Part 14 - the Party and the After Party
Setelah kepulangannya dari Dubai, Evan tidak henti-hentinya mengumpat dalam hati karena dia harus kembali terbang ke Tokyo dan tinggal disana hampir satu minggu. Dia baru kembali dari Tokyo pagi ini namun memaksa untuk tetap datang pada acara ulang tahun Phillips Corp. Ayahnya juga datang malam ini.
"Bukankah sudah kukatakan kau tidak harus datang. Aku tidak ingin kau pingsan malam ini," kata William dengan alis mata berkerut karena dia tahu pasti bahwa Evan benar-benar membutuhkan istirahat saat ini. Setelah bertemu Eva, William tahu bahwa temannya itu bekerja seratus kali lebih keras untuk memenuhi target yang pernah diberikan ayahnya. William kagum bahwa Evan memang benar-benar berhasil melakukannya namun melihat temannya yang saat ini terlihat sangat lelah, dia benar-benar tidak berdaya.
Evan memperhatikan Eva dari kejauhan. Malam itu, gadis itu terlihat jauh lebih cantik dengan gaun peach panjangnya dan rambutnya dicepol sederhana. Saat ini dia ingin mengkonfirmasi Ayahnya tentang perjanjian mereka dan harus malam ini karena Evan tahu bahwa Ayahnya memiliki jadwal yang jauh lebih padat darinya dan bahkan dirinya sendiri tidak memungkinkan mereka untuk bisa bertemu setiap saat. Dengan mantap dia pun menuju ke tempat ayahnya berdiri dan sedang berbincang dengan pemilik hotel ternama di Las Vegas.
"Evening Mr Douglas," sapa Evan sambil menyalami pria paruh baya dengan jenggot putihnya yang panjang. Pria pemilik hotel tersebut terlihat sangat antusias saat melihat Evan.
"Kudengar kau baru saja menandatangani kontrak dengan pengusaha ternama itu di Dubai. Aku melihatnya di televisi. Wah wah wah, andai saja anakku bisa melakukan itu aku akan dengan senang hati pensiun dini. Kau benar-benar hebat," kata Mr Douglas dengan senyum lebarnya, menunjukkan gigi emasnya. Evan merasa lebih lega lagi saat pria tersebut membahas hal tersebut.
"Terima kasih atas pujiannya Sir. Aku tidak akan bisa melakukannya tanpa ayahku," kata Evan sembari menepuk bahu ayahnya yang sedang berdiri tepat disebelahnya. Evan merasa muak harus melakukannya tapi dia sudah mulai terbiasa melakukan sandiwara seperti ini didepan ayahnya. "Oh ya Mr Douglas, kalau kau tidak keberatan ada yang harus kubicarakan berdua dengan pria hebat ini," sambung Evan.
Mr Douglas tertawa cukup keras, "Oh silahkan silahkan. Aku sendiri belum mencicipi hidangan disini."
Setelah pria tersebut berlalu, Evan memutar badannya dan bertanya pada ayahnya, "Jadi sekarang sudah done. Aku tahu aku harus memastikan harga saham kita meningkat tahun ini tapi aku yakin kau sendiri tahu aku bisa memanage hal tersebut dengan sangat mudah. Aku tidak sedang menagih janjimu. Aku hanya sedang memperingatkanmu bahwa sekarang ini kau jauh lebih membutuhkan aku dibandingkan aku membutuhkanmu. Jadi, no more threat okay old man. Aku cukup sadar kau sangat mencintai uang dan kupastikan kau akan mendapatkan itu. Selama." Evan berhenti sebentar, "Kau tidak lagi mengganggunya. I'm not that teenage boy anymore."
Mr Phillips tertawa cukup keras sehingga orang-orang disekitarnya berhenti berbicara dan menoleh padanya. "Kau sangat mirip denganku kalau sudah seperti ini. Oke, aku mengerti. Kau bisa melakukan apapun dengan kehidupan percintaanmu. Mungkin suatu saat kau akan bosan dan mulai mencari wanita yang jauh lebih menarik. Aku tidak akan berterima kasih padamu."
Mr Phillips menepuk bahu Evan dan berlalu. Evan kembali memanggilnya, "Dad, aku sama sekali tidak mirip denganmu. Aku mirip dengan Ibuku." Mr Phillips kembali tersenyum dan Evan pergi meninggalkannya.
Evan merasa sangat lega malam itu namun badannya berkata lain. Dia merasa pusing sepanjang perjalanan menuju ke Phillips Corp hingga sekarang dan dia bisa merasakan keringat mengucur di punggungnya. Dia berniat mencari William saat para kepala divisi menyapanya. Dia pun terpaksa berhenti dan berbincang sebentar dengan mereka. Beberapa kali dia menoleh kearah Eva berdiri, berharap gadis itu menoleh juga kearahnya. Namun sepertinya gadis itu cukup sibuk malam ini.
