Part 36 - We Should Stop

Jam delapan malam. Eva terlalu tidak tega untuk membangunkan Evan namun pria itu tadi mengatakan padanya bahwa ada yang harus dia kerjakan. Setelah menyiapkan teh madu panas, Eva menghampiri Evan yang tengah tertidur dan menggoyang-goyangkan tubuhnya.

"Evan bagun, ... Evan ... Mr Phillips. Bukankah kau harus bekerja malam ini," kata Eva masih tetap mengguncangkan badan Evan pelan.

Tidak lama Evan mulai menggeliat.

"Hai," kata Eva saat melihat mata Evan mulai terbuka.

Evan menggerjap seperti masih lupa dia dimana. Setelah menoleh kekanan dan kekiri dan kembali melihat melihat Eva, dia tersenyum dan menarik Eva ke pelukannya sehingga kedua terbaring di sofa tersebut.

"Aku membuatkanmu teh hangat dengan madu," kata Eva.

"Terima kasih. Tidurku nyenyak sekali. Jam berapa sekarang?"

"Jam delapan. Maaf aku membangunkanmu. Kau bilang kau harus bekerja malam ini."

"Hu um."

Tapi Evan masih tidak beranjak dan masih memeluk Eva di dalam dekapan tubuhnya.

"Kau tahu," kata Evan. "Ingat saat kita harus ke Singapore dan aku duduk disampingmu dipesawat? Aku yang meminta William mengatur itu semua. Dan itu pertama kalinya aku berada dekat denganmu lagi setelah sekian lama. Jantungku berdetak sangat cepat. Dan bau mu. Masih sama dengan waktu itu. Aku sangat menyukainya."

"Aku sangat gugup saat itu. Sedih juga karena selama itu aku mengira kau benar-benar sudah melupakanku," kata Eva lirih.

"Maafkan aku. Saat itu aku sudah berjanji pada Ayahku. Dan aku sangat menginginkan dirimu. Karena itu aku melakukan semua itu," kata Evan dengan suara masih mengantuk.

Eva melepaskan dirinya dari Evan dan menarik tangan Evan untuk bangun juga.

"Ayo katamu kau ada pekerjaan," tegas Eva.

"Tapi aku masih ingin bersamamu. Apa boleh aku tinggal disini? Aku suruh William mengambil semua berkas dan laptopku."

"Tidak, kau harus bekerja dengan baik. Kau tidak bisa melakukannya disini."

Pria itu terdiam kemudian menyesap teh nya sampai setengah dan kemudian berdiri.

"Baiklah aku akan pulang dan kembali bekerja. Aku akan bekerja keras untuk bisa menafkahimu nanti."

Eva tertawa mendengar kata-kata Eva. "Alasan macam apa itu. Kau harus menafkahi jutaan karyawanmu."

"Ya, itu juga."

Setelah mengecup pucuk kepala Eva singkat, Evan pun berjalan keluar. "Aku masih bisa bekerja disini, kau tahu."

Eva hanya tersenyum dan tidak berkata apa-apa namun mendorong tubuh Evan keluar pintu.

Saat Evan sudah turun, Eva mengintip pria itu dari balik balkonnya. Evan berjalan menuju mobilnya dan mendongak kebelakang. Pria itu tersenyum saat melihat Eva sedang melihat kepergiannya.

"Evan!! Tunggu disitu sebentar!!" teriak Eva dari atas dan Evan nampak bingung.

Eva bergegas mengenakan scarfnya dan memasukkan beberapa buku kedalam tasnya kemudian keluar dan menuruni tangga. 'Oh kau dalam masalah besar Eva,' kata Eva pada dirinya sendiri.

Evan yang sudah kebingungan di depan mobilnya melihat Eva sudah menenteng tas nya dan memakai scarf abu-abunya.

"Kau mau kemana malam-malam begini?" tanya Evan cemas.

"Aku akan ikut denganmu," kata Eva sambil mengatur nafasnya.

Senyum lebar langsung terkembang, menarik gadis itu dan langsung memeluknya dengan sangat erat. Evan pun langsung membuka pintunya dan menunggu Eva masuk seolah-olah khawatir Eva akan mengubah pikirannya.

*

"Make yourself at home," kata Evan saat memasuki penthouse mewahnya. "Aku akan mandi dulu."

Eva mengangguk dan memutuskan untuk duduk di accent chair yang menghadap ke pemandangan kota New York di malam hari. Dia mengeluarkan bukunya dan mulai membaca.

Beberapa saat kemudian Evan keluar dari kamarnya dan sudah mengenakan kaos putih polos dan celana kaos abu-abu.

Eva bahkan hampir lupa untuk bernafas saat melihat betapa tampannya Evan saat melihatnya keluar. Rambutnya masih setengah basah dan wangi sabun mandinya sangat harum. Eva masih saja seperti ini tiap kali melihat Evan. Pipinya jadi memerah.

Evan mengecup pipi Eva pelan sambil berkata, "Terima kasih Eva."

Dan Evan duduk di meja kerjanya yang tidak jauh dari Eva berada dan mulai serius dengan pekerjaannya. Beberapa jam keduanya larut dalam diri mereka masing-masing.

Eva mendongak ke jam dinding dan tidak sadar sudah pukul satu malam. Dia melihat Evan masih serius dengan pekerjaannya.

Eva pun beranjak dan hendak tidur di sofa.

"Ada apa Eva?" tanya Evan yang melihat Eva berjalan kearah sofa.

"Tidak apa-apa. Aku ingin merebahkan diriku sebentar," jawab Eva.

