8. Cymbopogon nardus (2)


"Aku memang perempuan yang mementingkan uang, Dam," kata Ayu, dengan suara yang terdengar tegas. "Kalau kamu kecewa dan mau pergi, silakan, Dam."

"...kamu sengaja bohong, supaya aku pergi kan, Yu?" Kali ini suara Adam terdengar seperti orang yang meragukan dirinya sendiri.

"Menurut kamu, aku bohong?" Ayu balik bertanya. Suaranya terdengar santai.

Adam hanya merespon dengan diam.

"Kalau kamu mau anggap aku bohong, silakan aja, Dam. Yang penting aku nggak bohongin kamu."

Lagi-lagi hening selama beberapa saat. Sampai akhirnya terdengar suara Ayu kembali.

"Udah kan Dam? Aku masuk ya. Mau tidur dulu. Nanti nggak bisa melayani pelanggan kalau aku ngantuk." Pilihan katanya ambigu, dan nada bicaranya provokatif. Membuat Erlang yang mendengarnya mengernyit.

"Ayu...."

"Aku masuk dulu ya Dam. Kamu nggak apa-apa kan kalau aku nggak nganter ke depan?"

Erlang hanya mendengar suara pintu ditutup. Hening cukup lama sampai akhirnya terdengar suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Tidak lama kemudian seorang pemuda melangkah pergi, melintas di depan tempat Erlang berdiri. Pemuda itu berjalan lurus melalui Erlang, tanpa menyadari seseorang berdiri di pojok situ.

Setelah pemuda bernama Adam itu keluar dari pagar asrama, barulah Erlang berbelok menuju selasar di depan kamar Farah. Sebelum mengetuk pintu kamar Farah, Erlang sempat melirik pada pintu kamar sebelah yang tertutup. Tapi ketika pintu kamar Farah terbuka, dengan cepat Erlang menoleh pada Farah dengan senyum lebarnya.

"Om..." sapa Farah. Suaranya terdengar datar dan bosan.

Setelah berkali-kali menolak Erlang, Farah tampak sudah tidak berdaya lagi untuk menolak. Toh Erlang tetap berkeras. Jadi suka-suka Erlang aja lah. Yang bisa Farah lakukan hanya memberikan batasan pada hubungan mereka. Seperti dengan menerima kehadiran Erlang selalu hanya sampai teras kamarnya. Itu mengapa ia menempatkan sepasang kursi di depan teras kamarnya. Jika Erlang minta ijin ke kamar mandi, Farah akan memilih berada di luar kamar. Berada di ruang tertutup berdua bersama Erlang, terbukti berbahaya. Farah membuktikannya sendiri, saat kemarin Erlang marah karena memergoki Attar mengantarnya pulang, lelaki itu mendorong Farah masuk ke kamar dan mencumbunya dengan paksa. Untung saja kemarin malam Farah menghentikan pria itu dengan tegas dan mengusirnya, sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

"Belum makan kan?" tanya Erlang yakin dan mantap. "Grilled tuna!" Erlang menunjukkan bungkus makanan yang dibawanya, dan menggoyangkannya di depan wajah Farah dengan senyum lebar dan bersemangat.

Farah tidak segera menjawab pertanyaan Erlang. Tapi tanpa menunggu jawaban gadis itu, Erlang langsung duduk di kursi teras, lalu membuka salah satu wadah dan menunjukkanya pada Farah.

Farah tampak menghela nafas berat dan panjang, sebelum akhirnya pergi, masuk ke dalam kamarnya. Ia kembali, kurang dari 1 menit kemudian, dengan 2 piring kosong, beserta sendok dan garpu.

Dulu, duluuuu sekali, setiap kali mereka menghabiskan waktu bersama, Farah adalah pihak yang lebih banyak bercerita dan Erlang lebih banyak mendengar. Farah bisa sangat cerewet, hingga Erlang tidak pernah berpikir topik obrolan berikutnya. Mereka tidak pernah kehabisan ide pembicaraan. Tapi kini yang terjadi adalah sebaliknya. Erlang yang lebih banyak bicara, dan Farah terlihat sedang menyabar-nyabarkan diri mendengarkan ocehan Erlang. Makin hari Erlang merasa tidak nyaman dengan hubungan mereka. Apa seperti ini yang dulu dirasakan Farah saat dulu mengejar dan mencari perhatian dirinya? Apa sesakit ini rasanya? Apakah mungkin kita merasa tidak nyaman bicara dengan seseorang, padahal kita menyayangi orang tersebut?