Tiba-tiba dia mendengar suara wanita yang sudah cukup akrab ditelinga. "Evan disini kau ternyata," kata wanita tersebut sembari melingkarkan tangannya di lengan Evan. Dia hendak melepaskan tangannya namun dia ingat bahwa dia sedang berhadapan dengan para pebisnis ternama dan melakukan hal tersebut bisa menjadi hal yang sangat memalukan bagi wanita tersebut.
"Oh, hi Clara," sapa Evan balik sambil menahan pusing yang dirasanya. "Perkenalkan ini teman saya Clara."
"Oh saya tahu anda. Anda adalah Clara Ferguson, designer pakaian dalam wanita yang terkenal itu kan?" pekik Mr Collin, pengusaha tekstil ternama di Amerika. Setiap kali ada yang mengatakan hal tersebut tentang Clara, wajah Evan sedikit memerah. Namun hebatnya Clara sama sekali tidak terganggu karena memang dari design pakaian dalamnyalah dia bisa mendapatkan uang jutaan dollar tiap bulannya.
"Iya, itu saya tuan. Terima kasih," balas Clara. Dan detik berikutnya mereka lebih tertarik membicarakan hal tersebut dengan Clara dan hal itu memberi Evan sedikit ruang untuk mempersilahkan dirinya.
"Kau mau kemana?" tanya Clara sambil berbisik saat Evan hendak meninggalkannya.
"Aku harus ke toilet sebentar," jawab Evan tanpa melihat kearahnya. Evan pun segera mengeluarkan ponselnya dan menelepon William.
*
Melihat pemandangan tersebut membuat Eva sedikit lesu. Dia tahu bahwa Evan dan Clara kuliah di universitas yang sama dan mereka memang dari awal dijodohkan. Apakah Clara orangnya? 'Apa yang kau harapkan Eva?' batin Eva. Dia merasa sedikit sesak dan pamit ke Chloe untuk meninggalkannya sebentar.
"Yeah sure," kata Chloe dan Eva pun menuju ke toilet.
Toilet lantai tersebut berada di ujung lorong dan berada cukup jauh dari hall. Setelah membasuh tangan dan sedikit membasahi pipinya, Eva keluar dari toilet wanita. Tepat didepan pintu toilet pria yang berada disebelah toilet wanita, dia melihat Evan sedang terduduk disana sambil menundukkan wajahnya. Sempat ragu sejenak sebelum akhirnya Eva menghampirinya.
"Mr Phillips, kau tidak apa-apa?" tanyanya sambil membungkukkan badannya.
Evan mendongak menatapnya dan tersenyum simpul.
"Evan, kau tidak apa-apa? Sudah kubilang kau tidak perlu datang." Eva menoleh melihat kearah suara tersebut dan mendapati William sedang berlari kecil kearah mereka.
"Ayo, kuantar kau pulang. Kau perlu bertemu dengan dokter malam ini," kata William sambil membopong CEO tersebut.
Eva terdiam dan dia merasakan kecemasan yang sama yang ditunjukkan William. Bahkan mungkin Eva jauh lebih cemas dibandingkan William.
"Eva, apa yang kau lakukan disana. Cepat bantu aku," teriak William membuyarkan lamunan Eva.
"Tapi acaranya?" tanya Eva dan seketika dia sadar pertanyaannya sungguh bodoh.
"Apa aku tidak salah dengar? Acaranya akan tetap berjalan jangan khawatir. Kau lebih mengkhawatirkan pesta perusahaan saat pemilik perusahaan hampir pingsan didepanmu?" jawab William tidak sabar.
Eva pun tidak lagi berpikir panjang dan berjalan mengikuti William dan Evan. Setelah turun ke lobby tidak lama kemudian sebuah mobil sudah menjemput mereka.
"Cepat kau masuk duluan," kata William menginstruksikan Eva. Eva pun menjadi penurut dan masuk terlebih dahulu kedalam mobil di bangku belakang. Setelah itu William membantu Evan masuk kedalam mobil dan duduk disamping Eva.
Sedangkan William sendiri berjalan kedepan dan duduk di bangku depan disebelah sopir.
Sesuai instruksi William, mereka menuju penthouse Evan. Eva sendiri tidak pernah mendengar dimana CEOnya tersebut tinggal. Dia menoleh kearah Evan yang saat itu sedang memejamkan matanya dan bersandar. Eva bisa melihat keringat dingin mengucur di kening Evan.
Kurang dari satu jam mereka sudah sampai di 172 Madison Avenue, penthouse termewah di kota. Begitu mereka sampai Evan bersikeras untuk berjalan sendiri dan menolak tawaran William untuk membopongnya.
