Part 68 - Aerobatik

"Orang kaya memang beda. Mereka menjadikan hal-hal semacam ini sebagai hobi untuk mengisi waktu luang," kata Mr Dimitri yang sepertinya berusia empat puluh lima tahunan. Dia seorang angkatan udara dan mampu menerbangkan berbagai macam pesawat jet beserta manuver berbahayanya. Karenanya, Evan meminta bantuan pria ini.

Evan hanya tertawa mendengar kata-kata frustasi Mr Dimitri yang sedikit pun tidak melukai hatinya. Dia sudah cukup bersyukur Mr Dimitri yang cukup mahir menerbangkan AV Bronco, A-4 Skyhawk, F-5 Tiger, F-16 Fighting Falcon ini mau melakukan ini untuknya.

"Ayo. Sebelum kita benar-benar terbang, aku harus memastikan kau sudah familiar dengan semua tombol disana. Apa kau yakin kau tidak cukup puas dengan hanya menerbangkannya?" tanya Mr Dimitri lagi yang sedang berjalan di depan Evan dan kemudian berhenti dan menoleh ke belakang hanya untuk memastikan tekad bulat Evan.

Evan menggeleng dengan senyum yang tidak ditutupinya.

"Bukankah kau sudah bisa menerbangkan helikopter? Apa itu masih belum cukup bagimu untuk menarik perhatian lawan jenismu? Wahh .. kau ini cukup serakah ya. Tapi orang kaya sepertimu pasti bingung menghabiskan waktu luang kalian yah... wah wah wahh .... Aku dulu mati-matian supaya bisa masuk ke angkatan udara dan malah, ahhh sudahlah," oceh Mr Dimitri sambil menuju ke salah satu sudut ruangan.

"Duduk," perintah pria itu pada Evan. "Untuk menerbangkan pesawat apalagi sampai bisa melakukan aerobatik di udara, kau tidak hanya membutuhkan keberanian tapi juga kau juga harus cermat dan dapat bertindak cepat namun tetap tenang."

Dan mulai sejak saat itu, kapan pun Mr Dimitri menentukan waktu untuk latihan mereka, Evan selalu mengatur jadwal agar tidak bentrok dengan kuliahnya.

"Kemana kau selama ini? Kenapa kau akhir-akhir ini sering menghilang," tanya Reese teman satu kampusnya saat Evan dan temannya itu beristirahat di halaman kampus mereka.

"Ada sesuatu," jawab Evan singkat tidak berniat menceritakan detil kemana dia menghabiskan waktunya.

"Apa kau sudah memegang jabatan di perusahaan Ayahmu?" tanya laki-laki itu tadi sambil mendongakkan kepala dan menutup mata untuk menikmati udara cerah hari di musim semi siang itu.

"Masih terlalu jauh untuk itu. Saat ini Ayahku masih dalam proses investasi pada diriku," jawab Evan dan Reese tertawa mendengarnya.

"Ya, suatu saat kita juga akan melakukan hal yang sama pada anak kita," jawab Reese dengan mengernyit tidak suka. Walaupun Evan tidak bisa terbuka dengan temannya ini, Reese adalah teman yang baik jika dibandingkan dengan anak pewaris perusahaan lainnya yang Evan tahu pasti adalah pengaruh buruk baginya.

"Emma semalam kerumahku dan kau pasti tahu bagaimana reaksi bahagia orang tuaku," keluh Reese. Berbeda dengan Evan yang tidak bisa terbuka dengan temannya ini, Reese selalu menumpahkan masalahnya pada Evan.

"Emma cantik dan pintar. Dia juga lucu, benar-benar tipeku. Tapi kalau aku setuju menikah dengannya, apa serunya itu. Aku menginginkan gadis yang bisa kudapatkan dengan usahaku. Dan lagi, aku bukan anak yang berulah seperti yang lainnya. Kalau aku menerima perjodohan dengan Emma, orang tuaku akan benar-benar menganggap aku rela menerima apapun keputusan mereka dan mereka bisa mengontrolku," kata Reese kali ini dia berbaring di halaman berumput kampus mereka.

"Sama sekali tidak seru kan?" tambah Reese kali ini meminta persetujuan Evan.

"Emma yang menganggapnya seru. Saat ini dia berusaha supaya kau menyerah dan mau menerimanya," kata Evan santai. Pikirannya menerawang ke Eva. Apa yang dia lakukan saat ini? Apakah dia baik-baik saja? Kalau saja Reese bersyukur dengan betapa mudah hidupnya. Dengan orang tua yang mendukung dan wanita yang disukainya yang tidak henti mengejarnya.

"Aku harus pergi," kata Evan setelah melihat ke jam tangannya dan beranjak tanpa menoleh pada Reese yang masih nyaman berbaring di atas rerumputan. Evan harus pergi menemui Mr Dimitri lagi. Dia memberi dirinya sendiri waktu maksimal setahun untuk menguasainya.

"Kau benar-benar misterius dan susah diraih. Mungkin karena itu wanita di kampus kita semua tergila-gila padamu," gumam Reese.

*

"Apa yang kau pikirkan?" Sarah mengagetkan Eva yang sedang duduk sendirian di bangku taman Columbia University. Sarah kemudian ikut duduk di samping Eva yang kosong saat itu.

