul dari balik sekretariat mading. Anak laki-laki kemarin. Si laki-laki gula kapas alias anggota basket bayangan alias pula laki-laki sastra. Azka segera keluar ruangan dan menutupnya rapat-rapat.

"Aku mau ambil proposal," ucap Aurel tanpa basa-basi. Azka hanya membalas dengan lengkungan bibirnya ke bawah.

"Namaku?" Aurel tahu ini akan terjadi. Dia segera membuka ponsel dan melihat nama anak laki-laki di hadapannya. Terselip di antara nama-nama lain, Aurel akhirnya dapat menemukan nama orang yang sedang menjabat Sastra. Jadi dia melanjutkan kalimatnya, "Kak Azka A..."

"Azka apa?" tanya Azka lagi. Aurel menahan napas. Dia kembali melirik ponselnya. Namun, Azka merasakan kejanggalan itu dan mengambil ponselnya dengan tangan kanan. "Masih enggak hafal?"

Aurel mengangguk. Dia mencoba meraih ponselnya kembali, hanya saja Azka mengangkat tinggi-tinggi tangan kanannya. Dia benar-benar tidak dapat meraihnya, kalau melompat juga hanya ada peluang 50:50. Bisa saja dia mendapatkannya, bisa saja dia gagal.

"Aku benar-benar tidak bisa menghafal nama! Aku disleksia!" Aurel menahan tangisnya. Tidak peduli lagi dengan ponsel dan proposal, dia malah berlalu begitu saja. Siapa suruh membuatnya menangis?

Azka tidak mengejarnya, dia malah berbalik masuk ke dalam sekretariat. Aurel tahu karena suara langkah kaki yang terdengar di sepanjang koridor hanya miliknya. Pasti Yuan akan mengomelinya lagi.

"Aurel!" Suara tersebut berseru memanggilnya. Tidak membalas, orang yang memanggil mengejar dan menahan tangannya.

Aurel berhenti, dia berbalik dan menemukan Azka di belakangnya. Anak laki-laki tersebut hanya tersenyum dan menepuk kepala anak perempuan dengan map biru. Proposal yang diminta Yuan. Aurel terbelalak, entah karena kehadiran Azka atau malah proposal yang akhirnya dia dapatkan.

Aurel mengambilnya proposal tersebut. Lalu anak laki-laki itu merogoh saku dan menyerahkan ponsel miliknya. Aurel tidak mengerti kenapa Azka malah menyerahkan ponsel dan proposal padanya, padahal tadi sangat sulit rasanya untuk mendapatkan kedua benda itu. Belum selesai keterkejutannya yang satu, tambahlah yang baru. Azka mengusap kepalanya dengan lembut meski sebentar.

"Jika kamu hanya bisa mengingat orang-orang yang kamu sayangi, bisakah aku jadi salah satu dari mereka?" Seperti soal kuis dari guru-guru BK, jawabannya hanya ada dua. Ya atau tidak. Namun, Aurel tidak menanggapi. Dia tidak mampu memberikan harapan palsu. Bagaimana jika ternyata dia tidak dapat mengingat nama Azka meskipun sudah setahun mereka mengenal? Bagaimana jika Azka malah mengabaikannya karena lelah dengan disleksia? Terlalu banyak 'bagaimana jika' yang dipikirkan oleh dirinya.

"Maaf," ucap Aurel lirih. Sekali lagi dia pergi dari hadapan Azka. Menatap lantai di bawah menjadi seru dibandingkan melihat laki-laki gula kapas. Rasanya Aurel seperti baru memakan banyak permen. Terlalu banyak manis, tidak cocok untuk konsumsi terus-menerus.

Saat sang rembulan kembali menyapa Aurel dengan cahaya redup yang memaksa masuk dan menerobos jendela kamar. Kadang dirinya bertanya-tanya kenapa matahari mau saja membagi cahayanya pada bulan dan bintang. Semua itu mengingatkannya pada Azka. Anak laki-laki yang telah berhasil mengutak-atik ponselnya.

