LOST STAR
Cerita ini dikarang oleh AineeLin12
*****
14 FEBUARI 2017,
Tanggal 14 bulan ke dua, selalu identik dengan yang namanya cerita cinta. Ya hari valentine, hari kasih sayang. Di mana semua manusia laki-laki maupun perempuan entah yang tua ataupun yang muda berusaha menyatakan cintanya dengan hal-hal manis setengah mati. Tapi tidak denganku, hari itu aku sedang berada di rumah sakit. SENDIRIAN. Bukan karena aku tak memiliki teman, kekasih, keluarga atau apapun itu tapi karena memang aku ingin sendiri. Jangan salah paham !!
Jadi waktu itu aku sedang berjalan keluar ruang rawatku karena bosan setelah marathon menonton film. Aku melihat seorang wanita dengan baju pasien sama sepertiku di tarik oleh seorang laki-laki dengan baju serba hitam. Aku yang terkejut hendak berteriak tapi terhenti saat aku tiba-tiba saja teringat film horor yang ku tonton beberapa jam lalu. Di film itu si pemeran utama wanita mendadak menjadi sasaran seorang psikopat gila yang sangat mencintai ketinggian hanya karena wanita itu berteriak karena melihat si psikopat itu melemparkan mangsanya dari gedung setinggi 30 lantai. Jadi..
Wait, ini bukan waktunya mereview film. Saat aku tersadar wanita dan laki-laki serba hitam itu sudah menghilang. Aku kebingungan. Pintu menuju taman hanya satu yaitu lorong tempat aku berdiri saat ini. Insting keadilanku muncul, aku berjalan pelan ke pintu kaca yang langsung mengarah ke taman itu. Mengapa aku melakukannya ? ya sapa tahu gadis itu membutuhkanku. Karena di film –masih film psikopat yang tadi- walaupun pemeran utama wanita tadi dapat menangkap si psikopat gila itu ke kantor polisi tapi pengadilan melepaskannya karena kekurangan barang bukti. So, mungkin aku bisa menjadi barang bukti, pikirku.
Tapi bukannya malah adegan pembunuhan sadis yang terjadi, jujur aku menyesal. Aku malah melihat cerita cinta mellow khas drama-drama. Tentang seorang laki-laki yang sedang berusaha mendapatkan wanita pujaannya yang ternyata mencintai orang lain. Tetapi cerita mereka berbeda, percayalah. Awalnya aku tidak ada niatan untuk menguping, tapi aku penasaran dengan nasib gadis batu itu –aku akan menceritakan tentang hal ini nanti-. Aku penasaran apa yang akan di lakukan gadis batu itu. Jadi aku memutuskan untuk menguping sedikit. Aku menyilangkan kedua tanganku dan bersandar di pintu kaca sambil mendengarkan cerita tentang gadis -batu bodoh- itu.
Jadi begini ceritanya.
---
Sani –aku menyamarkan namanya- akan kembali ke ruangannya saat seorang laki-laki bertopi, masker, kacamata dan jaket berwarna serba hitam itu tiba tiba menarik lengan kirinya.
"Oh ... Bagaimana bisa kau ada di sini ? Bukannya kau seharusnya ada di Jepang?" Sani terkejut saat melihat laki-laki itu tiba-tiba muncul didepannya. Wajah laki laki itu di tutupi masker dan topi , tapi Sani masih dapat mengenalinya. Ia tahu laki-laki itu, ia mengenalnya, sangat mengenalnya. Dan setahunya ia seharusnya sedang ada konser di Jepang. Saat Sani akan berbicara...
"Ssttt .." Telunjuk tangan kanan laki laki itu terangkat ke bibir. "Di sini banyak orang, ayo ke sana." Ia menunjuk ke arah taman yang barusan di datangi Sani. Tangan yang tadinya berada di lengan sekarang sudah menggenggam jemari Sani. Mereka berjalan agak cepat kembali ke taman.
Suasana taman sangat sepi saat itu, sekarang sudah jam 10 malam. Sebenarnya pasien tidak diizinkan keluar kamar sendirian. Apalagi malam seperti ini. Laki-laki itu menarik lembut tangan Sani, membuatnya duduk di sampingnya.
