43. Eugenia caryophyllata (5)
Dua bulan lalu Ranu adalah gadis SMA yang baru saja lulus UN dan sudah diterima di Fakultas Kedokteran salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia. Ia melihat dirinya lima tahun mendatang sebagai salah seorang dokter muda di RS. Tapi hanya dalam dua bulan, hidupnya berubah total.
Dirinya diperkosa. Perusahaan ayahnya bangkrut. Harus pergi dari rumah. Keluarga mereka berhutang 2 milyar kepada lelaki yang memperkosanya. Ia hamil dan harus menikah dengan pemerkosanya. Dan ayahnya meninggal dunia.
Dunianya runtuh.
Ranu hanya duduk diam di pinggir ruangan, bersandar di dinding sambil menatap kosong pada jenazah ayahnya. Sang ibu berada di kamarnya, ditemani Mbok Dar, setelah sebelumnya menangisi suaminya hingga pingsan.
Orang-orang datang dan mengucapkan bela sungkawa kepada Ranu. Tapi gadis itu hanya diam, tidak menanggapi. Masa bodoh kalau dianggap tidak sopan. Dirinya sedang tidak bisa berbasa-basi saat itu.
Sebagai anak sulung di keluarga itu, harusnya Ranu mengurus hal-hal terkait pemakaman ayahnya. Tapi Ranu sama sekali tidak peduli. Ia membiarkan ustadz di masjid, pak RT dan para tetangga membantu Enggar mengurus pemakaman sang ayah. Pemuda yang baru lulus SMP itu tampak sangat bingung menghadapi semua ini. Tapi Ranu juga tidak peduli.
Bayu datang pagi itu. Setidaknya hari itu ia berperan sangat baik sebagai menantu yang berbakti, dengan membantu mengurus pemakaman ayah mertuanya. Tapi Ranu sama sekali tidak bertegur sapa dengan Bayu hari itu.
* * *
Tidak ada waktu bersedih bagi mereka. Bahkan dalam keadaan berduka, mereka harus segera mengemas barang-barang dan meninggalkan rumah. Papa sudah membayar uang kontrakan untuk tiga bulan pertama untuk sebuah rumah yang jauh lebih kecil dibanding rumah mereka sebelumnya. Sisi baiknya, rumah tersebut berada dekat dengan SMA Ranu, yang kini akan segera menjadi tempat belajar bagi Enggar juga.
Karena kesehatan ibunya yang belum juga pulih setelah kepergian sang suami, maka Ranu juga yang mengurus pendaftaran Enggar ke SMA. Ia juga yang harus berkoordinasi dengan pegawai-pegawai Mama di restoran karena untuk sementara waktu Mama tidak dapat datang memantau.
Tapi Ranu tidak bisa terus menerus mendampingi keluarganya. Bayu terus mendesak Ranu untuk ikut dengannya ke Surabaya. Dan meski dirinya sangat takut untuk tinggal dengan lelaki itu di Surabaya, Ranu tidak bisa mengelak lagi saat Bayu menjemputnya untuk ketiga kalinya.
"Enggar, aku titip Mama," kata Ranu kepada adiknya. Ia sengaja bicaea kepada adiknya sebelum pamit kepada ibunya. "Kamu anak laki-laki. Sudah SMA sekarang. Yang kuat ya! Jagain Mama. Bantuin Mama. Sudah nggak ada Mbok Dar disini. Kalau ada apa-apa, apapun, sekecil apapun, kabari aku ya."
Enggar mengangguk. Matanya tampak gentar menghadapi kehidupan baru yang sama sekali berbeda sekarang. Tapi ia berusaha tampak kuat.
"Mbak..." Ragu, Enggar menatap kakaknya. "Maaf. Ini semua karena aku kan?"
Ranu ingin membesarkan hati Enggar dan mengatakan bahwa pemuda itu tidak salah apa-apa, dan tidak berkontribusi pada kehancuran keluarga ini. Tapi Ranu bukan malaikat. Selama dua bulan ini ia terus memelihara kemarahan kepada Enggar di dalam hati. Karena hanya dengan cara itu, Ranu mempertahankan kewarasannya. Ia tahu dirinya jahat, dan tidak adil menyalahkan Enggar atas apa yang terjadi pada dirinya. Tapi hanya dengan begitu ia tidak berakhir menyalahkan dirinya seorang diri. Karena dengan menyalahkan dirinya sendiri itu ia sudah berkali-kali mempertimbangkan upaya bunuh diri.
"Kalau kamu benar-benar menyesal, belajar untuk jadi lebih bertanggung jawab," kata Ranu akhirnya. "Mulai dari bertanggung jawab untuk diri kamu dan Mama. Kamu satu-satunya anak kandung Mama."
