Even Though I Hide It

》· · ──────·本·──────· ·《

































I was falling

And you looked the other way
































"Apa yang kau pikirkan, Chihaya?"

Mashima Taichi tidak membuat suara yang keras. Kepak sayap burung gereja terdengar lebih jelas dibanding suaranya tadi. Hanya bisikan yang lirih di tengah deru kereta yang melaju. Membelah angin, menikmati pagi musim semi yang damai. Kereta ini tidak seramai biasanya, semua orang tenggelam dalam urusannya masing-masing.

Langit biru sejauh mata memandang. Membawa tenang, menyembunyikan rasa. Seperti gadis yang duduk diam di samping Taichi saat ini. Iris matanya menerawang, menatap langit luas itu dari balik kaca jendela kereta. Membawa angannya larut bersama angin. Tak pernah Taichi bosan memandang wajah Chihaya yang serupa edelweiss di puncak gunung, cantik dan tak tersentuh.

Chihaya terlihat seperti danau yang tenang. Dalam, menyimpan segalanya. Taichi selalu penasaran tentang apa yang disembunyikan oleh danau biru tanpa riak, apa yang dipikirkan gadis itu.

Apa mungkin sedikit saja...

Ada dia? Di salah satu sudut pikirannya?

"Ada apa? Taichi?"

Tentu saja Taichi tidak seharusnya lupa fakta penting itu. Indera Ayase Chihaya sangat sensitif. Duduk di atas tatami ditemani berlembar-lembar karuta sepanjang tahun, sepanjang hidupnya telah melatih indera gadis itu untuk lebih peka terhadap apapun. Gadis itu kini memalingkan wajah, menatap Taichi dengan bola matanya yang besar memantulkan cahaya matahari. Seperti permen karamel yang menyimpan jutaan rasa manis.

Salah langkah. Sekali saja Taichi tidak bisa mengendalikan diri, dia akan tenggelam dalam mata cantik itu.

"Tidak. Kau bebas untuk diam seperti batu selama apapun."

Satu detik berlalu, kini Taichi yang memalingkan wajah. Tak ingin beradu pandang lebih lama lagi. Dia akan terperangkap, tentu saja. Dan lagi, dia tidak ingin mendengar kenyataan dari bibir Chihaya. Tentang apa yang dipikirkannya.

Seandainya saja tidak ada orang lain..

Chihaya memberikannya secarik senyum. Senyum itu selalu cantik dan selalu berkata tulus tanpa pura-pura. Chihaya tidak perlu bertanya kedua kali, dia mendengar pertanyaan Taichi. Dia mendengar apapun, kecuali perasaan lelaki di sebelahnya. Kecuali bagaimana hati lelaki itu berdebar hanya untuknya.

"Arata... kau tahu aku berpikir apakah dia ikut turnamen nasional tahun ini atau tidak? Tahun lalu dia tidak mengikuti..."

Apa ini?

Ternyata Chihaya memikirkan dia.

Hela nafas tertahan sebab ada rasa mengganjal dalam dada Taichi. Diam-diam dia menggigit bibir dalamnya, menahan perih hati yang entah darimana datangnya. Mendengar nama yang tidak ingin dia dengan saat ini. Tidak, Wataya Arata bukan orang asing bagi mereka. Teman masa kecil, orang yang jauh berada di sana. Yang namanya selalu disebut oleh Chihaya setiap kali kesempatan datang.

Teman mereka. Teman Taichi dan Chihaya. Seseorang yang ada diantara mereka berdua di masa lalu. Sejak perasaan mereka masih semurni kertas putih yang kosong. Seseorang yang mereka ajak berbagi tawa, berbagi tempat di atas tatami. Kini tahun-tahun yang menyenangkan itu terlewati. Semua berubah. Termasuk hati, kini mereka tahu perasaan seseorang tidaklah sesederhana yang terlihat, jauh lebih rumit layaknya benang kusut sukar terurai.

Tidak semua tahu. Chihaya tak pernah menyadarinya. Di sampingnya, hanya Taichi yang terluka oleh perasaan itu. Sedangkan sang gadis dengan bebas bersua betapa dia merindukan Arata yang jauh disana.

