Chapter 8

study.
noun.
the devotion of time and attention to acquiring knowledge on an academic subject, especially by means of books.

• Chapter 8 •
Study

"Ntar temenin gue ke perpus ya abis makan," kata Berlian. "Gue mau nyari buku buat tugas Psikologi Lintas Budaya."

Helia menggeleng cepat. "Gak mau sebelum lo ceritain ke gue gimana kronologisnya lo bisa berangkat bareng sama Daniel tadi pagi!"

Ini sudah jam 12 siang, dan Helia masih terus saja membahasnya. Bahkan cewek yang menggunakan skirt selutut itu tak menunjukan tanda-tanda bahwa ia kehilangan perhatiannya dan ketertarikannya atau sekedar berhenti bertanya.

Keduanya melangkah menuju kantin yang berada di lantai dua dengan Helia yang terus menerus menyenggol lengan Berlian di sepanjang perjalanan.

Berlian berdecak sebal. "Nggak mau ah!"

"I-ih! Berlian mah!"

"I-ih! Helia mah!" balas Berlian mengikuti nada bicara Helia.

"Pelit banget!"

Berlian berhenti melangkah di salah satu meja yang kosong di pojok kantin dan meletakkan totebagnya di atas meja lalu duduk. Helia pun mengikuti gerak yang sama dan duduk di hadapan Berlian. Ia menatap Berlian tajam dan mulut yang mengerucut.

"Jadi, lo nggak mau cerita nih?!" tuntut Helia.

"Bukannya gitu, Hel." Berlian meletakkan kedua tangannya di atas meja dan dan menghela napas. "Gue takut aja."

"Takut kenapa?"

"Takut, kalo misalkan gue udah kesenengan atau gini-gitu, tau-taunya dia nggak ada niatan buat sampe seserius itu dan cuman nganggep gue temen biasa. Takut guenya malah jadi terlalu berharap."

Helia bangkit dari tempat duduknya dan beralih duduk di sebelah Berlian. Ia memiringkan tubuhnya agar menghadap Berlian dan menatapnya dalam-dalam. Entah kenapa raut wajah Berlian malah terlihat seperti sedang patah hati alih-alih kesenangan karena sedang dalam masa pendekatan.

"Emangnya kenapa lo ngomong gitu?" tanya Helia, menurunkan nada bicaranya. "Perasaan Daniel gak nunjukin tanda-tanda kalo dia bakalan php-in lo."

"Gue masih ragu aja sama sifat dia yang suka berubah-ubah."

Alis kanan Helia terangkat begitu mendengarnya. "Maksud lo berubah-ubah gimana?" tanya Helia. "Bukannya lo kenal sama Daniel udah dari lama?"

Kedua mata Berlian langsung terbuka lebar mendengarnya. Jantungnya berpacu dengan cepat dan kakinya bergetar hebat di bawah sana. Tiba-tiba saja tubuhnya terasa seperti menciut dan napasnya tak beraturan.

Melihat perubahan ekspresi pada sahabatnya itu, Helia cepat-cepat memegang pundak Berlian.

"Lo gapapa kan, Ber?" tanya Helia, sedikit panik.

Tatapan Berlian yang kosong menatap lurus-lurus ke depan, bergeming tak merespon pertanyaan Helia.

Sekali lagi, Helia menepuk pundak Berlian.

Seperti orang yang baru saja terbangun dari mimpi buruknya, kedua mata Berlian mengerjap selama beberapa kali. Berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya yang menelusup masuk melalui jendela yang merata di seluruh kantin.

"Tarik napas coba," titah Helia, seraya mengusap pundak Berlian perlahan.

Tanpa ragu Berlian mengikuti instruksi Helia dan menarik napasnya perlahan-lahan lalu ia menghembuskannya panjang. Ia melakukannya selama beberapa kali.

"Lo tunggu sini deh gue beliin minum dulu," kata Helia, bangkit dari posisinya dan segera menuju salah satu toko yang berjajar di lantai dua.

Sementara Berlian, masih duduk di tempatnya dengan kedua tangan yang mengepal di atas meja. Ia menekannya keras-keras tanpa peduli bahwa kukunya yang panjang itu tengah menusuk telapak tangannya hingga berdarah.

Dia sudah sampai sejauh ini, namun kala tersadar batinnya pun mulai meragu.

Ia ingin mundur, tapi tak menemukan jalan pulang.

Jadi, apa yang harus Berlian lakukan sekarang?

• • • • •

Mata Daniel hampir terpejam selagi tangannya sibuk memilah buku di antara serentetan daftar-daftar buku yang membuat kepalanya pening setengah mati bahkan hanya dengan sekedar membaca judulnya saja.

Lagian, kok bisa-bisanya dia ada di perpustakaan sekarang?

Daniel mengusap kasar wajahnya dan mendongak menatap langit-langit lorong perpustakaan yang redup dan menghela napasnya. Ini sudah empat jam sejak kali pertama ia memasuki perpustakaan.

