Melarikan diri
Jeon Joohi diam-diam memandangi Jungkook yang kini terbaring di kasurnya yang lapuk, mulutnya membisu setelah apa yang terjadi. Sedangkan dia menyusut di lantai jauh darinya, dengan hati yang memiliki sedikit rasa bersalah Jeon Joohi ragu-ragu untuk bicara. Tangannya terus- menerus saling meremas gugup. “Ju-ngkook,” panggilnya.
Bola mata Jungkook menyipit mendengar panggilan itu tetapi, tak ada niatnya untuk menggubris. Jeon Joohi sekali lagi memanggilnya jika kemarin dulu ia mungkin tidak akan sesabar ini saat tak digubris Jungkook, emosinya pasti naik dan ia akan langsung memaki atau memukul bocah itu. Kali ini tidak berlaku demikian, Jungkook sakit terlebih ginjalnya hilang satu. Mendesah kasar, lalu bergumam dalam hati jika ia akan sedikit lebih baik pada Jungkook.
“Jungkook, kamu pasti sudah lapar,kan? Akan kubelikan makanan. Apa yang kamu mau?”
“Tidak,” jawab Jungkook parau lalu memalingkan wajahnya.
Mendengar jawaban anaknya itu, Jeon Joohi menggeram kesal. “Dasar bocah sialan! Aku sudah ingin bermain baik denganmu tapi, kamu malah …”
“Aku tidak ingin Ayah bersikap baik sekarang! Ukh..” ujar Jungkook setengah berteriak dan hal itu juga membuatnya bangkit tergesa hingga seketika membuat rasa nyeri di atas luka perutnya. Menoleh kebagian perutnya tersebut Jungkook berwajah sedih, dengan air mata yang menggenang dipelupuk matanya yang bulat. “Aku seperti ini karenamu! Aku membencimu, Ayah!”
“Jeon Jungkook!” Rasanya Joohi ingin menampar wajah bocah itu. Di tengah rasa geramnya Jeon Joohi melangkah mendekat sambil menarik napas menahan emosi dan hanya bisa menjambak rambut Jungkook dengan sedikit kekuatan. “K-kamu itu anakku sudah seharusnya kau menyelamatkanku. Sudah untung kita pergi tidak sampai mati. Lihat untungnya juga, semua hutangku lunas dan sekarang kita masih punya sedikit uang. Mereka cukup baik memberikanku uang untuk penyembuhanmu tapi, …sepertinya kau bisa sembuh sendiri. Tidak perlu lagi aku beli obat-obatan yang lain.”
Jeon Joohi dengan mudah mendorong kepala Jungkook hingga ia hampir tersungkur kasar di hkasurnya. “Bocah busuk sepertimu berani membentak, Aku ini Ayahmu. Kau tahu sebelum ini kupikir aku akan benar-benar menggunakan uang ini untuk perbaikanmu. Ah, syukurlah kamu bersikap kurang ajar seperti ini, lain kali bocah sepertimu pantas mati jika, berani lagi melawanku.”
Jungkook masih dalam posisi terakhirnya, setengah membungkuk setelah kepalanya dilempar keras. Mencengkeram seprai lusuhnya yang sudah usang dengan air mata yang jatuh sambil menggeretakkan gigi kesal. Jeon Joohi sendiri berlalu pergi begitu saja tidak pernah lagi berbalik melihat Jungkook.
**
Hari-hari Jungkook berlalu seperti biasanya. Ayahnya, Jeon Joohi benar-benar melakukan apa yang dikatakannya. Ia kembali menghabiskan uang mereka untuk mabuk-mabukkan dan berjudi ketika uang itu seharusnya bisa digunakan Jungkook untuk sedikit saja merawat bekas lukannya atau sekadar makan mengisi perut laparnya seperti saat ini.
“Ayah aku lapar,” kata Jungkook letih, wajahnya sedikit pucat. Nyeri di perutnya kini makin terasa berdenyut ditambah ketika dirinya juga lapar seperti ini. Juga obat-obatan yang harus dikonsumsinya pasca operasi pun kini sudah habis tidak ada lagi yang bisa menahan nyerinya.
Jeon Joohi yang duduk jauh darinya hanya melirik Jungkook, fokusnya kembali ke televise usangnya juga alcohol ditangannya.
“Ayah,” panggil Jungkook sekali lagi ia benar-benar sangat kelaparan dan butuh tenaga.
“Ck, dasar bocah berengsek!” Akhirnya Jeon Joohi bersedia bangkit, berjalan sedikit ke dapur mengambil satu kantong hitam dan segera berbalik ke Jungkook yang berada di kamar. “Makan itu sekarang,” ujarnya sembari melempar kantong tersebut.
“Apa ini?” tanya Jungkook setelah menangkap kantong itu. “Aku ingin nasi,” lanjutnya berharap ada sebungkus nasi.
