Part 12 - Another Love Confession
2 minggu selepas dia kembali dari Singapura, Eva belum lagi melihat Evan maupun William di kantor. Dia tahu betul bahwa mereka berdua harus mengurus tender penting di Dubai. Eva sudah berusaha melupakan Evan dan apapun maksud dari kata-katanya di malam terakhir mereka bertemu.
Saat kembali dari Singapura, Bryan lah yang menjemputnya di Bandara. Itu karena Sarahlah yang memberitahu jadwal kedatangan Eva. Eva juga heran apa Sarah tidak sibuk dengan persiapan pernikahnnya sampai masih bisa ikut campur dalam ururan percintaanya. Selama dua minggu itu pula Eva dan Bryan sudah makan lagi bersama sekali. Eva merasa Bryan semakin intens mengiriminya pesan.
Hari itu seperti biasa, saat hampir seluruh staff bagian pembelian sudah tidak ada diruangan tersebut, Eva masih harus berkutat di depan komputernya.
"Hai cantik," terdengar seseorang menyapanya dari belakang. Eva menoleh dan mendapati Orlando, dari bagian business development sedang berjalan menuju kearahnya.
"Maaf aku harus merepotkanmu," jawab Eva saat pria tinggi yang selalu mengenakan kemeja berlengan pendek yang menunjukkan bagian tangannya yang berotot sudah berdiri disamping meja kerjanya. Sore itu Eva memang meminta bantuan Orlando untuk design proposalnya dan pria tersebut sangat ahli dalam hal ini. Saat mendengar Eva meminta bantuannya, dengan cepat Orlando menjawab ok.
"Apa yang tidak untukmu cantik," kata Orlando sambil mengedipkan matanya, tipikal pria tersebut. Bagi Eva kedipan mata tersebut tidak memberikan efek apapun padanya. Orlando memang terkenal romantis bagi wanita-wanita di Phillips Corp. Walaupun banyak sekali wanita yang menyukainya, namun Eva cukup yakin bahwa Orlando tidak sedang mengencani siapa pun dari penggemarnya tersebut.
"Ini lihatlah, aku sudah mengatakan padamu tadi konsep yang kuinginkan," kata Eva sambil berdiri dari tempat duduknya dan mempersilahkan Orlando duduk didepan komputernya.
Begitu sudah duduk didepan komputer, Orlando nampak serius dan sesekali menanyakan Eva apa yang dia inginkan pada proposalnya.
Kurang dari satu jam Orlando sudah selesai dengan bantuannya dan Eva pun bernafas lega.
"Terima kasih sekali," kata Eva sambil tersenyum lega. Dia tidak perlu membawa perkerjaannya ke mimpinya lagi karena proposal ini harus dia serahkan besok. "I have no idea what will I do without you."
"Then you shouldn't let me go beautiful," jawab Orlando dengan gombalannya yang Eva sudah mulai terbiasa mendengarnya.
"Aku belum makan malam ... dan aku berharap kau mentraktirku malam ini," tambah pria itu dengan tampang yang sengaja dibuat memelas.
Eva tersenyum dan tidak bisa menahan diri untuk tidak menggelengkan kepalanya. "Such a gentleman."
Karena terlalu lelah, Eva dan Orlando memutuskan untuk memesan pizza agar mereka tidak perlu berjalan ke restoran.
"Apa sudah memutuskannya?" tanya Orlando sambil menggigit potongan besar pizza didepannya. Beruntung restoran pizza tempat mereka melakukan pesan antar tidak terlalu jauh sehingga kurang dari setengah jam pesanan mereka sudah datang.
"Maksudmu?" tanya Eva tidak mau kalah dengan Orlando - gadis itu juga menggigit potongan besar pizza yang ada ditangannya.
Orlando menunduk lesu dengan sedikit didramatisir saat mendengar jawaban Eva. Dia kemudian mendongak, menatap mata Eva dengan tajam dan menegakkan punggungnya. "Bukankah terakhir kita berbincang aku mengatakan padamu aku menyukaimu dan apa kau tertarik menjadi pasanganku?"
Eva tidak berhenti mengunyah pizza yang masih memenuhi mulutnya. "Apa kau serius waktu itu? Kukira kau hanya bercanda. Bukankah kau mengatakan hal-hal seperti itu hampir kepada semua wanita yang kau temui?"
Orlando terdiam sejenak. Kemudian dengan wajah yang serius, pria itu berkata, "Aku memang suka menggoda mereka ... tapi aku tidak pernah mengatakan kepada mereka apa mereka mau menjadi pasanganku. Eva kau mungkin melihatku sebagai orang yang seperti itu ... tapi aku ingin kau tahu bahwa aku sungguh-sungguh. Kalau kau memang ragu, kenapa tidak mencoba makan malam denganku dulu beberapa kali."
