46. Erythroxylon coca (3)
Ada yang nungguin Om Erlang ga?
Ya ampun, akhirnya setelah terlalu sering dihujat, ada juga yang kangen sama dia.
Kayaknya kali ini beneran jadi male lead lah ya ini, nggak tergusur sebagai second lead lagi?
* * *
"Pak Erlang beneran mau ke Malang? Saya beneran ndak ngerepotin?"
Pemuda yang masih menggunakan celana SMA (meski kemeja SMAnya sudah dilepas, menyisakan kaos berwarna biru) itu menoleh dan tersenyum sungkan pada pria yang mengemudikan mobil di sebelah kanannya.
Menanggapi itu, Erlang menoleh ke kiri sambil tersenyum, kemudian fokus lagi mengemudikan mobil yang disewanya selama ia di Surabaya.
"Iya, saya memang ada urusan di Malang. Jadi sekalian aja," jawab Erlang. "Eh, siapa namanya tadi? Enggar kan? Nama kita mirip."
"Eh? Hehehe, iya, ya Pak. Mirip," jawab Enggar, cengengesan sungkan.
Setelah diusir pulang dari rumah Ayu tadi, Erlang sempat berpapasan dengan Enggar sebelum keluar rumah. Saat itu, mengikuti instingnya, Erlang langsung memutuskan untuk mendekati adik Ayu itu. Mungkin dari pemuda ini ia bisa mengetahui lebih banyak tentang Ayu dan suaminya.
Kenyataan bahwa Ayu kembali kepada suaminya, padahal Erlang melihat sendiri betapa ketakutannya gadis itu pada Bayu (yang berdasarkan asumsinya adalah suami Ayu), membuat Erlang kaget dan tidak habis pikir.
Dan jujur saja, ia merasa kecewa dengan keputusan Ayu itu.
Ih, apa hak lo buat kecewa?
Bagus lah kalau istri orang rujuk sama suaminya.
Bertemu dengan Ayu hari ini menjawab banyak rasa penasaran Erlang, tapi sekaligus menambah makin banyak pertanyaan.
Itu mengapa saat bertemu dengan Enggar, ia segera memperkenalkan diri pada pemuda itu. Meski Erlang sadar bahwa Ayu menatapnya dengan tidak suka saat Erlang memperkenalkan diri pada Enggar, tapi dia mengabaikannya.
Setelah itu Erlang memang keluar lebih dulu dari rumah Ayu, tapi ia tidak segera pergi. Ia menepikan mobilnya agak jauh dari rumah Ayu. Dan begitu melihat Enggar keluar dari rumah itu seorang diri, Erlang langsung menghampirinya dengan mobil dan menawarkan mengantarkan ke Malang.
"Pak Erlang katanya bosnya Mbak Ranu di Jakarta? Kesini sengaja nemuin Mbak Ranu atau lagi liburan, Pak?" tanya Enggar berbasa-basi.
"Lagi ada urusan aja. Jadi sekalian mampir."
"Ohh..." Enggar tampak tidak yakin dengan jawaban itu. Tapi ia mengangguk-angguk saja.
"Saya punya usaha kuliner," kata Erlang. "Utamanya di Jakarta. Tapi saya punya juga di Bandung dan Bali. Jadi ini sambil iseng menjajagi kemungkinan buka usaha di Malang atau Surabaya."
Sungguh bukan itu alasan Erlang ke Surabaya. Tapi ia tidak mau Enggar curiga bahwa dirinya ke Surabaya hanya demi bertemu Ayu. Jadi dia membual saja.
"Oh Bapak punya restoran ya? Berarti Mbak Ranu kerja di restoran Bapak?"
Erlang mengangguk. "Di kafe, tepatnya."
"Dulu Mama juga punya restoran," sambung Enggar. "Kafenya kafe apa Pak?"
"Kafe Korea gitu," jawab Erlang. "Oh ya? Mama kamu punya restoran juga? Restoran apa?"
"Restoran diet, Pak."
"Hah? Maksudnya?"
"Menunya menu-menu sehat gitu, Pak. Ada menu vegan juga."
"Wah menarik! Dimana itu? Kapan-kapan mau mampir ah, sekalian cari inspirasi."
"Tapi sekarang restorannya sudah dijual ke orang lain, Pak. Sudah diubah jadi restoran western food gitu."
"Oh? Kenapa?"
"Ibu saya sakit. Jadi sudah ndak bisa mengelola. Jadi restorannya dibeli sama suaminya Mbak Ranu."
