Chapter 2
begin.
verb.
take the first step or steps in carrying out an action.
beginning.
noun.
the act of starting something.
• Chapter 2 •
The Beginning
Daniel keluar kelas bersamaan dengan Stevan yang mengintilinya di belakang karena ternyata Stevan tidak jadi kesiangan masuk kelas.
Wajah Daniel nampak lebih serius dari biasanya, sementara ponselnya kini berada di genggaman tangannya.
Stevan, yang sedaritadi hanya memerhatikan Daniel dari belakang kini beralih berjalan di depan Daniel dan menariknya agar tidak menabrak orang yang berlalu-lalang.
"Sibuk bener," dumal Stevan seperti biasa tapi terus saja berjalan.
Daniel mendongak sebentar ke arah tangan kirinya yang ditarik lalu kembali terpaku pada ponselnya di tangan kanan. "Gue gedek banget asli, lagi enak-enak main ML segala grup Kahim berisik bener."
"Kahim apaan?" tanya Stevan. "Gue taunya Kasim."
"Cita-cita elu itu mah jadi Kasim," celetuk Daniel.
Langsung saja Stevan melepaskan pegangannya pada Daniel. "Gue tinggal lu beneran."
Mendengarnya, Daniel buru-buru memegangi pergelangan tangan Stevan lagi agar tidak ditinggal seperti orang bodoh yang berjalan asal-asalan dengan ponsel di tangannya. Selama kuliah, bisa dikatakan Stevan dan Jovan adalah penyelamat bagi Daniel. Mereka selalu membimbing jalan Daniel agar tidak kerap menubruk orang lewat selagi ia sibuk dengan ponselnya.
"Jangan," pinta Daniel, pura-pura kehilangan. Stevan hanya bisa memutar bola matanya.
Daniel memang begitu.
Plak!
Stevan tiba-tiba menepuk tangan Daniel yang kini menggenggam pergelangan tangannya—meminta untuk ditarik dan dibimbing.
"Turun tangga," ujar Stevan memperingati.
Sadar dengan peringatan Stevan, Daniel melirik ke bawah sebentar sembari mengikuti langkah sahabatnya itu, namun beberapa mahasiswa yang berlalu lalang kerap melihat kejadian tersebut dan menahan tawa masing-masing dengan menutupi mulut mereka atau bahkan membuang muka dan berlari cepat-cepat. Sampai, ada salah satu mahasiswa yang menyeletuk.
"Cie, so sweet banget," ledeknya.
( pilih kanan atau kiri? )
Stevan hanya memutar bola matanya begitu mendengar ledekan itu. Sementara Daniel menghembuskan napasnya kasar dan berhenti melangkah. Yang mau tak mau membuat Stevan ikut berhenti turun dari tangga di empat anak tangga terbawah.
"Ngiri? Mau juga?" tantang Daniel. Sebenarnya, ia hendak lebih menantang soal itu tapi Daniel terlalu malas untuk melanjutkan. Akhirnya setelah berkata demikian, ia langsung melanjutkan langkahnya mendahului Stevan dan tiba di koridor utama lantai satu.
Seolah langsung saja melupakan kejadian barusan, Daniel meletakkan ponselnya kembali ke dalam saku dan berjalan santai menuju cafetaria di gedung kampusnya. Stevan juga tak bersuara lagi, terus saja berjalan bersebelahan dengan Daniel dan mencoba untuk tidak terlalu memperdulikan tatapan-tatapan yang mereka terima.
"Wahai sahabatku!"
Baik Daniel maupun Stevan langsung berhenti melangkah, tak jauh dari depan pintu salah satu ruangan dan menghembuskan napas seolah-olah segala beban hidup menimpa pundaknya.
Tak berselang lama, Jovannus sudah tiba dan berdiri menerobos di antara kedua pria itu.
"Tega kalian," papar Jovannus, namun kedua tangannya yang terbebas mengait tangan Daniel dan Stevan erat-erat.
