50. Panax ginseng (2)

Halo Kakak2. Siapa yang udah nungguin cerita ini?

Makasih banyak dukungannya ya Kak.

Warning 1: bab ini mungkin akan membuat pembaca tidak nyaman.

Warning 2: Ini adalah bab terakhir sebelum ENDING.

Dilema ya? Mau baca, takut. Tapi kalo ga baca, penasaran.

Bab ini di-publish di hari Jumat, agar kita memperbanyak istighfar di hari ini hehehe. Kalau khawatir hari liburnya jd bad mood, dibaca hr Senin jg ga apa2 Kak (asal votenya sekarang). Hehehe.

Dasar aku. Anak fakir vote.

* * *

Ranu meletakkan sepiring nasi goreng dan segelas teh hangat di meja ruang tamu, di hadapan Rudi. Lelaki itu semalam menginap di rumahnya atas perintah Bayu. Sementara Bayu, sudah ke Surabaya sejak kemarin sore.

"Sarapan dulu, Mas Rudi," kata Ranu datar.

"M-makasih Mbak Ranu. Maaf merepotkan," kata Rudi salah tingkah.

Ranu sedang tidak berselera basa-basi, jadi ia hanya mengangguk saja.

"Pagi ini saya mau ke supermarket dulu, Mas. Belanja buat keperluan adik saya di rumah. Habis itu baru saya bisa ke Surabaya," Ranu memberi tahu rencananya.

"Baik, Mbak," jawab Rudi. Sebagai supir, ia bertugas mengantar kemanapun Ranu pergi, mengawasi kegiatannya dan memastikan gadis itu tidak kabur.

Enggar sudah mengatakan bahwa Ranu tidak perlu berbelanja banyak untuk kebutuhannya. Dirinya bisa belanja sendiri, bisa masak sendiri. Lagipula ia hanya tinggal sendirian. Tapi tetap saja pagi itu Ranu membawa Enggar berbelanja ke sebuah pusat perbelanjaan.

"Iki akeh men, Mbak," protes Enggar melihat barang belanjaan di troli yang didorongnya. Ini banyak banget!

Tapi Ranu tidak mempedulikan protes adiknya. Ia tetap mengambil barang-barang yang akan dibutuhkan Enggar. Di belakang mereka, Rudi juga mendorong troli belanjaan yang sudah penuh.

"Besok-besok aku nggak bisa nemenin kamu belanja lagi," kata Ranu.

"Ya tapi ini kita kayak belanja buat setahun," gerutu Enggar.

Sebenarnya ia lebay saja. Barang-barang yang diambil Ranu sebenarnya akan habis digunakan Enggar hanya dalam 1-2 bulan, tidak sampai setahun. Tapi tetap saja, bagi Enggar ini berlebihan.

Ranu hanya tersenyum, tapi meneruskan kegiatannya mengambil bahan makanan dan barang-barang untuk Enggar.

Selesai berbelanja, mereka keluar dari supermarket dengan Enggar dan Rudi mendorong troli berisi barang-barang belanjaan yang sudah dibayar itu menelusuri koridor mall menuju ke tempat parkir. Supermarket tempat Ranu dan Enggar berbelanja memang berada di dalam sebuah mall/ pusat perbelanjaan.

Mereka baru berbelok ke salah satu koridor ketika langkah Ranu melambat. Enggar yang melangkah di sisinya ikut melambat.

"Kenapa, Mbak?" tanya Enggar. Ia kemudian menoleh ke arah mata Ranu menatap dan mendapati sesosok yang dikenalnya.

"Kita lewat jalan lain," lirih Ranu. Ia berbalik, lalu melangkah menuju koridor lain.

"Itu tadi Pak Erlang kan?" tanya Enggar mengkonfirmasi.

Ranu bergumam singkat sambil melangkah cepat menjauh. Enggar dan Rudi buru-buru mengikuti langkah Ranu.

"Kenapa kita malah kabur?"

