Operasi di bawah tanah
"Yah, bocah miskin!" panggil beberapa anak yang turut keluar bersamaan dengan Jungkook. Tanpa menunggunya bicara mereka menyeretkan ke toilet terdekat. Kelima anak itu mendorongnya hingga terjerembab jatuh dan mulai mengelilinginya layaknya penguasa. Tangan mereka pun tidak tinggal diam dengan ringannya mereka menepuk kepala Jungkook dengan cukup keras.
Setengah takut dan berani Jungkook mendongak menatap mereka satu persatu. "Kalian mau apa?"
"Mau apa? Yah, bocah miskin. Kamu berani sekali bicara seperti itu? Kamu tidak takut aku pukul, hm."
Kepala Jungkook sedikit membungkuk, tentu saja ia takut dipukul terlebih karena tak tahan merasakan sakit, memangnya siapa yang sudi menerima hal seperti itu. Jungkook menggenggam erat ujung bawah bajunya, menahan geramnya perasaan melihat ketidakberdayaanya sendiri karena bersedia dirisak oleh teman sekelasnya sendiri.
"Hey, Bocah miskin kamu tidak mendengar kami, hm? Bisu, jawablah?"
"Aku mengerti," jawab Jungkook lirih seraya melirik pakaiannya sendiri yang lusuh dan kekecilan serta sepatunya yang sudah mengelupas di mana-mana menyadarkan diri dalam hati. Aku sangat menyedihkan, sungguh miskin. Pantas saja tak ada yang senang denganku."Lalu ada apa?" tanya Jungkook pelan mengangkat wajahnya sedikit lebih berani.
"Kau memang tidak bisa diharapkan. Berani bertanya ada apa? Kamu tahu bukan semua orang harus membayar iuran kelas?"
"Iuran apa?" tanya Jungkook polos seolah ia tidak tahu sekelompok penjahat kecil ini hanya ingin memalaknya. Sembari menunduk ia kembali berbicara."Kalian bilang aku ini hanya anak miskin bagaimana bisa aku punya uang."
"Sialan!" dengus seorang anak yang paling tinggi di antara mereka juga ketuanya. "Meski kau miskin kau pasti diberi uang jajankan, cepat berikan! Atau aku akan menghajarmu."
"Aku tidak punya."
"Setiap hari kamu seperti ini, memangnya seberapa miskin dirimu, hah? Kali ini kamu harus membayarnya. Kamu tidak tahu jika anak-anak kelas mulai protes karena bocah tidak tahu diri sepertimu."
"Tapi, sungguh aku tidak punya uang... a-aku pergi ke sekolah sampai harus berjalan kaki."
"Dasar bocah malang, menyedihkan ..lalu untuk apa kamu pergi ke sekolah jika tidak punya uang, hah? Lebih baik kamu berhenti sekolah dan jadilah gelandangan."
Tangan kecil Jungkook mengepal erat, wajahnya menunduk menahan kesal juga marah. Semua orang bisa menghinanya miskin tapi tidak boleh ada yang melarangnya untuk berhenti sekolah atau menjadikannya gelandangan. Ia ingin hidup lebih baik. Semua orang mengatakan jika sedikit saja ia bisa pintar dan bersekolah tidak akan ada cukup orang untuk melecehkannya.
Jungkook tidak ingin menjadi seperti sosok ayahnya yang bodoh lalu jadi pemabuk yang tidak bisa disembuhkan. Ia ingin seperti pria muda berbakat seperti yang dilihatnya di televisi itu tapi, rasanya melihat nasibnya sekarang ia merasa tak cukup.
Bug!
Satu tendangan baru saja mengenai tulang keringnya, sakit. Tapi, Jungkook menahannya tanpa bersuara hanya pekikkan kecil yang terdengar. Mengepalkan kedua tangannya gatal ingin membalas kasar perbuatan anak-anak nakal tersebut.
"Kamu berani mengepalkan tanganmu, huh? Ingin melawan?"
"Dasar sialan! Ayo, Kita hajar saja!" seru salah satu dari mereka.
"Tidak usah, hanya membuat repot saja."
