44. Eugenia caryophyllata (6)
Ranu pikir Bayu memiliki kelainan seksual. Karena lelaki itu bersikap normal di waktu biasa. Kata-katanya barangkali tidak seramah seperti yang diingat Ranu selama 3 tahun ini. Tapi lelaki itu masih mau berbuat baik pada Ranu. Dia bahkan mau mengantar Ranu memeriksakan kehamilan ke dokter. Tapi tiap kali berhubungan seks, Bayu akan kembali menjadi iblis.
Lelah dan sakit dengan semua siksaan Bayu, Ranu akhirnya menyerah. Ia berusaha untuk tidak lagi melawan. Ia hanya mempertahankan diri. Bagaimanapun ia tidak bisa lepas dari Bayu. Jadi setidaknya ia ingin punya hubungan yang baik dengan suaminya.
"Mas..." Ranu berusaha bersikap semanis mungkin. "Apa Mas nggak bisa sayang sama aku? Aku sedang hamil anak Mas. Tolong jangan... kasar."
"Kasar?! Kamu pikir yang aku lakukan selama ini kasar?" Bayu mengejek. "Kamu nggak tahu seberapa kasar yang bisa aku lakukan. Kamu perlu definisi ulang tentang kata kasar, Ranu!"
Dan malam itupun kembali berakhir dengan tangisan Ranu.
"Kamu nggak usah kuliah! Perut kamu makin besar. Kamu nggak akan bisa kuliah sambil membawa-bawa perut yang makin besar! Nanti kamu juga yang malu," tukas Bayu sambil memakai celananya kembali.
Dan cita-cita Ranu kini sudah tertutup rapat.
* * *
Kekerasan yang dilakukan Bayu berlangsung terus menerus. Ranu tidak bisa kabur karena jika ia kabur, ibu dan adiknya akan harus membayar hutang sang ayah. Pun ia tidak tahu harus kabur kemana. Pulang ke Malang hanya akan membuat ibunya mengetahui nasibnya selama ini. Hal itu selain membuat Bayu akan merasa puas karena dapat menunjukkan kepada keluarga Ranu bahwa dirinya berhasil membuat Ranu menderita, hal itu juga akan membuat ibu Ranu akan merasa tertekan. Ranu tidak mau hal itu terjadi.
Ranu juga tidak bisa melaporkan kejahatan Bayu kepada polisi. Pertama, ia tidak punya bukti. Kedua, orang tidak akan percaya pada kata-katanya karena di luar sana Bayu dikenal sebagai pengusaha yang baik dan ramah. Ketiga, ia tidak memiliki kuasa hukum yang bisa mendukungnya. Melaporkan kejahatan Bayu dengan kondisi seperti ini malah akan berakhir dengan Ranu yang akan disuruh minta maaf karena sudah mencemarkan nama baik. Keempat, andaipun ia berhasil menjebloskan Bayu ke penjara, hal itu tidak membuat hutangnya sebesar 2 milyar akan lunas. Bisa jadi Bayu malah memintanya membayar hutang itu sekaligus.
Suatu hari di usia kandungannya yang sudah 5 bulan, Ranu terbangun dengan perut yang terasa sangat sakit. Sekujur tubuhnya juga sakit, tapi itu sudah biasa. Malam sebelumnya seperti biasa Bayu mengambil jatahnya. Dan seperti biasa, pukulan atau tamparan tidak pernah luput dari rutinitas mereka, sehingga Ranu biasa bangun dengan tubuh yang sakit dan membiru. Tapi rasa sakit di perut Ranu kali itu teramat sangat. Dan saat ia ke kamar mandi, ia melihat darah merembes dari organ intimnya. Banyak sekali. Itu tentu bukan hal wajar bagi seorang wanita hamil. Jadi pagi itu juga Bayu membawa Ranu ke rumah sakit.