"Bagaimana kau bisa datang ke sini ?" Sani tidak sabar, banyak pertanyaan dalam kepala mungilnya.
"Bagaimana dengan pekerjaanmu? Bagaimana dengan konsermu?" Tanya Sani dengan nada kesal melihat laki-laki itu tidak memiliki niat sedikit pun untuk menjawab pertanyaannya.
Laki-laki itu melepas masker, dan topinya. Meletakkannya di tengah-tengah mereka berdua. Ia membenarkan letak rambutnya, dengan wajah kesal ia menjawab. "Mendengarmu tiba-tiba jatuh pingsan bagaimana bisa aku tetap tenang dan fokus pada pekerjaanku !!"
Sani mendengus kesal memilih untuk memalingkan wajahnya, karena tidak dapat membantah perkataan laki-laki itu.
"Tapi kau tidak sembarangan pergi dan membatalkan konser begitu saja kan ?" Ia cepat-cepat kembali menoleh dan menatap wajah laki-laki itu khawatir.
"Aku tidak segila itu, membatalkan konser dengan puluhan ribu penonton hanya untuk dirimu." Kali ini laki-laki itu yang memalingkan wajahnya, tersinggung mendengar perkataan yang dilontarkan Sani walaupun itu seratus persen benar. Jangankan puluhan ribu orang, ratusan ribu bahkan milyaran sekalipun ia rela meninggalkannya. Meskipun ia harus membayar denda ratusan juta, demi gadisnya ia akan melakukannya. Bukan karena ia tidak profesional atau ia tidak perduli dengan cinta yang diberikan para fans yang telah mendukung, hanya saja gadis itu terlalu penting baginya. Gadis itu terlalu berharga untuknya. Ia menatap lurus ke depan sekarang.
"Kau tahu kan, kau kadang .. sering melakukan hal-hal gila tanpa alasan." Jawab Sani tidak mau kalah. Sani kembali memalingkan wajahnya jengkel. Sani juga melihat ke depan sekarang.
"Aku menyelesaikan konsernya, dan langsung berlari ke bandara untuk menemuimu." Katanya pelan. Laki-laki itu mengambil nafas panjang berulang kali. Ia berusaha menenangkan diri, menenangkan jantung lebih tepatnya. Ia berlari dari tempat parkir di lantai dasar sampai depan kamar Sani yang berada di lantai delapan, menggunakan tangga darurat. Ia tidak bisa menggunakan elevator karena khawatir orang-orang akan mengenalinya.
Ia sedang mempersiapkan konser di Jepang saat mendengar berita bahwa gadis itu tiba-tiba pingsan dan sedang dirawat di rumah sakit. Ia ingin menelpon gadis itu langsung saat mendengar berita itu, tapi apa daya ia selalu meninggalkan handphone di hotel sampai konser selesai.
Ia langsung memesan tiket kembali ke Korea dan menyelesaikan konser 30 menit lebih cepat. Ia hampir membatalkan konsernya. Kalau saja manajer dan para staff menahannya dan mengingatkan bahwa konser akan di mulai 20 menit lagi. Manajernya berusaha meyakinkannya setelah konser selesai ia boleh langsung pergi, dan mengatakan walaupun ia membatalkan konsernya ia tak bisa langsung pulang ke Korea karena jadwal penerbangan tercepat masih 4 jam lagi.
Mereka berdua berdiam diri sebentar. "Bagaimana keadaanmu ? Kau baik-baik saja kan?" Tanyanya setelah tersadar dari lamunannya. Ia menatap gadis yang sedang terdiam menatap kosong ke depan.
Sani menoleh dan menatap mata laki laki itu "Hmmm, aku baik-baik saja." Sani tersenyum kecil, terlihat dengan sangat jelas itu hanya senyum terpaksa.
Laki-laki itu menangkap, ada yang salah dengan gadis itu. Sani memang masih tersenyum tapi matanya, matanya tidak.