Erlang langsung waspada ketika topik pembicaraan mulai menyinggung suami Ayu. Ia ingin mendapatkan sebanyak mungkin informasi tanpa terlihat terlalu kepo.
"Kalau gitu, masih bisa dianggap restoran keluarga dong. Kan masih dikelola oleh keluarga juga?"
Enggar tidak menjawab. Ia hanya mengendikkan bahu. Dari gesture itu Erlang menangkap bahwa Enggar tidak terlalu suka membicarakan soal kakak iparnya.
"Suaminya Ayu.... em, maksudnya suaminya Ranu itu yang namanya Bayu?" tanya Erlang.
"Iya," jawab pemuda itu singkat.
"Dia bukan orang baik kan?" Erlang memancing.
Tapi Enggar tidak terpancing. Dia hanya diam saja.
"Ranu cerita ke kamu kan, alasan dia pergi dari rumah suaminya selama lebih dari setahun ini?"
Enggar menoleh. Kali ini perhatiannya terfokus pada Erlang. Pemuda itu tampak makin serius menimbang, informasi apa yang boleh atau tidak ia bagikan kepada lelaki ini.
"Mbak Ranu... cerita ke Bapak?" tanya Enggar ragu.
Kakaknya bukan perempuan ember yang mudah mengumbar masalahnya. Enggar saja baru tahu bahwa Om Bayu sering memukuli kakaknya ketika akhirnya sang kakak kabur dari rumahnya.
Enggar ingat, malam itu ia menerima telepon dari Ranu. Perempuan itu menangis dan mengatakan akan pergi jauh untuk menghindari ditangkap polisi, karena dia telah mencoba membunuh suaminya sendiri akibat mempertahankan diri dari penganiayaan yang dilakukan suaminya. Ranu meminta Enggar agar sebisa mungkin menjaga agar berita ini tidak sampai ke telinga ibunya. Bahkan selama 1.5 tahun Ranu dalam pelarian saja, Enggar tidak tahu kemana kakaknya kabur. Ia hanya menerima kabar dari waktu ke waktu, bahwa kakaknya dalam keadaan sehat.
"Ranu terpaksa kan nikah sama Bayu?" tanya Erlang nekat.
Ayu tidak pernah curhat padanya tentang Bayu. Semua yang ia katakan sejak tadi hanya prediksinya saja, berdasarkan pengamatan terhadap sikap Ayu selama ini. Ia nekat saja sok tahu tentang hal tersebut, agar Enggar percaya bahwa Ayu telah banyak bercerita pada dirinya, sehingga pemuda itu tidak ragu lagi untuk bercerita padanya. Dan ternyata trik tersebut berhasil.
Dengan mengingat sikap Ranu yang serba rahasia, jika sampai Erlang mengetahui cerita tentang Bayu, itu berarti Ranu memang mempercayai lelaki ini untuk berbagi cerita. Iya kan?
Maka dengan itu, dimulailah cerita dari mulut Enggar, semua kisah tentang Ranu dan Bayu yang ia ketahui, sepanjang perjalanan Surabaya-Malang.
Dari pemuda itu Erlang mengkonfirmasi kecurigaannya, bahwa Ranu pernah menjadi korban pemerkosaan. Dan kemudian ia dinikahkan dengan pelakunya, si Bayu itu, karena terlanjur hamil.
Enggar juga bercerita bahwa ayahnya sudah meninggal, sehari setelah pernikahan Ranu. Rumah mereka dijual karena Papa ditipu dan merugi. Mereka bahkan masih memiliki hutang 2 milyar pada Bayu meski lelaki itu belum menagihnya. Dan sejak itu kesehatan Mama terus memburuk.
Tidak banyak yang Enggar ceritakan tentang Ranu dan Bayu, karena Ranu juga tidak banyak bercerita tentang kehidupan pernikahannya. Yang Enggar tahu, kakaknya kabur dari rumah Bayu karena mengalami kekerasan.
Dua hari setelah Ranu menelepon dan mengabari dirinya kabur, Bayu berkunjung ke rumah Mama. Ia pikir Ranu kabur ke Malang. Tapi saat Mama bertanya "Lho, Bayu kesini ndak bareng Ranu?" saat itu Bayu sadar bahwa Ranu bahkan tidak memberi tahu keluarganya bahwa dirinya kabur.
Bayu pernah mencoba mengulik keterangan dari Enggar. Tapi pemuda itu pura-pura bodoh dan tidak tahu. Jadi sejak itu, Bayu berpura-pura di hadapan Mama dan Enggar bahwa Ranu tidak pernah pulang ke Malang, bahkan saat lebaran, karena kesibukan kuliah.