"Yah, memang tidak ada gunanya juga berurusan dengan orang miskin. Ayo pergi!" ujar satu anak dengan senyum bodoh. "Jika bukan karena beasiswa, dia pasti tidak akan masuk sekolah ini juga,kan."
Kelima anak itu mulai berjalan pergi, sedikit banyak Jungkook menghela napas lega. Ia sebenarnya takut jika dia dikeroyok mungkin ia akan mati. Namun, sebelum Jungkook bisa merilekskan tubuhnya dengan tiba-tiba seember air dingin mengguyur kepalanya belum lagi bau kotoran yang menempel.
Plung!
Baru saja ember kotor itu mengantongi kepalanya, menghalanginya dari melihat anak-anak itu yang tengah tertawa bahagia puas dengan perbuatan nakal mereka. "Ini bagus bukan?! Sekarang kamu punya alasan untuk pulang ke rumah dan lebih baik juga jangan kembali lagi ke sekolah. Huh?"
Setitik air mata jatuh, Jungkook melepaskan ember plastic tersebut dari kepalanya melemparnya dengan lebih marah. Berjalan lesu ke gerbang sekolah, tidak perlu lagi kembali ke kelas ia pasti tidak akan dibiarkan masuk. Ini bukan pertama kalinya ia selalu dikerjai oleh mereka dan juga guru pun tidak sedikit banyak bisa diharapkan untuk membelanya apalagi menolongnya yang miskin. Ia hanya akan tambah dimarahi dengan pakaian kotornya di kelas. Tas lusuhnya? Tidak perlu ia khawatirkan tidak akan ada anak yang tertarik.
Saat ini tidak ada tempat lain yang bisa Jungkook tuju, ia juga tidak ingin pulang terlalu awal atau ia hanya akan mendapat pukulan lain dari ayahnya. Jika saja ada dan bisa Jungkook berpikir untuk bekerja tetapi, diusiannya yang baru empat belas tahun ia cukup sulit mencari kerja jika adapun ia hanya bisa menjadi buruh cuci itupun biasanya di malam hari dikedai-kedai kecil tempat bibi- bibi yang berbaik hati mau menggunakan jasanya.
Melirik pakaiannya yang basah dan kotor Jungkook tidak punya pilihan lain selain harus kembali ke rumah mencuci seragamnya agar besok ia masih bisa masuk sekolah. Tapi, sebelum bisa sampai pagar rumahnya Jungkook melihat beberapa orang berpakaian hitam dan berbadan besar tengah memukuli ayahnya. Perasaan takut langsung menyergap tetapi berbeda dengan langkahnya yang malah datang menghampiri.
"Apa yang kalian lakukan? Jangan pukuli ayahku?!"
Mendengar dan melihat seorang bocah laki-laki mengusik mereka tiba-tiba para preman itu terdiam sesaat untuk tidak memukuli target mereka. "Jadi dia anakmu, huh?" tanya salah satu preman dengan satu kakinya menekan kuat dada Jeon Joohi.
Jeon Joohi terbatuk keras, menyentuh kaki Si Preman berharap bisa menyingkirkannya dari atas dadanya. "T-tolong, a-aku pasti ... membayarnya."
"Diam, berengsek!" balas Si Preman yang semakin menekan sepatunya. Matanya yang tajam melirik Jungkook seolah sesuatu yang terjadi dalam pikirannya tiba-tiba bibirnya tertarik dalam seringai jahat.
"Lepaskan Ayahku! Kalian pergi!" teriak Jungkook yang juga berusaha menyingkirkan kaki Si Preman setelah melihat bagaimana ayahnya terlihat kesakitan dan terbatuk keras.
"Dasar bocah!" Si Preman dengan tato kalajengking dilehernya tersebut mendorong Jungkook hingga tersungkur ke belakang tanpa ragu. "Bawa juga bocah itu, aku tahu bagaimana cara pria ini bisa membayar uang kita kembali."
Bawahan Si Preman segera mengangguk mendengar pimpinan mereka dan menarik tangan Jungkook agar mengikuti mereka. Jungkook meronta ia tidak ingin di bawa pergi tetapi, seolah tuli dua orang preman yang memeganginya hanya terus menyeretnya pergi begitu juga ayahnya yang disuruh berjalan dengan sesekali mendapat tendangan.