Daniel bergerak tidak nyaman dan berusaha melepas pegangan Jovannus dari tangannya karena tiba-tiba teringat dengan ledekkan orang-orang tadi. Sekarang mau dibilang apa lagi mereka? Threesome? Bulu kuduk Daniel langsung berdiri membayangkannya.
"Ngapa si?" Jovannus melotot, nampak tidak terima dengan penolakkan Daniel, lalu ia menarik tangan keduanya untuk terus berjalan tanpa lagi perduli.
"Daniel ngeri dikira maho kali," ucap Stevan, pandangannya tetap lurus ke depan.
"Enggak!" kilah Daniel, cepat-cepat.
Jovannus mengalihkan pandangannya. "Siapa yang berani-beraninya ngomong begitu?!" pekiknya. "Jangan sebarin gosip gitu dong, ntar ketauan belangnya!"
Plak!
Daniel langsung saja menepuk belakang leher Jovannus dengan tangannya yang terbebas.
"Sakit!" tukas Jovannus tidak terima.
Mendapat kesempatan emas saat Jovannus sibuk memegangi lehernya yang terasa panas, Stevan cepat-cepat langsung berjalan mendahului kedua sahabatnya lalu diikuti dengan Daniel yang ingin menghindar dari Jovannus sebisanya.
• • • • •
Sebagai hukuman—entah untuk apa—Jovannus bertugas membawakan pesanan milik Daniel dan Stevan ke meja tempat mereka duduk seperti biasanya.
"Americano dingin untuk bapak Daniel yang terhormat." Jovan meletakkan kopi milik Daniel dan sedikit menunduk, kemudian beralih kepada Stevan. "Dan greentea latte untuk bapak Stevan yang perkasa."
Nampak biasa saja dengan celotehan Jovannus, kedua orang itu langsung saja menyeruput minumannya masing-masing. Begitu cuek seolah tak ada yang terjadi.
"Ya Tuhan, apa salah Jovannus yang ganteng ini?" Jovannus menengadah ke langit-langit cafetaria dengan dramatis. "Punya sahabat yang satu males ngomong, yang satu emang beku dari lahir. Kenapa cobaan begitu berat?"
"Lebay," tutur Daniel, meletakkan minumannya dan berusaha mengeluarkan ponselnya. Jovannus hanya mendengus dan mulai meminum miliknya.
"Sibuk sama hp mulu dari tadi," papar Stevan yang sejak tadi memerhatikan Daniel, tiba-tiba mengeluarkan isi pikirannya.
Jovannus menyerngit. "Emang dia main hp mulu kan kerjaannya."
"Bukan main," sanggah Stevan.
"Terus?"
Menghela napasnya untuk yang ke kesian kalinya, Daniel meletakkan ponselnya di atas meja dengan kesal. "Grup ketua himpunan berisik banget dari semalem."
Mendengarnya lantas membuat Jovannus tertawa kala mengingat sebuah fakta yang menarik. "Gue sampe lupa kalo lo itu ketua himpunan, anjir ya bapak yang terhormat ini luar biasa sekali."
Daniel meliriknya sebal. "Bacot lu ah," umpatnya.
"Jangan gitu," peringat Stevan. "Ntar lo kena hukuman."
Jovannus menggeser kursinya agar lebih dekat ke arah Stevan. "Kan gue punya bapak Stevan yang perkasa, yang bisa dengan mudahnya membalikkan segala omongan orang-orang."
Baru saja Stevan hendak menanggapi, tiba-tiba ia teringat akan sesuatu.
"Tadi gue ketemu sama cewek yang lo omongin."
Daniel tersedak minumannya sendiri dan beberapa kali menepuk dadanya. Sementara Jovannus kini mengernyitkan dahinya.
"Cewek yang mana?" tanya Jovannus.
"Yang lo kasih unjuk fotonya," kata Stevan.
"Oh.. Berlian?"
Stevan mengangkat kedua bahunya. "Gatau namanya."
"Gue juga tadi ketemu," ucap Daniel yang sudah selesai berurusan dengan minumannya.
Kini Jovannus menatap Daniel dan Stevan secara bergantian. "Ketemu di mana?" tanya Jovannus.