Aureliana Janan Kamalia || Azka Arsyliana Aksara

Namanya tiba-tiba bersanding dengan anak laki-laki permen kapas. Sudah pasti bukan Aurel yang menulisnya. Apa itu keseriusan seorang anak lelaki yang ingin berteman?

Aurel mematikan ponsel dan menutup mata. Mulutnya bergumam menyebut nama Azka.

"... Aksara ... Az ... Arsy." Keringatnya berjatuh dingin ketika dia kembali menyalakan ponsel. Tentu saja nama yang dia sebutkan salah. Tidak mungkin dalam beberapa waktu saja dia bisa ingat Azka.

Aurel merasa dirinya semakin tidak pantas. Yuan juga tidak banyak membantu dia. Kakaknya malah mengabaikan dia setelah mendapat tanda tangan Azka. Dia jadi menyesal karena tanda tangan itu. Oh iya, jangan lupa soal ucapan Yuan yang setengah-setengah di sekolah. Ini membuatnya kesal!

Besok dia harus berekspresi pada Azka seperti apa?

Ping!

Suara pesan masuk dari ponsel membuatnya teralih. Dia mencoba mengabaikan dan melihat notifikasi dari WhatsApp. Tidak ada nama, hanya deretan angka yang tidak dia kenali.

Aurel tidak ingin membalas, lagipula dia memang tidak mengenalinya. Namun, bagaimana jika itu salah satu teman sekelasnya? Lagi, Aurel menatap dan menunggu orang di sana kembali mengirim pesan. Jangan biarkan dia yang lebih dulu menjawab. Bahaya.

Azka Arsyliana Aksara, simpan nomorku Aurel. Jangan lupa tidur. Have a nice dream.

Aurel cukup bingung dengan pesan di sana. Nama itu kembali membuatnya bingung. Kali ini Aurel bahkan tidak dapat mengingat siapa Azka. Dari pesan yang manis, entah kenapa Aurel menduga Azka adalah adalah laki-laki itu.

Selama seminggu Aurel terus melihat anak laki-laki bernama Azka. Berulang kali anak laki-laki itu menyebutkan nama lengkap yang bahkan tidak bisa dia ingat. Kapan anak laki-laki si gula kapas itu menyerah? Tidak ada yang tahu.

Jangan lupakan pula kalau Azka membuat dirinya terkenal. Semua siswi yang berlalu lalang suka sekali bergosip tentang dia yang tidak-tidak. Perempuan penolak cinta si ganteng manis, perempuan tidak punya hati, si tidak menghapal nama menjerat si ganteng Aksara, dan masih banyak julukan lainnya. Entah Aurel harus bangga atau tidak tentang ini.

"Aurel!" panggil Azka jauh di ujung sana. Harusnya Aurel segera berbalik. Jangan sampai dia terjebak pada Azka! Lagi pula perkerjaan OSIS masih banyak.

"Aurel!" Kali ini seorang anak perempuan yang memanggil dan berlawanan arah dari posisi Azka. Aurel berbalik dan menemukan anggota OSIS lainnya.

Dibandingkan Azka, Aurel lebih memilih mendekati Lucy si anggota OSIS. Dia hanya tidak mau dibicarakan lagi oleh siswi lainnya. Sulit untuk merendam cibiran, dan ejekan di Bayanaka.

"Ada apa Lucy?" tanya Aurel tenang. Bersamaan dengan Azka yang ada di belakangnya.

"Kak Yuan meminta aku beli barang-barang ini untuk acara serah terima jabatan besok. Sekaligus aku mau cari beberapa coklat. Temani aku ya!" Lucy memintanya, tapi Aurel ragu. Ada bom di kepalanya, dia tidak tahu harus bagaimana.

"Kamu tahu tempat?" tanya Azka tiba-tiba. Ucapan itu untuk melindungi Aurel, dan dia merasa lega karena pertanyaan itu.

Lucy mengangguk. "Tentu saja aku tahu, Kak!"