"Kau tahu sesuatu tentangnya, Taichi?"

"Tidak."

"Apa kau pernah menghubunginya?"

"Entahlah."

Pahit. Seperti menelan obat yang tidak kau sukai.

"Aku... ingin bertemu dengannya."

Layaknya petir di siang hari yang menyambar. Menghanguskan apapun yang disentuhnya. Chihaya tidak sadar, tidak pernah sadar. Satu kalimatnya berhasil menggerus isi dada Taichi. Lelaki itu terdiam, tidak tahu harus menjawab apapun. Dia tidak bisa membantu Chihaya mengatasi masalah rindunya.

Dia tidak pernah mau. Tidak pernah bisa.

"Kau bisa menghubunginya, Chihaya." Taichi menghela nafas panjang. Berdiri dari duduknya karena kereta sebentar lagi sampai di stasiun tujuan mereka. Ujung matanya melirik ke arah sang gadis yang masih menatapnya bingung. Chihaya selalu begitu, ekspresi wajahnya selalu jujur. Bingung ketika tidak mengerti, menangis ketika sedih, tawa ketika bahagia. "Dia akan menyukainya."

Dan bagaimana kedua pipi itu memerah ketika memikirkan Wataya Arata yang jauh disana.

Senyum getir terulas pada bibir Taichi. Salah satu bentuk pertahanan diri yang dia lakukan ketika merasa terluka, ketika batu besar itu menghantam dada. Taichi adalah pembohong yang ulung tentang rasa. Dengan rapat dan diam dia menyembunyikan semuanya. Perasaan, bahagia, luka, karena dia tidak ingin Chihaya membencinya atau meninggalkannya. Apapun dia lakukan demi melihat bahagia gadis itu.

"Kau menyayanginya kan, Chihaya?"

Lelaki dengan rambut pirang itu meraih pergelangan tangan Chihaya. Dapat dirasakannya hangat kulit Chihaya yang mengalir ke kulitnya. Debar demi debar menggema di dada. Bahkan hanya dengan sentuhan kecil itu cukup membuat Taichi repot mengendalikan detak jantungnya, dan daun telinganya yang kini memerah seterang langit sore. Ditariknya penuh hati-hati si pemilik tangan, membawanya keluar dari kereta yang telah berhenti di stasiun tujuan.

Taichi tidak memiliki indera pendengaran sebaik Chihaya. Tetapi pada saat tertentu, entah angin yang berbisik padanya atau dewa yang memberi gema padanya, dia mendengarnya. Bisikan Chihaya diantara deru kereta yang kembali melaju meninggalkan stasiun.

"Ya, benar."

Genggaman itu tidak terlepas. Hanya saja tembok pertahanan Taichi yang semakin terkikis mendengarnya.

*

Musim panas tahun ini datang lebih cepat.

Butir keringat berjatuhan dari tepian pelipis. Wangi permen manis memasuki indera bersama dengan bunyi es batu yang saling bergesekan. Dari kejauhan tabuhan drum dan lengkingan terompet terdengar bersemangat. Malam yang membawa gelap datang sempurna, tetapi pada satu titik terdapat cahaya pendar dan keramaian yang dinanti menyambut musim panas.

"Festival? Yang benar saja." Taichi heran, tentu saja. Dia bukan lelaki yang menikmati waktu musim panas dengan berlibur atau sekedar keluar pergi ke festival. Dia tidak menyukai keramaian meski tidak masalah berada di tengah banyak orang. Dia terbiasa berkutat dengan berbagai les, berlatih di ruang klub karuta, menantang Hiroshi-san di klub Shiranami, atau sesekali pergi ke ruang belajar.

"Ayolah, Mashima. Kau tidak tahu cara menikmati hidup ya?"