"Nanti kita ganggu orang pacaran," jawah Ranu kesal. Mereka sama-sama orang Jakarta. Ngapain sih jauh-jauh ke Malang cuma buat pacaran? Mau pamer kemesraan atau lagi bulan madu?

"Emang itu tadi pacarnya?" tanya Enggar.

"Katanya sih mantan. Tapi kayaknya udah balikan."

"Oh?"

Enggar menoleh sesaat ke belakang, menatap Erlang yang sedang ngobrol dengan seorang gadis di sebuah toko pakaian.

"Mantannya Pak Erlang nggak mirip Mbak Ranu," komentar Enggar.

"Hah? Maksudnya?" Ranu tidak mengerti.

"Kata Mbak Ranu, Pak Erlang ada agenda terselubung untuk bantu Mbak Ranu, karena menganggap Mbak sebagai pelarian dari mantan pacarnya? Tapi perempuan yang tadi, nggak mirip Mbak Ranu. Itu berarti bagi Pak Erlang, Mbak bukan pelarian atau pelampiasan. Lha wong Mbak sama sekali nggak mirip perempuan yang tadi. Itu juga berarti Pak Erlang tulus mau bantu Mbak."

Ranu hanya diam sambil terus melangkah cepat.

Bagi Ranu, tidak penting lagi apakah Erlang tulus membantunya atau hanya karena menganggapnya sebagai pelarian. Erlang tidak perlu pelarian lagi kini. Hanya sekilas melihat Erlang ngobrol dengan Farah di toko pakaian tadi saja, Ranu langsung tahu bahwa hubungan kedua orang itu kembali membaik.

Melihat pemandangan barusan, kini Ranu paham dengan sikap Erlang kemarin sore. Pantas saja lelaki itu kemarin tidak mau memeluknya. Karena lelaki itu tidak mau berurusan dengan suami orang, hanya demi seorang perempuan yang tidak ada artinya dalam hidupnya. Apalagi karena Erlang juga sudah kembali berhubungan baik dengan Farah.

Harusnya Ranu menyadarinya lebih cepat, tidak menutup pikirannya dengan ke-halu-an. Sejak awal, hanya dirinya yang bertepuk sebelah tangan. Erlang bahkan sudah mengklarifikasi bahwa sikap baiknya pada Ranu hanya karena Ranu sudah berbaik hati menutupi perbuatannya dari Farah. Sejak awal, memang hanya Farah yang ada dalam pikiran laki-laki itu. Harusnya semua pertanda itu sudah sangat jelas. Dirinya saja yang selama ini sangat bebal dan terus berharap perasaannya pada Erlang berbalas dan lelaki itu akan menyelamatkannya.

Tapi kini semuanya jelas bagi Ranu. Lebih baik begini. Tidak ada lagi keraguan yang menghalanginya. Ia memang harus menyelamatkan dirinya sendiri. Ia tidak boleh mengharapkan orang lain untuk menyelamatkannya.

"Nggar, pinjem hape-mu dong," kata Ranu, ketika mereka sudah berada di dalam mobil yang dikendarai Rudi, menuju rumah Mama. "Hape-ku lowbatt," lanjut Ranu.

Enggar menyerahkan ponselnya kepada Ranu, tanpa banyak tanya. Ia membiarkan sang kakak menggunakan ponselnya dan baru mengembalikannya ketika mereka sudah sampai di rumah.

Setibanya di rumah, Ranu membantu Enggar membereskan belanjaan, serta menatanya di kulkas dan lemari dapur.

"Kamu yakin nggak butuh bantuan Mbok Dar lagi?" tanya Ranu memastikan.

"Aku tinggal sendirian, Mbak. Aku bisa ngurus diri sendiri. Lagian kita harus berhemat."

Ranu mengangguk dengan helaan nafas berat. Ia kemudian merapikan barang belanjaan sambil terus mengingatkan Enggar ini dan itu. Jangan lupa kunci pintu, jangan terlambat makan, tidak boleh mengabaikan sarapan. Ia juga mengingatkan Enggar untuk segera mengurus surat keterangan meninggalnya Mama, sehingga dapat digunakan untuk mengalihkan semua dana di bank dan harta Mama yang lain untuk Enggar.

