48. Papaver somniferum (2)

Peringatan: Mohon siapkan hati sebelum mulai membaca bab ini

* * *

"Awakmu ra usah ikut campur urusanku, Nggar!" Ranu memperingatkan Enggar. Meski hanya melalui panggilan telepon, Ranu memastikan anak itu tahu bahwa dirinya marah karena dia telah membocorkan terlalu banyak hal pada orang asing.

"Aku mung arep mbantu, Mbak," Enggar membela diri. "Tapi aku ra iso opo-opo. Trus Pak Erlang bilang bisa bantu, ya apa salahnya aku cerita?"

"Aku ra perlu bantuan Pak Erlang."

"Ojo ngeyel tho Mbak. Nasib kita ndak akan berubah kalau kita sendiri ndak berusaha mengubah. Lha sekarang Pak Erlang wis bersedia bantu, minjemin uang. Wis tho diterima ae."

"Ya itu namanya tutup lubang gali lubang, Nggar. Bukan ngubah nasib."

"Ya tapi setidaknya kalau sama Pak Erlang, kita bisa nyicil pelan-pelan tanpa Mbak harus dipukulin. Abis lulus SMA, aku juga bisa kerja dan cari uang buat bayar hutang."

"Awakmu lulus SMA yo kuliah sing bener!" gerutu Ayu.

"Yang penting Mbak bebas dulu dari Om Bayu."

"Trus Mama piye?"

"Sampai sekarang Mama belum bersedia nerima donor ginjal dari Mbak. Kalaupun Mama akhirnya bersedia, kita bisa pinjem Pak Erlang dulu."

"Bukan. Maksudnya, kalau aku minta cerai, apa Mama nggak syok kalau tahu cerita sebenarnya selama 2 tahun ini?"

"Mbak...."

"Awakmu pikir aku goblok, Nggar? Aku yo ngerti aku harus lapor polisi. Tapi menurutmu gampang? Tiap hari Rudi nganter aku kemana-mana. Kalau aku mau ke dokter buat minta visum, atau aku ke kantor polisi, Rudi pasti langsung lapor Om Bayu. Telpon polisi aja tanpa bukti, laporanku nggak akan dipercaya. Malah mbalik, aku bisa dihabisi sama Om Bayu dan mati sia-sia. Sementara Mama? Kalau tahu yang sebenarnya selama 2 tahun ini, opo yo Mama ora depresi? Wis lemah jantung, gagal ginjal, depresi. Awakmu arep Mama mati, hah?

Aku yo ora goblok-goblok nemen, Nggar. Aku yo mikir. Tapi aku kudu piye? Iki dudu urusan duit thok! Minjem karo Pak Erlang, ora bakal nyelesaikan semua masalah. Duit 2 milyar kui ora sithik, Nggar. Menurutmu Pak Erlang mau minjemin uang segitu banyak tanpa agenda apa-apa?"

"Agenda opo Mbak? Koyo'e Pak Erlang baik."

"Halah! Om Bayu dulu juga baik. Sekarang?"

"Jadi Pak Erlang juga ada maunya? Dia naksir sama Mbak? Ya mending sama Pak Erlang lah Mbak kalau gitu."

"Dia nggak naksir aku. Dia cuma mikir aku mirip mantannya dia!" kesal Ranu.

"Ya minimal dia nggak mukulin Mbak."

Badanku nggak dipukulin. Cuma hatiku yang bakal dihancurin tiap hari.

"Pokok'e iki urusanku. Ben aku sing mikir. Awakmu sinau ae sing bener! Ra usah kuatir. Asalkan masih ada Mama dan kamu, aku ndak mungkin mati. Aku kuat," putus Ranu galak.

"Mbak...." keluh Enggar. "Aku tahu Mbak sayang Mama dan aku. Tapi sesayang-sayangnya sama orang lain, Mbak harus lebih sayang sama diri Mbak sendiri. Coba dipikirin lagi tawaran Pak Erlang ya Mbak."

Justru karena aku lebih sayang sama diriku sendiri, makanya aku nolak tawaran Pak Erlang, Nggar. Aku nggak mau nyakitin hatiku sendiri seumur hidup. Sakit badan, aku masih bisa tahan. Itu jenis rasa sakit yang masih bisa diatasi oleh morfin. Tapi sakit hati terus-terusan seumur hidup, karena bersama orang yang aku sayang tapi dia cuma anggap aku pelampiasan/ pelarian? Aku bisa berubah jadi zombie yang hidup tanpa jiwa.

* * *

"Apa maksudnya ini, Ranu?"

