Part 7 - Burger with a Story

Pagi itu Eva sangat enggan berangkat sekolah mengingat kejadian di kelas kemarin dengan Clara. Namun dia juga tidak ingin menghindari sekolah karena dia malah bisa dijadikan bahan perbincangan teman-temannya. Dengan lemas dia pun bergegas ke sekolah.

Setibanya didepan kelas, Eva sangat kaget karena banyak anak yang bergerumbul disana. Eva pun berjalan di antara teman-temannya yang sedang menonton entah apa, dan dia pun sangat kaget saat melihat apa yang sedang terjadi. Clara dan Sarah saling menjambak rambut. Baju mereka sudah tidak karuan begitu juga dengan rambut mereka yang acak-acakan.

Eva pun berlari kearah temannya dan menarik Sarah dengan susah payah. Clara pun dihalau oleh teman kelasnya Alex.

"APA-APAAN INI!!!," suara menggelegar itu membuyarkan kerumunan, ternyata guru Biologi mereka Mr Maxwell. Clara dan Sarah berhenti menarik satu sama lain dan terdiam melihat Mr Maxwell.

"KALIAN BERDUA IKUT KE RUANG GURU!" kali ini Mr Maxwell berteriak lebih kencang.

Clara dan Sarah berjalan mengikuti Mr Maxwell ke ruang guru sedangkan teman kelasnya kembali ke meja mereka masing-masing sambil saling berbisik membicarakan pertengkaran hebat tadi.

Eva berniat mengikuti Sarah namun Mr Maxwell melarangnya dan meminta dia untuk mengawasi kelas. Dia pun memutuskan menanyakan langsung pada Sarah bukan ke teman-teman kelasnya sepulang sekolah.

Pada jam pelajaran kedua, Clara baru kembali ke kelas. Wajahnya penuh kemarahan saat dia memasuki kelas. Eva melihat kearahnya namun Clara sama sekali tidak menoleh kearah Eva.

Selepas jam pelajaran telah usai, Eva bergegas meninggalkan kelas dan menuju ke kelas Sarah.

"Apa yang terjadi? Apa kau tidak apa-apa?" tanya Eva saat mereka sudah sampai di kursi penonton lapangan basket yang saat itu sepi.

"Tentu saja aku baik-baik saja. Seharusnya aku yang bertanya padamu apa yang terjadi Eva? Aku mendengar dari Nicole bahwa kemarin Clara mengacak-acak bukumu bahkan sempat manamparmu. Hari ini aku hanya memberinya pelajaran," jelas Sarah sambil menatap Eva.

"Apa yang terjadi Eva? Ada apa antara kau dan Clara?" tanya Sarah lagi lebih tegas.

Eva pun perlahan menceritakan tentang bagaimana Evan tiba-tiba menolongnya, dan hari kedua dia masih memaksa untuk mengantar Eva dan bagaimana Eva terpaksa melarikan diri dari Evan, dan kemungkinan besar Clara mengetahui hal tersebut dari Claudia.

Sarah mendengarkan dengan seksama sebelum akhirnya bertanya, terdengar lebih seperti pertanyaan untuk dirinya sendiri, "Apa dia menyukaimu?"

"Apa kau bercanda? Tidak mungkin Sarah. Lebih masuk akal dia mendekatiku tujuannya adalah dirimu," kata Eva tidak percaya.

"Untuk seseorang seperti Evan, dia bisa saja langsung mendekatiku kalau memang dia tertarik padaku. That's really not the case," kata Sarah menerawang. "Apa kau menyukainya?"

"Ini apa lagi? Kenapa tiba-tiba menanyakan hal seperti itu?" tanya Eva bingung. "Kalaupun aku memang menyukainya, dan kenyataannya bukan seperti itu, aku lebih memilih menyadarkan diriku sendiri."

Sarah tertawa keras mendengar temannya itu. "Memangnya kenapa? Kau cantik, pintar, baik dan dibanding anak-anak di sana kau jauh lebih dewasa dari mereka," kata Sarah.

