CYCLOPATH

Cerita ini dikarang oleh GungBekti11

****

"(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdo'a: "Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)". Di persebaran manusia di dunia ini, sebagian meyakini ada waktu sekitaran matahari mulai redup di Barat Bumi pada Hari Jumat, dengan membacakan penggalan Firman Tuhan dapat menjadikan hidupnya terasa diberkati karena manusia tahu segalanya ada yang memegang kendali, dan semua ada ditangan-Nya.

****

Jangan lupa Al-kahfinya!

Sudah dong.

Trus?

Mau cari yang merah dan anggun, abis ini.

Gaun buat siapa?

Sebuah pesan dari handphone sudah masuk sedari pukul 15.15 di gawai milik Gemilang. Pesan itu selalu membuat Gemilang sedikit bahagia, tapi tak sebahagia orang-orang dengan perasaan merah muda di hati mereka yang segar layaknya bunga kopi saat sedang wangi-wanginya.

Entahlah, selepas menaruh alas ibadahnya, kemudian Gemilang bergegas mengganti bajunya dengan kaus yang cukup nyaman dan simpel. Mengganti sarung dengan celana pendek dan diambilnya sedal gunung miliknya, headset juga tidak lupa terpasang di telinganya yang telah banyak dibisiki lagu-lagu sendu. Kaki Gemilang sudah siap mencumbu pedal, handgrip juga telah digenggamnya erat, dia ingin mencari yang merah nan anggun di Hari Jumat yang sore.

Bersepeda sejadinya, se-nggelinding nya ban, selelahnya dan se-Magrib nya waktu. Tapi kali ini Gemilang sudah tau akan kemana handlebar di arahkan. Gemilang menjadi pemegang kekuasaan atas handlebar alias stang sepedanya, jadi dia akan mengendalikan arah laju sepeda ke manapun sesuai kehendak hati. Di sebelah Utara kota, ada pelabuhan kecil yang sebenarnya saat terik menyengat muncul bau ikan sangat tajam dan membuat beberapa orang yang tak biasa akan merasa mual. Tapi saat sore ketika langit bergemilang menampakan jingga yang kemerahan, angin sangat sejuk sehingga bau ikan atau oli kapal sedikit disamarkan.

Gemilang pun memutuskan untuk mencari anggunnya sore di sana. Ada sekitar 15 km jaraknya dari rumah Gemilang, jarak yang cukup untuk mengayuh sembari memikirkan banyak hal, menumpahkan banyak kekesalah dan bahkan untuk sekedar sadar, bahwa pesan yang tadi ia baca, hanyalah pesan lama yang masih dia simpan untuk tetap menjadi penyemangat dalam mencari keberkahan saat Jumat.

Jadi, gadis bernamakan Riang telah dikenali Gemilang 4 tahun lalu, dan selama itu pula Riang masih menempati ruang terluas di hati Gemilang. Lucu sekali jika Gemilang sadar akan kisah cintanya, mencintai Riang selama itu, bahkan selama periode itu tiga pria sudah mendapatkan hatinya. Jelas tiga kali pula hati Gemilang rusak.

Padahal pada jeda dari ketiganya Gemilang selalu bisa membawa Riang pada dunianya, mengajaknya bersepeda melihat senja, membuatnya nyaman tidur di bahunya, atau pulang bersama karena memang jalan pulang mereka searah.

Tapi Gemilang hanyalah lelaki pengecut, lelaki yang lebih sayang pada perasaannya sendiri dibandingkan harus mengungkapkan kebenaran rasa yang mengendap di kedalaman hatinya. Bahkan Hans teman baik Gemilang sudah sering memberikan petuahnya, tetap saja tak ada efek, sekeras itu memang Gemilang.

"Ini hidupmu lang, dan sebenarnya kau lebih tau apa yang harus kau lakukan, meski kadang kau juga ingin menolaknya. Orang lain bisa saja memberi kritik atau masukan, kau bisa mempertimbangkannya dan keputusan kembali lagi padamu. Kau memilih tak berkata apa pun pada riang juga itu keputusanmu, jika memang itu lebih membuatmu nyaman. Tapi kau tau Riang kan? Polosnya? Pertimbangkanlah! Tapi jangan menjadi beban dan jangan stres!" Begitulah Hans pernah berkata. Sayang gemilang hanya menggaris bawahi kalimat ketiga dari nasihat Hans. Dan semua serba terlambat, hatinya kembali dirusak anak kecil.

Sepuluh menit dikayuh sepedanya santai. Setelah itu kakinya seketika mengeluarkan otot-otot hingga tekanan pedal menjadi semakin kuat. Shifter bergerak memindahkan rantai ke angka tiga untuk depan dan angka tujuh untuk belakang. Hingga dirasa sepedanya dikayuh menerobos angin.