"Ada apa?" Laki-laki itu menatap dalam-dalam mata berwarna cokelat gelap milik gadis di depannya berharap ia bisa menemukan jawabannya.
Gadis itu memalingkan wajah, dan kembali menatap ke depan. "Aku baik baik saja, hanya kelelahan." Katanya sambil berusaha mempertahankan senyum palsunya. Sani membenarkan kabel infusnya yang sedikit melilit tangannya dengan canggung. Sani menatap tanah.
Laki-laki itu mengambil nafas, berdiri dan perlahan jongkok di depan Sani dan memaksa Sani untuk menatap matanya. Mata mereka sejajar sekarang.
"Aku tahu daya tahan tubuhmu lemah, tapi kamu bukan orang yang bisa dengan mudah pingsan hanya karena kelelahan." Laki-laki itu dengan lembut menggenggam tangan Sani dan menatap lurus kedua mata cantiknya. "Aku tahu kamu. Orang lain mungkin bisa pingsan karena kelelahan tapi Sani, kau tidak." Menurut laki-laki itu. Ia menduga ada sesuatu yang mengganggu pikiran gadisnya itu.
Sani memang memiliki daya tahan tubuh yang lemah. Sani sering sekali terserang flu, hampir sebulan sekali malah. Ia sering pusing saat terkena sinar matahari secara langsung. Sering terjatuh walaupun tidak ada apapun yang menghalangi langkahnya. Alhasil tubuhnya sering dipenuhi goresan goresan luka kecil. Tetapi sani bukan tipe orang yang akan pingsan hanya karena kelelahan.
Laki-laki itu teringat bahwa Sani memang pernah pingsan sekali, tentu saja bukan karena kelelahan. Ia pingsan karena marah. Sani tipe orang yang tidak mudah marah. Ia akan menahannya, menahannya, dan menahannya sampai tak sanggup dan meluapkan semua amarahnya. Sampai orang-orang di perusahaan memberikan ia julukan 'bom waktu'. Bagaimana tidak, saat ia benar-benar marah ia akan membuat orang-orang di sekitarnya akan diam, tutup mulut, tak berani berkata apapun. Kemarahannya benar-benar membuat orang-orang menjadi bisu. Bukan karena takut, tapi karena tau gadis itu akan menangis –dengan sangat sangat kencang—dan akan terus melanjutkan untuk meluapkan amarah yang sudah lama ditahannya. Sani akan terus berbicara panjang lebat, berteriak –sambil menangis- sampai ia sendiri lelah, dan tiba tiba jatuh pingsan karena telah menghabiskan seluruh tenaganya. Intinya, Sani bukan orang yang akan pingsan hanya karena satu alasan. Apalagi itu hanya karena kelahan.
Sani masih terdiam dan laki-laki itu masih terus menatap mata sani. "Orang lain mungkin bisa pingsan karena kelelahan, tapi kamu tidak. Bicaralah" Katanya perlahan. Laki-laki itu tetap menatap mata sani, meyakinkannya untuk bercerita. Memaksanya untuk berhenti menyiksa batin dan otak di dalam kepala mungilnya.
Sani menghela nafas, dan tersenyum. aku kalah batinnya. Laki-laki ini memang selalu bisa membuatnya bercerita. Membuatnya mengeluarkan semua yang mengganjal pikirannya. Membeberkan semua yang menumpuk di batinnya. Sani tersenyum sedikit lebih nyaman, ia siap bercerita.
Ia melepaskan tangan kirinya dari genggaman laki-laki itu. Dan menepuk-nepuk kursi di sebelahnya. Mengisyaratkan laki-laki itu untuk kembali duduk di sebelahnya.
Di lepaskan genggaman tangannya laki-laki itu berdiri, dan kembali duduk di sebelah sani. Ia kembali menggenggam tangan kiri sani. Sani terdiam sebentar lalu menatap lurus ke depan melihat ke arah langit cerah yang di taburi bintang-bintang. Pemandangan yang lumayan langka di kota Seoul yang tidak pernah gelap mulai pagi hingga pagi lagi ini.
