47. Papaver somniferum (1)


"Nanti kamu nemenin Mama cuci darah?" tanya Bayu pagi itu sebelum keluar rumah. Ia menoleh pada istrinya.

"Iya, Mas," jawab Ranu. "Boleh kan?" Hati-hati Ranu bertanya sambil berharap mood Bayu tidak tiba-tiba berubah dan melarangnya mengantar ibunya pada jadwal hemodialisa.

Selama ini sebenarnya Mbok Dar selalu mengantar Mama untuk hemodialisa. Tapi mumpung sekarang Ranu ada di Surabaya, meski Surabaya-Malang bukan jarak yang dekat, tapi Ranu ingin menemani ibunya.

"Boleh dong, Sayang," jawab Bayu lembut. "Aku nggak bisa nganter. Nanti dianter Rudi aja ya."

"Iya, Mas. Makasih ya."

Bayu kemudian meraih bahu Ranu. Dengan lembut ia memeluk gadis itu singkat, lalu mencium dahinya. Sebelum kemudian melepaskannya, dan berpamitan.

"Aku berangkat ya."

"Iya, Mas."

Senyum manis Ranu segera lenyap begitu mobil Bayu keluar dari pagar rumah. Rasanya lelah sekali harus berpura-pura seperti itu.

Orang lain yang melihat mereka berdua pasti iri. Suaminya bertubuh tinggi, besar dan tampan, sementara sang istri bertubuh mungil dan cantik. Sang suami juga selalu nampak penuh kasih sayang kepada sang istri. Pasangan serasi.

Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di kamar mereka. Apa yang tersembunyi di balik pakaian-pakaian lengan panjang yang dipakai Ranu.

Setelah mengantar Bayu ke kantor, Rudi, supir Bayu, kembali ke rumah untuk menjemput Ranu dan mengantarnya ke rumah Mama di Malang. Seharian ini lelaki itu ditugaskan untuk menemani Ranu kemanapun gadis itu membutuhkan.

Sebenarnya bukan hanya seharian itu saja. Sejak Bayu menjemput Ranu hari itu, Rudi ditugaskan untuk selalu mengantar Ranu kemanapun ia akan pergi. Ranu tidak diijinkan untuk keluar rumah jika Rudi tidak menemani. Dengan cara seperti itu, jelas bahwa Rudi bukan hanya bertugas sebagai supir, tapi juga mata-mata Bayu, untuk memastikan Ranu tidak kabur lagi.

Mama sebenarnya sudah bilang bahwa Ranu tidak perlu ikut mengantarnya ke RS. Jadi ketika pagi itu beliau melihat Ranu tetap datang, Mama menyambutnya dengan heran.

"Lho, pagi-pagi gini kamu ndak kuliah, Ndhuk?" sambut Mama ketika melihat Ranu menjemputnya.

Ranu tersenyum, menyembunyikan mirisnya hati. Sampai saat ini Mama masih percaya bahwa Ranu masih sedang menjalani perkuliahan di FK UNAIR.

"Ranu cuti kuliah dulu, Ma."

"Cuti kuliah? Demi Mama? Ora usah, Ndhuk. Selama ini Mama juga bisa kok, ditemani Mbok Dar."

Jadwal hemodialiasa Mama memang di  jam sekolah Enggar, sehingga biasanya Mbok Dar yang menemani Mama.

"Ndak apa-apa, Ma. Setahun ini Ranu ndak pernah nemenin Mama, karena sibuk kuliah. Maaf ya Ma. Sekarang Ranu cuti 1 semester aja buat nemenin Mama."

"Ndak usah kepikiran Mama. Kamu dan Bayu selalu ngirim tambahan uang supaya Mbok Dar bisa membantu disini lagi, Mama sudah berterima kasih banyak. Lagian sayang kan uangnya, Bayu sudah bayarin kuliahmu."

"Ranu juga sudah minta ijin Mas Bayu kok, Ma," kata Ranu berbohong dengan nada pahit.

Jika sebanyak ini kebohongan yang selama ini tanpa sadar telah ia tanamkan pada ibunya, entah bagaimana nanti terpukulnya sang ibu kalau sampai tahu bahwa semua keindahan yang diceritakannya hanyalah semu?

Ranu merangkul bahu Mama dan membimbingnya keluar rumah sambil tersenyum. "Udah Ma, tenang aja pokoknya. Kita berangkat sekarang ya."