Bukan tanpa alasan Taichi merasa heran. Musim panas ini, klub karuta Mizusawa berhasil melaju ke kejuaraan nasional. Prestasi besar bahkan untuk klub yang baru satu tahun terbentuk. Sepanjang liburan musim panas bersitatap dengan karuta hingga muak dan lelah. Turnamen terhitung pada satu minggu lagi, dan seperti hujan di tengah hari, segala keanehannya, Nishida dan Komano menjemput Taichi malam-malam. Hanya untuk satu alasan, festival musim panas.

"Kau tahu kita tidak punya waktu untuk main-main. Turnamen di depan mata." Taichi memperingati meski kakinya tetap berjalan di belakang kedua rekannya itu. Dia adalah ketua tim, tanggung jawab kemenangan adalah prioritasnya.

"Yakin sekali. Kau tahu kita perlu sedikit hiburan sebelum bertanding."

Taichi tahu betul itu. Jika saja dia bisa berteriak sesuka hatinya, dia sudah muak dengan kartu-kartu itu. Tetapi entahlah, passion, cinta, yang membawanya kembali duduk di atas tatami memperebutkan satu demi satu kartu. Mereka tidak bermain-main, perwakilan Tokyo bukanlah sembarang nama.

"Tsukuba dan Hanano tidak bisa ikut. Mereka mengikuti pelatihan khusus bersama Tsuboguchi dari Perkumpulan Shiranami." Komano berkata tanpa melepaskan pandangannya dari ponsel. Taichi dapat melihat senyum samar lelaki berkacamata itu sedang berbalas pesan dengan si junior perempuan. "Hanano terlihat kesal. Dia ingin melihat Mashima memakai yukata."

Kekehan kecil lepas dari si lelaki dengan rambut sewarna coklat kopi. Taichi tidak memakai yukata. Salahkan Nishida dan Komano yang menjemputnya tanpa kabar. "Jadi, hanya kita bertiga?"

"Kau pikir aku rela menghabiskan malam festival hanya dengan lelaki seperti kalian?" Nishida membantah cepat. Sekali lihat Taichi langsung tahu, lelaki itu berdebar tak sabar ingin melihat Kanade dengan balutan kimononya. Gadis pemilik toko pakaian tradisional itu tentu tak akan melewatkan momen ini. "Akan kuajarkan kau cara menghabiskan malam musim panas dengan benar."

Tapi untuk apa? Chihaya tentu tidak akan datang. Dia tidak akan melewatkan latihan karutanya. Mungkin kala kiamat datang nanti di tengah pertandingan Queen, Chihaya akan tetap duduk tenang di tatami dan hanya menganggap angin lalu.

"Chihaya tidak akan pergi ke festival." tawa pelan tercipta dari Taichi. Teringat pada sosoknya yang entah ada dimana dia sekarang. "Dia akan duduk di atas tatami sambil berlatih ayunan. Atau menonton video pertandingan Queen dan Meijin."

Dia tahu sekali.

"Ini mungkin gila, Mashima. Tapi si gila karuta itu yang meminta kami menjemputmu."

Kerutan di dahi Taichi muncul. Sulit percaya, tetapi hatinya terasa hangat ingin percaya Susah payah dia menahan diri untuk tidak menarik senyum salah tingkah. Cukup sejuknya angin malam yang mampu menggetarkan rambut-rambut pada kulitnya, tidak dengan tingkah gadis itu juga. Apa ini? Seharusnya Taichi tidak sesenang ini. Ini hal wajar mengingat dia adalah ketua klub karuta Mizusawa.

Hanya saja jika Chihaya yang mengajaknya, seolah gadis itu selalu mengingatnya.

"Apa boleh buat." jika dia yang meminta. Satu dua hembus angin menggelitik wajahnya, melonggarkan beban di hatinya dengan rasa sukacita yang aneh. Anehnya lagi, karena Taichi makin mempercepat langkahnya. Tak ingin membuatnya menunggu lama.

Cukup dia saja yang menunggu. Tidak dengan gadis itu.