"Okay enough with that. Aku mengajakmu bicara tentang tadi tapi kenapa sekarang malah topiknya ke diriku," Eva pun beranjak dari duduknya dan mengajak temannya itu untuk pulang. Gadis itu mendengar temannya berkata pelan sambil tersenyum, "karena dari awal ini memang tentangmu."

Sesampainya di depan gerbang sekolah, saat Eva dan Sarah berjalan perlahan, Evan tiba-tiba menghadangnya.

"Aku perlu berbicara dengan temanmu," kata Evan menatap Sarah tajam.

Sarah tampak kebingungan namun kemudian dia menjawab, "Sure, she's all yours."

Eva bingung namun Evan tanpa permisi menarik tangannya dan memaksanya untuk ikut. Walaupun ada rasa terima kasih atas apa yang dilakukan Evan kemarin, Eva juga masih marah. Mereka berhenti di depan mobil yang kemarin.

Sopir yang kemarin juga ada disana. Evan membuka pintu dan memberi tanda dengan matanya menyuruh Eva untuk masuk.

Eva sudah bersiap menghujani Evan dengan berbagai pertanyaan. "Apa sebenarnya yang ingin lakukan? Kenapa terus melakukan ini? Apa kau menyukaiku?" tanya Eva tidak bergerak.

"Kita bicara tapi tidak disini. Dan tidak, aku tidak menyukaimu," kata Evan kemudian memberi tanda dengan kepalanya menyuruh Eva masuk.

Eva kali ini memutuskan untuk mengalah, sedikit menyesal dan sangat malu kenapa dengan nekadnya dia menanyakan Evan apakah dia menyukainya. Dia masuk ke mobil mewah itu disusul dengan Evan.

"Jadi apa yang sebenarnya kau inginkan. Kenapa akhir-akhir ini kau terus saja menemuiku. Kita bahkan tidak pernah berbicara sebelumnya!! Dan kau bisa membuatku dalam masalah lagi gara-gara ini," tanya Eva.

"Apa kau tidak bisa menunggu sampai kita sampai?"

"Sampai dimana? Aku bahkan tidak tahu sekarang kau membawaku kemana," jawab Eva.

"Kita hanya akan cari makan. Dan aku mengenalmu karena kita satu sekolah. Seperti halnya kau mengenalku," jawab Evan datar. "Aku hanya ingin berteman denganmu. Apa itu salah?"

Eva tidak bisa berkata apa-apa mendengar jawaban singkat itu. Akhirnya Eva bicara lagi, "Bisakah kita tidak perlu berteman dekat? Tunanganmu membuatku mendapat masalah kemarin. Maaf aku ralat, perempuan yang selalu menyebut-nyebut dirinya tunanganmu."

"Aku pastikan dia tidak akan lagi mengganggumu lagi," kata Evan menatap kedepan.

Eva keheranan, bertanya-tanya sendiri apakah Evan mengetahui apa yangterjadi kemarin. "Apa kau tahu apa yang terjadi kemarin?" tanya Eva berhati-hati.

"Ya, aku melihatnya. Kau melewatiku dan tidak menyadari aku ada disana," jawab Evan. "Aku benar-benar minta maaf," dia menambahkan.

Mereka berhenti di depan restoran siap saji dan masuk berdua. Walaupun tidak terlalu banyak bicara, Evan dan Eva juga tidak terlalu banyak diam. Walaupun Eva ingin sekali menuntut banyak jawaban ke Evan, namun hari itu Eva bahkan tidak ingin membahas mengenai insiden kemarin dengan Clara. Anehnya Eva malah memutuskan untuk menikmati makannya bersama Evan sore itu.

"Jadi, kau tadi menarikku tadi hanya supaya aku makan denganmu? Yakin tidak ada hal khusus lain?" tanya Eva sambil mengunyah.

"Hu um ...," kata Evan mengambil gigitan besar di burgernya. "Hal khusus apa yang kau harapkan?"