"Mom is getting married. Aku akan pulang lusa," kata Eva sambil tersenyum.

"Benarkah? Eva, it's a great news. I'm happy for her. For you too," Sarah pun merangkul Eva.

"Yah, I'm happy for her too. Aku hanya tiba-tiba mengingat Ayahku. Aku merindukannya. And mom must miss him more than I do," kata Eva tertegun.

"Hei, lusa aku tidak ada jadwal pemotretan. Aku akan ikut denganmu. Walaupun aku tidak akan bisa menginap, paling tidak aku harus menyapa Sophie. Eva ayo, kita akan terlambat ke kelas berikutnya," Sarah beranjak dan mengajak Eva untuk masuk ke kelas.

*

Evan kembali ke dorm menggunakan bus. Evan bisa saja mengendarai mobil mewah untuk mempermudahkannya pergi kemana pun. Namun dia menolak menggunakan fasilitas yang diberikan Ayahnya. Hanya karena dia memiliki perjanjian dengan Tony Phillips, bukan berarti dia harus menurut dengan semua yang diminta pria itu. Dia punya aturannya sendiri.

Bahkan dengan kesederhaan yang dia pilih dan jalani, hal itu tidak menghalangi teman-temannya tahu bahwa dia pewaris tunggal Phillips Corp. Karenanya, banyak anak dengan kelebihan mencoba mendekatinya, mengharapkan Evan mau bergabung dengan geng mereka. Sayangnya Evan sama sekali tidak tertarik. Dia hanya ingin belajar tekun dan tidak berniat mencari teman.

"Evan ... hai," sapa seorang wanita berambut coklat panjang dengan mata hazelnya. Evan tidak yakin dia pernah satu kelas dengannya namun wanita itu sudah pasti mengenalnya karena dia memanggil nama Evan. Evan hanya diam dan karenanya gadis itu kembali berkata.

"I am Keira. Kita satu kelas di kelas history. Kau terlalu fokus dengan buku-bukumu jadi aku maklum jika kau tidak memperhatikan teman-teman di sekelilingmu. Listen, we're having a little party at my place tomorrow night. Aku harap kau bisa datang," kata gadis itu kemudian meraih tangan Evan.

Dengan cepat Evan menepis tangan gadis itu dan berlalu tanpa berkata apa-apa.

"Hei Evan, aku tidak marah. Jadi kutunggu besok ya," kata Keira yang kemudian meneriakkan alamat rumahnya.

Sudah lima bulan sejak dirinya berlatih bersama dengan Mr Dimitri. Evan hanya berharap suatu saat dia akan benar-benar bisa mewujudkannya. Evan kembali mengingat kejadian saat SMA, saat dirinya dan Eva berteduh dari hujan.

"Kalau boleh aku bertanya, umur berapa saat kau kehilangan Ayahmu?" tanya Evan berhati-hati.

Eva menoleh kemudian tersenyum. "Kebanyakan orang memilih untuk tidak membahas topik ini. Mereka khawatir aku akan sedih. Tapi aku sebenarnya senang saat seseorang bertanya seperti yang kau lakukan saat ini. Jadi ... hapus ekspresi itu dari wajahmu," kata Eva sambil tertawa.

"Aku takut kalau aku tidak lagi membicarakan tentang dirinya, aku akan mulai berpikir orang sudah melupakannya dan aku juga takut nantinya aku juga akan melupakannya. Walaupun tentu saja aku tidak akan pernah melupakannya tapi aku masih tetap ingin membicarakan tentang dirinya dengan orang lain," lanjut Eva.

"Aku rasa aku juga akan merasakan hal yang sama di tahun-tahun kedepan," kata Evan menerawang dan Eva mengangguk.

"Ayahku meninggal saat aku berusia dua belas tahun. Tahun terberat bagiku dan Ibuku. Ayahku sosok kepala keluarga yang bertanggung jawab dan penyayang. Dia tidak pernah melewatkan acara sekolahku walaupun dia cukup sibuk. Dia seorang pilot angkatan udara kau tahu?" kata Eva nampak sangat bangga saat itu.

"Aku ingat saat aku berusia tujuh tahun, Ibuku Sophie dan aku mendatangi acara dimana Ayahku dan beberapa temannya melakukan pertunjukan aerobatik di udara. Saat itu sebelum menaiki pesawatnya, Ayah mendatangiku dan memberiku ciuman di dahi. Kemudian dia mempertontonkan keahliannya kepadaku dan Ibu juga ratusan orang yang hadir saat itu."

"Kemudian, kau tahu? Ayahku membuat lambang hati dengan kepulan asap berwarna merah muda. Itu sangat indah. Aku tahu, lambang hati itu dia tujukan padaku dan Ibuku. Itu adalah satu momen yang selamanya tidak akan pernah terhapus dalam memoriku. Aku akan selalu mengingat setiap detilnya."

Kata Eva sambil tersenyum bahagia saat mengingatnya. Dan Evan, tidak bisa melepaskan ingatan bagaimana senyum bahagia Eva saat itu.

*

Flashback lagi. Nanti dibawa ke masa yang sekarang lagi. Jangan lupa vote dan komen ya biar author pemula ini tahu kehadiran kalian ^^3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top