* * *

Ranu memang sudah melepas IUDnya, tapi dia yakin tidak sedang hamil kok. Makanya dia bingung, apakah dia mengidam-idamkan sesuatu terlalu berlebihan hingga tiba-tiba berkhayal sesuatu yang diidamkannya itu muncul di hadapannya?

Padahal dirinya sudah tahu, dan sudah sering mengingatkan diri sendiri, bahwa di titik hidupnya sekarang ia tidak boleh mengharapkan apapun lagi. Atau ia akan mengalami kekecewaan berat. Tapi kenapa dirinya masih bisa-bisanya mengkhayalkan Erlang menemuinya lagi.

Ranu sedang duduk di ruang tunggu, yang disediakan untuk keluarga pasien yang sedang menjalani hemodialisa, ketika matanya menangkap sesosok lelaki melangkah menghampirinya. Laki-laki itu sangat mirip dengan Erlang. Padahal kan tidak mungkin Erlang ada di Malang, ada di rumah sakit tempat ibunya menjalani perawatan, kan? Tidak ada kebetulan sekebetulan itu kan?

Tapi lelaki itu melangkah dengan mantap menuju Ranu. Matanya juga jelas-jelas sedang menatap dirinya. Itu benar Erlang kan? Dirinya bukan hanya sedang berhalusinasi saking merindukan Erlang kan?

Jangan GR!

Tiba-tiba suara Erlang itu kembali terngiang. Mengembalikan kewarasan Ranu, bahwa dirinya tidak boleh GR. Erlang pasti hanya kebetulan berada di RS itu juga, mungkin sedang menjenguk kenalannya, atau ia mengalami gangguan kesehatan.

Tidak mungkin Erlang berada di RS itu karena sengaja ingin menemuinya.

"Ayu..." Ranu mendengar suara berat lelaki itu menyapa lembut ketika melangkah mendekat padanya.

"Pak Erlang," Ranu membalas. Ia berdiri dari duduknya, dan mengangguk sopan pada lelaki yang menghentikan langkah di hadapannya. "Bapak sakit?"

Dahi Erlang sempat mengerut, sebelum akhirnya ia tersenyum. "Saya nggak sakit kok. Kamu doain saya sakit, Yu?"

"Oh, kalau gitu, mau jenguk teman?"

"Saya kesini sengaja mau ketemu kamu kok."

"Hah?" Ranu bingung. Saat dirinya tidak GR, kenapa Erlang justru bikin GR? Nyebelin. "Ngapain ketemu saya disini? Lagian, darimana Bapak tahu saya disini?"

"Soalnya kalau saya nemuin kamu di rumah suami kamu, nanti saya diusir lagi," jawab Erlang sambil tersenyum menyindir. Membuat Ranu mingkem dengan sebal. "Kata Enggar, hari ini jadwal Mama kamu cuci darah, dan kamu berencana mengantar. Jadi saya sengaja kesini."

Sengaja kesini? Demi dirinya? Ranu berusaha menajamkan pendengaran sembari meyakinkan dirinya bahwa ini hanya kehaluannya saja.

"Bapak kenal Enggar?" tanya Ranu bingung.

"Kan kenalan di rumah suami kamu."

Ranu memang melihat Erlang memperkenalkan diri pada Enggar. Tapi hanya itu yang ia saksikan di rumahnya. Kenapa seolah Erlang sudah sering berkomunikasi dengan Enggar?

"Bapak dan Enggar....?"

"Kami tukeran nomer hp waktu saya antar Enggar pulang dari rumah suami kamu."

Kerut di dahi Ranu makin dalam. Kenapa Enggar tidak pernah cerita tentang hal ini pada dirinya?

"Mama baru mulai HD kan? Masih lama kan selesainya? Bisa ngobrol di kafe RS sebentar?" tanya Erlang, langsung ke tujuan.

Ketegasan Erlang itu membuat Ranu tidak bisa menolak. Iapun mengikuti lelaki itu menuju kafe RS. Ranu mengamati lelaki itu dua kali bertanya kepada karyawan RS yang berpapasan dengan mereka untuk menanyakan letak kafe RS. Itu menandakan bahwa ini pertama kalinya lelaki itu datang ke RS itu. Apakah itu berarti Erlang memang datang ke RS dengan sengaja untuk menemui Ranu? Bukan sekedar mampir atau sekalian menjenguk teman?