Tak abis pikir, rasanya bulan-bulan lalu saat bunga angsana berguguran Gemilang masih bisa menikmati senyum manis Riang memandangi dan menghitung satu-satu kelopak kuning angsana yang jatuh begitu romantis di parkiran taman kota. Setelahnya juga Riang masih bersandar di bahu Gemilang saat perjalanan event komunitas mereka bersama, bahkan Gemilang selalu mempermasalahkan Riang yang ngiler di bahunya.

Ponsel Gemilang kembali bordering ringan, tanda sebuah pesan masuk.

Lang? Sehat?

Ya sebuah pertanyaan yang lagi-lagi terlontar dari para sahabat di chat group mereka.

Udah kebal

Gemilang membalas santai.

Ramai sekali Group Chat semalam, tentu saja trending topik #SaveGilang untuk kesekian kalinya, setelah terlihat foto Riang bersama orang tak dikenal yang terlihat mesra. Pasti marah pasti kesal dan sakit hati, tapi akankah sama seperti sebelumnya? Yang jelas amarahnya selalu dilampiaskan pada sepedanya. Dalam pikirannya kini "mungkin aku terlahir untuk bersepeda, bukan untuk memilikimu, Ri".

Barangkali besok sepedanya harus diperbaiki sama Pak Slamet, perihal sore ini ada yang dilaju sangat cepat, ada yang sulit dihentikan dan ada yang dipatahkan. Break lever tak kuasa menahan cakram depan, alhasil tarikannya putus dan melilit. Seharusnya hati Gemilang juga sekaligus di-servis, tapi di mana? Gemilang tak tau juga harus marah pada siapa, bahkan pada diri sendiri pun dia tak pantas marah karena itu keputusannya dan Gemilang cukup berusaha menjelaskan dengan tingkah meski tanpa kata. Sayangnya Riang tak sepeka itu, tali sepatunya saja selalu dibiarkan lepas.

"Ikat tali sepatumu ri, kau tau? Tali sepatu yang terikat akan terus mengikutimu dan lebih sering merasa sakit karena terinjak. Apa harus sampai kau jatuh terserimpet agar kau tau, tali sepatu ini juga ingin menemanimu tanpa tersakiti dan menyakiti. Jika memang kau tak ingin mengikatnya mungkin lebih baik kau melepasnya dan biarkan ada pada sepatu lain yang lebih pantas. Dan kau sebaiknya kau pakai sepatu keretan atau sepatu slop tanpa tali, mungkin itu lebih nyaman". Sembari mengikatkan tali sepatu Riang kala itu. Riang hanya tersenyum dan karena Gemilang baik, Riang juga selalu menyambut baik kebaikan Gemilang tanpa paham Gemilang sudah jauh dibuatnya menggila.

Ckiiiittttt.... Tangan gemilang kuat memeras rem depan belakang. Di depannya seorang berdiri seorang wanita, yang sepertinya dia kenal.

"Mas?" sapa wanita itu

"Lho Nin?" Gemilang tersadar dari lamunan

"Naik sepeda jangan ngelamun dong mas?" Anin menambahkan

"Hmm... maaf." Sembari tersenyum dan menepikan sepeda, Gemilang membalas

"Mau kemana mas?"

"Cari Anin, eh cari angin maksudnya. Kamu?"

"Ini abis ke minimarket, aku pamit dulu mas ditunggu ibu"

"Oh iya Nin, silahkan."

"Tiati mas, jangan ngelamun."

Sebenarnya Gemilang ingin meminta maaf kepada Anin adik kelasnya dulu saat SMA. Gemilang merasa bersalah, sebelum periode sakit hati kali ini, Anin sempat menjadi tempat dituju sebagai tempat berpindah Gemilang dari Riang. Barangkali Anin sudah mengira Gemilang itu rumah, ternyata Gemilang hanya singgah, sejenak. Tiba-tiba Gemilang hilang dari kehidupan Anin, itu sebab Riang hanya bertahan dengan seorang dokter muda satu bulan saja. Dan Gemilang merasa harus berjuang lagi untuk Riang, meski hasilnya seperti sekarang. Rusak lagi.

Kaki Gemilang terasa lelah sesampainya di pelabuhan. Seperti ingin jatuh, namun yang dilepas justru sepedanya yang dibiarkan terjatuh. Di pembatas jalan sebelum dermaga Gemilang duduk membiarkan keringatnya menetes jalanan aspal. Mengambil air minum dari slot botol pada sepedanya saja seperti tak ikhlas. Lagi, seenaknya tangan merontokan daun-daun di pohon di dekatnya. Seharusnya mudah sekali: parkir sepeda, ambil minum lantas duduk meredam lelah, seandai nya dia waras.