Tepat setelah makan malam mereka selesai, pintu kamar sebelah terbuka dan seorang gadis dengan pakaian rapi keluar. Melihat Farah dan Erlang yang sedang duduk berdua di teras kamar, gadis itu tersenyum dan mengangguk. Ia mengunci pintu kamarnya, lalu menoleh pada Farah dan Erlang.

"Makan malem, Mbak?" sapa Ayu berbasa-basi.

"Iya nih. Kamu udah makan, Yu?"

"Udah, Mbak," jawab Ayu, masih dengan senyum cerianya.

"Mau berangkat kerja?"

"Iya, Mbak. Berangkat dulu ya Mbak."

Terlihat Farah tersenyum. "Ati-ati ya Yu."

Ayu tersenyum. "Makasih, Mbak." Gadis itu kemudian menoleh sekilas pada Erlang dan mengangguk sopan. "Mari, Pak."

Erlang membalas, mengangguk sopan, namun tidak tersenyum. Gadis itu pergi diiringi lirikan mata Erlang. Dari sudut matanya, Erlang menangkap sosok gadis bertubuh kecil dengan rambut ikal sepanjang punggung yang diikat ekor kuda, dengan rok ketat berwarna merah yang hanya dapat menutup setengah pahanya. Tubuh bagian atasnya memang tertutup sweater lengan panjang, tapi Erlang pernah melihat seragam pelayan di kelab itu sehingga Erlang tetap bisa membayangkan gadis itu dalam kemeja merah ketat dengan potongan dada yang rendah dibalik sweater itu.

Tanpa bisa dicegah, bahkan Erlang bisa membayangkan tubuh di balik sweater dan di balik kemeja itu lebih jauh.

Shit!

Refleks Erlang menggelengkan kepalanya, untuk mengusir bayangan liar di kepalanya.

"Kenapa Om?" tanya Farah, melihat sikap Erlang yang aneh.

"Oh, nggak apa-apa. Cuma nyamuk," jawab Erlang asal.

"Nyamuk? Nyamuk apaan? Disini nggak ada nyamuk kayaknya Om," Farah bertanya heran.

"Hmm?"

"Ayu suka berkebun. Dan dia nanem beberapa pohon, termasuk sereh. Nih aku dikasih 3 pot sereh," Farah menunjukkan 3 pot di pinggir terasnya, di depan jendela kamarnya. "Sereh kan mengandung minyak sitronela. Baunya sih enak-enak aja buat manusia, apalagi kalau ditambahin ke masakan. Tapi bau yang sama justru dibenci nyamuk. Lumayan nih ada sereh ini, aku jadi nggak perlu pakai obat nyamuk selama ini. Emang barusan Om digigit nyamuk? "

Erlang hanya bisa terkekeh rikuh, salah tingkah karena ketahuan berbohong,

"Anaknya baik, si Ayu itu," kata Farah. Suaranya mengambang, tidak seperti sedang bicara pada Erlang, melainkan seperti sedang berkomentar sendiri.

"Hmm?" Erlang bingung menanggapi.

"Dia mulai kerja disini cuma 3 bulan sebelum aku disini. Tapi dari awal aku disini, dia udah banyak bantu," Farah melanjutkan. "Dia cuma punya waktu sore hari buat istirahat sebelum kerja lagi. Tapi dulu pas awal-awal aku disini, dia mau nemenin aku keliling, ngenalin tempat-tempat makan enak di sekitar sini."

Erlang hanya menanggapi dengan gumaman.

"Aku sering kasian sama Ayu. Kalo di kelab kayak sekarang, cewek secantik Ayu pasti banyak digodain. Nggak aman. Aku pernah kasih saran supaya dia pindah kerja di restoran aja misalnya. Aku juga sempet kepikiran mau minta tolong Om Erlang, barangkali ada lowongan di resto Om. Tapi ya gimana, dia nggak mau. Dia tetep pengen di kelab karena sering dapet uang tip."