“Jangan harap. Nanti malam saja kita makan mie.”
“Biskuit,” ucap Jungkook setelah melihat isi kantong tersebut. “Aku sangat lapar, Ayah.”
“Makanya makan biskuitnya baru nanti malam kita masak mie.”
“Aku tidak bisa makan mie! Ginjalku sekarang satu dan itu masih sakit!” Kesal Jungkook, ia ingin melempar apa yang ada ditangannya ke wajah ayahnya tapi, tidak dilakukannya karena bisa saja akan berakhir lebih buruk.
“Dasar bocah merepotkan! Kau hanya kehilangan satu ginjalmu tidak usah begitu manja. Makan apa yang kuberi saja atau kau cari makan sendiri seperti biasa.” Jeon Joohi berbicara seraya berbalik ke tempat duduknya di depan televisi. “Mau sampai kapan kamu hanya terbaring sakit, hah? Obat-obatannya sudah habis seharusnya kau sudah sembuh.”
“Kalau begitu kenapa bukan ginjal Ayah saja yang diambil,” ujar Jungkook benci dan kesal sambil menggigit biscuit keringnya. “Agar Ayah sendiri bisa merasakan sakitnya.”
“Sialan!Kau menyumpahiku, hah?”
“Tidak!” jawab Jungkook lebih keras. “Tapi, aku ingin Ayah lebih tahu diri jika sekarang aku terluka.”
“Bocah berengsek kau memang minta dihajar.” Jeon Joohi berjalan ke arah Jungkook dan segera melayangkan tangannya keras menampar Jungkook hingga oleng dan tersentak ke samping. Belum merasa cukup ia menjambak rambutnya dan kembali menamparnya beberapa kali.
Jungkook tersedak tangis dan hanya bisa melindungi wajahnya dengan kedua tangan rapuhnya. “M—maaf, Ayah. Aku salah! Sudah sa-kit.”
“Apa? Sudah? Bocah sialan sepertimu memang harus dihajar baru kau menurut.” Jeon Joohi makin mengencangkan jambakannya kesal lalu memukul Jungkook terakhir kalinya sebelum ia berbalik pergi.
Napas Jungkook terasa berat, kelopak matanya sedikit demi sedikit terbuka mencari keberadaan Ayahnya. Yakin, pria itu tidak ada lagi, Jungkook bangkit hanya untuk kembali berbaring melihat langit-langit kamarnya juga kerapkali meringis saat merasakan nyeri luka dibagian wajahnya dan tentu luka perutnya. Melirik di sana rasanya luka itu terbuka, perbannya meresap dengan darah. Setengah memaksakan diri Jungkook mencari perban tersisa dan menggantinya.
Brakk!
Suara benturan pintu terdengar sangat keras membuat Jungkook yang terlelap dalam tidurnya langsung tersentak bangun dengan dahi penuh peluh dari panas tubuhnya. Napasnya sedikit sesak, matanya yang sebelumnya memburam kini mulai focus kembali. Ia melihat ayahnya tampak tengah ketakutan, tersaruk dilantai.
“A-ayah, apa yang terjadi?”
Jeon Joohi melirik Jungkook lalu berbalik kembali melihat pintu yang sudah ditutupnya. Ia berdiri dengan gugup, sedikit berputar-putar tangannya gemetar lalu segera setengah berlari menuju Jungkook. “K-kita harus pergi dari sini, k-kamu cepat bangun!”
“Ayah kenapa?” tanya Jungkook sama sekali tidak ingin bergerak meski, kini tangannya tengah ditarik Jeon Joohi.
“Jangan banyak bertanya, ikuti saja perintahku!”
“Tidak mau! Ayah pasti membuat masalah lagi. Aku tidak mau jadi korban lagi!” Jungkook berteriak dan sekuat tenang melepas cengkeraman tangan Jeon Joohi.
“Dasar anak kurang ajar!” Jeon Joohi mengangkat tangannya hendak menampar Jungkook sebelum itu terjadi suara gedoran keras terdengar dari pintu rumah mereka.”Me-mereka kemari?! Aa-ahh k…kita harus pergi.”
“Jeon Joohi, Keluarlah sekarang!”
Bruk!Brukkk!
“A-ayah, siapa mereka? A-apa mereka orang orang yang kemarin? Bukankah hutangmu sudah lunas. Apa kau berjudi lagi? A-yah! Kenapa kau berhutang la—"
“Diam! A-aku belum lagi berjudi.”
“Jeon Joohi, Sialan! Kami tahu kau di dalam cepat keluar atau kuhancurkan rumahmu ini!”
Peringatan keras itu bukan hanya membuat Jeon Joohi gemetar begitu juga Jungkook yang kini malah mencengkeram lengan ayahnya. Untuk sesaat keduanya berpandangan sebelum berbalik dan menoleh kesegala arah. Dalam rumah mereka tidak ada jalan keluar lain selain pintu depan.