Ramai. Terang. Hangat. Tiga kata yang menggambarkan pemandangan di depan Taichi saat ini. Tumpah ruah dari berbagai kalangan menikmati malam. Bising anak kecil yang berlomba menangkap ikan, aroma takoyaki yang matang, permen apel yang meleleh manis di mulut, ah iya pantas mereka bersuka cita. Satu dua gadis yang mengenakan yukata meliriknya, mengatakan bagaimana bisa Taichi begitu bersinar di tengah gelap malam.

Tidak, Taichi rasa mereka salah.

Jika ada yang lebih bersinar dalam gelap malam musim panas, maka itu adalah Chihaya.

Langkah Taichi terhenti ketika netranya menangkap radar gadis itu. Di tengah keramaian, gadis itu seolah lampu terang yang membuat Taichi tidak pernah kesulitan menemukannya. Tepat seratus meter dihadapannya, Chihaya ada di sana. Berbalut yukata yang sewarna dengan daun momiji musim gugur. Surai yang tersanggul rapi memamerkan leher jenjangnya. Satu dua helai rambut jatuh di tepi telinga, bersinggungan dengan bulu mata lembut yang menaungi netra almond miliknya.

Dalam bentuk apapun, gadis itu selalu bisa membuat Taichi berdebar dengan cara yang menyenangkan. Menyentuh sudut hatinya yang berdebu, meniupkan sihir yang memabukkan. Magis. Malam musim panas seolah hanya menjadi panggung milik Chihaya.

"Ta. I. Chi."

Sang adam belum berucap apapun, masih terdiam membatu di tempatnya namun Chihaya telah menemukannya. Netra mereka beradu, langkah Chihaya bergerak ke arahnya. Tak peduli dengan Kanade yang sedari tadi mengomelinya mengenai tata cara memakai yukata. Selangkah demi selangkah, semakin dekat hingga Chihaya berhenti tepat di depannya. Samar, Taichi dapat mencium aroma manis dari gula kapas yang pasti sudah dilahap habis olehnya. Jejak gula juga tertinggal di tepi bibirnya.

"Kau datang." Air wajah yang secerah terik matahari. Senyum lebar seolah seluruh bahagia terkumpul pada dirinya. Bola matanya melebar kala ia berhadapan dengan Taichi, seolah telah menanti sejak lama akan eksistensi lelaki itu.

"Ya. Seperti yang kau lihat." Mashima Taichi menempati peringkat nomor 1 di sekolah. Dia punya kemampuan mengingat yang luar biasa. Pembendaharaan katanya banyak. Tetapi lidahnya kelu ketika bersitatap dengan Chihaya. Selalu.

Taichi baru sedikit bernafas lega ketika Nishida dan Komano bergabung dengan Chihaya dan Kanade. Tertawa bersama, membicarakan sesuatu yang entah apakah itu penting atau tidak. Tapi hal itu cukup memberi ruang pada Taichi untuk menetralkan detak jantungnya kembali. Chihaya, bahkan hanya dengan kehadirannya memberi efek yang besar bagi lelaki itu.

Malam festival akan panjang. Mereka mencoba segala hal yang ada disana. Taichi tidak bisa membohongi dirinya sendiri jika malam ini dia berbahagia. Suka cita melihat wajah cerah Chihaya. Baginya selama ini, musim panas hanyalah sebuah musim yang menjadi siklus tahunan. Tidak ada yang istimewa. Karena dia tidak pernah tahu, menghabiskan waktu bersama seseorang yang kau inginkan tentu membuatnya berbeda.

Puncak musim panas tahun ini ditutup oleh kembang api. Mereka berlima duduk di lapangan luas bernaung langit malam yang cerah. Tikar yang tidak cukup memuat banyak tempat, Nishida yang membawanya dan dia tidak bisa memperkirakan orang yang datang. Punggung bertemu punggung, puluhan pasang mata yang menengadah menatap langit, menantikan bunga api yang akan pecah di langit.

Taichi bersisian dengan Chihaya. Dapat dilihatnya peluh keringat yang satu persatu mengalir dari pelipis gadis itu, rupanya dia mulai kelelahan. Meski begitu, auranya menunjukan kalau dia siap berlari lebih jauh lagi. Taichi gugup ketika bahu mereka tidak sengaja bersentuhan, terlebih ketika kelingking mereka yang menapak pada rumput hampir bersentuhan.

