Aku Tidak Punya Uang
"Bagaimana keadaannya?" Namjoon bertanya tergesa.
Sejin menghela napas, tersenyum kecut sambil menurunkan kacamata bulatnya. Ia adalah Dokter keluarga Namjoon yang tanpa terduga harus merawat remaja korban kecelakaan kliennya sendiri. "Anak yang malang, Namjoon-ah. Aku tidak tahu bagaimana nasibnya jika ia tertabrak mobilmu."
"Kak, jangan bercanda!" Namjoon berkata tidak senang, dia baru saja hampir membunuh seorang anak dan membuatnya ketakutan setengah mati.
"Yah, tidak seperti itu maksudku juga." Lanjut Sejin menepuk bahu Namjoon mencoba menenangkannya. "Kamu harus berterimakasih pada sopirmu yang cekatan jika, kau yang menyetir—"
"Cukup jangan teruskan," potong Namjoon jelas ia tahu apa yang dipikirkan pria yang berprofesi sebagai dokter tersebut. "Aku tahu diri tentang itu. Aku tidak akan menyetir selama aku masih bisa memperkerjakan seseorang untuk jadi sopirku."
Sejin tertawa, mengangguk setuju. "Ya, sudah. Ayo, masuk kau bisa melihat anak itu di dalam."
Kemudian keduanya masuk ke dalam ruang perawatan. Di mana Jungkook berada, remaja tanggung itu tengah terbaring dengan wajah pucat dan mata terpejam tidak sadarkan diri. Beberapa waktu berlalu sejak kejadian di mana Jungkook hampir saja tertabrak oleh mobil Namjoon yang sedang melintas.
Di sana Sejin terlebih dulu mendekat, menyentuh helaian rambut Jungkook juga keningnya yang dipenuhi keringat. "Dia pasti sangat kesakitan," ujarnya.
"Apa yang terjadi sebenarnya? Apa dia akan segera sadar? Aku harus cepat menghubungi orang tuanya?"
Sejin melirik Namjoon, masih dengan senyum mendengar pertanyaan bertubi-tubi darinya. "Bocah ini... sakit parah. Dia mengalami infeksi luka karena kurangnya perawatan. Lihat!" Sejin membuka selimut, sedikit menarik pakaian Jungkook memperlihatkan luka di perut bagian kanannya. "Ini bekas operasi baru dan berada dibagian ginjal. Aku sudah mengobservasinya ..."
"Maksudnya?" tanya Namjoon tak sabar karena Sejin terdiam beberapa saat.
"Aku tidak yakin tapi, bocah ini sekarang hanya punya satu ginjal dan seharusnya masih perlu perawatan intensif mengingat mekanisme tubuh yang bekerja dengan satu ginjal lebih berat. Tapi, bocah ini sepertinya tidak melakukan perawatan awal hingga dia sangat lemah. Beberapa lebam diwajah juga ini, lihatlah!" Kali ini selimut bagian bawahlah yang dibuka. "Dia tidak memakai sandal atau sepatu tapi, hanya kaos kaki usang yang berarti dengan jelas ia tengah melarikan diri dari sesuatu. Dan, seperti yang kamu tahu ... dia yang tiba-tiba berlari ke tengah jalan."
Sejak tadi Namjoon diam memperhatikan dan mendengarkan dengan seksama. Melihat remaja yang terbaring menyedihkan. "Apa dia korban kekerasan? Kasihan sekali?" tanyannya pilu.
"Hm, anak yang malang."
"Kak, rawat dia dengan baik. Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya hingga dia sehat kembali." Namjoon berbicara tegas, rasa ibanya tengah menjadi-jadi melihat remaja yang baru saja ditemuinya dan kini terbaring lemah membangkitkan perasaannya sebagai seorang kakak.
"Tidak usah khawatir." Sejin menepuk lengan Namjoon, meyakinkan. "Sebagai Dokter keluargamu aku sangat bisa diandalkan dalam hal seperti ini."
"Oh, jangan konyol. Tentu saja Kakak, kan Dokter jika, tidak bisa diandalkan lebih baik kakak jadi tukang parkir saja."
"Namjoon-ie bicaramu persis sekali seperti Seokjin, menyebalkan sekali."
