41. Eugenia caryophyllata (3)

Katanya pinter, dapat medali perunggu OSN, diterima di PTN jalur prestasi, tapi hal basic aja nggak ngerti! Udah sering diingatkan sama Mama untuk nggak nerima teman cowok yang berkunjung kalau lagi sendirian di rumah. Tapi ini malah mempersilakan masuk sampai mengijinkan lelaki itu mandi segala di rumahnya. Itu kan namanya memang mancing-mancing untuk diperkosa! Itu kan namanya goblok!

Diperkosa? Yakin? Mana saksinya bahwa itu pemerkosaan? Bukannya mau sama mau? Laki-lakinya ganteng gitu, pasti perempuannya kegatelan. Kalau akhirnya diperkosa, ya bukan salah si laki-laki. Mana ada kucing yang nolak ikan kan? Makanya jadi perempuan jangan kegatelan, masukin laki-laki malam-malam ke dalam rumah. Itu mah minta diperkosa banget.

Suara-suara di dalam kepalanya itu terus mencemooh Ranu. Membuat Ranu tidak bisa berpikir jernih dan mengurung diri di kamarnya setelah kejadian malam itu. Saat Mbok Dar datang subuh-subuh untuk kembali bekerja dan menyiapkan makanan, dan menanyakan kenapa pintu depan tidak dikunci, Ranu hanya diam. Saat adiknya pulang pagi itu dan meminta maaf padanya karena menginap di rumah temannya semalam, Ranu bahkan tidak peduli.

Siang itu juga Ranu terserang demam. Akibat semalam setelah Bayu pergi, Ranu menghabiskan waktu terlalu lama di kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia sekuat tenaga menggosok tubuhnya, berusaha menghapus jejak-jejak tangan dan tubuh Bayu dari tubuhnya. Tapi bahkan hingga kulitnya memerah dan jemarinya keriput kedinginan, Ranu tetap merasa dirinya kotor.

Ranu masih terus mengurung diri di kamar hingga beberapa hari setelahnya. Berhari-hari Ranu tidak menjawab pesan atau panggilan Ezra.
Bahkan setelah kedua orang tuanya kembali dari Bandung. Kedua orang tuanya membiarkan Ranu terus berada di kamar hingga demamnya reda. Mengira bahwa gadis itu sakit karena terlalu lelah belajar.

Berhari-hari di dalam kamar, Ranu menguatkan diri, mencari cara untuk melaporkan perbuatan bejat Bayu kepada orang tuanya. Tapi pada akhirnya ia selalu ketakutan. Takut orang tuanya justru mempersalahkannya karena menerima laki-laki masuk saat tidak ada orang lain di rumah. Bahkan tanpa dipersalahkan orang lain, Ranu sudah merasa goblok. Dan membayangkan dirinya akan dianggap goblok atau malah dianggap memancing hasrat lelaki itu, membuat Ranu hancur dalam tangis berkepanjangan kembali. Dan akhirnya ia tidak pernah berani mengatakan hal itu pada orang tuanya.

Pada hari keempat, ia mendengar dari Mbok Dar bahwa ibunya jatuh sakit. Sejak muda kesehatan ibunya memang tidak terlalu baik. Jantung sang ibu lemah, sehingga mudah sakit saat kelelahan. Barangkali karena beberapa hari sebelumnya menemani sang ayah perjalanan jauh ke Bandung, maka sang ibu sakit.

Saat itu Ranu memutuskan untuk keluar kamar dan berhenti meratapi nasib. Ia tidak mau menambah beban pikiran ibunya yang sedang sakit. Tapi sejak itu ia berubah. Tidak lagi menjadi gadis yang ceria dan cerewet seperti sebelumnya. Ia lebih banyak diam.

Dunia terus berputar. Bahkan meski dunia Ranu sendiri sudah hancur. Tapi ia memutuskan untuk menutupi hal itu. Apalagi ia sempat mendengar diskusi kedua orang tuanya, bahwa sang ayah sedang mengalami permasalahan di perusahaannya. Ranu tidak mengerti masalah apa, tapi ia tidak mau menambahi beban pikiran sang ayah dengan masalahnya sendiri.

Sejak hari itu sang ayah tampak sering pulang malam. Seringkali dalam keadaan kusut. Wajahnya tampak menua dengan cepat dalam waktu sebulan. Saat di rumah, beliau juga lebih sering berada di kamar atau ruang kerjanya. Sang ibu hanya mengatakan bahwa sedang ada masalah di kantor.

Suatu hari ayahnya mengajak Ranu bicara berdua di ruang kerjanya. Ranu punya firasat sang ayah akan membicarakan hal serius, karena biasanya mereka hanya bicara santai sambil makan malam atau nonton tivi.

Awalnya sang ayah hanya menanyakan tentang rencana perkuliahan Ranu. Kapan ia harus daftar ulang, dan sebagainya. Tapi kemudian beliau mulai bertanya apakah Ranu sudah punya pacar atau belum, dan bagaimana pendapatnya tentang menikah muda. Saat itu Ranu segera memiliki firasat buruk. Ia khawatir ayahnya sudah tahu tentang kondisinya.