Ranu membenci ayah bayi itu. Dan cintanya pada janin itu juga belum tumbuh terlalu besar. Tapi saat mendengar bahwa janinnya gugur dan dirinya harus menjalani kuretase, Ranu tetap merasa sedih. Ia merasa sebagian dari dirinya hilang, meninggalkan ruang kosong yang gelap pekat.
Setelah hari itu, Bayu bersikap lebih baik kepadanya. Tidak ada lagi malam-malam penuh penyiksaan, setidaknya untuk satu minggu kemudian.
"Bu Ranu masih 19 tahun?" Dokter yang memeriksa Ranu seminggu setelah terjadi keguguran itu, mengkonfirmasi.
"Iya, Dokter," jawab Ranu.
"Begini, Bu. Memang banyak juga ibu-ibu lain yang hamil pada usia muda. Tapi secara umum, sebenarnya akan lebih aman jika hamil pada usia yang lebih dewasa, karena organ reproduksi sudah lebih kuat. Apalagi Bu Ranu sempat mengalami keguguran seperti ini." Sang dokter memberi jeda sesaat. "Apa Bu Ranu mempertimbangkan kontrasepsi? Saya menyarankan Bu Ranu menggunakan kontrasepsi sampai rahim Bu Ranu siap kembali. Bagaimana menurut Ibu?"
Dan tentu saja Ranu setuju dengan usul Dokter tersebut. Ia tidak mau memiliki anak dari laki-laki seperti Bayu. Jadi dengan uang tabungannya sendiri ia membeli obat kontrasepsi yang diresepkan dokter, agar pengeluarannya tidak terlacak. Dan tiap hari ia mengkonsumsi obat tersebut tanpa sepengetahuan Bayu.
Efektivitas kontrasepsi oral bisa mencapai 99% dalam mencegah kehamilan asalkan diminum dengan teratur. Ranu juga meminum pil KB nya dengan teratur, sangat menjaga agar dirinya tidak sampai hamil, mengingat Bayu yang sangat aktif secara seksual. Namun manusia boleh berencana, Tuhan juga yang menentukan. Ranu termasuk 1% orang yang mengalami kegagalan kontrasepsi. Ia hamil kembali.
"Mas..." Ranu memanggil suaminya dengan lembut.
"Hmmm..." Bayu hanya menanggapi dengan gumaman. Matanya tetap terpejam. Satu tangannya melingkari pinggang Ranu, sementara tangan yang lain membelai perut Ranu. Saat itu kepalanya sedang rebah di paha Ranu. Lelaki itu menyurukkan kepalanya ke perut Ranu, dan mulai menciumi perut itu dari balik gaun tidur Ranu.
Ada kalanya Bayu memang bisa semanis itu. Selembut itu. Tapi sayangnya, Ranu tidak pernah bisa menduga kapan Bayu bersikap lembut, kapan lelaki itu menjadi liar dan brutal.
"Aku hamil, Mas."
Belaian di perut Ranu terhenti sesaat. Bayu membuka matanya dan menatap pada wajah Ranu di atas kepalanya.
"Apa Mas menginginkan anak ini?" tanya Ranu berhati-hati.
Dahi Bayu berkerut. "Kenapa kamu tanya begitu?"
"Kata dokter yang kemarin kuret aku, rahimku lemah..." Berhati-hati Ranu berbohong. "Jadi kalau Mas menginginkan bayi ini... boleh minta tolong pelan-pelan, Mas?"
Lama Bayu tidak menjawab permohonan Ranu itu. Ia hanya menatap wajah Ranu lebih dalam.
"Apa Mas pernah sayang sama aku? Sekali aja? Sedikit aja? Atau selama ini aku memang hanya alat balas dendam buat Mas?" tanya Ranu lirih.
Bayu tidak menjawab. Ia hanya meraih kepala Ranu hingga menunduk, dan mencium bibir Ranu dengan dalam dan lembut. Kali itu Bayu meminta haknya dengan cara yang lembut dan membuat Ranu merasa nyaman.