Saat Ranu mengalami keguguran, Bayu mengirim kabar kepada Mama dan Enggar. Mereka juga menjenguk Ranu setelah proses kuretase. Sehingga ketika Ranu kabur, Mama tidak pernah lagi menanyakan kapan Ranu melahirkan.
Erlang sempat terhenyak saat mendengar bahwa Ranu pernah mengalami keguguran. Apakah karena hamil di luar kandungan, seperti Farah dulu? Atau karena rahimnya lemah? Atau karena mengalami kekerasan oleh suaminya?
Enggar menceritakan kepada Ranu, sikap Bayu yang memilih berpura-pura bahwa Ranu masih tinggal bersamanya. Dan itu membuat Ranu agak lega. Mungkin Bayu khawatir juga jika Mama tahu bahwa Ranu kabur, maka Mama akan lapor polisi dan akhirnya kekerasan yang selama ini dilakukannya pada Ranu terungkap.
Akhirnya dengan memanfaatkan kebohongan Bayu, Ranu juga berbohong pada Mama. Mencocokkan cerita bahwa dirinya sibuk kuliah sehingga belum bisa pulang ke Malang.
Dari waktu ke waktu Ranu tetap menghubungi Enggar untuk memastikan kabar Mama dan Enggar baik-baik saja. Ranu juga mentransfer uang rutin setiap bulan ke rekening Mama yang dipegang Enggar. Apalagi sejak kesehatan Mama makin buruk akibat penyakit jantungnya yang menunjukkan komplikasi gagal ginjal sehingga Mama harus menjalani hemodialisis, Ranu mengirim uang makin banyak agar mereka dapat meminta bantuan Mbok Dar lagi di rumah mereka, untuk menjaga Mama saat Enggar sekolah.
Sekarang Erlang tahu alasannya, mengapa Ranu getol sekali mengumpulkan uang.
Dua minggu yang lalu Enggar terpaksa menghubungi Ranu karena ibunya colaps dan dirawat di RS. Itulah alasan Ranu buru-buru pulang ke Malang. Dokter mengatakan Mama harus segera menjalani transplantasi ginjal jika tidak ingin kondisinya terus memburuk.
Entah bagaimana, Bayu bisa tahu tentang keadaan Mama dan kepulangan Ranu. Sehingga pada hari kedua Mama dirawat, Bayu datang ke RS. Enggar yakin Bayu mengancam Ranu karena setelah itu Ranu bersedia pulang ke Surabaya. Tiap hari Ranu masih diijinkan bolak-balik Surabaya-Malang diantar supir sampai ibunya diperbolehkan pulang dari RS.
Sebelum pulang dari RS, Enggar mendengar Ranu sempat membujuk ibunya agar mau menjalani transplantasi ginjal. Ranu mengajukan diri sebagai donornya. Dan ketika Mama menolak karena alasan biaya, Ranu mengatakan bahwa Bayu sudah bersedia menanggung biayanya. Saat itu Enggar tahu bahwa Ranu mengorbankan dirinya untuk kesembuhan Mama. Itu alasan Ranu kembali pada Bayu, padahal selama ini berhasil kabur dari pria itu.
Lama setelah Erlang berpisah dengan Enggar di depan rumah pemuda itu, setelah dirinya kembali berada di kamar hotelnya, Erlang tercenung.
Diantara semua hal yang pernah dilalui Ayu, gadis itu masih bisa tersenyum di hadapan orang lain. Tidak pernah terbayang sebelumnya oleh Erlang, bahwa gadis itu mengalami penderitaan sebanyak itu di usianya yang baru 20 tahun.
Dia menyesal, sering menilai gadis itu dengan buruk. Padahal Ayu melakukan semua itu demi keluarganya. Padahal ia bersikap seperti itu karena masa lalunya yang berat.
Ada basah yang singgah di wajah Erlang. Dan ia terkejut mendapati dirinya menangis saat mengingat Ayu.
Kenapa ia harus menangis? Bukankah ia baru mengenal Ayu beberapa bulan ini? Bukankah Ayu hanya salah seorang karyawannya saja?
* * *
Ranu terbiasa melayani Bayu sambil memejamkan kata, demi menghalau rasa sakit yang diterimanya. Tapi kali itu Ranu menerima semuanya dengan mata terbuka. Menatap lelaki dengan wajah keras yang sedang diselimuti hasrat itu. Ia khawatir kalau dirinya memejamkan mata, maka wajah lelaki lain yang akan singgah di pikirannya. Ia tidak mau mengasosiasikan rasa sakit yang diterimanya dari lelaki sakit jiwa ini dengan wajah pria itu, yang tadi siang jauh-jauh datang dari Jakarta untuk menemuinya.
