9. Chrysantemum cinerariaefolium

Malam itu Erlang sengaja duduk di pojok ruangan besar yang hiruk pikuk itu, di tempat yang jarang didatangi atau dilalui orang lain. Dia kesana bukan karena sedang ingin bersosialisasi atau memperluas jaringan relasi. Dia hanya ingin bertemu seseorang. Ralat, dia hanya ingin memerhatikan seseorang.

Terhitung, ini belum 24 jam sejak kejadian semalam, dimana dia tidak sengaja meniduri seorang gadis asing. Meski bukan benar-benar orang asing, tapi sebelum kejadian semalam, Erlang hanya mengenal gadis itu sebagai tetangga kamar Farah di asrama dan karyawan hotel tempatnya menginap. Tapi kini, hanya karena kejadian 1 malam kemarin, pandangannya tentang gadis itu jadi jungkir balik.

Dari pojok tempatnya duduk sambil meminum cola, Erlang melihat gadis itu  sedang melayani pengunjung di meja yang tidak jauh dari situ. Ada 5 orang lelaki di meja itu. Meski tidak jelas, Erlang memperkirakan kelima pria itu lebih kurang seusia dengannya. Dua orang diantaranya bahkan terlihat lebih tua daripada dirinya.

Saat gadis itu membawakan minuman dan kudapan pesanan kelima orang itu, tampak salah satunya mulai menggoda Ayu. Ayu tidak tampak tersinggung, ia bahkan tersenyum manis. Meski bukan senyum menggoda, keempat orang yang lain menganggap respon Ayu itu sebagai ijin untuk melakukan hal tersebut. Selanjutnya kelima orang itu tidak sungkan lagi menggoda lebih jauh.

Erlang yang memerhatikan dari jauh mulai merasa risih ketika salah satu diantara lima pria itu menyentuh tangan Ayu. Lalu sentuhan itu merambat naik ke lengannya. Lalu naik ke bahunya. Makin lama Erlang jadi sebal sendiri karena melihat sikap Ayu yang tidak menolak dan membiarkan saja semua perlakuan terhadap dirinya itu. Gadis itu tampak masih menjawab pertanyaan pria yang lain dengan tenang. Bahkan ketika tangan lelaki itu mulai turun dari bahu Ayu, menelusuri punggungnya, lalu meremas bokongnya, gadis itu tetap tidak marah. Melihat hal itu Erlang jadi kesal sendiri.

Baru beberapa jam lalu Farah mengatakan bahwa dirinya belum tentu lebih baik dibanding Ayu. Tapi melihat cara Ayu merespon tamu kelab itu sekarang, tidak ada keraguan pada diri Erlang bahwa Farah jelas jauuuhh lebih baik. Keduanya memang sudah tidak perawan lagi, tapi Farah mengalaminya akibat kesalahan Erlang. Sedangkan Ayu, bahkan sudah tidak perawan saat Erlang melakukannya. Dan melihat sikap Ayu malam ini, entah sudah berapa sering gadis itu melayani tamu-tamu kelab di tempat tidur. Erlang jadi menyesal karena sudah merasa bersalah pada gadis itu, sementara kelihatannya Ayu sendiri menganggap hal itu sudah biasa.

Pada akhirnya Ayu berhasil melepaskan diri dari jamahan pria itu. Wajahnya tetap tersenyum, dan tidak marah sama sekali karena sudah diperlakukan dengan kurang ajar. Kelihatannya ia pamit kepada kelima orang pria itu. Tapi sebelum gadis itu pergi, pria yang tadi menjamah gadis itu dengan tidak sopan tadi, meraih tangan Ayu dan menahannya sehingga gadis itu tidak jadi pergi. Lelaki itu mengambil dompetnya, membukanya dan mengambil sejumlah uang. Lalu tanpa diduga, lelaki itu melipat lembaran uang itu lalu menyelipkannya di pakaian Ayu, diantara belahan dadanya yang terbuka karena model seragamnya yang berpotongan leher rendah.

Refleks saja Erlang sontak bangkit dari duduknya saat melihat kejadian itu. Ia hampir melangkah menghampiri lelaki kurang ajar itu, berniat menghajarnya, ketika sesuatu yang mengejutkan menamparnya.