Dengan wajah memerah, Enggar mengangguk dalam diam.
Setelahnya Ranu berpamitan pada ibunya, yang masih mengurung diri di kamar.
"Kamu baik-baik disana ya Ndhuk," pesan sang ibu, dengan mata berkaca-kaca. "Janji ya."
Dengan menelan ludah pahit, Ranu mengangguk. "Inggih, Ma."
Mereka hanya akan terpisah jarak Malang-Surabaya. Tapi entah mengapa, ketika memeluk ibunya kali itu, Ranu punya firasat, mereka tidak akan bertemu lagi untuk waktu lama.
* * *
Malam yang ditakutkan Ranu akhirnya tiba. Meski tahu tidak akan berhasil, Ranu tetap mencoba trik pura-pura tidur. Ia berbaring, benar-benar di pinggir ranjang, dengan pakaian lengkap: kemeja dan cardigan, dengan celana jeans yang sabuknya masih terpasang.
Meski memejam pura-pura tidur, telinga dan seluruh saraf sensorinya waspada, mendeteksi suara atau gerakan sehalus mungkin. Itu mengapa saat ranjang bergerak akibat beban, Ranu tahu Bayu sedang menaiki ranjang. Ranu juga merasai lelaki itu berbaring di sisinya, lalu beringsut ke balik punggungnya. Nafas lelaki itu menerpa tengkuk Ranu, membuatnya bergidik ngeri.
"Nggak usah pura-pura tidur," suara berat itu menyapa, bersama dengan hangat nafas yang makin mendekat ke tengkuknya. Tidak ada nada menggoda pada suara itu. Hanya nada dingin. "Percuma pakai baju sebanyak ini. Ujung-ujungnya pasti aku telanjangi juga."
Deg!
Tangan besar itu mulai meraba lengan Ranu yang terlapis kemeja dan cardigan. Ranu menutup matanya makin rapat. Kerut di dahinya makin dalam.
"J-jangan Om..." Ranu mencicit dengan suara gemetar.
Tapi Bayu mana peduli. Tubuhnya makin merangsek ke depan hingga punggung Ranu kini menempel erat pada dada lelaki itu. Kini tengkuknya bukan hanya merasai panas nafas Bayu, tapi juga gesekan kasar rahang lelaki itu. Tangannya mulai merajah ke depan, tanpa peringatan menggenggam dada Ranu.
Refleks tangan Ranu menahan tangan Bayu untuk melepaskan dadanya. Ingatan akan malam itu menyerbu Ranu. Menghantamnya dengan rasa takut yang melemahkan.
"Jangan, Om. Tolong. Saya lagi hamil." Ranu dengan cepat memikirkan alasan itu. Berharap Bayu akan tersentuh dan berbaik hati melepaskan Ranu, agar tidak menyakiti janinnya.
Tapi tentu saja itu hanya harapan. "Kamu pikir aku peduli?" ejek lelaki itu.
Dengan satu gerakan cepat Bayu membuat Ranu terpaksa telentang. Kaki Bayu kini sudah menindih kedua kaki Ranu. Dengan gerakan cepat lelaki itu membuka ikat pinggang di depan celana jeans Ranu, lalu karena tidak sabar harus membuka kancing cardigan dan kemeja satu per satu, Bayu menarik lepas hingga kancing-kancing itu tercerabut dan terlempar dari kedua kain itu
"Om, jangan Om. Jangan sekarang. Papa baru meninggal. Hiks..." Ranu mulai menangis karena semua usaha yang dilakukan tangan dan kakinya untuk menghalangi kerja jahat tangan-tangan Bayu tidak berhasil.
"Kamu pikir aku peduli?" sinis Bayu, dingin. "Aku sudah membayar 2 milyar, dan bahkan rela menunggu 2 minggu karena papa kamu yang brengsek itu meninggal. Sekarang saatnya aku menikmati yang sudah aku beli."
"Saya bukan barang jualan!" pekik Ranu marah.
"Oh ya? Jadi apa namanya, kalau papa kamu nikahin kamu dengan orang yang memberinya pinjaman 2 milyar? Itu kan namanya dia menjual kamu, Jalang! Supaya dia nggak usah bayar hutang!"
Meski sakit hati, Ranu tidak bisa membalas kata-kata merendahkan itu. Karena di lubuk hatinya, Ranu tahu Bayu benar. Salah satu hal baik dari menikahi Bayu adalah bahwa keluarga mereka tidak perlu membayar sepeserpun hutang 2 milyar itu. Tadi pagi Bayu bahkan mempertegasnya dengan lebih kelas kepada ibu Ranu.