Dua jam pertama, Daniel gunakan untuk bermain games dengan earphone yang terpasang di telinganya. Menjaga baik-baik kesan hening milik perpustakaan.

Lalu, saat ponselnya kehabisan baterai, Daniel benar-benar bingung hendak melakukan apa. Dan akhirnya selagi ia mengisi power pada ponselnya, Daniel mengutak-atik salah satu komputer yang berada di perpustakaan. Sialnya, semua website yang bisa membangkitkan kesenangannya seperti YouTube diblokir oleh pihak kampusnya.

Pasti itu dilakukan agar mahasiswa tidak seenaknya membuka YouTube menggunakan komputer Universitas. Medit banget, padahal ini kampus swasta dan bayarannya mahal.

Daniel tiba-tiba saja merasa dirugikan. Tapi, dia mengingat pengarahannya saat awal-awal menjadi kepala himpunan beberapa waktu lalu, bahwa semua komputer yang ada di kampusnya bebas digunakan kecuali yang berada di perpustakaan.

Malas keluar perpustakaan dan berhadapan dengan panasnya matahari di luar gedung, Daniel memutuskan untuk tinggal dan mencari-cari artikel yang setidaknya menyenangkan untuk dibaca. Sampai, ia menemukan artikel yang menarik perhatiannya dan membuat sel-sel otaknya yang sudah putus kembali tersambung saat kilasan memori di kepalanya mulai terputar satu persatu dan menyusun ke sebuah alur cerita.

Artikel itu juga lah yang membuat Daniel sibuk mencari-cari buku di sini demi memuaskan hasrat dalam dirinya dan menghilangkan kejanggalan yang masih penuh misteri dan tanda tanya di kepalanya.

"Wah anjing, baca judul aja ngantuk," dumal Daniel, sambil menggelengkan kepalanya keras-keras demi mendapatkan kembali kesadarannya.

"Permisi, Kak. Nyari apa?"

Daniel tersentak mundur dari tempatnya saat suara perempuan yang entah kenapa terdengar seperti anak kecil di telinganya itu bergema pelan dan menarik perhatiannya. Ia menoleh dan mendapati gadis dengan tinggi tak mencapai bahunya mengenakan almamater kampus tengah menatap ke arahnya.

Sudah dapat ditebak. Siapa juga yang jam segini di dalam perpustakaan dengan rajinnya mengenakan almamater dan bertanya kepada pengunjung yang tengah mencari buku perihal apa yang tengah dicarinya?

Dia pasti salah satu mahasiswi yang menjalankan tugas sampingan dari dosen untuk menjaga perpustakaan demi tugas.

"Buku psikologi kepribadian," kata Daniel. "Di komputer katanya di rak sini, tapi gue gak nemu-nemu."

Entah kenapa Daniel dapat melihat dengan jelas pipi gadis itu yang memerah kala Daniel bicara dengannya biarpun lampu di lorong redup.

"Ah, salah rak, Kak. Kakak nyari sampe jaman batu balik lagi juga nggak bakalan ketemu."

Alis Daniel terangkat.

Maksudnya apaan nih? Dia bego atau bagaimana?

Jadi, sejak tadi Daniel mencari buku di tempat yang salah?

"Gue baca di sini kok." Entah kenapa Daniel tidak terima.

Cewek itu tersenyum kuda. "Satu rak kok bener, cuman jalur Kakak salah."

Daniel ingin marah-marah, tapi ini perpustakaan.

Ia mengatupkan rahang dan memejamkan mata sesaat. Ucapan cewek itu dapat Daniel pahami dengan jelas apa maksudnya. Dia salah jalur. Seharusnya Daniel masuk ke lorong sebelah kanannya dan mencari di sebelah kiri. Bukan masuk di lorong sebelah kiri dan mencari di sebelah kanan.

"Oke," kata Daniel, melirik name tag yang tertera pada almamater cewek berambut sebahu itu. "Makasih, Tiara."

Lagi, pipi cewek bernama Tiara itu bersemu merah. Hanya saja kali ini lebih merah dari yang sebelumnya karena Daniel baru saja menyebut namanya.

Baru saja Tiara ingin berkata lebih lanjut dan menanyakan bagaimana Daniel bisa mengetahui namanya padahal dia tidak pernah bilang, tapi Daniel sudah melesat terlebih dahulu. Melewatinya begitu saja dan berpindah jalur deretan rak di sebelah kanannya.

Saking lelahnya, Daniel jadi ingin cepat pulang.

Tapi, dia ingat kalau masih ada urusannya yang belum selesai.

Mata Daniel langsung menelaah dengan seksama ke barisan-barisan buku yang berjejer di hadapannya. Sesekali bahkan matanya menyipit kala membaca judul atau nama penulis yang dikiranya lumayan panjang dan cukup aneh kala disebutkan.

Tangannya meraih beberapa judul buku dan membacanya secara kilat.