1 cm.

Sedekat itu untuk meraih telapak tangan Chihaya. Tapi lelaki itu tidak pernah sanggup melakukannya. Bahkan seringkali, dia merasa begitu jauh dari Chihaya.

"Chihaya, apa yang kau pikirkan?" Taichi berbisik. "Kau melewatkan latihan karuta. Seperti bukan dirimu saja."

Bisikan Taichi tetap terdengar jelas di telinga Chihaya, meski Nishida dan Komano sedang sibuk berdebat entah apa dan Kanade yang sibuk melerai mereka. Atau meski keramaian di lapangan membuncah penuh bising. Suara Taichi begitu jelas, gelombang suara yang tenang dan selalu konsisten.

Chihaya menatapnya, sebelum kembali memalingkan wajah menghadap langit. "Aku memang ingin berlatih," Tangan Chihaya terangkat, seolah ingin meraih langit di atas sana. Memainkan jemarinya yang ramping dengan kuku yang tidak pernah tajam maupun terlalu panjang. "Tapi aku tidak bisa melewatkan kesempatan ini, musim panas ini. Karena kamu, Taichi."

Seolah ada yang menyentil hatinya, menciptakan gema di dalam diri Taichi. Barusan Chihaya mengatakan... karena dirinya.

Tentu saja. Ini sangat istimewa.

Karena selama ini, yang disebutnya hanyalah Arata.

"Kau ingat, dulu kita pernah memenangkan kejuaraan daerah bersama Arata?" Gadis itu menyampirkan anak rambutnya ke telinga. Memperlihatkan dengan jelas figur wajahnya dari samping yang tampak menawan. "Aku telah memaksamu ikut... dan berjanji kalau aku akan menemanimu ke festival ketika menang. Sayangnya saat itu Arata sudah pindah jadi..."

Satu kembang api pecah di antara gelap langit. Menebar warna-warna layaknya bunga mekar. Menimbulkan bising yang indah bersama dengan pekikan sukacita dari siapapun yang melihatnya. Disusul kembang api yang lain, berlomba-lomba memamerkan keindahannya. Menggagahi langit yang berada di puncak musim panas, seolah menyambut para dewi yang berpesta disana.

Bagi Taichi, bunga api itu tak lebih indah dari Chihaya Ayase malam ini. Siapapun yang melihatnya akan terpana dengan kecantikannya, tapi Taichi sudah jauh lebih dari itu. Gadis yang mampu membuatnya merasa hangat dan berdebar dengan manis. Membuatnya ingin berada di sisinya lebih dari siapapun.

Dia tersesat di dalamnya. Tak menemukan jalan pulang, tak ingin bangun dari mimpinya.

"Aku berharap Arata ada disini dan melihatnya juga."

Meski dia tahu, berharap Chihaya adalah miliknya, hanyalah sebuah mimpi tengah hari.

Kalimat gadis itu cukup membuat sang adam sedikit merasa tercekik. Biar bagaimanapun, Arata selalu memiliki tempat istimewa. Tak pernah lepas dari konversasi Chihaya. Dimanapun, kapanpun. Selalu berharap lelaki yang puluhan mil jauhnya itu ada di antara mereka. Lupa pada kenyataan sosok yang ada di sampingnya.

Taichi Mashima yang selalu ada namun tak bisa menggapainya.

Masih hanyut dalam sukacita pesta kembang api, Chihaya terpana menatap langit. Tidak menyadari sosok Taichi yang tiba-tiba mendekat ke arahnya, mencondongkan tubuhnya ke arah gadis itu. Tatap mata yang mati-matian menyembunyikan segala perasaan.

"Apa yang kau pikirkan, Chihaya?" bisiknya lirih.

Taichi meninggalkan jejak berupa sentilan pelan di dahi Chihaya hingga gadis itu membulatkan mata. Lalu menarik diri dengan segala perasaan yang berkecamuk di dada. Lagi dan lagi, menahan semua gelombang yang bertalian rumit dan membara demi bahagianya gadis itu.