Tapi tabiat adalah tabiat. Susah untuk diubah. Beberapa hari kemudian Bayu kembali menggauli Ranu dengan kasar, bahkan meski Ranu sudah mengingatkan kondisi kehamilannya. Jadi dengan mengingat tabiat suaminya, Ranu sudah tidak berekspektasi apapun dengan kehamilan ini. Jika janinnya kuat, ia akan bertahan. Tapi jika tidak, Ranu sudah menyiapkan hati untuk keguguran berikutnya.
Pun begitu, meski telah menyiapkan hati jika kehamilannya tidak bertahan lama, tapi 2 kali keguguran hanya dalam selang waktu 6 bulan menbuat Ranu trauma dan depresi. Kehilangan janinnya, itu membuat hati Ranu kosong. Dan rasa sakit yang dialaminya tiap kali mengalami kuretase, itu juga membuatnya trauma.
"Bu Ranu, ini sudah keguguran kedua..." kata Dokter Vani, dokter obgyn yang sama dengan yang menanganinya pada keguguran sebelumnya. "Ini bukan karena rahim ibu lemah. Apa saya boleh bertanya?"
Ranu mengangguk.
"Apa Ibu mengalami kekerasan di rumah?" tanya sang dokter, berhati-hati meskipun tetap tegas.
Ranu tidak menjawab. Hanya saja matanya berkaca-kaca menatap sang dokter.
"Saya bisa membantu membuatkan surat visum kalau Ibu ingin melaporkan..."
Tapi Ranu masih diam.
Sang dokter mendesah prihatin.
"Kalau gitu, untuk sementara, kita ganti kontrasepsinya, gimana Bu? IUD atau spiral, efektivitasnya lebih tinggi daripada kontrasepsi oral. Meminimalkan kemungkinan lupa konsumsi obat. Semoga dengan begini, bisa mencegah kehamilan Ibu sampai rahim Ibu pulih kembali setelah keguguran ini. Gimana Bu?"
Tentu saja Ranu menyetujui. Jika sebelumnya ia masih berharap Bayu lama-lama bisa luluh dan menyayanginya, kini Ranu tidak lagi berharap. Dia sudah memutuskan tidak menginginkan anak dari lelaki itu.
* * *
Pada mayoritas pasien yang menggunakan intra uterine device, tidak ditemukan keluhan ketidaknyamanan oleh pasangan. Namun demikian, memang ada beberapa kasus dimana pasangan seksual merasa tidak nyaman dengan adanya IUD yang terpasang pada rahim. Entah kenapa, lagi-lagi Ranu kembali menjadi kasus langka itu.
Bayu menyadari ada yang berbeda dengan vagina Ranu. Dan setelah didesak, akhirnya Ranu mengaku bahwa dirinya menggunakan IUD sebagai alat kontrasepsi. Entah kenapa hal itu membuat Bayu marah, dan bahkan sangat marah. Lelaki itu mengamuk.
"Kamu nggak mau punya anak dari aku? Hah?!"
Satu tamparan mendarat di pipi Ranu.
"Kenapa, hah?! Kamu jijik sama aku?"
Satu tamparan lagi.
"Harusnya aku yang jijik punya anak dari perempuan murahan kayak kamu!"
Ranu sudah sampai batas kesabarannya. Seluruh tubuhnya sakit. Kewanitaannya sakit. Hatinya juga sakit. Ia tidak mampu lagi menanggung penderitaan yang lebih berat.
Tanpa benar-benar berpikir, sekuat tenaga Ranu mendorong tubuh besar Bayu yang menindihnya hingga terjerembab di kasur. Masih tanpa sehelai kainpun pada tubuhnya, Ranu berlari ke meja kerja Bayu yang terletak di pojok kamar. Ia mengambil gunting disana lalu menodongkannya pada suaminya.
"J-jangan dekat!" teriak Ranu histeris.