"Pernah dengar cerita tentang seorang gadis yang ingin jadi bintang gak ?" Sani terus menatap ke depan.
"Cerita barumu?" Kata laki-laki itu dengan nada sedikit mengejek. Sani menoleh dan tersenyum kecil, lalu memukul pelan lengan laki-laki itu.
Laki laki itu sedikit lega melihat senyum Sani yang ini. Senyumnya benar-benar sudah mencair, yang ini terasa lebih tenang. Laki-laki itu terus menatap mata Sani yang sekarang pun tetap melihat ke depan. Sani mulai bercerita.
"Ada seorang gadis. Cukup cantik, menurutku. Pintar dimata orang-orang. Dan selalu sempurna dimata keluarganya. Gadis itu hidup penuh dengan pujian. Pujian karena wajah cantiknya. Sanjungan karena prestasinya. Dan kasih sayang 1000% dari keluarganya. Hidupnya begitu sempurna dimata orang-orang. Hidupnya membuat iri semua orang. Ayah, ibu, kakak, dan adik kecilnya selalu mendukungnya. Menemaninya setiap waktu, berada di sampingnya.
Ayahnya yang kadang terlihat sedikit menakutkan dan keras tapi bisa membuatnya merasa aman. Ibunya yang cantik tapi kuat dan tegas selalu ada di sampingnya, melindunginya. Kakaknya yang pintar dan agak menyebalkan yang sekarang di hormati orang-orang selalu mendukung mendukung kedua adik adiknya. Dan adik kecilnya yang lucu dan manis tidak pernah gagal membawa tawa di keluarganya. Gadis itu selalu merasa sempurna saat bersama keluarganya. ia sangat sangat bahagia."
Sani tersenyum menerawang, seakan membayangkan ialah gadis itu. Sani mengambil nafas panjang dan mulai melanjutkan ceritanya.
"Tapi ia tahu, gadis itu mengerti ia tak bisa terus menerus bersama dengan keluarganya. keluarganya juga punya hidupnya sendiri. Ayahnya dengan beberapa bisnisnya yang tidak berjalan lancar membuat kesehatannya menurun. Ibunya yang sibuk dengan pekerjaannya dari pagi sampai sore saat pulang tak bisa langsung beristirahat karena harus mengurus keluarganya. kakakknya yang beberapa tahun lalu pergi untuk mencari ilmu, dan sekarang bekerja jauh di ujung pulau. Dan adik kecilnya yang beranjak dewasa telah di sibukkan dengan berbagai tugas tugas gila dari sekolahnya."
Sani terdiam, menatap kosong ke depan. Melamun...
"Bagaimana dengan gadis itu?" Laki-laki itu tak sedikitpun mengalihkan pandangannya dari Sani. Sani tersenyum masam, kembali mengambil nafas berat dan melanjutkan ceritanya.
"Gadis itu juga sibuk dengan duniannya. Sekolahnya, teman temannya, dan laki laki yang di sukainya. Ia mulai jauh dari keluarganya. ia mulai menjauh dari kotak amannya. Awalya biasa saja, ia sama saja seperti yang lainnya. Tertawa, menangis, bermain, berlibur sama seperti orang-orang lain. Berbuat ulah, berbuat kesalahan sama seperti remaja lainnya. Ia beranjak dewasa. Dari anak kecil yang selalu dalam lindungan keluarganya menjadi seorang remaja yang harus sudah mulai belajar untuk bertanggung jawab atas kesalahan, ketakutan, dan hari harinya. Ia sama seperti yang lain. Sampai ..."
Sani kebali terdiam. Senyumnya perlahan memudar.
"Sampai?" Laki-laki itu tanpa sadar mengulangi kata terakhir Sani.
"Sampai tiba-tiba ia merasa takut dan tak bisa melanjutkan hari harinya seperti yang lain. Ketakutan ketakutan kecil dalam hatinya bertambah, bertambah dan bertambah banyak. Tidak ada alasan yang jelas tentang ketakutannya. Ketakutan-ketakutan sepele itu menjadi bertambah besar setiap harinya. Awalnya akan satu hal, berubah menjadi satu bagian, dan tak berakhir di satu kelompok. Ketakutan itu terus membesar yang akhirnya membuat gadis itu takut pada dunia. Gadis itu membuat penjara di pikirannya dan mengunci dirinya rapat rapat di dalamnya."