Belum sempat Eva sampai di sofa, tanpa disadarinya Evan tiba-tiba berada dibelakangnya dan menggendongnya ala bridal.

"Evan, apa yang kau lakukan?" teriak Eva.

"Aku tidak akan membiarkanmu tidur di sofa. Aku sudah selesai dengan pekerjaanku. Ayo tidur sekarang."

"Tunggu apa??!!" tanya Eva dan pada saat itu Evan sudah mendudukkannya di pinggiran tempat tidurnya.

"Aku tidak akan membiarkan dirimu tidur di sofa dan aku pastinya tidak mau bisa tidur di sofa. Aku sangat lelah dan butuh istirahat yang berkualitas. Aku tidak bisa mendapatkan itu kalau aku tidur di sofa. Lagipula kita sudah pernah tidur satu ranjang sebelumnya."

"Ya tapi saat itu aku tidak sadar jadi itu tidak bisa masuk hitungan."

Evan tidak menggubrisnya dan merebahkan dirinya di sisi lain tempat tidur.

"Aahhh ... nyamannya," kata Evan lebih pada dirinya sendiri. Evan menarik tangan Eva membuat Eva dalam posisi tidur di sisi lain tempat tidur.

"Tidurlah," kata Evan sambil memejamkan matanya.

Eva tidak bisa mengontrol detak jantungnya. Dia merasa bisa mendengar detak jantungnya yang cepat sendiri dan khawatir Evan juga bisa mendengarnya. Eva menoleh kearah Evan sebentar dan lega saat melihat matanya terpejam.

Namun Eva tidak bisa tidur. Dia tidak bisa mengontrol betapa gugup dirinya. Tadi saat hendak ke sofa, Eva sebenarnya sudah merasa sangat mengantuk. Tapi kemana rasa kantuk itu tadi?

Beberapa menit Eva berusaha memenjamkan matanya namun gagal. Akhirnya dia memiringkan tubuhnya menghadap Evan. Pada saat itu pula Evan pun memiringkan tubuhnya dan keduanya bertatapan sesaat.

Eva yang terkejut langsung memiringkan tubuhnya kearah lain. Namun kemudian dia merasakan tangan Evan memegang lengannya, membuat Eva kembali menghadap ke pria itu.

Eva hanya terdiam saat Evan memandangnya dengan lekat. Evan kemudian membenamkan bibirnya ke bibir Eva dan mulai menciumnya. Eva tanpa disadari menikmati hal tersebut dan membalas ciuman Evan. 

Evan menjadi semakin intens. Eva menyisirkan tangannya ke rambut Evan saat mereka berciuman dengan sangat panas dan sontak hal tersebut membuat Evan semakin tidak bisa menahan dirinya. Evan menurunkan ciumannya ke leher putih Eva dan menikmati setiap incinya.

"E ... van ... ki... ta .... Ha... rus .....ber .... Hen ... ti," kata Eva sedikit terengah.

Namun sepertinya Evan tidak rela untuk berhenti dan masih menikmati bibir dan leher Eva seolah dia tidak pernah merasa puas.

"Evan," kata Eva akhirnya sambil mendorong tubuh Evan.

"I can't control myself. And apparently you can't control yourself. I will only do it with my husband."

"And your husband will be me. Hanya boleh aku. Tidak boleh yang lainnya. Aku akan menyingkirkan pria lain yang berusaha merebutmu dariku," kata Evan kali ini sudah melepaskan ciumannya dari Eva.

"Kemarilah," kata Eva khawatir pria di depannya ini tersinggung. Eva memeluk Evan dalam posisi terbaring dan membenamkan kepala Evan di dadanya.

"I'm sorry," kata Evan dan suaranya teredam di dada Eva.

"I'm sorry too," kata Eva sambil membelai rambut Evan.

"Tapi kenapa kau sepertinya ahli sekali Evan. Bukankah kau bilang kau belum pernah berpacaran sebelumnya," kata Eva terkekeh.

"Apakah hal-hal seperti tadi perlu pengalaman? Apa kau lupa aku sangat pintar. Ditambah lagi naluri laki-lakiku yang sudah lama aku pendam. Hasratku ini hanya bisa keluar saat denganmu," kata Evan makin mendalamkan kepalanya pada dada Eva dan menggerak-gerakkan kepalanya membuat Eva geli

"Evan stop, geli," kata Eva terkekeh.

"Kemarilah," kata Evan kali ini membungkus Eva dipelukannya dan mendekap Eva di dadanya.

"Ayo kita tidur. Dan hiraukan suara detak jantungku yang sepertinya sedang memompa lebih keras daripada biasanya."

Keduanya sudah mulai merasakan kantuk. "Menikahlah denganku Eva," kata Evan sangat lirih.

"Hu .. um," jawab Eva tidak kalah lirihnya.

*

Sejak menginap di apartemen Evan, Eva tidak lagi melihat Evan lagi selama dua hari. Namun pria itu secara rutin mengirimkan pesan padanya dan mengabarkan dia sedang dimana dan apa yang dia lakukan. Dan kalau sempat, Evan pasti menelponnya. Dia selalu yang melakukannnya terlebih dahulu.

"Nanti malam pesawatku ke Prancis. Tapi sepertinya aku tidak bisa menemuimu hari ini. Aku merindukanmu Eva," ada nada putus asa dalam suara Evan.

"You can always call me and text me. And I will surely miss you Evan," jawab Eva.

*

Don't forget to vote ya .... Eva dan Evan sayang kalian !!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top