"Hemat-hemat untuk biaya hidup. Belajar yang bener. Kalau bisa masuk PTN, supaya biaya kuliahnya lebih terjangkau. Kalau nanti sudah kuliah, kamu bisa nyambi kerja. Jadi guru privat, atau kerja part-time lain. Ada banyak beasiswa yang bisa kamu coba. Kita nggak punya keluarga dekat lain yang bisa membantu kita di saat susah begini, jadi kamu harus kuat."

"Nasehat buat kuliahnya nanti aja Mbak," protes Enggar. "Nggak usah diborong semua sekarang. Nanti kalau aku udah lulus SMA, baru nasehatin lagi tentang kuliah. Mbak nasehatin sekarang, palingan nanti aku udah lupa lagi."

Ranu hanya terkekeh mendengar protes adikknya.

Setelah membereskan belanjaan, Ranu masuk ke kamarnya. Ia keluar kamar lagi beberapa waktu kemudian dan berpamitan kepada Enggar.

Sebelum berpisah, Ranu memeluk adiknya dengan erat.

"Maaf ya, Mama baru pergi, tapi aku nggak bisa nemenin kamu lebih lama," kata Ranu. Suaranya tercekat. "Aku harus pergi sekarang. Kamu baik-baik ya Enggar. Sehat-sehat ya. Yang kuat."

Normalnya, Enggar akan mengejek Ranu saat gadis itu bersikap terlalu melankolis seperti sekarang. Tapi kali ini entah kenapa Enggar tidak bisa bercanda. Ia merasa berat sekali melepas kakaknya kembali ke Surabaya. Barangkali karena Mama baru meninggal kemarin dan ia masih gamang hidup sendirian. Tapi ia juga tidak bisa menahan kakaknya lebih lama di Malang, karena kakaknya sudah memiliki suami yang menunggunya di rumah mereka.

Akhirnya setelah satu tepukan kuat terakhir di punggung Enggar, Ranu melepaskan diri. Setelah menghapus air matanya, Ranu menepuk-nepuk bahu Enggar untuk menguatkan, sambil tersenyum.

* * *

Malam itu Ranu sudah menunggu kepulangan suaminya di kamar mereka. Pintu kamar dibuka dan suaminya masuk, tepat ketika Ranu selesai mengirimkan pesan kepada Enggar. Ia lalu menon-aktifkan ponselnya dan menyimpannya.

"Sampai sini jam berapa?" tanya Bayu sambil meletakkan tas kerjanya di meja kerja. Lelaki itu kemudian melepas dasi dan mulai membuka kemejanya.

"Tadi sore," jawab Ranu. Ia berdiri dengan gugup.

Bayu mengangguk. "Aku mandi dulu. Habis itu kita makan bareng. Ada yang mau aku omongin sama kamu."

"Aku juga mau ngomong sesuatu."

Gerakan tangan Bayu yang sedang membuka kancing kemejanya terhenti. Baru kali ini istrinya bersikap seperti ini.

"Mau ngomong apa?"

Ranu menarik nafas berat, sebelum akhirnya dengan segenap keberanian ia berkata, "Aku mau minta cerai."

Mata Bayu memandang Ranu dengan tatapan menusuk. Lelaki itu melangkah mendekat. Dan meski Ranu merasa ketakutan, ia bertahan di tempatnya berdiri.

"Apa maksud kamu? Kenapa tiba-tiba minta cerai?" tanya Bayu, dengan suara dalam dan tatapan mengancam.

"Ini nggak tiba-tiba. Sejak awal kita memang nggak saling cinta. Pernikahan ini salah."

Bayu kemudian sadar bahwa gadis ini tidak lagi memanggilnya "Mas" dengan sopan seperti biasanya.