Mata Sani mulai berkaca-kaca. Mata cokelat indahnya di penuhi genangan air mata yang bisa saja langsung terjun bebas walau hanya karena sedikit sentuhan kecil. Gadis itu menarik nafas dan mulai kembali melanjutkan ceritanya.
"Beberapa tahun berlalu cepat dengan sia-sia. Gadis itu kesepian. Ia sendirian sekarang. gadis itu perlahan mulai jenuh. Ia ingin keluar dari penjara itu. Tapi rasa takutnya sudah terlalu besar, lebih besar dari keinginannya untuk keluar. Gadis itu merasa sesak. Ia ingin keluar, keluar dari penjara itu. Satu bulan berlalu dengan sangat lambat. Hari hari gadis itu di penuhi pertanyaan pertanyaan yang harus ia jawab sendiri. Di penuhi dengan ketakutan ketakutan dalam hatinya yang semakin membesar seiring dengan pertanyaan dalam otaknya yang terus bertambah. Gadis itu merasa sesak saat memikirkan ia harus terkurung di sini selamanya. Waktu berlalu sangat lambat. Gadis itu sudah memutuskan untuk berusaha keluar. Hal pertama yang di lakukannya gadis itu memberanikan diri untuk sekedar membuka jendela, itupun perlu beberapa hari untuk meyakinkan hatinya 'semua akan baik baik saja' kata kata itu di ucapkannya beribu-ribu kali untuk menenangkan pikirannya. Gadis itu berjalan pelan, dan dengan ragu ragu memberanikan dirinya untuk membuka jendela."
Sani berdiri dan berjalan pelan ke arah pagar yang menjadi pembatas taman dengan langit malam. Sani memegang pagar kaca berbatas besi itu dengan kedua tagannya. Sani menatap ke atas. Dilihatnya langit cerah di hiasi bintang-bintang.
Laki-laki itu juga berdiri dan berjalan mendekat ke arah Sani. Laki-laki itu melepas jaketnya dan perlahan menyelimuti dan gadis itu dengan jaket hitamnya. Sani terdiam cukup lama menatap kosong ke arah kota yang dihiasi langit malam berbintang itu. Sani melamun. Lamunannya belum tersadar saat laki laki di sebelahnya bertanya pelan. "Bagaimana dengan gadis itu ?" Sani tetap terdiam.
"Apa yang terjadi dengan gadis itu?" Tanya laki-laki itu penasaran. Sekarang suaranya cukup keras, cukup keras untuk menyadarkan sani dari lamunannya. Cukup lantang untuk menarik Sani kembali ke dunia nyata.
Sani menoleh ke arah laki-laki itu. Sani tersenyum penuh arti. Mengambil nafas dan kembali memandang ke depan. Sani memulai lagi ceritanya dengan senyum yang tidak bisa di artikan.
"Gadis itu jatuh cinta, jatuh cinta pada pandangan pertama. Jatuh cinta pada pandangan pertama pada bintang. Bintang yang menurutnya terlihat paling terang dan paling indah saat itu. Tetapi gadis itu masih takut untuk keluar. Tapi ia sekarang sudah berani, bukan .. ia suka membuka jendela. Selain waktu tidur ia selalu menatap keluar jendela. Menunggu bintangnya muncul. Hari harinya yang dipenuhi pertanyaan, ketakutan, dan rasa sepi kini sedikit berubah.
Ia tak punya hal lain yang harus di lakukan selain merenung menjawab pertanyaan otaknya dan ketakutan akan jawaban-jawabannya. Ia masih sering berpikir dan ketakutan, tapi tidak sesering dulu. Saat pertanyaan, ketakutan dan rasa sepi datang gadis itu selalu memikirkan bintangnya. Memikirkan kapan bintangnya muncul. Setiap malam tiba gadis itu membuka jendela untuk melihat bintangnya. Gadis itu telah jatuh cinta, tanpa ia sadari ia telah jatuh terlalu dalam yang membuatnya memiliki keinginan gila. Keinginan yang sangat tidak masuk akal. Benar benar keinginan gila yang tidak masuk akal." Senyum Sani perlahan memudar.