*

Hal yang pertama di lihat Taichi ketika kelopak matanya terbuka adalah langit-langit putih yang tidak dikenalinya. Disusul dengan aroma obat yang sarat dengan rumah sakit, pendingin ruangan yang menyejukkan kulit-kulitnya, dan rasa lelah yang entah dari mana datangnya. Satu lagi, deru nafas seseorang yang begitu tenang tak jauh darinya.

Rumah sakit. IGD. Turnamen individu karuta... tunggu apa yang dia lakukan disini?

Tirai IGD tersibak sedikit, menampilkan Kanade yang muncul dari balik sana. "Ketua, kau sudah sadar." katanya pelan. Dengan rapi dan tenang, dia menutup kembali tirainya. Kanade memang selalu rapi. "Setelah memenangkan kejuaraan kelas B, kau pingsan di depan tangga menuju lantai 2."

Ah ya, Taichi ingat. Entah bagaimana kelelahan yang selama ini menumpuk di bahunya memuncak dan pecah begitu saja. Setelah menyelesaikan pertandingan, tanpa sempat mengambil nafas, dia meraih tangan Chihaya. Hendak membawa ke lantai 2 kareta Wataya Arata dan Wakamiya Shinobu akan bertanding.

"Chihaya panik sekali saat kau tiba-tiba jatuh..."

Suara nafas yang tenang dan dalam.

Sedikit memiringkan kepala, dia mendapati seorang gadis yang dia kenal dengan sangat baik bagaimanapun keadaannya. Chihaya terduduk di sebelah kasur tempat Taichi berbaring, dengan kepala yang berada di atas kasur ditopang oleh telapak tangannya. Terlihat damai, bahunya naik turun bersamaan dengan setiap nafas yang ditariknya.

Pasti sakit jika tertidur di posisi seperti itu. Taichi tidak ingin gadis itu mengalami pegal leher. Dia bersedia menggantikan tempatnya untuk itu.

Tunggu. Final Kelas A... Wataya Arata dan Wakamiya Shinobu? "Chihaya... apa yang kau lakukan disini?" Taichi memejamkan mata. Salah satu tangannya mengacak-acak puncak kepala. Dia tidak memahami Chihaya sama sekali. Gadis yang dinamis, badai angin yang tak tertebak arah lajunya.

Padahal siapapun tahu, betapa Chihaya ingin melihat Arata-nya bertanding.

"Chihaya sangat mengkhawatirkanmu, Ketua." Satu hal yang baru saja Taichi dengar tidak bisa dia percaya. Seperti kembang api yang berpedar sesaat, angan yang akan hilang tertiup angin. Terlalu indah untuk menjadi kenyataan. "kubilang bahwa aku akan menjagamu untuknya, tetapi dia tetap ada disini."

Satu tetes hujan mencium tanah, disusul oleh ratusan rintik lain. Menimbulkan bunyi yang candu menenangkan meski langit seolah bermuram durja. Memasuki awal musim gugur, hujan yang turun menjelang malam, dan Chihaya yang tertidur di depannya. Perasaan Taichi layaknya bunga-bunga liar yang tumbuh tanpa sebab. Dia meraih jaket yang tersampir di bangku yang tak jauh dari nya, melindungi tubuh bagian belakang Chihaya karena tidak ingin sedikitpun dingin menyentuhnya.

Taichi ingin melindungi Chihaya, sebanyak yang ia bisa.

"Pasti sulit ya, Ketua." ucap Kanade dengan senyum penuh arti. Sudah sejak lama dia memahami benang tak kasat mata yang mengikat antara Taichi dan Chihaya. Benang itu terlihat sangat rapuh, samar, tetapi kuat di saat yang bersamaan. Tidak ada yang menyadari, tidak ada yang mempedulikan, sebab Taichi sendiri yang berusaha menyembunyikan semuanya. Seolah tidak terjadi apa-apa. Dan memang tidak terjadi apapun. "Menyembunyikan segalanya selama ini."

"Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan."

"Mata berbicara lebih banyak daripada bibir bersua." Kanade berkata yakin. Di mata gadis itu, Mashima Taichi hanya seorang pembohong yang buruk. "kau melihatnya seperti kau melihat seisi dunia ada di dirinya."

Taichi tidak membalas. Lagi-lagi dia hanya membisu, menatap Chihaya yang terlelap penuh perasaan yang berusaha disembunyikan. Seperti kembang api yang dipaksa padam tanpa bercahaya. Mungkin Kanade benar, mata adalah tempat bagaimana perasaannya berkata jujur.

Tapi untuk apa? Chihaya tidak akan pernah tahu.

"Akan kutinggalkan kalian berdua di sini."

Taichi masih tidak membalas bahkan ketika Kanade telah meninggalkannya berdua dengan Chihaya yang masih terlelap. Lidahnya kelu, matanya sendu menatap gadis yang ada di depannya saat ini. Betapa Taichi dibuat resah dan kalut karenanya. Perasaan adalah hal yang sangat abstrak, tak dapat diterka dalamnya, tak dapat ditebak berapa besarnya. Sejak dulu dia berusaha menahannya, menguburnya dalam-dalam agar tidak satupun kuncupnya berbunga.

Kini, bunga hatinya telah memaksa tumbuh. Mekar dengan cantik meski tersembunyi dibalik kabut yang mencekik. Tak berani menunjukan dirinya, tak ingin semakin terluka. Taichi pula tak ingin menyentuhnya, durinya akan menyakiti.

Suara hujan di luar terdengar sangat lambat, selayaknya nada lagu yang menyayat hati. Jemari Taichi terasa hangat, dia mengulurkan tangan ke atas kepala Chihaya. Surai panjang yang selalu terlihat lembut. Ragu, tangannya masih tergantung di udara. Taichi selalu penasaran bagaimana rasanya mengelus surai itu atau bagaimana wanginya kala ujung bibirnya menempel di puncak kepala. Cepat-cepat dia mengenyahkan pikiran itu. Jika terlalu jauh, dia semakin tidak terkendali.

Jika terlalu jauh, dia akan semakin jatuh cinta.

"Chihaya.."

Seperti mantra yang berbisik, Chihaya membuka mata ketika Taichi menyebut namanya. Selalu. Seolah gelombang suara Taichi datang menembus hatinya, aliran yang memaksanya memberi atensi. Debar di dada Taichi begitu berisik, sulit meredamnya kala dia bersitatap langsung dengan netra Chihaya.

"TAICHI!" Gadis itu terbangun dengan cepat. Memeriksa dengan heboh setiap inci garis wajah sang adam. Memastikan dia tidak terluka sedikitpun. "Kau tak apa? Kau sudah sadar? Tidak ada yang sakit? Kau merasa mual?"

"A-aku tidak apa-apa, dasar kau ini!" Taichi menahan pergelangan tangan Chihaya sembari memalingkan wajahnya yang terasa hangat. Lelaki itu tidak sadar ujung telinganya memerah ketika wajahnya berada dalam jarak sedekat ini dengan Chihaya. "Arata dan Wakamiya sedang bertanding. Kenapa kau ada disini? Itu pertandingan dua orang yang penting-"

Netra Taichi melebar ketika dia mendapati mata Chihaya telah berkaca-kaca. Perlahan setetes air mata mengalir dari ujung mata, membasahi pipi. Taichi memegangi bahu gadis itu, menenangkan yang mulai terisak lebih keras. Tangis Chihaya menggema di kubik perawatan Taichi yang tidak seberapa luas, cukup untuk membuat dada lelaki itu ikut merasa sesak.

"Aku... aku... sangat khawatir. Taichi.. Kau jatuh di depanku... aku takut sekali..." Suara Chihaya memang tidak jelas, dia lebih banyak terisak daripada menjelaskan. Perasaan sesal menyusup dalam dada Taichi, kesal karena telah membuat gadis ini begitu khawatir. "Dan kau... telah mejadi kelas A. Selamat, Taichi... aku senang..."