"Kau tadi membawaku dengan tiba-tiba seolah-olah ada hal penting yang perlu kau sampaikan atau ada sesuatu yang penting apalah aku juga tidak bisa menebak," tanya Eva frustasi.

"Tidak ada. Jangan berpikir terlalu jauh. Sudah makan-makan!" kata Evan sambil menjejalkan kentang goreng ke mulut Eva.

Eva menyadari bahwa Evan tidak hentinya menatap Eva. Hal tersebut membuat jantung Eva serasa berhenti. Eva tidak pernah benar-benar tertarik dengan teman laki-lakinya namun kali ini berbeda. Dia merasakan hal yang lain saat bersama dengan Evan. Seakan dia ingin waktu berhenti dan terus menatap mata abu-abu itu. 

Beberapa kali Eva menangkap mata Evan sedang menatapnya namun Evan sama sekali tidak bergeming. Dia tidak keberatan tetap melihat Eva walaupun gadis itu terang-terangan juga sedang menatapnya. Sesekali mereka tersenyum satu sama lain saat itu terjadi.

Evan mengecek ponselnya kemudian memberitahu Eva, "Kau tidak keberatan menunggu Ethan sebentar? Dia harus ke kantor ayahku dulu. Ada sesuatu yang perlu dia kerjakan."

Eva mengangguk. Evan menanyakannya apakah dia ingin pergi ke suatu tempat, namun Eva memilih tetap duduk disana bersamanya.

Eva tidak mengerti kemana perginya semua amarah dia sebelumnya. Mereka punya banyak waktu sekarang karena Evan sudah duduk didepannya. Tapi gadis itu benar-benar tidak ingin membahas masalah Clara. Burger sore itu terasa jauh lebih nikmat dari yang pernah dia ingat rasakan.

*

Evan sangat menikmati menghabiskan waktunya dengan Eva. Seakan kehadiran gadis itu mampu melenyapkan kesedihannya akan kematian Ibunya.

Ethan sedang mengurus sesuatu di kantor ayahnya dan Evan menyukai itu karena dia bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengan Eva.

"Kapan kau akan mengembalikan helmku?" tanya Evan sambil menahan tawa.

Wajah Eva seketika memerah, "Besok kubawakan ke sekolah. Hari ini sudah terlalu berat bagiku melangkah ke sekolah. Akan semakin berat kalau aku harus membawa helm besar itu."

"No. Keep it. Mulai besok aku akan menjemput dan mengantarmu. Karena aku hanya ingin berteman denganmu. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kau ... bukan tipeku," kata Evan dengan cepat saat menangkap ekspresi kaget dan aneh di wajah Eva.

Evan geli melihat ekspresi wajah Eva saat dia mengatakan ini. Seakan dia mau marah, tidak terima dengan perkataan Evan dan entah kenapa gadis itu kelihatannya malu.

"Hah ... aku tidak pernah berpikir macam-macam dan tidak. Terima kasih atas tawaranmu. Kita masih bisa berteman tanpa kau menjemput ataupun mengantarku," jawabnya.

"Kau sendiri yang memastikan tadi apa aku menyukaimu," bantah Evan dengan santai sambil menyendok sundae coklatnya.

"Awalnya aku juga tidak berpikir seperti itu. Hanya saja temanku Sarah yang muncul dengan gagasan konyol itu. Aku hanya tidak paham dengan sikapmu yang tiba-tiba mendekatiku," jelas Eva. "Apa kau tahu Sarah?" tanya Eva dengan sedikit mencondongkan tubuhnya kearah Evan.

"Ya, aku tahu dia. Yang katanya model majalah itu kan," jawab Evan ringan. Sebenarnya dia hanya mengcopy kata-kata temannya.

Eva mengangguk pelan, "Jadi benar dugaanku."

"Dugaan apa?" tanya Evan kali ini.