"Di parkiran," jawab Stevan. "Pas gue baru dateng."
Jovannus mengalihkan pandangannya ke arah Daniel. "Kalo lo di mana?"
"Di tangga, abis lo ngibrit duluan," ujar Daniel.
Entah kenapa tiba-tiba saja ekspresi Jovannus berubah serius, tidak seperti biasanya. Ia tengah memikirkan sesuatu dan berusaha menemukan kaitan antara satu dengan yang lainnya.
"Tadi," kata Jovannus, hendak memulai pembicaraan. "Pas gue di kelas, ada orang lagi nanyain gue."
"Nanyain apaan?" tanya Daniel.
"Nanya: ntar gue pulang bareng Berlian apa nggak."
"Lah?"
Baik Daniel maupun Stevan menatap dengan wajah bingung. Karena sejauh yang mereka ingat, Jovannus juga mengatakan kalau ia tidak mengenali cewek bernama Berlian itu. Tapi, kenapa orang-orang terus bertingkah seolah ia mengenalnya? Bagaimana bisa Jovannus tiba-tiba saja ditanyai perihal pulang bareng di saat ia bahkan tak mengenal gadis itu?
"Makanya. Aneh kan?"
Keduanya langsung mengangguk setuju.
"Gimana mau nganterin kalo kenal aja kagak," papar Jovannus yang merasa aneh. Ia benar-benar tak mengerti dengan situasi ini.
Daniel mendebrak meja dengan tidak terlalu keras saat tiba-tiba terlintas sesuatu dalam pikirannya.
"Ngapa?"
"Tadi pas ketemu itu kan kita tabrakkan, tapi dia juga kayak nggak kenal sama gue. Gimana ceritanya dah tuh?" tanya Daniel.
"Cuman ada satu cara," ujar Stevan.
Jovannus dan Daniel menoleh, menatapnya dalam-dalam. Menunggu sosok Stevan yang biasanya jarang bicara untuk mengutarakan pikiran dan rencananya.
"Apa?" pancing Jovannus yang tak dapat menahan rasa penasarannya yang jelas terlihat dari gelagatnya memajukan tubuhnya.
Stevan menghembuskan napasnya, bersiap-siap untuk mengucapkan sebuah kalimat yang lumayan panjang dari bibirnya. "Tanya ke orang-orang yang nanya ke lo dan yang bilang kalo tuh cewek deket sama kita. Tau begitu dari mana, dan kenapa mereka bisa tiba-tiba ngomong begitu."
Ide yang biasa saja sebenarnya, tapi setidaknya Stevan memikirkan sesuatu. Tidak seperti Daniel dan Jovannus yang pikirannya kerap kali tersumbat tisu basah.
• • • • •
[ n o t e ! ! ! ]
Kahim: Kepala Himpunan
Kasim: Orang kasim adalah laki-laki yang telah dikebiri. Mereka telah kehilangan kesuburannya karena buah zakarnya telah dibuang (dengan sengaja atau karena kecelakaan) atau karena sebab-sebab lain, tidak berfungsi.
Kepala orang kasim terdapat di Kekaisaran Bizantium, dan mereka menjabat sebagai salah satu pejabat utama di Konstantinopel di bawah kaisar.
Hai! Hai! Hai!
Kembali sama Melanie, penulis terkece tergawl terkewl deelel!
Gimana ceritanya sejauh ini? Seru gak?
Btw, gue udah pernah bilang di awal pas Prolog kan kalo misal udah gue tentuin karakternya... no pairing-pairingan, pantesan siapa ini itu?
Suka-suka kalian juga sih, pas baca cerita ini mau ngebayangin siapa jadi castnya di kepala kalian.
Tapi intinya kalo gue bayangin pas buat cerita itu ya cast yang udah gue taroin di sini. Dan belom tentu juga gue ngeship sama idol yang gue jadiin karakter di sini ya.
Jadi sekarang gue mau nanya.. mumpung belom gue tentuin.
Kira-kira.. siapa yang paling cocok buat dipairingin sama Jungkook dan Jin?
Komen di sini ya!
Thanks!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top