"Gadis itu berdoa siang malam. Berdoa meminta agar ia bisa bersama dengan cintanya, bersama dengan bintangnya. Gadis itu ingin memiliki bintangnya, untuk dirinya sendiri." Sani mengambil nafas. Dan kembali melanjutkan ceritanya. Kali ini tanpa senyum, senyumnya sudah benar benar hilang sekarang.
"Saat gadis itu mencurahkan waktu dan jiwanya untuk mengagumi bintang dan berdoa siang malam agar mimpinya terkabul. Gadis itu jatuh terlalu dalam pada bintangnya membuatnya tak menyadari ada yang memperhatikan dirinya dari jauh. Sang bulan, ia terus memperhatikan gadis itu. Melihatnya berdoa siang malam. Melihat gadis tiap hari membuat sang bulan tak tega dan memutuskan untuk menawarkan bantuan.
Bulan bertanya "Sebegitu inginnya kah kau untuk bersama bintangmu?" Gadis itu tak menghiraukan bulan. Ia tetap terfokus memandangi bintangnya. Dan terus berdoa pada langit.
Bulan bertanya lagi, penasaran "Dari sekian banyaknya bintang, kenapa kau memilihnya menjadi bintangmu?" Bulan perlahan mendekat ke jendela tempat gadis itu melihat bintangnya. gadis itu lagi lagi tak menghiraukan bulan.
"Aku bisa membantumu." Kata bulan. Gadis itu akhirnya menoleh, melihat ke arah bulan sebentar dan kembali menatap bintangnya.
"Aku bisa membuatmu berada di sampingnya. Aku bisa membuatmu berada di tempat yang sama dengan bintangmu. Aku tahu caranya." Katanya, bulan berusaha meyakinkan gadis itu.
Gadis itu menoleh, menatap bulan dengan wajah penasaran. "Bagaimana caranya?" Tanyanya.
Bulan bilang ada 2 cara. Gadis itu mulai tidak sabar, dan meminta bulan untuk segera menjelaskan bagaimana 2 cara itu." Sani mengambil nafas panjang. Matanya tetap menatap kosong ke depan.
"Pertama, aku bisa membuatnya turun kebumimu." Katanya. Dilanjutkan dengan "Tapi kau tahu kan apa yang terjadi saat bintang turun ke bumi?" Tanya bulan.
"Ia akan hancur." Jawab gadis itu pelan.
"Tidak, aku tak mau bintangku hancur. Katakanlah cara kedua." Pinta gadis itu.
"Cara terakhir, aku bisa membantumu naik kelangit. Ke tempat bintangmu berada." Kata bulan. "Tapi itu tidak mudah, sangat tidak mudah." Tekannya.
Gadis itu menjawab tanpa ragu. "Aku mau, aku akan melakukan apapun itu. Aku ingin bersamanya." Kata gadis itu lantang.
Sani kembali menghela nafas. "Gadis bodoh." Gumamnya lirih.
Laki-laki itu menoleh ke arah Sani dengan cepat. "Dia jadi bintang?" Laki-laki itu bertanya dengan nada penasaran. Ia menatap ke arah Sani, matanya mendesak Sani agar gadis itu cepat melanjutkan ceritanya. Sani tetap diam.
Laki-laki itu mulai tak sabar. Ia memegang pundak Sani memaksa gadis itu melihat ke arahnya. "Ia jadi bintang? Gadis itu jadi bintang ?" Tanyanya lagi.
"Sabarlah sedikit." Kata Sani. Sani kembali memalingkan wajahnya ke depan.
Kembali melanjutkan ceritanya. "Bulan membantunya, dan gadis itu menuruti semua kata kata bulan. Gadis itu berjuang siang malam. Seratus kali, bukan seribu kali malah. Ia berusaha keras, berusaha seribu kali lebih keras dari yang lainnya. Sekarang ia bukan manusia lagi." Sani lagi-lagi terdiam. Kali ini hanya sesaat ia melanjutkan ceritanya.