"Bukankah ini kita sedang makan malam?" tanya Eva bingung.
"Maksudku makan malam sesungguhnya. Aku akan mengajakmu ke restoran mewah, aku akan mengenakan pakaian terbaikku dan kau akan berdandan dengan sangat cantik walaupun aku tahu kau tidak memerlukan hal tersebut untuk terlihat cantik."
Keduanya terdiam selama beberapa saat. Eva memandangi pizza yang tergeletak dengan sangat menggiurkan didepannya namun dia merasa tidak enak untuk mengambil potongan yang lain, sedangkan Orlando masih menatap gadis itu tampaknya masih menunggu jawabannya.
"Apa kau tidak akan mengatakan apapun?" tanya Orlando akhirnya.
Eva paling benci situasi seperti ini. Tidak sekali dia harus menghadapi saat-saat seperti ini saat seseorang menyatakan perasaannya terhadapnya dan menuntun jawaban dirinya atas pertanyaan mereka.
Eva jadi teringat saat dia masih di bangku kuliah dulu. Dia sudah dengan sangat hati-hati tidak membuat teman laki-lakinya salah mengartikan dirinya. Dia selalu berusaha menjaga jarak dan tidak pernah menerima ajakan kencan teman laki-lakinya. Namun meski begitu mereka tetap saja mengatakan perasaan suka mereka kepadanya dan menuntut Eva menjawab semua perasaan mereka.
Sesungguhnya Eva berterima kasih atas perhatian mereka namun bahkan saat ini pun dia masih tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Mengapa dia tidak bisa menerima siapa pun menyinggahi hatinya. Mengapa dia tidak bisa nyaman dengan semua perhatian mereka dan mengapa dia tidak bisa tertarik kepada salah satu saja dari mereka.
Dan lebih mengenaskannya lagi kenapa setiap kali dia hadapkan pada situasi seperti ini dia malah teringat pada Evan. Berbagai pertanyaan yang sama selalu muncul di kepalanya. Apa yang sedang Evan lakukan? Apa dia sekarang sudah memiliki pasangan? Apa dia bahagia dengan hidupnya? Apa dia bahkan pernah sekali saja mengingat Eva? Apa yang akan Evan lakukan jika melihat seseorang menyatakannya cintanya padaku? Apa Evan bahkan masih mengingatku?
Tersadar dari lamunannya sendiri, Eva menggeleng-gelengkan kepala dan Orlando nampaknya mengartikan reaksi Eva dengan jawaban tidak.
"Apa kau benar-benar tidak akan memberiku kesempatan?" desak Orlando lagi.
Namun tepat saat itu ponsel Eva berbunyi dan keduanya langsung menatap benda yang bergetar-getar diatas meja tersebut. Nama Bryan muncul di panggilan masuk dan membuat Orlando terpaku. Eva tidak mengerti dengan reaksi Orlando.
"Ya Bryan?" Eva menjawab panggilan telpon Bryan.
"Hmm ... maaf sepertinya besok aku harus membatalkan janji kita karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan," jeda sebentar sebelum Eva kembali menjawab,
"Baiklah, tidak masalah."
Eva menutup telponnya dan sedikit terkejut mengetahui bahwa Orlando masih memandanginya.
"Jadi, apakah Bryan ini alasan kau sulit menerima tawaranku?" tanya Orlando sambil mengerlingkan matanya.
Eva bersyukur Orlando tidak lagi seserius tadi sehingga dia merasa lebih nyaman kembali.
"Well... no. Dia hanya teman," jawab Eva mantap dan dia heran dengan dirinya sendiri. Eva berani bersumpah Sarah akan mengeluarkan sumpah serapahnya jika sampai dia mendengar Eva menjawab semantap ini.
"Orlando, aku tidak akan menjanjikan apapun sekarang ini. Aku hanya berharap kita masih bisa berteman seperti sekarang. Aku masih membutuhkanmu," jawab Eva sedikit membuat bentuk bulan sabit terbalik dengan mulutnya dan hal tersebut berhasil membuat Orlando kembali tersenyum.
"Baiklah," jawab Orlando masih dengan tawa menawannya yang sudah pasti telah meluluhkan hati banyak wanita. "Kau tahu, aku suka sekali dengan kalimat terakhirmu. Bahwa kau masih membutuhkanku. Apapun itu alasannya."
Eva dan Orlando melewatkan malam itu dengan tidak lagi membahas hal tersebut. Mereka kembali bercanda seperti biasanya.