"Udah berani ya kamu sama aku?" Bayu menggeram. "Berani minta cerai? Mentang-mentang ibumu udah meninggal, udah nggak butuh uangku lagi untuk bayar biaya operasi? Kamu lupa, kamu masih punya utang 2 milyar. Udah punya 2 milyar buat bayar hutang?"

"Aku nggak punya uang. Tapi kenapa aku harus bayar hutang?"

Mata Bayu menyipit.

"Papa berhutang 2 milyar itu karena kamu menipu Papa melalui orang suruhan kamu kan? Iya kan? Kamu yang nipu Papa sampai perusahaan Papa bangkrut dan kamu pura-pura ngasih bantuan. Iya kan?" Ranu mendengar suaranya sendiri gemetar. Tapi sudah bukan saatnya takut lagi sekarang.

"Iya, memang. Aku yang menipu Papa kamu. Tapi tetap saja Papa kamu berhutang ke aku."

"Aku akan lapor polisi tentang penipuan itu. Aku juga akan lapor polisi tentang kekerasan yang kamu lakukan ke aku."

Bayu tampak kaget. Sepertinya ia tidak menyangka akhirnya akan melihat sosok Ranu seperti ini. Ia tidak menyangka Ranu akan berani melawannya. Selama ini gadis itu hanya bisa pasrah atau melarikan diri. Dari mana keberanian melawan seperti ini?

"Mau lapor polisi? Kamu punya bukti apa, hah?" Bayu mengejek.

"Aku punya bukti," jawab Ranu mantap.

"Oh ya?"

"Aku nggak akan lapor polisi kalau kamu menceraikan aku dan membebaskan hutang Papa."

"Kamu mengancam aku?"

"Iya." Refleks Ranu melangkah mundur karena gentar, ketika Bayu melangkah maju menuju dirinya.

"Kamu berani ngancam aku, hah? Apa ini karena sekarang kamu sudah punya sugar daddy? Apa laki-laki yang kemarin itu yang akan melindungi kamu, makanya kamu berani minta cerai dari aku?"

"Jangan bawa-bawa orang lain yang nggak ada hubungannya! Ini antara aku dan kamu!" bentak Ranu. "Kamu ceraikan aku dan membebaskan hutang Papa, atau aku lapor polisi!"

"Kucing kecil ini sudah berani galak ya?" Bayu menyeringai. Dengan langkah lebar ia berhasil mendekat dan meraih leher Ranu lalu mencekiknya.

Ranu memberontak, berusaha melepaskan cengkeraman Bayu dari lehernya karena nafasnya terasa sesak.

"Tahu nggak, kamu makin menggairahkan kalau lagi galak begini." Bayu menggeram, dengan tangan yang mulai menjelajah di tubuh Ranu.

Rontaan Ranu berhasil membuat cengkraman Bayu di lehernya terlepas. Meski tangan Bayu yang lain masih memenjara gerakan Ranu.

"Kamu menyedihkan, Bayu!" ejek Ranu. "Kamu tampan. Kenapa harus pakai cara kotor seperti ini untuk mencari istri? Kenapa harus menipu Papaku supaya bisa menikahiku? Apa nggak ada perempuan yang mau sama kamu, karena kamu punya kelainan seksual?"

Wajah Bayu yang semula mengejek Ranu, kini memerah marah ketika Ranu berbalik mengejeknya.

"Kamu harus ke psikiater, Bayu! Kamu sakit jiwa! Nggak ada perempuan yang mau jadi istri kamu kalau tahu kamu begini. Nggak ada yang kuat jadi istri kamu kalau kamu begini terus."

"Diam kamu, Jalang!" Sebuah tamparan menghantam pipi Ranu. Tubuhnya terlempar hingga jatuh ke kasur, dengan pipi yang merah dan terasa panas.

"Apa kamu sebegitunya nggak percaya diri akan ada perempuan yang mau jadi istri kamu kalau tahu penyakit kamu? Makanya kamu menjebak aku dan Papaku, supaya kamu bisa punya istri yang terpaksa menerima kamu?"

"Diam!" Satu tamparan lagi.