Mulai dari "Theories of Personality" karya Jess Feist yang bukunya sudah kusam, lalu keenam edisi dari "Personality: Theory and Research" milik Lawrence Pervin, bahkan sampai "Psikologi Kepribadian" milik Alwisol. Semuanya Daniel baca secara garis besarnya, namun ia tak kunjung menemukan apa yang dicari.

Daniel berdecak sebal. Tiba-tiba saja merasa menyesal karena tidak memperhatikan saat berada di kelas waktu semester awal.

Lagi pula mana mungkin Daniel bisa memperhatikan saat masuk kuliah saja merupakan paksaan dari orang tuanya. Datang ke kampus saja sudah syukur. Bagaimana bisa mengharapkannya untuk belajar dengan serius di kelas saat apa yang ada di kepalanya hanya games, games, dan games.

Ingin sekali Daniel menghantam kepalanya ke arah rak buku yang besar ini.

Tapi alih-alih melakukan hal tersebut, tangan Daniel malah bergerak kembali untuk meraih buku-buku lainnya di sana.

Mulai dari "Psikologi Kepribadian" karya Lynn Wilcox, lalu beralih ke "Seni Membaca Kepribadian Orang" milik Gregory Young, sampai "Psikologi Kesehatan Mental" yang ditulis oleh Siswanto, S.psi bla-bla-bla. Terlalu panjang titelnya sampai Daniel berhenti membaca nama si penulis.

Sedang asik berkutat dengan bacaannya, Daniel hampir saja dibuat mengumpat keras saat seseorang menepuk pundak dan mengagetkannya.

"Goblok!" tukas Daniel dengan suara berbisik. Matanya melotot.

Jovannus yang menjadi tersangka hanya tersenyum kuda dan mengangkat dua jarinya membentuk peace. Lalu tiba-tiba matanya beralih ke buku bacaan yang dipegang Daniel.

"Ngapain lo dimari?" tanya Jovannus.

Daniel memutar bola matanya. "Lu buta?"

Jovannus menjambak rambut depannya dramatis.

"Maksud Jojo, Bapak Daniel ada apa tumben-tumbenan membaca buku di perpustakaan seperti ini? Udah gitu baca buku pelajaran pula. Kesambet arwah Sky Castle apa gimana?"

Tiba-tiba saja kepala Daniel terasa pening.

Biarpun menyebalkan, benar juga kata Jovannus.

"Gue juga bingung, gue ngapain di sini." Daniel langsung meletakkan kembali bukunya ke dalam rak.

Jovannus menatapnya aneh. "Bukannya lu hari ini libur ya? Ngapain dah segala ke kampus, udah gitu sok-sok an baca buku lagi."

"Lu nanya gue, terus gue nanya siapa?"

"Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang di hamparan gurun yang luas."

"Mana ada, goblok."

Daniel langsung berbalik menuju ke arah ponselnya yang dicharger di antara rentetan komputer di bagian depan perpustakaan. Jovannus mengekorinya di belakang.

"Ngaku aja lu mau ketemu gue kan?"

Daniel hanya meliriknya sebentar.

"Yakan? Lo pasti rindu sama gue."

"Kapan sih lo mau berenti bikin gue jijik?" cibir Daniel.

"Masa iya sih lo jijik sama cowok ganteng kaya gue?"

"Yang bilang lo ganteng siapa?"

Sampai sekarang, itulah yang tidak Jovannus mengerti. Kenapa mulut Daniel selalu pedas saat berbicara, sampai-sampai ia sempat berpikir kalau Tante Helena mengidam cabai rawit selagi mengandung Daniel.

"Sakit loh, Mas. Sakit." Jovan menepuk-nepuk dadanya.

Sebenarnya, Daniel ingin melanjutkan perkataannya dan terus menghina Jovan. Tapi, ponselnya bergetar.

Berlian Wen
13:02    Gue gak jadi ke perpus deh, tiba-tiba pusing.

Cepat-cepat jemari Daniel bergerak menuliskan balasan di layar ponselnya.

Daniel Adijaya
13:02    Lo di mana? Ayok gue anter pulang.

Setelah mengetik, Daniel meraih kunci mobil dari saku celananya.

"Mau ke mana lo?" tanya Jovan.

"Mau jemput Tuan Puteri."

Alis Jovannus terangkat. "Tuan Puteri siapa? Kagak jadi ke Anomaly?"

"My girlfriend soon to be?" Daniel tertawa. "Lu sama Stevan duluan aja, ntar gue nyusul."

Sementara Daniel melangkah dan keluar dari perpustakaan, Jovannus masih berdiri di tempatnya. Mengerjapkan mata selama beberapa kali dan mencerna segala sesuatu yang baru saja ia dengar dari mulut Daniel barusan.

"Heh, Kudanil! Pacaran ama siapa lo hah!?"

Semua mata langsung tertuju pada Jovan. Dan ia langsung mengumpat dalam hati. Dia lupa kalau sedang di perpustakaan.

Langsung saja, Jovan kabur sebelum dikeroyok.

• • • • •

[n o t e s ! ! !]

100 comment for next part yaaaa!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top