Ayu tersenyum pada lelaki kurang ajar itu. Dari gerak bibirnya, Erlang bisa melihat gadis itu berkata, "Makasih, Om."

Tersenyum? Gadis itu tersenyum? Setelah diperlakukan dengan tidak sopan seperti itu, gadis itu masih bisa tersenyum?

Hal lain juga menampar Erlang ketika mengingat respon Ayu saat tadi pagi bertemu dengannya. Setelah hal laknat yang dilakukannya kemarin malam, gadis itu masih bisa memesankan wedang jahe untuknya? Entah gadis itu gila, atau hidupnya sudah terlalu bebas dan sudah biasa pindah dari ranjang satu lelaki ke lelaki lain, sehingga perlakuan seperti itu dianggap biasa saja.

Erlang membatu hanya pada langkah ke dua dari kursinya. Lalu ia menyadari ketololannya. Buat apa dia merasa marah dengan perbuatan lelaki itu pada Ayu, toh gadis itu tampak menerimanya dengan senang hati. Jangan-jangan gadis itu memang sedang sengaja pura-pura lugu untuk menggoda para lelaki iseng itu.

Erlang melihat Ayu menyingkir dari meja berisi lima pria brengsek itu. Saat itulah jantungnya merasa tertohok. Dua langkah sejak Ayu menjauh dari meja itu, senyum manis di wajah gadis itu tiba-tiba saja lenyap. Bagaikan robot yang ekspresinya bisa diatur dengan tombol on-off pada remote control, seperti itulah wajah yang dilihat Erlang. Hanya dalam hitungan detik, ekspresi gadis itu berubah drastis. Datar. Dingin. Ia mengambil lembaran uang yang terselip di dadanya dan melangkah pergi sambil meremas uang itu.

Saat itu, entah kenapa Erlang terkesima.

Barangkali karena terkesima itulah, Erlang sampai terlambat menyadari bahwa langkah Ayu yang hendak kembali ke meja bar justru melewati dirinya. Mata mereka sempat bertatapan. Gadis itu terlihat kaget. Pun dengan Erlang yang kaget karena tidak menyangka akan berpapasan dengan Ayu. Tadi ia datang ke kelab itu hanya karena penasaran dengan pekerjaan Ayu, bukan karena berniat menemui gadis itu.

Tapi kini tatap mata mereka sudah terlanjur bertemu. Erlang sudah tidak bisa berpura-pura tidak melihat Ayu lagi. Ayu sendiri, meski sempat terlihat kaget, tapi hal itu hanya berlangsung sepersekian detik. Dalam gerakan yang disamarkan, Ayu memasukkan uang dari si pria hidung belang ke kantong rok kerjanya, lalu memeluk nampan di depan tubuhnya, menutupi bagian dadanya yang memang agak terbuka. Gadis itu kemudian mengangguk sekilas pada Erlang sebagai bentuk sapaan sopan, dan berlalu tanpa kata atau tanpa senyuman. Seolah-olah Erlang hanya pengunjung lain yang tidak dikenalnya.

Tapi bagi Erlang, keadaannya sudah kepalang tanggung. Dia sudah terlanjur bertemu dengan gadis itu. Jadi sekalian saja Erlang memutuskan untuk bicara dengannya.

"Bisa kita bicara sebentar, Yu?" tanya Erlang, cepat, sebelum gadis itu melangkah makin jauh.

Gadis itu berhenti melangkah dan menoleh pada Erlang. "Maaf Pak, saya sedang kerja," jawabnya datar.

"Lima menit aja," bujuk Erlang.

Saat itu Erlang merasakan deja vu. Percakapan seperti ini terjadi juga tadi pagi. Tapi kali ini Ayu segera memutuskan untuk menerima permintaan Erlang. Ia mengikuti Erlang melangkah ke meja lelaki itu di sudut ruangan. Tapi saat Erlang mempersilakannya duduk di kursi di hadapannya, Ayu menolak.

"Tadi pagi kita belum selesai bicara," kata Erlang memulai.

"Pembicaraan kita udah selesai, Pak. Bapak nggak perlu khawatir. Saya nggak akan ngomong apapun ke Mbak Farah," jawab Ayu tegas. "Udah ya Pak. Saya balik kerja lagi."