"Apa kau mendekatiku untuk mendekati Sarah?" tanya Eva dengan serius. Evan benar-benar tidak tahan dengan ide gila tersebut. Kalau saja dia sedang berada didepan Josh dan Jim, Evan mungkin sudah tertawa keras saat ini. Tapi Evan menahan dirinya. Dia tidak ingin membuat Eva lebih marah lagi.

"Tidak, aku tidak tertarik dengannya," kata Evan datar.

Eva menurunkan bahunya. 'Apa dia sedang kecewa karena aku tidak tertarik dengan temannya itu?' tanya Evan dalam hati.

Selama beberapa saat mereka hanya duduk terdiam sambil memandang keluar jendela. Menikmati hujan yang mulai turun. Entah kenapa tiba-tiba Evan memiliki dorongan untuk mengatakannya. Sesuatu yang tidak akan pernah dia ceritakan kepada siapapun. Tidak seorang pun.

"Ibuku meninggal beberapa minggu yang lalu," kata Evan tetap memandang keluar jendela tapi dia masih bisa melihat Eva sekarang menoleh kearahnya. Evan tidak berani memandangnya.

"Kecelakaan mobil. Aku jarang bicara dengannya. Mungkin karena aku terlalu marah dengan diriku sendiri. Kenapa aku begitu lemah,"

Eva masih terdiam memandangnya. "Ibuku wanita yang hebat. Aku tahu dia sangat menyayangiku. Itulah alasan aku tidak tahan melihatnya," Evan bisa merasakan matanya mulai panas.

"Dari awal, pernikahan ayah dan ibuku adalah pernikahan bisnis. Begitu juga dengan kakek dan nenekku. Semua pernikahan di keluarga kami adalah pernikahan bisnis. Untuk memperkuat kekayaan kami. Tidak perlu cinta dalam pernikahan. Itu yang selama ini mereka tanamkan padaku. Kemungkinan besar itu juga yang akan terjadi denganku nanti. ..... Ayahku...., dia berselingkuh dari Ibuku. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Dia bahkan berani mengajak wanita-wanita itu kerumah. Beberapa dari mereka masih sangat muda. Mungkin hanya beberapa tahun diatas kita. Menjijikkan," kata Evan.

"Ibuku tidak berbuat apa-apa. Dia hanya diam menerima perlakuan seperti itu. Sepertinya aku tahu alasan dia bertahan dengan itu semua adalah karena aku. Dia sering berkata padaku agar aku mendapat pendidikan terbaik dan bisa meneruskan perusahaan ayahku. Membayangkannya saja aku tidak mau. Aku lebih senang kalau dia meninggalkan ayahku. Aku sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Aku marah pada diriku sendiri tapi malah dengan cara mendorong Ibuku jauh," kata Evan sambil menunduk.

Eva tiba-tiba menggenggam tangannya dan seketika Evan merasakan kehangatan menjalari seluruh tubuhnya. Dia melihat gadis itu. Ada ketulusan di matanya. Evan bersyukur dia bisa menceritakan semua ini pada seseorang. Selama ini dia hanya memendamnya seorang diri.

Eva tidak berkata apa-apa. Dia tidak mencoba untuk bertanya lebih jauh dan juga tidak berusaha untuk menghiburnya seperti yang kebanyakan orang akan lakukan. Evan sangat menghargai itu. Dia hanya menggenggam tangan Evan dengan keras dan hanya dengan itu Evan dengan yakin tahu bahwa gadis itu bisa merasakan kepedihannya.

*

Selama perjalanan pulang, Evan tertidur di mobil. Eva bersedia memberikan bahunya pada laki-laki yang tiba-tiba muncul di hari-harinya ini. Eva tahu bahwa temannya ini pasti sangatlah lega setelah bisa meluapkan isi hatinya. Didalam mobil pun Eva masih menggenggam tangan Evan karena laki-laki itu menolak untuk melepaskan tangan Eva.

Mobil tersebut berhenti tepat didepan rumah Eva. Eva berbisik kepada Ethan, "Dia sedang tertidur dan biarkan seperti itu. Kelihatannya dia sangat lelah."