"Kamu apa kabar, Yu?" Erlang memulai obrolannya ketika di hadapan mereka sudah tersaji secangkir cappucino dan secangkir teh hangat.

"Pertanyaannya basi, Pak. Kayak kita udah lama nggak ketemu aja. Bapak baru ke rumah saya tiga hari lalu," jawab Ranu malas.

Erlang terkekeh mendengar tanggapan Ranu. Meski penampilan Ranu kini berbeda dengan penampilan Ayu yang dikenalnya, tapi sikapnya masih sama.

"Karena kabar kamu bisa saja berubah drastis meski hanya dalam waktu sehari," sindir Erlang. "Kemarin suami kamu nggak mukulin kamu lagi?"

Menelaah penampilan Ranu hari ini, yang sapuan make-up nya tidak terlalu tebal, Erlang menduga bahwa kemarin Bayu tidak melakukan kekerasan terhadap Ranu, sehingga Ranu tidak perlu menutupi bekas lebam di wajah dan tubuhnya dengan make-up.

Ranu tampak kaget mendengar tuduhan Erlang yang tiba-tiba.

"Saya sudah tahu kenapa kamu kabur ke Bali. Saya juga tahu kenapa sekarang kamu kembali pada dia," kata Erlang.

Dari ekspresinya, Ranu melihat Erlang terlihat sangat yakin dengan dugaan yang dituduhkannya barusan. Ranu jadi ngeri, membayangkan sejauh apa Enggar menceritakan tentang dirinya pada Erlang? Dia harus memarahi Enggar nanti!

"Jangan kembali lagi pada laki-laki itu, Yu," kata Erlang dengan wajah serius. Ia menegakkan tubuhnya, mendekat pada Ayu yang duduk terpisah meja darinya. "Kamu bilang, dia minta kesempatan kedua. Tapi dia masih terus mukulin kamu. Orang seperti itu nggak layak mendapat kesempatan kedua, Yu."

Ayu tidak menanggapi. Dia hanya bisa menghela nafas sambil menatap jauh ke taman bunga di luar jendela kafe tersebut.

Tanpa diberitahu orang lainpun, dirinya sendiri tahu bahwa ia tidak seharusnya kembali pada Bayu. Andai bisa, ia juga pasti sudah meminta cerai dari Bayu. Tapi ia bisa apa?

"Kamu bisa melaporkan kekerasan yang dilakukan Bayu dan menggugat cerai, Yu," Erlang melanjutkan. "Saya sudah tanya-tanya sama salah satu pelanggan restoran saya yang seorang pengacara. Dia bilang, asal kamu punya bukti kuat bahwa Bayu melakukan kekerasan, gugatan cerai kamu pasti akan dikabulkan. Bayu juga mungkin bisa dipidana karena kasus kekerasan. Saya bisa bantu kamu, Yu. Pelanggan saya itu punya kolega pengacara di Malang ini. Saya bisa temani kamu ketemu pengacara itu. Mau ya?

Soal hutang keluarga kamu ke Bayu, atau untuk pengobatan Mama, saya juga bisa bantu, Yu. Kamu jangan bertahan sama laki-laki seperti itu hanya karena uang."

Ranu tersenyum sinis. "Saya kan memang perempuan matre Pak. Sejak awal kan Bapak sudah tahu saya perempuan seperti apa. Saya bisa membiarkan sembarang laki-laki menjamah tubuh saya, asal saya dapat uang. Jadi kalau sekarang saya bertahan dengan suami saya sendiri dan bisa mendapat uang dari dia, apa salahnya? Itu suami saya sendiri."

"Kamu bukan perempuan seperti itu, Yu!"

Ranu terkekeh. "Lucu. Kan Bapak sendiri yang bilang saya perempuan matre."

"Maaf, saya yang salah," kata Erlang mengakui. "Enggar khawatir banget sama keadaan kamu disana. Kalau Mama kamu tahu yang sebenarnya, Mama juga pasti ingin kamu pisah sama Bayu."

"Bapak khawatir juga sama saya?" tanya Ranu nekat. Barangkali semua ini tidak akan mengubah apapun. Tapi ia tetap nekat ingin tahu bagaimana perasaan Erlang padanya.