Bayu melempar ponselnya ke ranjang, tepat di sisi Ranu yang sedang duduk menunduk. Ranu meraih ponsel itu dan mendapati sebuah foto di layarnya. Foto Ranu dan... Erlang? Sial! Itu pasti Rudi yang mengambil foto itu diam-diam. Kebetulan fotonya diambil tepat sekali saat Erlang menggenggam tangan Ranu. Sebenarnya kejadiannya tidak seperti yang terlihat di foto. Tadi Ranu buru-buru berdiri karena kesal berdebat dengan Erlang. Dan laki-laki itu dengan cepat meraih tangan Ranu untuk mencegahnya pergi. Kejadian itu hanya terjadi 3 detik, sebelum Ranu segera mengibaskan tangan Erlang hingga terlepas, kemudian ia pergi meninggalkan Erlang. Tapi ternyata dalam 3 detik itu Rudi sudah sempat mengambil foto mereka.

"Siapa laki-laki itu?" tanya Bayu. Dari suara dan ekspresinya, Ranu tahu bahwa Bayu marah.

"Kenalanku, Mas," jawab Ranu hati-hati.

"Kenalan dimana? Bukan teman sekolahmu dulu kan? Wajahnya sudah dewasa, bukan pemuda 20 tahunan," cecar Bayu.

"Kenal di Bali. Bosnya Ranu." Ranu memberikan dua informasi yang benar, meski ia menyembunyikan fakta bahwa lelaki dalam foto itu adalah bosnya selama di Jakarta. Laki-laki psiko seperti Bayu bisa saja mencari gara-gara hingga ke Jakarta kalau sampai dia tahu identitas sebenarnya pria di foto itu.

"Bosmu di Bali? Sekaligus sugar daddy kamu, hah?"

"Ndak Mas. Beneran cuma bos."

"Bos kok berani pegang-pegang tangan," bentak Bayu. "Dia sudah pegang apa lagi hah?"

Mendeteksi bahaya, Ranu segera bangkit dari duduknya. Tapi Bayu bergerak lebih cepat. Ia menangkap Ranu sebelum gadis itu melarikan diri.

"Dia sudah pegang ini, hah?!" Bayu meremas dada Ranu. Tapi bukan remasan lembut atau sensual, melainkan cengkeraman yang menyakitkan.

Tangan Bayu lalu turun dan menyusup memasuki celana Ranu. "Atau sudah pegang ini juga, hah, lonte?"

Ranu menjerit kesakitan karena tangan Bayu yang menjamah miliknya dengan kasar.

Lelaki itu lalu mendorong Ranu dengan kasar ke ranjang, dan langsung menindihnya.

Setelahnya tidak ada yang bisa Ranu lakukan selain pasrah. Ia hanya bisa bertahan agar tidak mati.

"Seorang istri yang mencintai laki-laki lain yang bukan suaminya adalah istri nggak bener, yang memang pantas dipukuli suaminya."

Tanpa sadar, Ranu terkekeh miris ketika mengingat kata-katanya itu. Orang bilang, kata-kata adalah doa. Makanya kita harus berkata yang baik, atau lebih baik diam. Jadi ketika hal yang dikatakannya tadi siang terjadi di kehidupan nyatanya malam ini, Ranu merasa itu karma.

Melihat senyum seringai di bibir Ranu membuat Bayu merasa gadis itu sedang mengejeknya. Hal itu membuat Bayu makin marah. Sehingga intensitas gerakannya di tubuh Ranu dan pukulannya bertambah keras dan kasar.

"Dan saya lebih memilih dipukuli sampai mati oleh laki-laki yang saya benci, daripada seumur hidup mendampingi laki-laki yang saya cintai, yang melihat saya sebagai perempuan lain."

Jadi begini rasanya dipukuli sampai mati, pikir Ranu sesaat sebelum kesadarannya hilang.

* * *

Pada banyak kasus, nyeri pada tubuh dapat diatasi dengan konsumsi analgesik (pereda nyeri) ringan, misal parasetamol, asam mefenamat, ibuprofen, ketoprofen, diklofenak, dan sejumlah analgesik ringan lainnya. Tapi ada beberapa penyakit yang menimbulkan gejala nyeri hebat.

Pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi dan radiasi, kadang rasa sakit yang dirasakan tubuhnya tidak lagi mampu diatasi oleh analgesik ringan. Butuh obat perada nyeri yang lebih kuat. Morfin, misalnya.