Namjoon hanya terkekeh senang tapi, juga sedikit raut keruh melintas di wajahnya ketika teringat saudara tertuanya. Tak lama keduanya pergi dari kamar rawat tersebut, meninggalkan Jungkook agar bisa beristirahat dengan tenang.
*
Di malam hari itu tidak ada yang tahu jika Jungkook sama sekali tidak tidur melainkan terus bermimpi buruk yang bahkan, tidak bisa membuatnya terbangun meski ingin. Di tambah dengan rasa sakit diseluruh tubuhnya Jungkook mengalami malam panjang yang tidak terduga dengan cepat jatuh dalam keadaan koma.
Hari keempat dipagi hari di mana udara masih terasa begitu menyelesup dingin. Kelopak mata Jungkook perlahan terbuka, matanya yang dulu bulat gemerlap cerah kini hanya membiaskan kehampaan. Tatapannya kosong melihat langit-langit kamarnya yang putih. Cahaya matahari mulai menyelusup masuk dari celah-celah gorden. "Di mana ini?" tanya Jungkook terbata lemah.
Sekali lagi mata Jungkook berkeliling, memastikan sesuatu tepatnya di mana dirinya berada. Tak butuh lagi waktu lama Jungkook sadar di mana dia sekarang. "Di rumah sakit?Aku di sini? Apa Ayah yang membaw—, bukan ... tak mungkin diaa. Apa aku ter-tabrak mobil saat itu?" tanyanya dalam hati.
Selama Jungkook tenggelam dalam pikirannya tiba-tiba saja seorang perawat masuk yang tidak kalah terkejut saat melihat kedua mata Jungkook sudah terbuka dan tengah menatapnya. "Aaah, kau sudah siuman. Bagus, bagus kita harus tunggu sebentar! Apa kamu haus?"
Jungkook sedikit menganggukan kepalanya dan dengan sigap perawat itu segera memberinya minum lalu segera memanggil Dokter sampai setengah jam kemudian Jungkook mendapatkan pemeriksaan.
"Anak yang kuat," kata Sejin sambil mengalungkan stetoskopnya, baru saja pemeriksaanya selesai. "Kamu beruntung bisa melewati masa kritis ke depannya harus hati-hati."
"Terimakasih, Dokter," sahut Jungkook ragu-ragu. Ada kebingungan yang jelas di wajah Jungkook, banyak hal yang tidak dimengertinya dan membuatnya bertanya-tanya kenapa dirinya sampai di sini. Tetapi, sebelum bisa mengatakan hal-hal yang jadi pertanyaanya sosok Namjoon tiba-tiba saja masuk.
"Kak?!" seru Namjoon, ada senyum lega dibibirnya langkahnya pun bergerak cepat menghampiri tujuannya.
"Namjoon-ie."
"Bagaimana sekarang, apa dia baik-baik saja?" tanya Namjoon pada Sejin tapi, tatapannya hanya pada Jungkook.
Saat ini Jungkook terpaku diam, terkejut dengan sosoknya. Ia tidak yakin pria yang tengah menghampirinya tersebut benar-benar orang yang sama, yang pernah dilihatnya ditelevisi. Mulut Jungkook sedikit terbuka, bergerak-gerak tak jelas tapi tak ada kata yang bisa keluar.
Sejin melihat hal tersebut karena Jungkook dirasanya tidak bisa mengatakannya sendiri lalu ia yang menjawab, "Sekarang keadaanya cukup stabil hanya perlu perawatan yang baik saja. Tidak perlu dikhawatirkan lagi, anak ini sangat kuat."
"Apa kamu mengenalku?" tanya Namjoon, ia tidak bermaksud narsis tapi melihat mata Jungkook yang berbinar saat melihatnya ... pasti ada sesuatu. "Aku yang hampir saja menabrakmu, kamu tahu?"
Bola mata Jungkook membulat, terkejut. 'Tidak mungkin ...'. "A-aku masih hidup," ucapnya berhasil membuka suaranya.