“Berengsek!Berengsek mereka bisa membunuhku kali ini,” umpat Jeon Joohi penuh ketakutan.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Jungkook melihat Ayahnya takut juga panik, ia tidak pernah ingin lagi kembali ke tempat terkutuk itu lagi. Kemarin ia masih hanya kehilangan satu ginjalnya bagaimana jika kali ini nyawanyalah yang harus terancam.
“Jeon Joohi! Kuhitung sampai tiga jika tidak … kau tahu akibatnya. Kupastikan kau mati!”
“Ayah, Sebenarnya apa yang sudah kau lakukan?” Kali ini Jungkook bertanya dengan penuh emosi.
“Aaaahhh, sial!” Jeon Joohi menjambak rambutnya sendiri kesal lalu menatap Jungkook dengan mata linglung. “S-sepertinya, aku baru saja m-mem bunuh salah satu bajing—
Brakk!
Suara pintu yang terbanting lebih keras dari sebelumnya, tak diragukan lagi kini pintu sudah terbuka dan rusak. “Jeon Joohi!” teriak pria berambut panjang sebahu dengan tubuh besarnya, berkacak pinggang sembari melihat sekeliling. Jeon Joohi dan Jungkook yang berada di kamar sempitnya terperanjam tidak sadar jika orang-orang jahat tersebut serius mendobrak pintu rumah mereka yang sudah using, begitu juga saat keduanya ditarik paksa dan dilempar kehadapan pemimpin mereka.
“K-kakak Huang, A-aku tidak membunuhnya. Sungguh!” Jeon Joohi merangkak ke kaki pria yang dipanggilnya Kakak Huang. “D-dia, Chil Soo terlebih dulu memukulku l-lalu … a-aku hanya memukulnya satu h-hanya …. Botol, Kakak Hua—"
Perkataan Jeon Joohi tidak berlanjut karena Huang Gim Soo baru saja menendangnya bertubi-tubi. “K-kau bajingan tua berani sekali melukai adikku. Kau bilang hanya? Sialan!Kau memang pantas mati. Ambilkan botol seperti yang dia lakukan untuk melukai adikku!”
Jungkook disamping ayahnya terpaku diam tubuhnya terus gemetar ketakutan bertambah disaat ia mendengar teriakan menggelegar dari pria di atasnya membuatnya bahkan tidak bisa mendongak dan melihat wajahnya. Bibirnya pun kian pucat saat ia melihat bagaimana ayahnya, Jeon Joohi ditendang lalu diinjak-injak seperti apa yang biasanya dilakukan Ayahnya itu padanya juga. Pasti sangat menyakitkan.
“A-ayah,” lirihnya pelan selembut angina bersamaan jari-jemarinya bergerak ingin menjangkau Sang Ayah.
Jeon Joohi tidak memerhatikan hal tersebut tapi, Huang Gim Soo melihatnya dan langsung menarik Jungkook sampai berdiri. “Kau anakknya hah?”
Jungkook ingin sekali menggeleng tapi akhirnya ia hanya bisa diam tak bisa mengelak. Entah harus menangis atau tertawa setelah itu Huang Gim Soo hanya melemparnya ke belakang mereka. Jungkook yang tersungkur jatuh masih bisa melihat saat salah satu bawahan mereka membawa sebuah botol dan menyerahkannya pada Huang Gim Soo yang langsung melemparkan botol itu ke kepala Jeon Joohi yang tengah merangkak mundur ketakutan.
“Aaakhh!D-darah aku … sakit, berdarah. Aku akan mati! Mati!”
“A-ay …” Suara Jungkook tercekat ditenggorokan saat baru saja melihat kepala ayahnya berdarah dan tengah berteriak-teriak kesakitan. Jungkook lebih gemetar ketakutan yang mampu membuatnya bisa berdiri dan selangkah demi selangkah mundur ke belakang.
Duk!
Jungkook tersandung ke tubuh pria di belakangnya tapi sebeluģm dia bisa melihat apapun lagi langkah kakinya sudah membawanya berlari cepat keluar rumah entah kemana asal ia tidak kembali ke tempat tersebut.
“Kakak Huang, bocah itu lari!”
“Bodoh! Bawa bocah itu kemari dia bisa saja melapor polisi.” Huang Gim Soo berbalik kembali pada Jeon Joohi. Pria tua bangka itu sama sekali tidak terlihat akan pingsan atau bahkan mati karena dia masih saja bisa berteriak histeris melihat lukanya sendiri. “Sialan!Kau masih bisa hidup setelah kupukul ternyata. Ambilkan aku botolnya lagi!”