Morfin adalah kandungan alkaloid dari suatu tanaman yang memberi efek analgesik kuat, sehingga dapat meredakan rasa sakit yang hebat dan kronis. Dari tanaman yang sama, dihasilkan pula alkaloid lain seperti oxycodone (analgesik) dan codein (antitusif/obat batuk). Alkaloid-alakaloid ini memiliki efek samping berupa sedatif (menimbulkan kantuk) dan adiktif (menimbulkan ketergantungan) sehingga hanya boleh diberikan kepada pasien atas dasar resep dokter. Zat-zat golongan narkotika ini diawasi ketat oleh pemerintah, sehingga ditunjuk produsen dan distributor tunggal untuk memproduksi dan mendistribusikan sediaan obat yang mengandung bahan-bahan ini.

Pagi itu sudah pukul 10 pagi ketika Ranu akhirnya berhasil membuka mata. Tanpa pakaian sehelaipun, hanya selimut yang menutupi tubuhnya. Pun begitu ia tidak bisa segera menggerakkan tubuhnya untuk bangun. Dan saat memaksakan diri, ia merasa membutuhkan morfin saat itu juga, karena rasa sakit yang menghantam saraf-sarafnya sangat hebat.

Satu jam kemudian Ranu baru berhasil keluar kamar setelah pelan-pelan mencoba bangun, melangkah ke kamar mandi, membersihkan diri, dan mengobati luka-lukanya. Semuanya ia lakukan sambil menahan nyeri yang teramat hebat di sekujur tubuhnya.

Ia keluar dari kamar dan langsung menuju ruang makan. Semalam Bayu pulang dan langsung marah-marah sehingga Ranu belum sempat makan malam. Ia tidak nafsu makan tapi perutnya sangat lapar, dan ia sudah memutuskan untuk tetap kuat dan bertahan hidup, jadi ia memaksakan diri untuk makan.

"Mbak Ranu sudah bangun? Saya pana___astaghfirullahal'adzim!"

Mbak Sum yang baru keluar dari dapur ketika melihat Ranu datang, terlonjak kaget ketika melangkah mendekat dan melihat sosok Ranu lebih jelas.

"M-mbak Ranu... s-saya..." Perempuan itu memandang Ranu dengan ngeri.

"Kenapa, Sum?" Terdengar suara Rudi dari dapur juga. Langkahnya terdengar menyusul Mbak Sum, lalu terhenti di tempat yang sama dengan Mbak Sum.

"Sudah saya obati," kata Ranu, tenang, ketika menanggapi kekagetan dan kegugupan kedua orang itu akibat melihat penampilan. "Saya cuma butuh makan."

Ranu duduk di salah satu kursi makan. Dan Mbak Sum, dengan tangan gemetar, menyiapkan sepiring nasi, sayur lodeh dan ayam goreng.

"M-minumnya, Mbak Ranu..." kata Mbak Sum, menyerahkan segelas air putih ke hadapan Ranu, dengan suara bergetar.

"Makasih Mbak Sum," kata Ranu pelan. Kemudian ia menoleh pada Rudi yang masih berdiri terpaku di pintu dapur.

Ketika bersitatap dengan Rudi, lelaki itu segera menundukkan pandangannya dengan gugup. Tapi Ranu justru memanggilnya.

"Mas Rudi, bisa temani saya makan?" kata Ranu pelan, tapi suaranya tetap terdengar jelas oleh Rudi.

Lelaki itu mengangkat kepalanya dan menatap Ranu dengan bingung. Dengan cepat ia menurunkan tatapannya kembali ketika Ranu menatapnya dengan dingin.

"Duduk sini, Mas Rudi. Temani saya makan," pinta Ranu sekali lagi. Kali ini dengan nada yang lebih tegas.

Dengan gugup lelaki itu melangkah mendekat dan menarik kursi makan tidak jauh dari Ranu. Sementara Mbak Sum memilih melipir kembali ke dapur karena tidak tahan melihat pemandangan barusan.

Ranu mulai memakan nasi dengan sayur lodeh itu pelan-pelan. Ia tidak bisa membuka bibirnya terlalu lebar akibat luka sobek di tepi bibirnya, jadi hanya sedikit nasi yang bisa ia makan dalam sekali suap.

"Kenapa nunduk, Mas Rudi?" tanya Ranu datar. "Angkat kepalanya. Lihat saya."

"Ta-tapi Mbak___"

"Angkat kepala kamu, Rudi! Lihat saya!" perintah Ranu tegas.

Sontak Rudipun mengangkat kepalanya. Tapi baru sebentar, ia kembali menunduk.