"Yah, tentu saja kamu masih hidup, sebenarnya mobilku hampir tidak melukaimu karena sopirku dengan cekatan menghindar tepat waktu." kata Namjoon tersenyum canggung. "Meski begitu, tetap saja itu hampir saja, kan? Lalu kami melihat kamu pingsan ditengah jalan, mungkin saking terkejutnya jadi, aku putuskan membawamu ke rumah sakit."
"Terimakasih." Mata Jungkook bergerak khawatir. Pikirannya berkelana entah ke mana, tiba-tiba terlalu banyak beban diotaknya kini.
"Aku tidak tahu siapa namamu? Atau di mana kamu tinggal? Jadi, aku belum memberi kabar pada keluargamu. Mereka pasti sangat khawatir sekarang."
Mendengar pertanyaan tersebut, perasaan Jungkook langsung terasa pengap. Teringat apa yang terakhir kali terjadi. Tangannya tanpa sadar meremas selimut, jelas ketakutan dan bingung apa yang harus dikatakannya pada penolongnya. Melihat reaksinya tersebut Sejin sebagai Dokter juga Namjoon bisa sedikit menyimpulkan sesuatu.
'Ada sesuatu yang terjadi pada anak ini...'
"Boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Sejin pertama kali, rasa penasarannya atas kondisi anak itu membuatnya tidak sabar ingin tahu.
Jungkook menatap asal suara karena pikirannya sedikit linglung, ia hanya bisa tiba-tiba mengerjap seakan mengiyakan pertanyaan tersebut.
Melihat hal positif itu, Sejin tanpa ragu kembali mengemukakan kata-kata yang ingin ditanyakannya. "Apa yang terjadi padamu? Dan, bolehkah aku tahu, bagaimana kamu hanya memiliki kondisi satu ginjal, apa yang terjadi?"
Pertanyaan itu terasa tepat sasaran, perasaan Jungkook semakin tak nyaman. Apa yang harus dijawabnya sekarang. Cukup lama akhirnya Jungkook membuka suara dengan wajah yang dipalingkannya jelas enggan menjawab. "I-itu aku dioperasi."
Sejin menghela napas, ada bayangan dalam pikirannya. "Tampaknya kamu tidak memiliki riwayat penyakit ginjal? Bagaimana itu bisa dioperasi?"
Jungkook tidak ingin menjawab pertanyaan itu lagi. Ada hal yang masih dikhawatirkannya, ayahnya yang entah bagaimana kabarnya? Apa penjahat-penjahat itu membunuh ayahnya? Bagaimana dengan dirinya sekarang meski, ayahnya jahat dan tidak berperasaan tapi, ayahnya-lah satu-satunya keluarganya. Apa yang harus dilakukannya saat ini. "A-aku tidak punya uang," kata Jungkook mengungkapkan kekhawatirannya yang lain.
Mendengar pernyataan tersebut, Namjoon terkekeh. "Hey, kami tidak akan meminta uangmu ... jangan takut? Jadi, di mana orang tuamu?"
"A-aku hanya punya Ayah," jawab Jungkook tak yakin, matanya mulai bergetar penuh genangan air mata.lalu, ia mulai bicara dengan cepat. "t-tapi aku tidak tahu bagaimana keadaanya sekarang."
"Apa maksudnya? Ke mana perginya Ayahmu?"
Jungkook tidak tahu apakah dia bisa jujur. Ia mendongak, menatap kedua orang dewasa didepannya bergantian. "Aku tidak tahu."
"Kalau begitu katakan siapa namamu?" tanya Namjoon
"N-namaku Jungkook. Jeon Jungkook, empat belas tahun."
"Jungkook." Namjoon memanggil namanya,tersenyum lembut mengusap rambutnya lembut. "Baiklah, Jungkook. Kamu masih harus beristirahat, kami akan meninggalkanmu sebentar, Ok!"
Jungkook mengangguk kecil meski, ia tidak mengerti dengan pasti keadaanya sekarang. Tapi, rasanya akan lebih baik dibanding saat bersama ayahnya. Jungkook berharap secepatnya ia bisa kembali sehat meski, dengan satu ginjalnya. Yang kemudian membuat pikirannya berkelana, bermimpi tentang apa yang bisa dilakukan anak seumurnya tanpa orang tua tanpa siapapun.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top