"Ia batu, sekarang. Ia batu yang tinggal menunggu diberi sinar agar bisa benar benar menjadi bintang." Mata sani yang tadinya berkaca-kaca, di penuhi air mata. Air mata yang sedari tadi di tahannya mulai terjun bebas ke pipinya. Ia mengerjap dan cepat-cepat menghapus air matanya. Menarik nafas dan bercerita lagi.
"Ia sudah batu sekarang. Memikirkan bahwa sedikit lagi ia bisa bersama dengan bintangnya, perasaannya senang bukan main. Perasaan senangnya yang tak terbendungmendorongnya untuk sekedar memastikan bahwa bintangnya baik baik saja. Sejak ia mulai berusaha menjadi bintang ia mulai jarang bisa melihat bintangnya. Ia sangat bahagia karena sudah berada di langit yang sama sekarang. Ia ingin melihat bintangnya lebih dekat.
Selama ini ia hanya bisa melihat bintangnya dari jauh. Ya sangat jauh. Sangat jauh sampai ia baru menyadari bahwa bintang itu tidak sendirian. Sudah ada seseorang –bukan bintang- di sampingnya. Gadis-batu- itu mau tak mau harus mengakui seseorang-bukan bintang- di samping bintangnya itu cantik, cantik seperti peri. Mungkin memang peri, manusia tak bisa ada di langit –kecuali astronot-. Gadis itu duduk terjatuh melihat bintangnya bersama seseorang –mungkin peri-. Gadis –batu- itu kehilangan tujuannya. Selama ini ia hanya berlari lurus ke depan, ke arah bintangnya. Ia berlari tanpa henti." Sani terdiam untuk kesekian kalinya.
"Gadis itu kehilangan tujuannya. Ia tak mau berada di langit tanpa bintangnya. Dan ia juga tak bisa turun kebumi, karena ia tahu ia akan hancur berkeping-keping." Sani sudah tidak bisa lagi menahan bendungan air matanya. Ia membiarkan air matanya terjun bebas beberapa menit.
Laki-laki itu ingin menghentikan gadis di sebelahnya itu untuk menangis. Berat baginya melihat gadis yang disayangnya menangis tersedu seperti itu. Tapi ia mengurungkan niatnya. Menangis akan mengurangi beban di hatinya, pikir laki-laki itu. Ia menarik lembut pundak sani dan membiarkan gadis itu menangis. Membiarkan gadis itu menangis di pelukannya.
Setelah beberapa saat kemudian. Gadis itu mulai tenang, mulai berhenti menangis.
"Bagaimana dengan batu itu sekarang?" Laki-laki itu bertanya dengan pelan.
Sani sudah berhenti menangis. Ia perlahan melepaskan diri dari pelukan laki-laki itu.
"Jadi bagaimana?" Bukannya menjawab pertanyaan laki-laki itu, Sani malah menjawabnya dengan pertanyaan yang lain. "Menurutmu apa yang gadis itu harus lakukan sekarang?" Sani balik bertanya sambil menyeka sisa-sisa air matanya.
Laki-laki itu masih memegangi pundak Sani. "Bintang di langit gak cuman dia aja kan? Kamu, maksudku gadis batu itu bisa mencari bintang lain." Laki-laki itu melepas genggaman tangannya, memalingkan wajahnya dan menatap ke langit penuh bintang di depannya.
"Siapa ?" Tanya Sani.
"Aku." Laki-laki itu menoleh ke arah sani. Memandang mata gadis itu lekat lekat. Laki laki itu meraih kedua tangan sani dan menggenggamnya. "Aku akan jadi bintangmu, aku bisa menunggumu di sini."
Sani menatap mata laki laki itu, bibirnya mengerucut. Sani memasang wajah ragu "Gak meyakinkan." Katanya tertawa kecil dan hendak melepaskan genggaman tangan laki-laki itu tapi laki-laki itu menahan tangannya.
