Penenun Nasib
Cerita ini dikarang oleh rara_el_hasan
*****
Emansipasi wanita, secuil aksara yang mengoyak abar-abar pewatas. Lihatlah, berapa banyak pekerjaan pria yang digeluti wanita. Agaknya, hampir semua perkerjaan bani Adam, para kaum Hawa berhasil menuntaskannya dengan baik, bahkan lebih sempurna. Bos perusahaan, Security, masinis kereta api sampai tukang aduk semen, wajah legit mereka meramaikan.
Sekelumit cerita tentang emansipasi wanita tersebut, tak urung menggedor nurani pelakon hikayat ini –Sri. Wanita seperempat abad itu, tergeragap dari kehibukan berleha-leha yang menjadi habit. Alotnya kehidupan serta seretnya ekonomi keluarga, memaksanya berpikir keras mencari jalan keluar. Ribuan ide dipilah dari otak yang hanya tertimpa ilmu seadanya. Sri tak tamat sekolah dasar. Namun, tak perlu mahir matematika untuk menghitung uang kembalian. Tak harus fasih aritmatika sosial untuk mengetahui untung dan rugi. Bagi Sri, tangan emasnya ini cukup ahli dalam meramu rasa yang mendatangkan rupiah.
Berpayung panas sengangar sang penguasa siang, perempuan berjulukan "Ibu" itu mendorong rombong besi keliling jalan. Tubuh ringkihnya amat perkasa. Air mukanya tak tampak lelah. Begitu tega sang keluarga membiarkan Sri yang sedang mengandung beradu nyawa. Ya, janin yang meringkuk dan terus bertubuh setiap harinyalah yang menemani langkah Sri menjajak kan dagangan.
Ke mana sang tulang punggung keluarga? Kenyataannya sang tulang punggung tak lepas tangan. Dia pun membanting tulang dan memeras keringat di tempat lain. Sebenarnya Sri memiliki putri berusia belasan tahun. Putri pertamanya yang kini duduk di bangku SMP. Setiap kali mengingat putrinya itu, bibir Sri yang kemerahan tertarik lebar. Putri yang ia namai amat cantik –Tiara –dengan harapan nasib putrinya itu akan indah seindah mutiara lautan.
Bagi Sri, Tiara lah tumpuannya kala tua. Biarlah putrinya itu serius belajar demi meraih mimpinya. Sri sendiri tak ingin membebani sang putri dengan pekerjaan berat seperti ini –meski di sela-sela waktu senggangnya, Tiara selalu datang membantu dan menemani. Tak ada yang mampu Sri berikan selain bekal ilmu yang nantinya akan digunakan sang putri untuk melawan kerasnya hidup. Harta? Mana mungkin. Ia dan suami berangkat dari latar belakang keluarga yang serba pas-pasan. Meski ia terpapar kejamnya hidup, Sri berharap tidak begitu dengan putrinya kelak.
Matahari berada tepat di atas kepala. Sri berhenti di tempat biasa ia mangkal. Memasang spanduk, menjajar bungkusan krupuk dan menanti datangnya pembeli. Es campur, gado-gado serta kerupuk pasir komoditas utama dagangannya.
Sejam ....
Dua jam ....
Sri sabar menunggu meski tak ada satu orang pun yang mampir. Padahal, jam makan siang sudah lewat sesaat lalu. Tak apa, Sri hanya perlu bersabar karena rezeki tak pernah kesasar.
"Bu, ramai?"
Sri menoleh. Mendapati Tiara berdiri di belakangnya –masih mengenakan seragam putih
biru.
"Lumayan, Nduk ... jalan kamu dari sekolah?"
"Nggak, Bu ... kebetulan tadi ada sisa jajan, jadi naik angkot.''
"Makan dulu."
"Saya bikin gado-gado sama es teh ya, Bu. Ibu sudah makan?"
"Sudah tadi."
"Bu, tadi di sekolah guru BPnya nanyain cita-cita saya ... kalau pengin masuk SMA Negeri bisa dibantu lewat jalur prestasi katanya."
"Memang apa cita-citamu?"
"Guru, Bu ... saya pengin jadi guru ...."
Sri tersenyum. Jika sang putri ingin menjadi guru, berarti harus kuliah. Yang Sri tahu, biaya kuliah tidak murah. Padahal setelah si buah hati lahir, biaya hidup akan bertambah. Ah, bukankah setiap anak membawa rezeki masing-masing. Sri yakin bisa menyekolahkan Tiara tinggi-tinggi.
"Kalau begitu sekolah yang pintar. Doakan Bapak dan Ibu sehat terus."
"Pasti, Bu ...." Sri tersenyum amat lebar. Lantas berdiri, mendekati Tiara dan mengusap puncak kepalanya penuh sayang.
"Nduk, nggak ada yang ibu minta selain Tiara sekolah dengan rajin dan berprestasi ... Ibu nggak bisa meninggalkan apa-apa selain bekal ilmu yang nantinya Tiara gunakan untuk mencari rezeki," jelas Sri.
Tiara yang sedang menyantap gado-gado dengan lahap, mengangguk cepat. Entah paham atau tidak, yang Tiara tahu, ia hanya harus sekolah rajin dan ranking kelas. Sri kembali mengumbar senyum, amat lebar. Sudut matanya mengerut. Kerutan yang semakin jelas dari hari ke hari, bulan ke bulan, bahkan tahun ke tahun . Kerutan yang menjadi saksi jika Sri menjaga titipan Allah SWT dengan baik dan penuh tanggung jawab.