Kini lelaki itu sudah duduk menindih tubuh Ranu yang tidak berdaya di ranjang.

"Balas dendam ke Papa, itu cuma alasan pengecut kamu aja kan?"

"Apa maksud kamu?"

"Papa nggak pernah mengelak dari tanggung jawab waktu kakak kamu hamil. Papa juga nggak pernah nyuruh kakak kamu aborsi. Semua itu keputusan sepihak kakak kamu! Bukan salah Papaku! Papa baru tahu tentang anaknya saat kakak kamu meninggal..."

"Jangan sok tahu kamu!"

"Oh jadi kamu memang nggak tahu kan? Kasian..."

Satu pukulan mendarat di wajah Ranu.

"Selama ini kamu memendam dendam karena kamu bodoh, Bayu! Kamu memendam dendam pada orang yang salah. Kamu bahkan melampiaskan dendam pada orang yang salah. Untuk balas dendam aja kamu nggak becus! Kamu pernah nggak sih ngerjain sesuatu dengan becus?"

Satu pukulan lagi. Kemudian Bayu merobek baju dan menarik celana Ranu saat gadis itu sudah tidak bisa melawan lagi.

Tapi meski tubuhnya tidak bisa bergerak lagi, dan rasa sakit menguasainya, Ranu masih menggunakan sisa tenaga terakhirnya untuk mengejek lelaki itu.

"Ngaku aja Bayu! Kamu suka sama aku, tapi kamu yakin nggak bisa mendapatkan aku kan? Makanya kamu pakai cara kotor untuk mendapatkan aku. Kamu cuma memakai kakakmu sebagai alasan kan? Kamu bilang aku pelacur? Jalang? Kamu laki-laki rendah, yang bahkan untuk mendapatkan pelacur seperti aku, harus melakukan segala cara kotor seperti ini. Dan tahu apa? Tetap aja aku nggak cinta sama kamu! Kamu dengar? Tetap saja segala cara kotor kamu itu cuma bisa mendapatkan tubuhku, bukan hatiku. Kasian banget kamu, Pecundang!"

* * *

Mbak Ranu: Nggar, tolong mampir ke kamarku. Di meja belajar, ada buku bank dan kartu ATMku. Aku tulis nomer PIN juga disitu. Ambil. Semua yang ada disitu punya kamu. Mungkin nggak cukup untuk uang kuliahmu. Tapi cukup untuk uang masuk.

Mbak Ranu: Maaf aku ninggalin kamu sendirian dengan cara seperti ini. Tapi ini satu-satunya cara yang aku tahu. Setelah ini aku akan bebas. Kamu juga akan bebas dari hutang Papa 2 milyar itu. Lanjutkan hidup dengan baik ya.

Mbak Ranu: Aku instal aplikasi CCTV di hape-mu. Buka sekarang. Itu terhubung ke gdrive. Serahkan itu ke polisi. Dan semua masalah ini akan selesai.

Enggar mencari aplikasi yang dimaksud Ranu dan membukanya. Ia baru sadar bahwa ada aplikasi itu di ponselnya. Pasti Ranu meng-install-nya tadi saat Ranu meminjam ponselnya.

Sambil menunggu aplikasi itu terbuka, Enggar berlari ke kamar Ranu. Dan benar saja, ia menemukan buku bank dan kartu ATM, beserta selembar kertas bertuliskan username internet banking dan nomer PIN kartu ATM.

"Perempuan brengsek kamu!"

Sebuah teriakan terdengar dari ponsel Enggar. Suara Bayu. Dan di ponsel itu, melalui aplikasi yang tadi dipasang Ranu di ponsel Enggar, pemuda itu melihat kebrutalan Bayu yang membabi-buta.

Mata Enggar memerah dan basah. Tangannya mengepal dengan gemetar. Ia ngeri melihat pemandangan di ponselnya.

Bagaimana mungkin seorang lelaki bisa memperlakukan perempuan, istrinya, sesadis itu?!