"Ran... sebenarnya... Om Bayu bilang sama Papa, dia suka sama Ranu."

Ranu mematung di tempatnya duduk. Perlahan ia merasa dirinya kedinginan dan gemetar ketika mendengar nama itu.

"Dia bilang ingin menikahi Ranu. Dia bahkan bilang mau membiayai kuliah Ranu. Apalagi karena rumahnya dekat dengan kampus Ranu nanti. Gimana menurut Ranu?"

Alih-alih menjawab, bibir Ranu kelu. Kepalanya menunduk, genangan air siap meluncur turun dari matanya. Tangan kirinya menggenggam tangan kanannya yang makin gemetar.

"Papa tahu dia jauh lebih tua dari Ranu. Tapi laki-laki dewasa biasanya lebih bertanggung jawab," kata sang ayah. Beliau memerhatikan gesture Ranu dan memahami sikap penolakan itu. Maka sang ayah memindahkan duduknya ke sisi Ranu dan memeluk bahu puterinya itu. "Kalau Ranu nggak mau, nggak apa-apa. Papa cuma menyampaikan lamaran Om Bayu. Nanti Papa akan bilang ke Om Bayu bahwa Ranu masih mau kuliah dulu."

Sekuat tenaga Ranu bersikap setenang yang ia mampu di hadapan ayahnya. Tapi begitu keluar dari ruang kerja sang ayah, Ranu langsung menghambur ke kamarnya dan menangis dengan tubuh gemetar sambil meringkuk di ranjangnya.

Lelaki itu benar-benar monster! Bahkan setelah memperkosanya, bisa-bisanya dia benar-benar melamar Ranu.

Tapi ayahnya juga keterlaluan! Ranu tidak menyangka ayahnya sendiri sempat mempertimbangkan lamaran Bayu, laki-laki yang usianya dua kali usia anak gadisnya.

Ranu membenamkan wajahnya ke bantal, berusaha menyembunyikan suara tangis dan raungannya. Setelahnya, ia menangis semalaman meluapkan sesak di dadanya.

* * *

Ranu pikir masalah yang dihadapi perusahaan ayahnya adalah masalah rutin yang biasa dihadapi perusahaan. Barangkali kali ini lebih rumit sehingga menyebabkan ayahnya lebih sering pulang larut atau mengurung diri di ruang kerja. Tapi ternyata pemikiran remajanya terlalu sederhana.

Suatu hari Papa mengajak Ranu dan Enggar bicara bersama. Hal ini tidak lazim. Biasanya Papa hanya mendiskusikan urusan pekerjaan dengan Mama. Tapi kali ini sang ayah mengajak mereka sekeluarga bicara serius.

"Ranu, Enggar, mulai sekarang kalian siap-siap pindahan ya. Dua minggu lagi kita pindah dari sini," kata Papa, langsung ke inti permasalahan.

"Hah? Kenapa?" refleks Enggar.

Setelah itu mengalirlah cerita Papa dengan tersendat-sendat. Seiring waktu Mama mulai mengeringkan sudut matanya dengan tissue.

Papa ditipu oleh kolega bisnisnya. Bukan hanya puluhan juta. Kerugian yang harus ditanggung Papa akhibat penipuan itu sebesar 12 milyar. Bagi pengusaha pengembang perumahan kelas kakap, tentu uang sejumlah itu tidak seberapa. Tapi perusahaan Papa tidak sebesar itu. Papa memulainya dengan membeli tanah dan membangun cluster-cluster kecil 5-10 rumah. Lama-lama beliau membeli tanah yang lebih besar, lalu membangun cluster 20 rumah. Begitu seterusnya beliau memutar keuangan perusahaan hingga kini Papa dapat membangun komplek perumahan hingga 40-50 rumah. Jika dulu tipe rumah yang ditawarkannya hanya tipe 36 - 60 m2, kini perusahaannya mentarget keluarga dari ekonomi atas, dengan desain rumah yang elegan.

Papa tidak menceritakan detil bagaimana beliau bisa tertipu, padahal beliau bukan pengusaha baru. Ranu juga sungkan mendesak Papa. Tidak ada gunanya juga kini mereka merunut kesalahan Papa. Yang jelas mereka harus membayar kesalahan itu dengan harga yang sangat mahal.

"Ki-kita nggak bisa minta tolong keluarga Papa?" tanya Enggar, masih berusaha mencari solusi.

Tapi mereka berempat sebenarnya sama-sama tahu, bahwa hal tersebut tidak perlu dipertanyakan. Papa sebenarnya berasal dari keluarga kaya raya. Namun semenjak menikah dengan Mama, Papa sudah putus hubungan dengan keluarganya. Keluarga besar Papa tidak menyetujui pernikahannya karena Papa berkeras menikahi Mama yang sudah membawa Ranu. Kala itu usia Ranu sudah 2 tahun.

"Papa sudah minta bantuan Om Bayu. Perusahaan Papa juga sekarang dikelola Om Bayu. Minimal para pekerja di sana bisa terus kerja," jawab Papa berat.