*
"William, bisa kau tolong katakan apakah Eva masih dikantor?" tanya Evan lesu melalui ponselnya.
Evan harus tetap berada di Dubai walaupun perjanjiannya telah selesai di tanda tangani karena kliennya mendesaknya untuk menemani mereka bermain golf besok. Sedangkan William sudah kembali ke New York lebih dahulu sejak 2 hari yang lalu dengan alasan masih banyak urusan kantor yang harus dia tangani dan Evan sangat paham dengan hal tersebut.
"Evan kau mungkin seharusnya membayar seseorang untuk melakukan hal-hal seperti ini. Ini memalukan sekali. Kau menyuruhku mengintip apakah gadis itu masih di kantor apa tidak," jawab William dengan kesal karena dia sendiri masih terjebak di kantor dengan tumpukan dokumen didepannya.
"Apakah setelah ini aku bisa langsung menemuinya? Aku sudah berhasil mendapatkan perjanjian yang disyaratkan ayahku," kata Evan sambil melihat pemandangan kota Dubai dari jendela kaca besar kamar hotelnya.
"Kau sudah cukup bersabar," jawab William dan kali ini dia menghentikan pekerjaannya dan beranjak ke lantai bawah untuk melihat bagian pembelian. "Kali ini saja, tidak ada lain kali."
William bisa mendengar tawa Evan diseberang sana.
Evan tidak menutup sambungan teleponnya sementara menunggu laporan dari teman yang juga orang kepercayaannya.
Tidak lama kemudian, "Ya, dia masih disini. Dia bersama Orlando, staff bagian desain. Mereka berdua sedang menikmati pizza, sepertinya sangat enak. Apa kau tahu temanmu ini belum makan malam padahal sekarang sudah jam 9 malam. Dan jangan tanya aku apa yang mereka bicarakan," lapor William.
Evan yang sedang duduk dengan nyaman di sofa kamar hotelnya sontak berdiri dari duduknya.
"Apa yang mereka lakukan?!" tanya Evan sedikit berteriak.
William menjauhkan ponselnya dari telinganya karena teriakan Evan.
"Kalau aku jadi kau percayalah aku tidak akan terlalu khawatir. Aku tidak melihat Eva sebagai seseorang yang suka menggoda laki-laki yang ditemuinya. Jadi, ... yah," William tidak lagi berkata apa-apa dan langsung menutup sambungan teleponnya. Dia kembali ke ruangannya sambil mengumpat dalam hati. Dia menyesal dengan keputusannya memperbolehkan Erica pulang jam 8 malam tadi karena sekarang dia harus mengerjakan pekerjaannya sendirian.
Malam itu Evan benar-benar tidak bisa menutup matanya. Kalau saja bukan karena syarat yang diajukan ayahnya padanya sebagai ganti sesuatu yang dia anggap paling berharga dalam hidupnya, dia sudah pasti terbang ke New York detik ini juga. Bukan Eva yang tidak dia percaya tapi pria bernama Orlando itu yang tidak dia percaya.
Evan sudah berhasil bertahan selama beberapa tahun ini. Namun pertemuan yang tidak dia rencanakan dengan Eva membuatnya kembali memahami bahwa dia menginginkan gadis itu lebih dari yang dia pikirkan. Sebelumnya dia menyadari bahwa dia tidak menginginkan wanita lain selain Eva. Namun sekarang, dia bahkan tidak bisa membuat dirinya sendiri tenang membayangkan ada pria lain yang berada dekat dengannya. Membayangkan ada pria yang menatapnya saja sudah membuat darahnya mendidih.
Dengan kesal Evan akhirnya merebahkan dirinya ke atas tempat tidur hotel berbintang lima yang empuk tersebut sambil mengomel sendiri, "Nantinya aku akan benar-benar melarangnya tersenyum didepan pria lain."
Walaupun dengan segala kenyamanan yang disediakan hotel tersebut, Evan benar-benar menyesal bahwa dia masih harus terjebak disana. Dia berharap bisa langsung terbang ke New York.
Namun dia kembali teringat akan peringatan William tidak lama setelah mereka menandatangani kontrak besar di Dubai. "Kau tidak bisa serta merta menemuinya. Kau tahu persis Ayahmu menginginkan hasil konkrit dan nyata."
*
Evan suruh ya slow ya ... Eva gak ngapa-ngapain kok :P
Terima kasih buat yang masih setia disini. Si penulis pemula ini senengnya kebangetan kalau lihat jumlah view nya masih ada yang baca. Jangan lupa vote ya kalau kalian menikmati cerita ini. Sekali lagi lagi, thank you, terima kasih, arigatou, danke, xie xie, ...... Eva dan Evan cinta kalian !!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top