Hangat. Rasanya hangat. Seluruh kulit Taichi seolah berbalut selimut tebal di tengah musim dingin. Betapa perkataan Chihaya yang sanggup membuat hatinya diliputi perasaan sehangat matahari musim panas. Dapat dirasakannya puluhan kupu-kupu aneka warna yang menari, menggelitik perutnya. Membawa dia ke dalam kata bahagia.

"Tapi kau telah melewatkan pertandingan penting, Chihaya. Ayo cepat kita kembali."

"Kau pikir aku bisa tenang menonton pertandingan sementara kau-"

Pertahanan Taichi runtuh.

Chihaya tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Taichi terlebih dahulu menariknya dalam dekap. Melingkarkan tangannya di pinggang Chihaya sedangkan kepalanya berada pada bahu gadis itu seolah disanalah tempat istirahat paling ia rindukan di dunia. Menghapus jarak diantara mereka dengan sikap posesifnya. Menumpahkan segala perasaan yang bergemuruh di dalam dada. Suara-suara hati yang menjerit menyatakan cinta. Betapa dia mencintai Chihaya Ayase.

Bagaimanapun perasaan itu bersembunyi, sekuat apapun Taichi menguburnya dalam-dalam, cinta tidak bisa berbohong.

"Ta-Taichi..."

"Sebentar saja. Tolong, sebentar saja."

Bisikannya terdengar lirih di daun telinga Chihaya yang sangat peka. Gejolak hangat yang aneh itu menjalar di perutnya. Chihaya dapat merasakan aliran darah terasa lebih cepat, membuat detak jantungnya berdebar kencang. Sedangkan Taichi terus merengkuhnya erat, gadis itu hangat. Memberi kehangatan padanya. Detak yang beradu, entah milik siapa yang menggema lebih besar.

Rasa sesak dari cinta yang pecah layaknya kembang api di malam gelap.

Mereka terdiam untuk beberapa saat saling mendengar detak masing-masing. Taichi mendengar Chihaya yang masih menangis di tengah keterkejutannya. Taichi tidak bisa berpikir jernih, sensasi yang menggelitik. Dia dapat merasakan bagaimana deru nafas hangat Chihaya di tengkuknya. Bagaimana hangatnya kala Chihaya membalas pelukannya. Egois. Taichi ingin menjadi satu-satunya alasan gadis itu bahagia.

"Apa yang kau pikirkan, Taichi?"

Perasaan yang terpaksa bersembunyi saat sedang bermekaran. Taichi tak menyangka, dia mencintai Chihaya lebih dari yang dia kira. Seperti dasar laut yang tidak bisa diukur kedalamannya. Namun, semua orang mengetahuinya, semua orang dapat membaca betapa dia mencintai Chihaya, sekuat apapun Taichi menyangkalnya dibalik kata persahabatan. Pelukan itu adalah bahasa cinta yang terlalu takut ia katakan. Mengatakan segalanya yang bahkan melebihi kata-kata cinta itu sendiri.

Biarlah, biarlah esok ataupun lusa nanti Chihaya membencinya. Mungkin butuh sepuluh tahun Chihaya tahu betapa dalam perasaan Taichi yang tak bisa digambarkan dalam kata. Rasa yang selalu sama, tak padam dimakan waktu, tak sirna disakiti, tak mati dalam gelap. Nama gadis yang terus menggema jauh di dalam sana.

Karena cinta tetaplah cinta.

"Aku memikirkanmu. Selalu."












Could you ever love me back?











》· · ──────·本·──────· ·《


haloooo!

akhirnya aku bisa publish ini terharuu. aku nonton chihayafuru terus greget sendiri karena aaa Chihaya se ngga peka itu astaga kasian Taichi. aku rasanya pengen mendukung Taichi dengan segenap kemampuanku makanya oneshot ini lahir DEMI MEREKA BERSATU HAHAHAHAAHAHAAHHAHAAH

aku belum lanjut baca manganya tp katanya happy end gasi??

Regards,

Tobyosan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top