**
Jungkook linglung dalam perjalan kemari ia mendapat pukulan ditengkuk lalu pingsan dan kini, saat membuka matanya. Apa yang dilihatnya pertama kali adalah ruangan berlampu hijau terasa suram dan sangat menyeramkan saat kini ia terbaring dan tidak bisa bebas bergerak. Beberapa tali tengah mengikat tangan dan kakinya. "Ayah! Ayah!" teriaknya.
"Eoy, ternyata bocah itu sudah bangun."
Seorang preman lain datang menghampiri Jungkook dan melihatnya terus menggeliat mencoba melepaskan ikatannya. Pria itu segera membentak Jungkook. "Yah, berhenti melawan! Kau tidak akan bisa lepas."
"Tolong, Paman lepaskan aku!" pinta Jungkook sedih, "Ayah! Ayahku di mana? Dia tidak mati , kan?"
"Sialan! Bagaimana kita bisa menyuruhnya mati dengan muda," ujar Si Preman menampar pelan pipi Jungkook. "Dia masih mempunyai hutang yang harus ia bayar pada kami jika, ... cuma dengan satu ginjalmu? Apa itu cukup?"
Jungkook terkejut, mulutnya terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi terasa sulit. Bayangan kesakitan itu mulai berakar dipikirannya. "T-tidak jangan. Ja-jangan ginjal ...ku."
"Owh, kau ingin aku mengambil jantungmu juga."
"T-tidak! Jangan ... Paman, lepaskan aku!" Jungkook menjerit keras ketakutan seolah apa yang dikatakan orang di depannya benar-benar akan terjadi.
Setelah puas melihat reaksi Jungkook yang ketakutan, Preman tersebut terkekeh senang dan hanya pergi begitu saja. Mata Jungkook mengikuti ke mana langkah preman tersebut sambil terus berseru memohon sampai punggungnya tidak lagi terlihat dibalik berderetnya tirai plastik. Merasa begitu kelelahan Jungkook berhenti merengek dan hanya memandang takut pada semua isi dalam ruangan tersebut. Bisa dilihatnya beberapa toples yang berjajar berisi hal mengerikan seperti bola mata, sosok janin ada juga ruas-ruas jari yang berada dalam satu toples besar.
"Ayah, aku takut!" Jungkook tidak tahan untuk berteriak, beberapa kali dia melakukan hal itu hingga tidak lama ayahnya datang dengan wajah babak belur dan langkah terhuyung belum lagi pria-pria preman tersebut berdiri di belakangnya. "Ayah!" panggilnya sekali lagi.
Joohi menoleh melihat Jungkook terbaring sambil memanggilnya, matanya bergetar setengah ketakutan. "Jungkook," lirihnya seakan tidak tahu harus mengatakan apa.
"Yah, berengsek sialan! Bagaimana jawabanmu jangan hanya diam saja?" Si preman nomor satu berteriak kesal sambil menendang tubuh Jeon Joohi hingga tersungkur.
"Ayah!"pekik Jungkook melihat ayahnya disiksa dengan tendangan.
"T-tolong, tolong. Maafkan aku, aku bersalah. Jangan bunuh aku!"
"Oy, apa kau pikir akan berguna jika aku membunuhmu, hah? Sebelum mati kau harus bisa membayar hutang-hutangmu, Sialan!"
"A-aku, aku akan bayar," ujar Joohi menelan ludah pahit yang sudah bersatu dengan darah. Ujung matanya kini sedikit melirik Jungkook."B-baik, baiklah biarkan anakku yang melakukan operasi itu ...a-ahh! Tapi, kalian berjanjikan tidak akan membunuhku dan semua hutangku dianggap lunas."
"Ayah! Ayah apa yang kamu katakan?" Dibanding siapapun Jungkook-lah yang kini takut setengah mati setelah mendengar ucapan ayahnya yang terasa sangat kejam baginya.
Mendengar panggilan tersebut tubuh Joohi bergetar ketakutan, sekali lagi dia mendongak dan lebih berani menatap Bos piutangnya. "Bos Huang, K-kau juga harus berjanji an-anakku tidak akan matikan? H-hanya satu ginjalnya ..."