“J-jangan!Jangan aku mohon…”
Huang Gim Soo tidak peduli. “K-kau akan kubuat seperti bubur tidak peduli anakmu akan melaporkanya pada polisi yang terpenting kau sudah mati. Urusan anakmu akan lebih mudah nantinya.”
“Aaah, Jungkook!Jungkook, d-dia—“
Prakk!
Sekali lagi botol itu pecah di atas kepala Jeon Joohi dan kali ini langsung merenggut kesadarannya tapi, tidak membuat Huang Gim Soo puas. “Kau cek, apa dia sudah benar-benar mati.” Tunjuknya pada salah satu bawahannya yang terdekat.
“Sepertinya dia masih bernapas. Jadi, bagaimana Kakak Huang?”
“Bagus sekali, tidak menyenangkan jika dia langsung mati. Kita siksa dia dulu tapi, jangan lupa … bawa bocah yang melarikan diri itu.”
“Baik!”
*
“Yah, bocah sialan! Ke mana dia pergi?” Salah satu dari dua orang yang mengejar Jungkook berseru marah karena kehilangan jejaknya.
“Ck, bocah itu cepat juga larinya,” sahut yang lain.
“Lihat saja jika sudah ketemu kuhancurkan kakinya itu.”
Jungkook yang bersembunyi di belakang tumpukan kotak kosong bergetar hebat mendengar ancaman tersebut. ia tidak ingin tertangkap tapi, nyeri di tubuhnya sedikit demi sedikit makin terasa tidak ingin menimbulkan suara Jungkook menggigit punggung tangannya. Hingga tidak lama ia melihat kesempatan ketika kedua orang itu berbalik menjauh, Jungkook yang tidak memakai alas kaki keluar dari tempatnya bersembunyi tetapi, karena gerakannya yang tiba-tiba oleng tanpa sengaja kotak-kotak kosong itu berjatuhan.
“Itu dia … bocah tadi!”
Jungkook sama-sama terkejut dan hanya bisa berusaha untuk terus berlari mencoba lepas dari para pengejarnya. “Aaahh…. Sakit!” teriaknya ditiap langkah kaki, sementara itu juga dengan kuat Jungkook meremas bagian kiri perutnya.
“Kau tidak akan bisa lari lebih jauh bocah!” Dua orang itu sudah menurunkan penjagaan mereka ketika melihat kekuatan lari Jungkook mulai melemah. Mereka tidak lagi takut akan kehilangan bocah remaja tersebut.
“T-tidak bisa,” lirih Jungkook kehabisan napas namun tetap berusaha untuk lari menjauh meski, dirasa orang-orang itu sudah berada di belakangnya dan akan mudah menangkapnya. Jungkook menggeleng kuat menahan tangis, kesal karena ia lemah. Benci karena masih saja Ayahnya membuat masalah bahkan ketika tubuhnya sudah pernah menjadi taruhannya.
“Hiks” Jungkook mulai terisak tidak bisa lagi menahan kekuatan larinya. Orang-orang itu bahkan tengah tertawa dibelakangnya ketika tubuhnya sempoyongan dan jatuh tapi,ia terus merangkak menjauh.
“Bocah berhenti di sana! Kau sudah tidak bisa lari.”
“Lepaskan aku! Jangan mengejarku lagi,” seru Jungkook berhenti bergerak hanya untuk berbalik sesaat. Kemudian kembali berusaha menjauh dari dua orang tersebut meski tersaruk berkali-kali. “Ayahku yang bersalah bukan aku.”
Dua orang itu terkekeh keras sambil bertolak pinggang. “Berisik! Bukan urusanku juga lalu …kenapa kau lari. Merepotkanku saja!”
“Kalian akan membunuhku juga, kan? Aku tidak mau mati!” Jungkook berteriak histeris marah juga takut namun, berhasil membuatnya memilki kekuatan lagi untuk terus berlari.
“Jadi, kamu ingin hanya Ayahmu saja yang mati.”
Jungkook menggeleng keras mendengar pernyataan itu tapi, juga ia tidak pernah ingin berbalik lagi. Tidak peduli apa, ia hanya ingin berusaha lari dan mencoba mencari tempat aman yang bisa melindungi hidupnya. Namun, untuk kesekian kalinya, Jungkook merasa nasibnya tidak pernah baik. Di belakangnya dua orang penjahat itu tengah menunggu untuk menangkapnya kemudian, sesaat langkahnya terhenti.
Sebelumnya dilihatnya jalanan itu tampak lenggang dan sepi sampai sekarang … kaki Jungkook berhenti bergerak entah gemetar takut ataukah hanya rasa lelahnya yang tidak mampu membuatnya bergerak. Menghela napas, Jungkook menutup matanya ketika tidak jauh dari penglihatanya ia bisa melihat cahaya yang menyilaukan tengah bergerak ke arahnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top