"Jangan nunduk lagi. Saya nggak mengijinkan Mas Rudi nunduk. Selama saya makan, Mas Rudi harus lihat saya."

"Sa-saya... ndak sopan, Mbak," gemetar Rudi menjawab.

"Kenapa? Nggak pernah lihat perempuan cantik pakai baju seksi?" tanya Ranu. Pagi itu ia memang hanya menggunakan tanktop dan celana piyama selutut. Lekuk tubuhnya yang indah bisa terlihat jelas. "Atau belum pernah lihat perempuan korengan pakai baju terbuka begini?" Dan tanktop serta celana selutut itu membuat sekujur tubuh Ranu yang memar, kulitnya terkelupas karena dicambuk dengan ikat pinggang, juga beberapa bekas luka bakar akibat rokok, bisa terlihat dengan jelas.

Selama ini Ranu selalu keluar kamar dengan baju dan celana lengan panjang, juga concealer, yang menutupi luka-luka di wajah dan tubuhnya. Tapi kali ini ia tidak mau menutupi luka-luka itu lagi.

"Anak Mas Rudi perempuan ya? Lima tahun dan satu tahun ya kalau nggak salah?" tanya Ranu.

"I-iya, Mbak."

"Mas Rudi, lihat saya selama Mas menemani saya makan!" Sekali lagi Ranu memperingatkan dengan tegas ketika Rudi kembali menunduk saat melihatnya.

"M-mmaaf, Mbak...." cicit Rudi.

Setelah lelaki itu kembali menatapnya, memerhatikannya makan, barulah Ranu kembali bicara.

"Anak pertama saya juga perempuan," kata Ranu bercerita. "Anak kedua saya... hmmm... apa ya? Saya belum sempat tahu jenis kelaminnya. Dua-duanya sudah meninggal sebelum sempat saya lahirkan."

Semakin lama memerhatikan Ranu, membuat wajah Rudi makin pucat. Tapi Ranu tidak menghentikan ceritanya.

"Saya nggak tahu ayah saya siapa. Ibu saya sudah meninggal. Sejak bayi, saya diasuh lalu diadopsi om dan tante saya," Ranu melanjutkan ceritanya, sambil makan perlahan. "Jadi waktu saya hamil, meski saya nggak menginginkannya, saya nggak membuangnya. Saya ingin mempertahankannya. Sayangnya bayi saya keburu meninggal di dalam kandungan. Dibunuh ayahnya sendiri."

Wajah Rudi makin pucat dan matanya mulai berkaca-kaca. Tidak tahan, ia menjatuhkan diri, berlutut di hadapan Ranu.

"Maafin saya, Mbak. Maafin saya. Ini gara-gara saya. Maafin saya..." Rudi berkata terpatah-patah.

"Saya nggak nyalahin Mas Rudi. Mas Rudi punya keluarga yang harus dinafkahi. Ada dua anak gadis yang harus dijaga. Kalau Mas Rudi nggak bekerja dengan baik, Mas akan dipecat, anak-anak nggak bisa makan dan sekolah," kata Ranu tenang.

"Ampun, Mbak___"

"Kalau Pak Bayu sampai masuk penjara, Mas Rudi juga pasti kehilangan pekerjaan. Jadi saya mengerti," lanjut Ranu, masih datar. "Bangun Mas. Nggak perlu berlutut di hadapan saya. Saya bukan majikan Mas Rudi. Saya cuma butuh teman cerita."

Lelaki itu masih berlutut dan menunduk. Bahunya berguncang, menangis dalam diam. Tapi Ranu tidak memedulikannya. Ia terus saja bercerita.

"Sebelum meninggal dan harus di-kuret, saya sudah sempat merasakan dia menendang perut saya. Anak pertama saya. Kalau dia bertahan sampai lahir, umurnya sekarang sudah 1 tahun. Seperti anak bungsu Mas Rudi. Mungkin kalau besar nanti mereka bisa jadi teman main. Meski awalnya saya nggak menginginkan anak itu, tapi saya sempat memikirkan nama buat dia lho. Mau tahu nggak, Mas? Saya berencana ngasih dia nama Editha. Cantik kan Mas, namanya? Kira-kira Pak Bayu bakal setuju nggak ya? Atau apa ya alternatif _____"

Bahu Rudi yang sedang berlutut, gemetar hebat seiring air mata yang meluap dibalik kedua telapak tangan yang menutupi wajahnya. Sementara itu Ranu terus bercerita sambil terus makan perlahan-lahan.

* * *

Dua ribu kata lebih nih Kak. Ditunggu vote dan komennya 😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top