Pria preman yang dipanggil Bos Huang, menyeringai dan dengan tenang menjawab. "T-tentu, tentu saja. Pilihan yang bagus dibanding tubuh tuamu yang hampir membusuk tubuh anakkmu pasti lebih baik."
"Dia masih harus hidup," ujar Joohi sekali lagi memastikan.
"Bajingan bodoh!" Salah satu preman di sampingnya sekali lagi menendang Joohi. "Lihat, berapa kali kau berani bicara pada Bos Kami."
Tawa sarkas terdengar dari bibir Bos Huang, ia mendekat satu langkah pada Jeon Joohi. "Tidak perlu khawatir Anakmu akan kuusahaan agar masih bisa hidup lagipula ini hanya untuk satu ginjal... kami di sinikan tidak tahu seberapa banyak uang yang akan di dapatkan dari menjual ginjalnya jika, tidak menutupi hutangmu lalu, apa yang harus kulakukan? Bukankah aku harus menjual organ tubuhnya yang lain."
Jeon Joohi terperangah, mulutnya terbuka dan menutup tetapi tidak ada sesuatu yang keluar darinya karena tubuhnya sendiri bergetar ketakutan. "Aaah, Bos Huang ..."
"Surat-suratnya! Sialan, sungguh merepotkan," ujar Bos Huang yang terdengar sangat jengkel seraya menengadahkan tangannya ke bawahannya. "Tanda tangani! Orang yang ingin membeli organ ginjal itu tidak tahu diri meminta orang-orang bawah tanah seperti kita dengan surat-surat seperti ini kenapa tidak ke rumah sakit saja."
"Aish, Bos kita itu beruntung, uang yang mereka berikan tidak kecil jika kita naikkan sedikit kurasa tidak masalah. Kebutuhan mereka sepertinya mendesak dan seharusnya mereka tahu sama sulitnya mendapatkan donor organ, di rumah sakit saja untuk mendapatkan ginjal mereka perlu kartu antrian belum lagi soal kecocokan organnya. Kita di sini sangat untung... kupikir mereka mendapat pilihan terbaik untuk datang ke tempat gelap seperti ini."
"Ha ... ha..." Pria yang dipanggil Bos Huang itu tertawa lebar, puas dengan kata-kata bawahannya. "Kau benar, benar. Asal ada uang semua tempat itu benar. Dan tidka disangka luar biasa bagusnya kita tidak perlu waktu lama menemukan ginjal yang cocok. Jika, tidak sudah kucincang tua bangka sialan itu untuk membayar hutangnya."
Jungkook yang mendengar semuanya sekarang tengah menatap kosong Jeon Joohi, ayahnya yang baru saja bergerak menandatangani kertas-kertas tentang bagaimana ia akan mengambil bagian tubuhnya. Ketakutan bergerak ke arahnya, menggeleng keras bahkan berusaha menarik tali-tali kuat yang mengikatnya. "T-tidak, tidak mau! Jangan lakukan apapun dengan tubuhku!"
"Jungkook." Joohi merasakan tekanan rasa bersalah melihat anaknya yang tengah berteriak dan meronta tetapi, sebelum ia bisa mengatakan sesuatu lagi para preman itu sudah menyeretnya lagi bersamaan masuknya beberapa orang dokter yang berpakaian operasi.
"Hey, bocah! Jangan terus berteriak ... kau belum akan mati hanya karena satu ginjalmu yang akan hilang ha ... ha ..." Bos Huang menamparkan lembaran ke pipi Jungkook tidak sakit tapi cukup membuat Jungkook terdiam sesaat. "Kalian sudah masuk, bagus. Lakukan operasinya dengan mulus. Bos pembeli ini, sudah menunggunya!"
"Jangan khawatir," jawab salah satu pria berpakaian operasi tampak sebagai dokter utamanya. "Sekarang kalian pergi keluar, aku sudah harus membiusnya."
Seperti itulah terakhir kalinya Jungkook melihat dan mendengar mereka dengan jelas setelahnya ia kehilangan kesadaran hingga beberapa hari kemudian.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top