Sri menengadah, menikmati kumpulan awan bersisik yang berbaik hati menghalau sedikit teriknya mentari. Harapannya melejit ke langit. Harapan agar sang pemilik hidup mendengar doa nya. Doa yang terdengungkan setiap waktu. Doa yang terpanjat kan di sepertiga malam. Doa yang mengiringinya menapaki minggu, bulan dan terus berlanjut sampai sang putri semakin dewasa.
Tempat yang dulu digunakan Sri mangkal kini beralih fungsi menjadi pertokoan besar. Sedang Sri, ia tetap setia pada keahliannya berdagang makanan. Berkat kebijakan pemerintah yang merelokasi pedagang kaki lima, Sri mendapat lapak layak pakai untuk berjualan. "Warung Bu Sri" kini semakin dikenal orang. Sri yang dulunya berjualan sendiri, sekarang memiliki satu karyawan. Buah dari harapannya yang tak pernah mati. Hasil dari jerih payah yang tak kenal lelah. Allah anti mengecewakan hambanya yang terus berikhtiar dan berdoa.
"Ibu ...." Sri mendongak. Senyumnya terukir lebar –menampilkan gugusan tulang yang
sudah tanggal satu di bagian atas.
Sang putri datang dengan setelan baju rapi. Tiara berhasil meraih mimpinya menjadi seorang guru. Ya, Tiara tumpuannya. Orang yang akan merawatnya sepenuh hati di hari tua nanti.
Umur Sri tak muda lagi, hampir setengah abad. Terkikis usia tak mempengaruhi kepribadiannya. Sri tetaplah pribadi yang sama. Lembut, pantang menyerah dan mendahulukan kepentingan putra dan putrinya di atas kepentingannya sendiri.
"Barakallah fi umrik, Ibu ...," ucap Tiara, sembari mengeluarkan sebuah kado.
Sri kaget luar biasa. Ah, hari ini tanggal 14 Februari. Tepat 42 tahun silam, ia dilahirkan. Sri sendiri bahkan lupa akan hari kelahirannya itu.
Setelahnya, Alif dan sang Bapak masuk dari pintu belakang. Membawa kue. Kekagetan Sri bertambah, ketika tak hanya kue yang dibawa Alif, sebuah piala tergenggam erat di tangannya.
"Bu, selamat ulang tahun ... Alif menjadi top score dalam turnamen sepak bola tadi."
Sri tak kuasa menahan tangis.
"Timmu menang, Lif?" tanya Tiara.
"Yoi, dong ... mbak bawa apaan? Kata Ibu sejak kemarin, Mbak seminar di Malang?"
"Biasa, kripik sepuluh ribu tiga," tawa Tiara merebak.
"Ayo, Bu ... potong kuenya?" pinta Bapak
Sri mengangguk. Mengambil pisau yang tersimpan di tempat penyimpanan sendok dan garpu. Kue berbentuk kotak dengan lapisan cokelat itu dipotong segitiga.
"Kue pertama untuk Bapak," celetuk Alif.
"Nggak ... buat Alif dulu," sahut Bapak.
Tiara mengerutkan kening. "Kok, Alif?"
"Lah, Alif masih punya satu kabar bahagia, Mbak ...," sahut Alif. Dadanya terbusung bangga.
"Apa, Lif?"
"Alif, keterima seleksi MAN Sidoarjo."
Lantunan hamdalah kontan teruntai dari bibir Sri. Hari ini ia dihujani banyak kebahagiaan. Semua terasa seperti mimpi. Mimpi yang mustahil. Namun, tak ada mimpi di dunia ini. Tak ada kemustahilan selama manusia mau berusaha. Sri selalu berpegang jika benih kebaikan yang ditanam, pastilah buah kebaikan pula yang akan tumbuh. Anak itu titipan Allah, seberat apapun cobaan hidup yang diberikan Sang Pemilik Hidup, sudah sepatutnya kita merawat mereka dengan baik dan penuh kasih sayang. Anak itu perhiasan dunia, dan jembatan doa saat Sri atau sang suami sudah tak lagi menginjakkan kaki di dunia ini.
Sebagaimana Firman Allah SWT, dalam surat Al Kahfi:46
'Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalah adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik menjadi harapan.'
Dan kini, Tiara tulis kisah ini untukmu wahai Ibuku. Kau tetap luar biasa meski tak setangguh dahulu. Perjuanganmu kupatri di setiap napas dan denyut nadiku. Semua kisahmu akan kukenang dan kuceritakan pada cucumu. Kisah hidup seorang wanita yang pantas disebut pahlawan. Pantas disanjung namanya tanpa henti. Kau penenun mimpiku, sekaligus penyemangat bagiku ketika melarungi kerasnya hidup.
Jika suatu saat ada yang bertanya pada anakmu ini, "Siapa idolamu, Tiara?" Dengan yakin kukatakan, "Idolaku adalah wanita bernama Sri. Beliau bukan artis, penulis buku, atau orang hebat yang dikenal dunia. Beliau hanya wanita biasa, dengan perkasanya merawatku tanpa lelah. Dialah Ibuku."
Dan kini, melalui titik terakhir dalam tulisan ini, kuakhiri kisah tentangmu. Kisah yang akan kubaca terus menerus. Timbunan kebaikan tak mungkin bisa kubalas. Hanya saja, melalui mulut yang kala kecil kau tuntun berbicara, kuiringkan doa setulus jiwa agar ibu selalu bahagia.
****
Hayo bagaimana?
Jangan lupa vomment :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top