Jungkook's Live
Langit senja sore hari perlahan hendak berlalu berganti menjadi malam, hanya sedikit menyisakan lembayung kuning yang memulai memudar di ujung hari. Jungkook, Si Pemuda tanggung itu tengah menyeret kaki lemasnya berjalan menyusuri gang-gang kecil menuju rumah kumuhnya, dengan sesekali meringis kecil mengusap perut kosongnya yang kelaparan. Sesaat ia bersandar di dinding jalanan gang yang sepi tak jauh dari pintu rumahnya yang sudah terlihat, lalu melirik sedih pada jinjingan ditangannya yang hanya berisi botol-botol soju milik Sang Ayah.
Wajah Jungkook kusut karena rasa lapar yang mendera sejak tadi siang, sore hari ini ia tidak bisa mendapat makanan atau bahkan sekadar pengganjal perut daripada itu ia malah membawa botol-botol tidak berguna ditangannya. Ini semua karena ayahnya yang pemabuk dan pemarah itu, jika dia berani tidak membeli pesanan ayahnya itu ia yang malah akan mati karena habis dihajar. Oleh sebab itu ia memilih menurut karena rasanya belum mungkin ia bisa mati karena kelaparan dulu saja pernah berhari-hari, tapi tidak juga mati dan lagipula kemungkinan besok pagi ia masih bisa mendapatkan sebungkus roti pemberian Nenek Shim yang baik hati. Akhirnya setelah sedikit melepas penat, akhirnya Jungkook kembali berjalan menuju rumahnya yang menyesakkan hati. “Aku pulang!” lirihnya kecil setiba di sana.
“Yah, bocah berengsek darimana saja kamu?!” bentak seorang pria dengan mulut kotor sebagai balasan sambutan kepulangan Jungkook. Sosok paruh baya yang tengah berselonjor kaki segera bangkit sambil menatapnya dengan tatapan kesal.
Bukan lagi hal asing, ketika dirinya pulang tidak pernah ada sambutan hangat melainkan hanya teriakan beserta makian ayahnya. Jungkook mendesah dengan langkah malas dan mendekat, menyodorkan kantong plastik yang dibawanya.
“Kenapa lama sekali, hah? Cepat kemarikan minumanku!” rancaunya segera sambil menarik kantong tersebut dari tangan Jungkook. “Berengsek, kenapa kamu tidak tambahkan ikan keringnya? Ini masih kurang. Bukankah masih ada sisa kembaliannya? Kau gunakan uangku, kan? Dasar bocah berengsek!”
“Namaku bukan bocah berengsek. Jungkook! Jungkook!Kau sendiri yang memberiku nama itu,” sahut Jungkook tidak kalah keras. “Dan memangnya berapa uang yang Ayah beri, hah!? Kau kira itu cukup lalu, bagaimana dengan hutang-hutangmu itu?”
“Dasar bocah sialan!Kamu berani melawan?!” bentakkan keras itu datang bersamaan dengan lemparan kaleng minuman yang hampir saja mmengenai kepala Jungkook, jika ia tidak segera mengelak. Mata tajam Jeon Joohi belum juga surut seakan ia masih ingin menghancurkan kepala bocah di depannya meski, kenyataan bocah itu darah dagingnya sendiri.
Jungkook tidak kalah takut dan hanya bisa mengepalkan tangannya lalu segera berbalik setengah berlari masuk ke kamarnya yang sempit menutup pintu kamarnya rapat-rapat mencoba tidak memedulikan lagi teriakan kasar dari ayahnya. Bersembunyi di dalam selimut tipis berharap sedikit bisa melindungi dirinya. “Dasar pria kotor jahat, ibu …. Hiks.” Jungkook terisak kecil.
Mata bulatnya kini mulai berair, menggigit bibirnya kuat menahan isak tangis yang akan keluar. Ia tidak ingin menangis malah berharap tidak bisa menangis tetapi, itu tidak mungkin Jungkook tetaplah manusia yang diciptakan dengan sepasang mata dan air mata sekalian. Perasaan sesak ketika ia mulai kembali merindukan wanita yang dipanggilnya ibu, entah sudah berapa lama wanita itu pergi meninggalkannya.
Saat itu dirinya masih anak umur lima tahun dan mulai mengerti keadaan mereka yang buruk. Ibunya pergi pasti merasa tidak tahan tinggal dengan sikap suaminya yang hanya bisa jadi pemabuk juga pemarah, yang bahkan tidak bisa bekerja kecuali hanya berjudi dan mabuk-mabukkan saja bahkan, sampai detik ini tidak pernah berubah. Lalu kenapa tidak membawanya juga. Pertanyaan it uterus menyerang benaknya ketika ia mulai perlahan beranjak besar.
“L-lapar,” letih Jungkook menahan perih perut, perlahan ia pun keluar dari kepompong selimutnya menatap langit-langit kamar yang gelap. Sesaat tadi rasanya ia pasti sudah tidur tapi, karena rasa lapar ia pasti tidak terlelap lama. Sulit kembali tertidur lagi saat perutnya benar-benar kosong, seharian tadi hanya sepotong roti untuk sarapan yang masuk lambungnya. Telinga Jungkook bergerak-gerak mendengarkan apakah ada bunyi dari pintu kamarnya di mana ayahnya berada. “Apa dia sudah pergi?” tanyanya pada kekosongan.