Setelah air minum menyegarkan tenggorokan yang mulai sakit, Gemilang beranjak mengangkat sepedanya yang tergeletak dan rupanya sedikit lecet pada bagian frame, Gemilang pun mengusapnya sedikit lantas berjalan. Mengarah ke tempat doking, dan menyandarkan sepedanya serapi mungkin, karena merasa bersalah telah berbuat kasar pada sepedanya tadi. Kaki Gemilang kini berdiri menapak rel kapal di tempat docking. Lalu, sepedanya disandarkan di salah satu kapal yang tampaknya sedang dalam proses perbaikan.

"Kapan aku berhenti mengagumi kau wahai langit bergaun merah? Kau anggun sekali". Dalam hatinya Gemilang berkata demikian, dan dalam pikiran piciknya ia ingin menggulung senja seperti pikiran nakalnya Seno Gumira Ajidarma dalam karyanya yang berjudul "Sepotong Senja untuk Pacarku". Tapi Gemilang bingung mau dikasihkan kepada siapa juga jika dia menggulung senja. Bang Seno mencuri senja untuk Alina, pacarnya.

Sedangkan Gemilang selalu mengurungkan niatnya untuk mencuri langit bergaun merah itu. Yah, mau dicuri buat apa? Buat Riang? Ah, dia selalu polos dia bahkan tak pernah paham maksud puisi-puisi yang beberapa kali Gemilang berikan. Terlebih dia sudah pamer kekasihnya semenjak tadi malam. Tiba-tiba terfikir Anin kembali dan dia berniat merangkai kata di ponselnya :

Seperti berjalan di atas kilauan rel kapal

Tuhan.... jika ada satu,

Akan kuberi yang sederhana tapi mengena

Menyeimbangkan setiap langkahku

Dan menggenggamnya erat

Berhiaskan mentari senja, di ujung alur kapal.

Seperti berjalan di dekat pembatas jalan sebelum dermaga

Tuhan... ku harap hanya satu,

Duduk di sampingku di pagar pembatas jalan

Menatap gemilang senja

Dan tersenyum riang di persimpangan menuju gelap, berdua.

Sepertinya aku melihat wanita itu

Tuhan.... iya hanya satu,

Mungkin beberapa mulut tak mengindahkan raut wajah itu,

yang bagiku dia langit bergaun merah berkerudung jingga

Teduh, dan di sanalah ujung masa.

Sesaat setelah kembali memasukkan gawai ke sakunya, matanya memandang sebuah reklame besar di ujung pintu keluar pelabuhan. Terpajang gambar dua insan laki-laki dan perempuan dengan es krim di tangannya, di sekitarnya tertulis kata-kata "Valentine Day" dengan imbuhan tanda hati pada sisi-sisinya. Sepertinya iklan produk es krim yang bertujuan meramaikan perayaan setiap pertengahan Bulan Februari setiap tahunnya.

Gemilang tersenyum sadis, bahkan terlepas atas nama agamanya yang tak mengenal budaya tersebut, Gemilang mungkin tak pernah mau merayakan hal semacam itu. Kasih sayangnya sudah ia berikan setiap hari tanpa perlu imbalan. Dan kenyataannya hati Gemilang telah tiga kali rusak karena memberikan kasih sayangnya, dibalik mereka yang penuh euforia perayaan kasih sayang, ada orang yang terus berjuang untuk itu.

Teruntuk kalian yang yang mencintai tanpa balasan, terima kasih!

Terimakasih sudah mencintai tanpa lelah. Jika sudah merasa cukup puas dan hatimu sudah merasa cukup untuk berpindah, ayo berbahagia! Beri jiwamu kebebasan, seperti kamu membebaskan dia untuk berbahagia.

Tidak lama suara gawai Gemilang berbunyi lagi. Kali ini bukan dari group chat-nya, bahkan bukan pula dari Riang.

Lho mas?

Ternyata Gemilang mengirim puisinya ke Anin. Ya, hanya itu balasan Anin setelah membacanya. Takut-takut jika Gemilang salah kirim.

Gpp nin, iseng saja, td liat senja bagus.

Hmm... maaf ya mas, yang lama sudah cukup dan aku sudah menjadi senja orang lain.

(..........)


Ditatapnya lautan luas, didengarnya debur ombak. Hingga dari kejauhan suara azan Magrib. Senja memerah menggelap dan runtuh di pelatarannya. Sudah selesai, mari bersujud lantas berdo'a, sudah tak perlu terburu-buru lagi mencari dan membuang-buang cinta untuk yang dianggap pantas namun Tuhan berkata bukan.

Terus memperbaiki diri, menjadi pantas menerima bingkisan Tuhan. Bukankah Tuhan yang menggenggam hati manusia? jadi rayuan lebih pantas untuk Tuhan. Meminta dengan sabar, semoga Tuhanmu segera memberimu penopang hati untuk lebih kuat bersama menggapai Ridho-Nya.

-------oOo-------

Hayo bagaimana?

Jangan lupa vomment ya:)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top