Kedua bernapas lega. Aurel menyetujuinya, dan dia melirik pada Azka. Anak laki-laki itu sepertinya memang ingin mengenalnya. Lalu dia menunduk, bisa saja ini kebetulan. Bukan berarti Azka memang mengetahui soal disleksia miliknya.

Sepertinya Aurel menyesal karena menerima permintaan Lucy. Pulang dari belanja, temannya sudah dijemput. Terlebih lagi yang menjemput adalah pacar temannya, dia tidak bisa ikut untuk minta diantar. Sekarang dirinya bingung harus ke mana. Dia bahkan tidak tahu sekarang di mana.

Kenapa tidak menelpon ke Yuan? Nomor ponselnya bahkan tidak aktif sejak tiga puluh menit dia menghubungi kakaknya. Ada kontak lain yang jadi perhatiannya.

"Azka," ucap Aurel lirih tanpa sadar. Dia mendadak menangis, di tengah jalan orang yang berlalu lalang dia malah berjongkok dan menutup diri.

Berulang kali nama Azka disebut Aurel. Mungkin saja tidak akan pernah ada hari esok untuk menyebut, untuk menemuinya. Dengan air mata yang mengalir deras, Aurel berdiri dan memilih berlari melawan arus para pejalan kaki. Bagaimana pun dia harus bertemu Azka. Dia harus mengucap jika dia ingat nama anak laki-laki itu.

Harusnya bisa. Benar seharusnya dia bisa mengatakannya. Namun terlambat sudah, senja telah berganti rembulan. Matahari menutup diri di balik bulan, meneranginya lagi. Langkah pun terhenti di sebuah taman. Entah apa namanya. Dia memilih tempat duduk, mungkin bisa juga menjadi tempat tidurnya.

"Aurel!" panggil seseorang. Dia tidak menjawab, tapi melihat ke segala arah. Suara penuh kekhawatiran terdengar jelas di sekitar taman.

"Aurel!" Nama itu kembali terpanggil. Aurel melihat sekeliling. Ada satu orang anak laki-laki terengah-engah karena berlari ke segala arah.

Aurel hanya tidak bisa berkata-kata lagi. Air matanya kembali jatuh ke tanah. Kedua tangan miliknya menjadi lebih dingin. Namun, kakinya menjadi kaku karena bingung bagaimana harus menghampiri dia.

Azka menoleh, matanya terbelalak. Lalu senyum bahagia terlihat jelas dari sudut-sudut bibirnya. Dia segera berlari, menghampiri Aurel. Jika saja dia bisa, dia ingin memeluk dan mendekapnya selama mungkin.

"Aurel ...," panggilnya lembut. Azka memegang tangan anak perempuan tersebut. Kedua saling menunduk. Sang rembulan menjadi saksi pertemuannya di malam ini.

"Azka," balas Aurel. Tidak ada yang dapat membuat anak laki-laki itu kaget dan senang bersamaan kecuali Aurel memanggil namanya.

"Kamu mengingat namaku." Azka menggenggam erat tangan Aurel. Kebahagian nya hanya satu.

"Saat ini aku mengingatmu, besok mungkin saja tidak. Aku bisa aja mengingat dan melupakanmu di saat bersamaan," tangis Aurel. Azka melepas genggaman tangan itu dan malah mengacak-acak rambut Aurel.

Dia tertawa ringan yang meneduhkan hati perempuan di hadapannya. Baru setelahnya dia berucap, "Aku tidak masalah. Artinya aku belum sempurna untuk jadi bagian hidupmu."

"Eh?"

Azka tidak menjawab lagi. Namun, senyum indah itu tercipta. Senyum manis si gula kapas. Bolehkah dia menyebutnya seperti itu?

Itu yang dia ingat sejak fajar sudah menyapanya. Sekarang dia memilih berperang di dapur dengan adonan-adonan kue dan beberapa cokelat. Besok Valentine, pembagian kasih bagi para pasangan sekaligus serah terima jabatan.