"Mbak Arini tidak perlu khawatir lagi tentang hutang Mas Bram kepada saya. Ranu sekarang istri saya. Mbak Arini ibu mertua saya. Saya nggak mungkin nagih hutang pada keluarga sendiri. Selama Ranu terus bersama saya, Mbak Arini tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa."
Kini Ranu baru memahami sepenuhnya maksud kata-kata itu.
Tangan Bayu terus merangsek masuk. Sementara tangan Ranu tidak berhenti berusaha untuk menampiknya. Hingga pada satu titik Bayu hilang kesabaran dan akhirnya menampar pipi Ranu dengan keras.
"Jangan menguji kesabaranku, Jalang kecil!" bentak Bayu keras. Ranu bahkan tidak bisa mengusap pipinya sendiri yang merah dan kesakitan bekas ditampar, karena tangannya ditahan oleh Bayu. "Aku sudah cukup marah karena si brengsek Bram meninggal duluan sebelum aku bisa melihat dia benar-benar menderita. Aku sudah cukup marah karena ternyata kamu bukan anak kandung Bram, dan aku nggak bisa melihat Bram menderita melihat anaknya tersiksa. Jadi setidaknya sekarang dengan uang 2 milyar itu aku punya pelacur pribadi."
Kata-kata Bayu itu membuat Ranu benar-benar kaget.
"Maksud Om apa?" rintih Ranu di sela isaknya. "Om dendam sama Papa? Bukannya Om dan Papa berteman baik?"
"Berteman baik? Cih!" Bayu mendengus. "Tiga tahun lebih aku terpaksa pura-pura bersikap baik di depan dia. Pura-pura baik dan sayang sama kamu. Demi membalas dendam kakak perempuanku yang meninggal gara-gara Bram."
Mata Ranu membulat tidak mengerti.
"Dia menghamili kakak perempuanku. Dan nggak mau bertanggung jawab. Sampai akhirnya kakak perempuanku memutuskan aborsi dan akhirnya dia meninggal karena aborsi ilegal," kata Bayu dingin.
Ranu menggeleng tidak percaya.
"Laki-laki yang kamu banggakan itu pembunuh!" Bayu menyeringai mengejek.
Air mata Ranu kian deras seiring fakta mengejutkan yang didengarnya barusan.
"Sejak berhasil melacak keberadaan Bram dan tahu dia punya anak perempuan, aku sudah merencanakan semua ini. Tiga tahun lebih aku pelan-pelan mendekati keluarga kalian, sampai akhirnya berhasil menghamili kamu. Aku pikir akhirnya aku akan berhasil melihat Bram menderita saat melihat anak perempuannya menderita di tanganku, tanpa dia bisa berbuat apa-apa karena bahkan perusahaannya sudah aku ambil alih, karena dia ditipu oleh orang suruhanku. Tapi ternyata kamu cuma anak pungut. Dan dia mati sebelum sempat melihat keluarganya menderita. Semua penantian, rencana-rencana matang, dan investasi besar itu sia-sia. Tapi setidaknya aku nggak mau rugi karena sudah mengeluarkan uang sebanyak itu untuk menjatuhkan dia. Minimal aku jadi punya pelacur pribadi yang hanya akan melayaniku.... " Mata Bayu menyorot tubuh Ranu yang bagian atasnya sudah tersingkap."Kamu."
Lalu tentu saja tragedi itu terulang lagi, tak terelakkan. Bayu kembali memaksa menyetubuhi Ranu. Kali ini dengan lebih kasar. Entah karena memang dirinya suka melakukan seks yang kasar, atau ia hanya ingin menyakiti Ranu sepuasnya saja.
Ketika laki-laki itu selesai dengan urusannya, Ranu mendapati bercak darah pada organ intimnya. Refleks saja ia khawatir jika janinnya terluka akibat perbuatan Bayu barusan. Tapi kemudian Ranu mengingatkan dirinya bahwa lebih baik bayi itu gugur daripada memiliki ayah seperti lelaki itu.
"Mulai sekarang jangan panggil Om lagi. Panggil Mas!" perintah Bayu ketika bangkit dari ranjang.
Meski saat Bayu melakukannya pertama kali, itu adalah pemaksaan, tapi setelahnya Bayu bersikap lembut dan manis pada Ranu. Ia menggendong Ranu ke kamarnya, dan menyelimutinya dengan lembut. Tapi kali ini, tidak ada kelembutan sama sekali. Barangkali begini memang sikap asli lelaki itu.
* * *
Yang kangen Om Erlang, mana suaranya?
Sabar ya Kak,,, srg harus bersabar dengan Om Bayu dulu.
* * *
Siapa hayo yg kmrn nebak bhw semua kemalangan di keluarga Ranu adalah perbuatan Bayu? Wah, tebakan Kakak2 ternyata benar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top