* * *

Di Korea dan China, ginseng merupakan tanaman obat yang telah dipercaya dan terbukti berdasarkan pengalaman selama ribuan tahun. Efeknya yang memperlancar peredaran darah, dapat meningkatkan khasiat obat apapun yang diberikan bersamaan dengannya. Efek lainnya sebagai stimulansia dapat meningkatkan aliran darah, dan aliran darah yang kuat ke organ reproduksi dipercaya sebagai penyebab efek afrodisiak.

Ranu tidak pernah tahu bahwa Bayu mengkonsumsi ginseng. Tapi mengapa stamina lelaki itu sangat kuat. Kenapa sejak tadi lelaki itu belum juga kelelahan memasuki dan menyiksa dirinya?

"Berani-beraninya pelacur kecil kayak kamu mengancam aku!" desis Bayu marah, di sela nafasnya yang memburu ketika memasuki Ranu dengan kasar.

Sementara gadis itu sudah tergolek tidak berdaya. Tergeletak di ranjang, bagai seonggok daging tanpa tulang. Air mata mengalir dari sudut matanya. Tapi bibirnya tersenyum.

Dan senyum itu membuat Bayu makin marah. Ia merasa gadis itu sedang mengejeknya. Tamparan demi tamparan mendarat di wajah Ranu. Makian dan sumpah serapah tak henti diteriakkan. Gerakan yang makin kasar membuat milik Ranu kesakitan.

* * *

"P-pak Erlang.... Tolong... S-saya... Mbak Ranu...."

Enggar bahkan tidak bisa bicara dengan jelas ketika panggilan teleponnya tersambung dan seseorang disana menjawab. Ia panik dan tidak bisa berpikir jernih. Matanya berlarian seiring pikirannya yang panik.

Lalu perasaan ngeri itu menelannya makin dalam ketika matanya tidak sengaja melihat sebuah benda di kotak sampah yang terbuka yang ada di kamar kakaknya.

Test pack.

* * *

Ranu merasakan nyeri yang teramat sangat di perutnya. Ia tahu artinya ini. Anaknya yang ketiga sudah pergi. Dan ia akan segera menyusul.

Syukurlah anak itu tidak akan bertemu ayahnya yang brengsek ini. Syukurlah anak itu tidak akan melihat dunia yang kejam ini.

Tubuh Ranu masih terombang-ambing diantara jambakan, tamparan, dan caci maki Bayu. Tapi matanya tertutup perlahan.

Ada tiga anak kecil yang menyambutnya dengan senyuman. Lalu Mama. Lalu Papa. Lalu perempuan cantik yang fotonya pernah ditunjukkan Mama. Itu ibu kandungnya. Lalu lelaki tampan berkulit putih dengan matanya yang kecil. Mungkin itu ayah kandungnya.

Ranu tersenyum kepada mereka semua yang sudah menunggunya.

* * *

Halo Kakak2. Gimana perasaannya setelah baca bab ini? Capek nggak?

Saya, yang nulis, berasa capek banget nulis bab ini. Bukan hanya krn ini berisi 3000 kata, tapi karena adegan yang ditulis disini traumatik dan bikin mental damage.

Ya kalo bikin mental damage, kenapa ga bikin cerita lain yg lbh ceria aja sih?

Hehehe. Salah satu misi saya menulis cerita ini, selain untuk memberi info-info seputar tanaman-tanaman di sekitar kita yang bisa berkhasiat obat, tapi juga untuk meningkatkan awareness pembaca tentang isu kekerasan seksual. Jadi meski melelahkan, saya tetap menulis cerita ini. Semoga cerita ini tetap ada manfaatnya buat Kakak2.

Awalnya bab ini terdiri dari 2 bab. Tapi saya putuskan dijadikan 1 bab sekaligus aja biar puas. Puas bacanya. Puas nyeseknya.

Nah, tinggal sisa 1 bab lagi nih. Bab berikutnya adl ending versi WP. Jadi bagi yang penasaran, yuk yak yuk vote n komen yg rame.

Makasih byk utk dukungan Kakak2 thd cerita ini selama ini 😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top