Eva merasa sangat khawatir pada atasannya tersebut namun dia tidak yakin akan perannya disini. Beruntung William mengetahui kecemasan Eva dan dengan matanya memberikan isyarat pada gadis itu untuk ikut mereka naik ke penthouse Evan.
Begitu sampai di depan lift yang membawa mereka langsung ke penthousenya, seorang pria berumur lima puluhan sudah berdiri di depan pintu. Tanpa menyapanya, Evan berjalan lebih dulu dari mereka semua. William yang berjalan dibelakang Evan menepuk bahu pria lima puluh tahunan tadi dan mempersilahkannya masuk.
Eva yang berjalan paling belakang terkagum akan interior apartemen Evan. Ruangan tersebut lebih banyak didominasi dengan warna putih, chandelier mewah, furniture yang terlihat sangat mahal, dan tangga granit dengan kaca sebagai separatornya. Semuanya berpadu dengan sangat cantik.
Lantainya berkilauan bahkan dengan penerangan yang tidak terlalu ternag, dengan warna kayu yang membuat ruangan nampak hangat. Di tengah ruangan tersebut yang menghadap ke jendela besar dengan pemandangan kota New York pada malam hari dibelakangnya, ada sebuah sofa minimalis berwarna putih dengan bantalan senada dengan tema ruangan tersebut.
Disana, Eva melihat Evan sudah terbaring di sofa tersebut.
"Dr Tony," kata William kemudian dan mempersilahkan pria tersebut untuk memulai pemeriksaannya. "Aku yakin dia hanya kelelahan seperti biasa."
Eva yang awalnya hanya terdiam disana akhirnya memutuskan untuk membuat teh hangat untuk mereka semua setelah meminta ijin kepada William.
"Ya tentu saja. Gunakan dapur sesukamu," kata William dengan senyumnya yang super ramah. "Nantinya juga kau akan lebih leluasa disini dibandingkan diriku."
Eva tidak yakin dengan kalimat kedua William karena dia lebih seperti bergumam bukannya berbicara. Eva hanya bisa memasang wajah bingungnya dan bertanya, "Maaf apa?"
Eva bersumpah dia melihat William terkikik kecil sebelumnya akhirnya berkata, "Bukan, bukan apa-apa."
Eva membawa teh hangat yang telah dibuatnya dan membawanya ke ruang tengah saat melihat Dr Tony selesai memeriksa Evan, yang seketika langsung menuju kekamarnya.
"Kali ini dia butuh istirahat lebih lama dari biasanya. Kondisinya tidak terlalu buruk tapi jika dia ambruk lagi, aku terpaksa harus memaksanya untuk dirawat di rumah sakit," kata Dr Tony pada William.
Setelah kurang dari setengah jam mereka berbincang dan menikmati tehnya, Dr Tony pamit.
Eva berencana untuk pamit juga sesaat setelah Dr Tony sudah masuk lift. Namun sayangnya dia kurang cepat.
"Eva, aku harus kembali kekantor. Ada yang harus kuselesaikan malam ini juga dan aku juga harus menemui beberapa tamu yang belum sempat disapa Evan tadi. Apa kau keberatan jika menjaga Mr Phillips malam ini?" tanya William.
"Apa?! Maksudmu aku harus menjaganya semalaman disini?" Eva mengerjap tidak percaya atas permintaan ini.
"Ya ... aku benar-benar khawatir kalau harus meninggalkannya sendirian. Dan jangan khawatir, kau akan mendapat uang lembur. Anggap saja ini tugas dari kantor," William sudah mengambil tasnya yang tadi dia tinggalkan di lemari dekat pintu masuk.
"Bukan itu masalahnya ...," Eva tidak yakin bagaimana harus menjelaskannya. Dia mencoba mengarang beberapa alasan logis tapi tidak ada ide sama sekali. Masalah yang sebenarnya adalah Eva tidak yakin bisa dekat selama ini dengan Evan.
Bagaimana jika perasaan itu muncul lagi. Bukan berarti perasaan itu sudah hilang, hanya saja Eva harus kembali ke drama dia sebelumnya tentang berbagai upaya untuk menghilangkan sosok Evan dari pikirannya. Saat ini dia sangat khawatir akan Evan namun dia sadar bahwa dia juga harus khawatir pada dirinya sendiri.
"Eva aku tidak punya banyak waktu. Jadi tolong ya," kata-kata William membuyarkan kegalauan Eva dan tanpa menunggu jawaban dari Eva, laki-laki tersebut sudah keluar dari pintu dan melambaikan tangannya tanpa menoleh kebelakang.
*
Second update for tonight. Nah lo Eva berdua sama Evan. Semoga kalian masih menikmati cerita Eva(N) yaa ..... please jangan lupa vota / kasih bintang ya setelah baca :D. Si penulis pemula ini girangnya kebangetan kl ada yg vote dan komen. Cinta kalian !!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top