Menyibak selimutnya Jungkook berdiri, berjalan ke pintu dengan sedikit membukanya. Ia tidak menemukan sosok ayahnya di ruang depan sepertinya pria paruh baya itu keluar lagi entah mabuk sambil berjudi, atau entah kemana Jungkook tidak penasaran apalagi peduli. Kakinya melangkah cepat ke ruangan petak lainnya yang disebut dapur, berharap ada keajaiban dalam rumah kumuhnya jika akan ada segenggam nasi atau apapun yang bisa mengganjal perut kosongnya.
Mencari-cari hanya kekosongan tidak ada apapun, Jungkook hanya bisa mendesah sedih tanpa harapan, malam inipun sama ia hanya bisa mengganjal perutnya dengan segelas air.
“Menyedihkan,” lirihnya pilu ketika Jungkook menuangkan air ke dalam gelas untuk kedua kalinya. “Hiks, aku lapar!” teriaknya marah juga menahan menangis.
Jungkook geram, melempar gelasnya yang sudah kosong ke pojok dinding menyentak malamnya yang sepi. Menjatuhkan tubuhnya ke lantai dingin, mulai memukul lututnya lebih kesal, tidak bisa lagi menahan tangis. Ia merengek keras merasa tidak berdaya dan itu bertahan cukup lama hingga membuatnya sangat kelelahan sampai tidak sadar tertidur di sana sampai menyongsong datangnya pagi.
***
“Kookie-ah!Jungkookie!”
Segera suara panggilan keras itu terdengar Jungkook yang tanpa ragu langsung berbalik dan berjalan menghampiri meski, dengan sedikit rasa malu ia berdiri menunggu wanita paruh baya itu dengan senyuman lebar, menunjukkan gigi kelincinya yang lucu, satu hal manis yang bisa dibanggakan dirinya.
“Jungkook, kenapa baru saja tidak ke rumah Nenek ini?” tanyanya yang jelas seperti omelan.
“Maaf, Nek.” Jungkook tertunduk malu. “tadi pintunya di tutup Jungkook kira Nenek tidak ada di rumah.”
“Ish, Bocah ini. Kenapa kamu tidak berteriak memanggil. Jika, Nenek tua ini tidak keluar dan melihatmu, pasti kamu hanya pergi dengan perut kosongmu, kan?”
Jungkook tidak lagi menjawab hanya tersenyum sedikit lebih pahit karena memang benar adanya. Tiap hari ia hanya bisa sangat kelaparan, tidak ada makanan yang bisa dia makan di rumah karena ayahnya sama sekali tidak pernah menyediakan apapun selama ini ia hanya hidup dan makan karena belas kasih orang-orang sekitar sungguh menyedihan.
“Pagi ini juga aku cuma bisa memberimu sebungkus roti, nasi di dalam rumah tidak cukup untuk bocah-bocah nakal itu.” Nenek Shim meletakkan satu bungkus roti juga tambahan sekardus kecil susu. “Dan itu… tambahan susu untukmu.” Wanita paru baya itu pun sedih ia tidak bisa memberi banyak makanan pada Jungkook, anak yang malang batinnya sendu. Jika tidak melihat pada dirinya sendiri yang masih harus menanggung tiga orang cucu yang ditinggalkan putranya yang sudah bercerai dia akan senang berbagi dengan Jungkook.
Mata Jungkook terus bergetar melihat sekotak susu yang tidak biasa. “Nek, ini susu-nya.” Tangannya kembali terulur. “Untuk adik Yu hee saja.”
“Jangan khawatir, mereka semua sudah mendapatkannya. Kemarin malam ayahnya Yu Hee datang dan membawakan hal seperti itu. "Kamu cobalah untukmu sendiri.”
“Nenek, Terima kasih.” Jungkook membungkuk dalam, bibirnya tersenyum lebar seakan mempelihatkan hatinya yang juga tengah senang tulus.
Jemari tua dan keriput itu menepuk-nepuk bahu Jungkook. “Sudah, sudah, cepat pergi ke sekolah sana.”
“Aku pergi, ya, Nek. Terima kasih,” ucap Jungkook riang, melambaikan tangannya dan setengah berlari menuju sekolah.
Nenek Shim ikut melambai melihat Jungkook dari kejauhan mendesah sedih, menyayangkan nasib malang bocah manis itu yang memiliki ayah seorang pemabuk dan tidak bertanggung jawab sedangkan ibunya entah pergi ke mana.
Sesaat di tengah perjalanan, Jungkook tidak tahan untuk berhenti dan segera menghabiskan sarapan paginya di pinggiran sebuah gang berjongkok di sana menikmati suap demi suap roti juga susu. “Nikmat sekali, jika tiap hari aku bisa minum susu saja. Aku pasti bisa cepat besar dan tinggi … lalu pergi jauh dari pria tua itu. Hah…” desahnya letih.
“PENGUSAHA MUDA DAN BERBAKAT, KIM NAMJOON membuat semua orang .... dengan kebijakannya … “ Samar-samar Jungkook mendengar suara televisi dari sebuah rumah toko di samping tempatnya berhenti, sesaat ia melangkah dan menengok ingin melihat.
Jungkook berdiri di sana melihat isi acara yang menampilkan seorang pria muda tinggi dan tampan sedang berbicara menggunakan bahasa inggris penuh kharisma dan menawan, membuat gemuruh dalam hatinya. “Aku ingin jadi seperti dia,” batinnya bicara seolah menemukan mimpinya, Jungkook tidak bisa melepaskan bayang-bayang pria dewasa itu. Kembali berjalan penuh semangat menuju sekolahnya yang sama sulitnya ketika ia berada di rumah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top