"Iya, saya juga khawatir," jawab Erlang cepat. Satu jawaban itu membuat jantung Ranu berdebar-debar karena bahagia. "Saya yang bawa kamu ke Jakarta. Kamu kerja sama saya. Trus tiba-tiba kamu mudik tanpa pamit yang jelas. Wajar kan kalau saya khawatir. Pas saya mampir ke rumah kamu, saya tahu bahwa kamu sering dipukuli suami kamu dan kamu bertahan hanya karena hutang. Semua orang yang masih punya hati dan rasa kemanusiaan, saat tahu kisah kamu pasti akan ikut khawatir, Yu."

Bunga-bunga di hati Ranu layu seketika. Kupu-kupu yang selama tiga detik tadi sempat berterbangan di perutnya, luruh ke tanah, kehilangan sayapnya.

Erlang mengkhawatirkannya hanya karena rasa kemanusiaan.

"Soal hutang keluarga kamu, ijinin saya membantu ya," lanjut Erlang.

"Bapak nggak tahu sebanyak apa hutang yang harus saya bayar," jawab Ranu dingin.

"Dua milyar, iya kan?" tantang Erlang. "Dan kamu terpaksa kembali ke Bayu karena dia janji akan membiayai transplantasi ginjal Mama kamu kan?"

Ranu mengepalkan tangannya, menahan geram kepada Enggar.

"Bagaimana saya harus membayar hutang saya ke Bapak nanti?" tanya Ranu, realistis.

"Kamu nggak..." Belum sempat Erlang menyelesaikan jawabannya, tiba-tiba ia baru sadar bahwa ia belum memikirkan tentang hal itu. "Itu urusan nanti, Yu. Yang penting kamu bebas dulu dari Bayu."

"Bebas dari Bayu, trus jatuh ke tangan Bapak?"

"Saya nggak seperti Bayu!"

"Ya makanya saya mau mastiin dulu. Apa yang harus saya lakukan untuk membayar hutang?" desis Ranu marah. "Papa saya juga percaya bahwa Bayu orang baik dan cuma berniat menolong dengan meminjamkan uang. Nyatanya, belakangan dia menjadikan uang itu untuk mengikat saya. Kalau sekarang Bapak menebus diri saya dari Bayu, apa yang Bapak minta dari saya?"

Erlang menatap Ranu dengan bingung. Ia tidak menyangka Ranu akan menanggapi pertolongan yang ditawarkannya dengan cara seperti ini.

"Bapak mau saya lanjut kerja sama Bapak? Bahkan gaji pembantu lulusan SMA seperti saya, selama 20 tahun, belum tentu bisa melunasi 2 milyar itu."

"Kalau gitu, kamu nggak perlu melunasinya."

"Itu lebih seram lagi Pak. Bapak mau saya jadi simpanan Bapak, sebagai ganti 2 milyar itu? Supaya Bapak bisa melampiaskan fantasi seks Bapak terhadap Mbak Farah kepada saya?"

"Kita nggak sedang membicarakan Farah, Yu!"sergah Erlang tidak sabar.

"Kenapa? Bapak ditolak lagi sama Mbak  Farah? Butuh pelarian?"

"Ayu!" bentak Erlang. Ia ingin menghentikan bualan Ranu yang tidak masuk akal, dengan tetap menahan diri agar tidak menarik perhatian pengunjung kafe yang lain.

Ranu menatap Erlang dengan wajah memerah. "Bapak masih cinta sama Mbak Farah?" tanya Ranu, frontal.

"Kita nggak sedang membicarakan hati saya, Yu. Kita sedang membicarakan cara supaya kamu bisa lepas dari suami kamu itu sebelum kamu mati dipukuli setiap hari!"

Ayu menghela nafas untuk kesekian kalinya. Meredakan gemuruh di dadanya. Lalu menghabiskan tehnya yang sudah tidak hangat lagi.

Ia kemudian mengangkat wajahnya lagi dan menatap Erlang.

"Saya jatuh cinta sama Pak Erlang," kata Ranu.

Kemantapan dalam suara Ranu yang lembut membuat Erlang tergeragap. "Yu...tapi...."

Tapi kamu nggak cinta aku kan?

"Seorang istri yang mencintai laki-laki lain yang bukan suaminya adalah istri nggak bener, yang memang pantas dipukuli suaminya. Dan saya lebih memilih dipukuli sampai mati oleh laki-laki yang saya benci, daripada seumur hidup mendampingi laki-laki yang saya cintai, yang melihat saya sebagai perempuan lain."

* * *

Waahhh 2000 kata lebih lagi nih Kak. Udah puas belum Kak?

Makasih buat Kakak2 yg selalu mendukung 😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top