Ayu baru saja akan berbalik pergi, tapi Erlang dengan cepat bicara kembali. "Segitu sukanya kamu kerja disini, sampai rehat 5 menitpun nggak mau?"

Ayu mengerjap tidak mengerti.

"Saya punya restoran di sini, yang baru dibuka beberapa bulan ini. Kamu mau kerja disana?" tanya Erlang sekonyong-konyong. Entah kenapa tiba-tiba saja ide Farah yang sempat ingin menawarkan lowongan kerja di restoran kepada Ayu, terlintas di otaknya. "Kerjanya sore sampai jam 10 malam. Jadi kamu nggak perlu pulang pagi. Nggak aman kerja disini."

Ayu tampak melongo sesaat, tapi kemudian tersenyum sinis. "Bapak masih takut saya bakal ngomong macem-macem ke Mbak Farah? Makanya mau nyogok saya dengan nawarin kerjaan baru?"

"Bukan gitu, Yu."

"Saya kan udah bilang, nggak bakal ngomong apa-apa ke Mbak Farah. Jadi Bapak nggak usah ganggu saya lagi. Nggak usah sok nawarin kerjaan."

Sial! Ditawarin baik-baik, kok malah nyolot nih anak?!, kesal Erlang.

Saking kesalnya, refleks saja ia nyinyir pada Ayu. "Oh! Pasti lebih enak kerja disini ya. Bisa dapet lebih banyak tip, asal mau dipegang-pegang sama Om-om. Dapet berapa kamu tadi, abis dipegang-pegang gitu? Apa dari bekerja disini juga kamu jadi bisa dapet banyak pelanggan yang booking kamu? Bisa dapet berapa kamu kalau dibooking satu malam? Saya bisa gaji kamu lebih dari itu."

Ketenangan di wajah Ayu terusik. Barangkali kaget karena tidak menyangka bahwa Erlang melihat interaksinya barusan dengan kelima pria hidung belang tadi.

"Tadi saya dapet lima ratus ribu. Cuma buat pantat. Bisa ngitung kan, harga saya satu malam?" sinis Ayu.

Tapi alih-alih merasa tersindir, Erlang malah makin tersulut.

"Jadi tadi malem kamu juga menjebak saya? Supaya saya merasa bersalah? Berapa yang harus saya bayar untuk kemarin malam?"

Ayu melotot. Kali ini ia tidak menutupi lagi wajah tersinggungnya.

Erlang mengeluarkan dompetnya. Ia tidak membawa banyak uang tunai, jadi ia mengeluarkan seluruh uangnya dari dalam dompet dan meletakkannya di meja. Tepat di depan Ayu yang masih berdiri kaku. "Saya nggak bawa uang tunai banyak. Tapi kalau segini nggak cukup, kasih nomer rekening kamu, nanti saya transfer."

Ayu menatap nanar lembaran uang itu. Seperti dilema sedang berperang dalam hatinya.

"Farah selalu cerita yang baik-baik tentang kamu. Makanya saya merasa bersalah dengan kejadian semalam. Makanya saya nawarin kamu kerjaan yang lebih baik dan lebih aman. Tapi ternyata kamu emang perempuan seperti ini. Milih kerja seperti ini. Kemarin malam dengan saya, itu bukan pertama kalinya buat kamu kan?"

Hening yang mencekam menyelubungi keduanya setelah itu. Bahkan meski di sekitar mereka dunia hiruk pikuk. Mereka saling menatap dengan intens dan penuh ketegangan selama beberapa saat. Tapi lambat laun ekspresi Ayu berubah. Melunak. Lalu tersenyum. Membuat Erlang justru jadi salah tingkah melihat perubahan yang tidak terduga itu.

Ayu mengulurkan tangannya dan meraih berlembar uang di atas meja. Pelan ia merapikannya, melipatnya lalu memasukkan ke kantong roknya. Lalu ia menengadah, dan kembali tersenyum pada Erlang.

"Makasih, Om," kata Ayu, manis. "Saya emang perempuan kayak gini. Kalau lain kali Om butuh teman buat memuaskan fantasi seks Om terhadap Mbak Farah, Om tahu dimana kamar saya kan?"

* * *

Ada yang tahu, kenapa bab ini diberi judul Chrysantemum cinerariaefolium?

Oiya, jawabannya ada di 2 bab setelah bab ini ya 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top