Jangan GR!, Ranu menegur dirinya sendiri dengan keras. Lelaki itu bukan sengaja menemuinya. Lelaki itu sudah bilang bahwa dirinya hanya sedang tidak sengaja mampir.
"Nggak usah GR! Saya nggak naksir sama kamu! Saya nggak mungkin jatuh cinta sama istri orang kan."
Lelaki itu sudah berkali-kali mengatakan hal itu. Bahkan mengkonfirmasi agar Ranu tidak salah paham menerima kebaikannya.
Hahaha! Lucu sekali, bukan? Perempuan yang sudah rusak seperti ini masih berharap dicintai? Tidak tahu diri sekali dirinya.
"Uh, uh, mmmhhh..." Tanpa sengaja ia melenguh ketika rasa sakit itu menumbuknya dengan makin cepat. Tapi itu belum seberapa dibanding rasa sakit di hatinya.
Ranu menatap kosong pada langit-langit kamar, setelah Bayu menuntaskan hasrat pada dirinya. Ia membiarkan dirinya merasakan dingin yang menusuk, juga rasa sakit di seluruh tubuhnya. Ia memerlukan rasa sakit ini untuk mengingatkannya pada kenyataan, bahwa dirinya tidak seharusnya masih menyimpan harap.
Harapan hanya layak bagi mereka yang masih memiliki masa depan. Sementara Ranu sudah tidak memiliki masa depan lagi. Ia hanya bertahan hidup sampai ibunya bersedia menerima donor ginjal darinya. Setelah itu, Ranu berdoa agar Tuhan mengambil nyawanya saja di meja operasi. Ia sudah tidak kuat hidup seperti ini lagi.
"Maaf..."
Ranu mendengar lirih Bayu berkata. Kecupan-kecupannya yang lembut mendarat pada bagian-bagian tubuh Ranu yang kebiruan.
"Maaf, Sayang. I can't control it..." Suara lelaki itu penuh sesal.
Ranu tidak menanggapi. Dirinya sudah kebas dengan permintaan maaf lelaki itu. Seringkali setelah meniduri dan menyakitinya, Bayu meminta maaf dan memperlakukan Ranu dengan manis. Tapi perlakuan kasar itu kembali berulang tiap malam. Lelaki itu tidak pernah mau mengakui bahwa dirinya perlu berkonsultasi pada psikolog atau psikiater.
"Aku sayang kamu, Ranu. Jangan pergi lagi..." bisik lelaki itu lembut di telinganya, sambil menggoda puncak dada Ranu yang terbuka.
Tapi Ranu sama sekali sudah tidak tergoda atau terangsang. Ia hanya diam dengan syaraf-syaraf yang kebas.
Ada satu tanaman yang daunnya menghasilkan senyawa kokain. Ia berfungsi untuk menstimulasi syaraf, sehingga dapat beraktivitas dengan lebih kuat dan lama. Dari bahan yang sama itu, struktur kimianya bisa dimodifikasi menjadi lidokain yang justru mem-blok saraf sensorik sehingga justru berfungsi sebagai anastesi lokal dan menyebabkan rasa kebas sehingga tidak lagi merasakan sakit. Bagi Ranu, suaminya seperti itu. Barangkali Bayu selalu bergairah saat bersamanya. Tapi Ranu sendiri sudah merasa kebas dan tidak bisa merasakan apa-apa lagi saat bersama Bayu.
Ranu tersenyum. Hidup macam apa ini, dengan tubuh dan hati kebas seperti ini?
Melihat senyum itu, Bayu mengartikannya sebagai penerimaan maaf oleh Ranu. Lelaki itu kemudian melumat bibir Ranu dan kembali memasukinya dengan gairah yang bertambah. Dengan rasa sakit yang bertambah.
"Nggak usah GR!"
Setetes air mata lolos dari sudut mata Ranu.
"Saya nggak naksir sama kamu!"
Iya. Iya. Perempuan rusak seperti aku memang tidak layak dicintai.
"Saya nggak mungkin jatuh cinta sama kamu!"
Iya, aku tahu. Tolong jangan diulang terus. Aku tahu. Aku tahu.
Aku tahu.
* * *
Yuhuuu 2000 kata lho ini.
Gimana perasaan Kakak2 baca bab ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top