"Aku akan menunggumu dengan senang hati, kalau kau memang mau datang." Laki-laki itu ikut tersenyum. "Aku sudah, aku sedang menunggumu sekarang. Yang perlu kamu lakukan hanya membuka pintu hatimu. Aku akan berada di sana memegang buket bunga mawar putih. Bunga kesukaanmu."Laki-laki melepaskan salah satu genggaman tangannya. Membelai lembut kepala Sani.
"Atau kau mau aku mematikan sinarku dan menjadi batu sepertimu ?" Matanya menyipit saat bertanya, laki-laki itu sedang berusaha terlihat meyakinkan. "Aku mau. Asal bisa bersamamu."
Sani tersenyum tak percaya. "Setelah kupikir pikir aku juga tak mau berada di langit ini sendirian tanpamu. Jadilah bintang, jadilah bintangku. Aku bisa mengosongkan tempat di sampingku. Untukmu." Kata laki-laki itu masih berusaha untuk meyakinkan Sani.
Sani diam, berpura-pura berpikir. "Tidak" Jawabnya.
"Tidak yang mana ?" Tanya laki laki itu bingung. "Aku menunggumu atau kau jadi bintangku?"
"Tidak, jangan matikan sinarmu." Jawab Sani dengan senyum. "Aku yang akan menghampirimu. Kamu tetaplah menunggu."
Laki-laki itu terkejut mendengar jawaban Sani. Ia hampir lupa caranya bernapas dan tanpa ia sadari Sani sudah melepas genggaman tangannya. Saat laki laki itu tersadar ia melihat Sani tersenyum sangat cantik sambil berjalan mundur perlahan.
"Cepatlah datang, bungaku bukan bunga mainan." Kata laki-laki itu dengan suara cukup keras.
"Jaga saja tempat di sampingmu, jika saat aku datang ada yang menempati aku tidak akan segan segan memadamkan sinarmu dengan tanganku sendiri." Ancam Sani dengan senyum manis mematikan. Sudah tinggal sepuluh langkah lagi hingga Sani sampai di pintu masuk taman tempat mereka bertemu tadi.
"Bintangku cuma kamu. Kamu hanya perlu datang." Kata laki-laki dengan senyum selebar mungkin.
Sani tersenyum dan membalikkan badan. Berjalan selangkah dan kembali menoleh. "Jangan mawar putih. Aku lebih suka mawar kuning."
Sani kembali membalikkan badan dan terus berjalan, berjalan kembali ke ruangannya.
Laki-laki itu tersenyum menatap punggung gadis –calon- bintangnya berjalan menjauh. Mengambil topinya memakai masker dan kacamatanya. Saat menyadari jaketnya masih ada di pundak gadis itu, Laki-laki itu mengirim pesan singkat pada Sani.
'Berikan jaketku, dan aku akan memberikan mawar merah untukmu. Selamat hari valentine calon bintangku.' Ketiknya sambil berjalan. Laki laki itu tersenyum setelah menekan tombol kirim.
--
Kira-kira begitulah ceritanya. Mungkin kalian berpikir bahwa sangat tidak sopan untuk menceritakan cerita sedih orang lain, apalagi sampai di bukukan seperti ini. Jawabanku toh kisahnya berakhir bahagia. Kalian juga pasti memikirkan bagaimana perasaan si gadis batu bodoh itu jika mengetahui ceritanya di baca oleh banyak orang seperti ini. Dia tidak akan tahu, aku sudah menyamarkan namanya kan.
Tetapi, apa kalian tidak berpikir mengapa aku bisa tahu se-rinci itu, padahal aku hanya mendengar dari jarak jauh.
Aku mau membuat sedikit pengakuan, ya sejujurnya... itu ceritaku. Gadis –batu bodoh- itu aku, dan laki-laki gila yang hampir membatalkan konser dengan ribuan penonton yang katanya demi aku itu adalah bintang baruku. Bintang baru yang di berikan cupid sebagai kado di hari valentine ku.
****
Hayo bagaimana?
Jangan lupa vomment ya :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top