Tapi alih-alih takut, Bayu justru melangkah mendekat dengan senyum iblisnya.
"Kamu seksi banget kalau lagi marah gitu," Bayu menggoda. Tapi itu bukan jenis godaan yang menyenangkan, melainkan justru menakutkan.
Tidak memedulikan peringatan Ranu, Bayu tetap merangsek mendekat. Dengan cepat ia meraih tubuh Ranu dan berusaha menahan tangannya. Tapi Ranu yang kalut bertindak lebih cepat. Tangannya mengibaskan gunting itu. Dan meski tanpa direncanakannya, gunting itu menancap di perut Bayu.
Lelaki dengan bahu yang lebar itu meraung marah dan kesakitan. Darah merembes dari perutnya. Membuat cekalannya pada tubuh Ranu terlepas. Memanfaatkan momen, Ranu langsung menyambar kimono tidur dan ponsel di nakas, membuka lemari pakaian, menyambar tas lalu secara sembrono memasukkan pakaian yang dapat diraihnya dalam sekali tarik. Lalu ia berlari dengan cepat keluar kamar dan menguncinya dari luar.
Dengan gemetar, dengan tubuh setengah telanjang, ia menatap tangannya yang berdarah. Tapi sudah bukan saatnya lagi untuk takut dan mundur.
Hari itu Ranu pergi dari rumah itu. Pergi dari kota itu. Pergi dari pulau itu.
* * *
Kejadian itu sudah lebih dari satu tahun berlalu. Tapi ketakutan yang terasa saat dirinya berada di kamar itu masih terasa pekat. Apalagi karena ketakutannya bukan hanya ketakutan kosong. Sejak ia kembali ke rumah itu dan tidur di kamar itu, entah sudah berapa kali Bayu melakukannya dengan kasar. Tapi kali ini Ranu tidak punya pilihan selain menerima.
Ia menatap lebam di rahangnya dari cermin di kamar itu. Perlahan dan lembut ia mengaplikasikan concealer untuk menutupi lebam itu.
Ranu mendengar pintu kamarnya diketuk. Tahu bahwa itu adalah Mbak Sum, yang membantu di rumah itu, Ranu mempersilakannya membuka pintu.
"Mbak Ranu, ada tamu," kata Mbak Sum memberi tahu.
Ranu menoleh ke arah pintu kamarnya yang terbuka.
"Tamunya Bapak ya Mbak? Bilang aja Bapak baru pulang malam nanti. Kalau perlu segera, langsung ke kantor Bapak aja," kata Ranu. "Jangan lupa tanya namanya. Nanti saya bilang Bapak," ia menambahkan.
"Bukan, Mbak. Tamunya nyari Mbak Ranu. Laki-laki," jawab Mbak Sum.
"Eh?" Siapa? Ranu tidak merasa memiliki teman yang tahu bahwa dirinya tinggal disini. Yang tahu alamat ini cuma Enggar dan Mama.
"Namanya Enggar ya Mbak?" tanya Ranu. Ia bangkit dari duduknya dan melangkah menghampiri Mbak Sum. "Dia adik saya." Pasti Enggar datang untuk mengembalikan ponselnya yang ketinggalan di rumah Mama.
"Eh? Enggar ya? Emm kayaknya bukan, Mbak," jawab Mbak Sum ragu. "Bapak-bapak seumuran Pak Bayu gitu Mbak. Tadi nyari yang namanya Ayu. Pas saya bilang disini nggak ada yang namanya Ayu, dia nyebutin nama Yujinia Ranupadma. Itu nama Mbak Ranu bukan ya Mbak?"
Ranu terpaku di tempatnya berdiri. Ia menatap ngeri pada Mbak Sum.
Nggak mungkin dia kan? Nggak mungkin orang itu kan?!
* * *
Ciyeeeee siapa yang seneng?
Kuis: Kok si Om bisa nemu rumahnya Yujin?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top