Beberapa cokelat gagal, cetakan salah. Bukan dia yang salah. Beberapa kue tidak berasa apa-apa dia buang. Saat Yuan menuruni anak tangga di sebelah dapur, Aurel tengah sibuk mengaduk adonan dengan cokelat. Kakaknya tidak tahu apa yang sedang adiknya lakukan. Namun, dia malah memakan salah satu kue di atas piring. Kue gagal, tidak ada rasa.

"Kamu buat apa sih?" tanya Yuan bingung.

"Cokelat, Kak." Aurel acuh tak acuh membalas. Fokusnya ada pada adonan kue yang belum bercampur. Masih saja cokelat muda tidak berganti cokelat tua.

Setengah tidak percaya, dan setengah lagi Yuan tertawakan. "Tersambar apa kamu? Apa jangan-jangan adikku yang satu ini tertukar ya?"

"Dih, Kakak!" omel Aurel, "aku buat cokelat untuk si gula kapas! Udah deh, kakak bawel."

"Oh, Azka. Mau dikasih kapan?" goda Yuan padanya. Aurel berhenti mengaduk adonan.

"Kalau ketemu dia, Kak."

"Besok? Kakak jamin kamu enggak bakal ketemu dia. Kenapa enggak sekarang aja? Lagian orangnya juga lagi santai di ruang tamu?"

Mata Aurel terbuka lebar. Dia tidak tahu sejak kapan Azka ada di rumahnya. Mungkin terlalu fokus hingga membuat kakaknya yang naik turun tangga tidak dia lihat. Bahkan suara bel pintu rumah pun tidak terdengar.

"Azka, Azka, sini!" panggil Kakaknya. Panik, Aurel langsung mencubit lengan kakaknya. Dia belum siap bertemu dengan si gula kapas.

Dari balik pintu dapur, Azka masuk. Dia melihat Yuan tengah kesakitan karena cubitan Aurel. Sementara si gadis menusuk malu karena banyak noda di baju dan tubuhnya.

"Lagi pada ngapain?" tanya Azka bingung. Ditambah banyak kue-kue berserakan di atas meja, piring dan lantai. "Kalian lagi perang?"

"Aurel lagi bikin cokelat untuk kamu, Ka. Coba deh, jangan yang di sebelah kiri. Di paling kanan rasanya lebih enak."

Aurel mencoba untuk menahan. Namun, kakaknya mengedipkan mata seolah ingin adiknya percaya. Azka menurut saja untuk makan.

"Enak," ucap Azka. "Makasih ya, enak cokelatnya."

Aurel meleleh. Mungkin hatinya seperti es krim yang meleleh oleh senyum manis si gula kapas. Kakaknya hanya mengangkat bahu dan naik tangga lagi.

"Aurel," panggil Azka padanya. Dia langsung menatap iris cokelat itu. "Terima aku jadi bagian terpenting dalam hidupmu ya?"

Aurel terkejut, tapi dia langsung menggeleng. Kali ini dia harus menjelaskan, "Aku tidak bisa. Bagaimana jika nanti kamu lelah dengan disleksia ini? Bagaimana jika seterusnya aku tidak mengingatmu padahal kita sudah sering bertemu? Bagaimana jika ...."

Ucapannya terhenti ketika tangan kanan Azka menutupnya. Si gula kapas hanya tersenyum dan mengacak-acak rambutnya.

"Hapuskan 'bagaimana jika' dari pikiranmu. Aku ingin jadi temanmu, sahabatmu, dan orang yang menemani kamu sampai mati."

"Tapi, Kak," kilah Aurel.

"Lupakan keterbatasanmu. Disleksia bukan tembok dari hubunganmu denganku, dengan Yuan, dengan temanmu. Cobalah menerima dirimu sendiri."

Aurel dapat memahaminya. Dia mengangguk dan tersenyum pada Azka. Benar, dia harus mencintai dirinya sendiri. Lalu belajar mencintai hidup. Terakhir, dia harus belajar tentang cinta.

"Thanks to be My Sun, and you give the warmth to me, Azka Arsyliana Aksara."

****

Haayo Bagaimana?

Jangan lupa vomment ya:)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top