"Di kelab, dia kerja sebagai waitress aja atau...."

Erlang tidak melanjutkan pertanyaannya, tapi Farah sepertinya sudah paham. Pun demikian, Farah tidak tahu jawaban dari pertanyaan Erlang.

"Di hotel, Ayu itu tadinya idola karyawan-karyawan cowok. Tapi sejak ada gosip-gosip di antara karyawan cewek, bahwa Ayu itu...." Farah tampak kesulitan meneruskan ceritanya. "... ya begitulah..."

"Begitulah gimana?" tanya Erlang.

"Emmm..." Farah nampak menimbang sesaat sebelum menjawab dengan berat, "... cewek nggak bener."

Erlang mengangguk-angguk. Begitu juga yang ia curi dengar tadi dari percakapan Ayu-Adam.

"Sejak itu banyak karyawan cowok yang mundur," Farah melanjutkan, "Ada satu sih yang keukeuh banget, namanya Adam, anak elektrik. Tapi barusan aku nggak sengaja dengar dari kamarku pas mereka ngobrol. Kelihatannya Ayu emang sengaja membiarkan gosip jelek tentang dirinya, supaya cowok-cowok menjauh. Tadi Om pas mau kesini, ketemu cowok di gerbang depan nggak? Om datang nggak lama setelah Adam pergi kayaknya."

"Oh, yang itu? Iya, kayaknya ketemu, pas aku baru dateng tadi," jawab Erlang berbohong. Padahal ia sudah datang jauh sebelumnya, dan bahkan sempat menguping pembicaraan kedua muda-mudi itu.

Kedua orang itu sempat terdiam selama beberapa saat, sebelum Erlang bertanya lagi."Kalau memang benar dia perempuan seperti itu, apa nggak lebih baik kalau kamu nggak terlalu dekat dengan dia?"

"Perempuan seperti itu...?" Farah menoleh dan menatap sinis. "Perempuan kayak apa, maksud Om?"

"Sori. Aku nggak maks___"

"Aku nggak berhak nge-judge hidup Ayu, Om. Dia kelihatannya butuh banyak uang. Buktinya dia sampe kerja dobel gitu. Kalaupun di luar itu dia mengerjakan hal lain, apapun itu, untuk dapet lebih banyak uang, itu hak Ayu. Siapa sih aku sehingga berhak nge-judge Ayu, Om? Aku juga bukan perempuan yang lebih baik. Tentang Ayu, semuanya baru rumor. Tapi aku udah jelas nggak gadis lagi. Jadi aku nggak lebih baik daripada Ayu."

"Far..." Erlang ingin protes. Dia selalu tidak nyaman jika Farah mulai insecure lagi tentang keadaan dirinya yang sudah tidak gadis lagi. Tentu saja hal itu terkait dirinya adalah penyebab insekuritas Farah.

Perempuan itu juga bukan gadis lagi, kata Erlang dalam hati. Tapi ia tidak mengutarakannya karena hanya akan menimbulkan kecurigaan Farah.

"Lagian, kayaknya dia cari uang sebanyak itu bukan untuk keperluannya pribadi," Farah melanjutkan. Seolah seperti tidak terpengaruh dengan protes Erlang barusan. "Itu untuk keluarganya. Buktinya, penampilan dia nggak jadi lebih glamor setelah punya uang banyak."

Meski hanya diam, sedikit banyak Erlang setuju dengan pemikiran Farah.

"Dia itu kayak sereh," lanjut Farah.

Dahi Erlang berkerut tidak mengerti.

"Seperti sereh yang emang sengaja mengeluarkan aromanya, supaya nyamuk-nyamuk menjauh. Sama kayak Ayu yang sengaja menampilkan citra buruk supaya cowok-cowok menjauh. Tapi aku kan bukan nyamuk atau cowok-cowok yang bakal terpengaruh sama aromanya dia, jadi aku nggak akan menjauhi dia, Om. Terserah aja kalau orang lain menjauhi dia karena mikir dia bukan perempuan baik-baik. Bagiku, selama ini dia baik sama aku, dan nggak memberi pengaruh buruk. Dan itu cukup."

* * *

Perempuan seperti itu?

Om nyinyir ya. Berasa dirinya lelaki paling baik kayaknya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top