Ethan tersenyum, "Baik Miss."

Perlahan Eva melepaskan tangannya dari tangan Evan dengan sangat hati-hati agar tidak membuatnya terbangun kemudian dia membuka pintu dengan perlahan.

Malam itu Eva benar-benar tidak bisa tidur. Setiap kali dia memejamkan mata, wajah Evan muncul.

"Ada apa denganku? Kenapa aku ini? Apa aku menyukainya? Astaga murahan sekali aku ini. Aku baru dekat dengannya beberapa hari tapi sekarang aku selalu teringat dia. Apa itu artinya cinta pertamaku bertepuk sebelah tangan?" Eva mengerang dan menutup wajahnya dengan bantal.

Keesokan paginya Eva sangat terkejut saat keluar dari rumahnya Evan sudah ada disana.

Ibunya juga hendak berangkat kerja saat itu.

"Siapa itu Eva?" tanya Sophie.

"A friend of mine," jawab Eva singkat. Dia melihat Evan memarkir sepedanya dan berjalan menuju mereka.

"Oh my God ... dia tampan sekali Eva," kata Sophie pelan sambil menyikut Eva.

"Selamat pagi tante, saya Evan. Hari ini biar Eva berangkat sekolah dengan saya," kata Evan sambil mengulurkan tangannya ke Sophie.

"Hai Evan. I'm Sophie. Tentu saja aku tidak keberatan. Itu kalau Eva tidak keberatan. Dia itu ... sulit kau tau," kata Sophie sambil sedikit berbisik namun kata-kata itu sampai di telinga Eva dan membuat muka Eva langsung memanas. "Baguslah aku bisa datang kekantor lebih awal," goda Sophie.

"Mom ...," erang Eva. Sophie kemudian mengecup pipi Eva dan masuk kedalam mobilnya.

Eva dan Evan mengamati mobil Sophie sampai mobil itu tidak lagi terlihat saat berbelok.

"Ayo ambil helmmu, kita akan terlambat. Oh ya dan maaf aku kemarin ketiduran. Kau seharusnya membangunkanku." Kata Evan.

Eva tidak menjawab, hanya masuk lagi kedalam rumah untuk mengambil helm yang tidak sengaja terbawa olehnya.

Sesampainya di tempat parkir motor, Eva dan Evan turun. Eva bisa merasakan tatapan-tatapan mata teman-temannya. Kalau saja tatapan bisa melumpuhkan, dia mungkin sudah tidak bisa berjalan sekarang. Evan membantu Eva dengan kait helmnya.

"Aku bisa sendiri Evan," paksa gadis itu menjauhkan tangan Evan darinya. Eva masih kesulitan namun tidak ingin menunjukkannya ke Evan. Dia pun memutar tubuhnya agar tidak lagi berhadapan dengan Evan. Tiba-tiba dia merasakan tangan Evan menyentuh bahunya. Teman prianya itu memutar tubuhnya dengan kuat membuat Eva hampir saja terhuyung.

"Kenapa kau tidak menurut saja denganku," dan dengan mudah Evan melepaskan helm itu.

Mereka berjalan menuju kelas masing-masing beriringan. Berkali-kali Eva memelankan langkah kakinya agar dia tidak berjalan bersebelahan dengan Evan namun Evan malah berhenti dan menunggunya. Eva merasa frustasi.

Dan hari itu Eva benar-benar tidak menikmati sekolahnya. Semua teman-temannya menggodanya, menanyakan apa yang terjadi antara dia dan Evan dan ada yang hanya menatapnya sinis. Entah kenapa Eva tidak mendapati Clara melakukan hal tersebut. Gadis itu tampak marah tapi tidak sekalipun dia menatap Eva.

*

Semoga kalian masih menikmati ceritanya. Jangan lupa vote dan komen ya. Vote dan komen kalian sangat berharga buat si penulis pemula ini supaya lebih semangat lagi. Eva dan Evan sayang kalian !!!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top