Pasti Papa sangat berat melepas perusahaan itu. Beliau sudah membangunnya dari nol, membesarkannya seperti anak sendiri.

Jantung Ranu mencelos. Kenapa harus laki-laki itu yang menyelamatkan perusahaan Papa?

"Intinya, kalian ndak perlu khawatir soal hutang Papa. Masalah itu sudah selesai. Papa memang masih berhutang sama Om Bayu sebesar 2 milyar. Tapi Om Bayu memberi tenggat pembayaran yang lebih longgar."

Bukan hanya perusahaan yang Papa jual kepada Om Bayu, tapi rumah yang mereka tempati juga telah dijual untuk melunasi hutang Papa. Bulan depan pembelinya berniat menempati rumah tersebut, sehingga dua minggu lagi mereka sekeluarga harus pindah dari rumah tersebut.

"Apa itu artinya Enggar dan Mbak Ranu  ndak bisa sekolah?" Sang adik mengutarakan kegelisahan Ranu yang tertahan sejak tadi.

"Jangan kuatir," jawab Papa cepat. "Anak-anak Papa akan tetap sekolah. Masih ada restoran Mama. Untuk sementara kita bisa terus mengelola restoran itu untuk hidup sehari-hari dan sekolah kalian. Kita cuma perlu lebih berhemat.

Kita akan pindah ke rumah yang lebih kecil. Barangkali kita ndak bisa lagi menggaji Mbok Dar dan Mas Tarno. Jadi kita harus bisa mengerjakan semua sendiri. Enggar juga harus berangkat sekolah sendiri, ndak bisa lagi diantar Mas Tarno. Mobil nanti akan dijual. Rumah baru kita juga lebih kecil dan ndak bisa lagi ada kebun bunga buat Mama, jadi kita ndak perlu lagi supir merangkap tukang kebun."

Jelas sekali Enggar tampak gugup dengan perubahan dalam keluarga mereka. Sejak kecil Enggar sudah hidup dalam kenyamanan. Meski tidak dimanja seperti anak konglomerat, tapi Enggar tidak pernah merasa kekurangan.

Papa menoleh pada Ranu. "Kosan Ranu di Surabaya, barangkali kita harus cari yang lain yang lebih affordable. Ndak apa-apa ya, Ndhuk?"

Tentu saja Ranu tidak punya pilihan lain selain mengangguk. Karena diterima melalui SNMPTN, Ranu sudah melakukan registrasi ulang. Mama juga sudah menemaninya mencari kos dan booking satu kamar kos yang nyaman untuk Ranu. Tapi dengan penghematan yang perlu mereka lakukan, tentu Ranu harus mencari kos lain yang lebih murah meski tidak terlalu nyaman.

Enggar dan Mama sudah kembali ke kamar setelah pembicaraan mereka yang serius. Papa masih duduk di sofa sambil menopang kepalanya yang tertunduk dalam dengan kedua tangannya. Dan saat itu Ranu memberanikan diri untuk bicara.

"Pa... kalau Ranu harus menunda kuliah..." kata Ranu perlahan sambil duduk di sisi ayahnya.

Sejujurnya Ranu sedih membayangkan jika dirinya harus menunda kuliah. Ia bahkan tidak yakin apakah masih bisa kuliah dengan kondisi seperti ini. Pendidikan kedokteran tidak murah, juga membutuhkan waktu bertahun-tahun hingga siap kerja.

Dengan kondisi keuangan keluarga saat ini, apalagi mengingat dirinya bukan anak kandung Papa, Ranu merasa harus tahu diri.

Papa mengangkat wajahnya dan menoleh menatap Ranu.

"Jangan," jawab Papa, dengan senyum lemah. "Ndak semua orang bisa masuk FK. Ranu lanjut kuliah aja. Minggu ini Papa akan ke kampus. Minta keringanan biaya kuliah, atau mencari info beasiswa."

Air mata Ranu mengalir. Dan Papa memeluk Ranu sambil menepuk bahunya dengan halus namun menguatkan.

"Apa ini alasan Papa cerita tentang lamaran dia waktu itu?"

Papa melepaskan pelukannya dan mengernyit menatap Ranu. Barangkali bingung mendengar cara Ranu memanggil Bayu. Tapi bagi Ranu sendiri, ia tidak sanggup lagi memanggil nama itu.

"Soal itu, jangan dipikirkan. Papa sudah menolak lamaran Om Bayu," jawab Papa. "Maaf ya, Ranu. Waktu itu Papa tiba-tiba terpikir, kalau Ranu menikah sama Om Bayu, Ranu bisa terus kuliah tanpa terpengaruh kondisi keuangan kita. Tapi Papa sadar, perasaan ndak bisa dipaksa. Jadi sudah, jangan dipikirkan."

Tangis Ranu kembali pecah. Bahkan meski dirinya bukan anak kandung Papa, lelaki itu selalu memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. Sejak kecil, beliau tidak pernah membedakan perlakuan kepada Ranu dan Enggar. Ranu bersyukur memiliki lelaki itu sebagai ayahnya.

* * *

Makin dekat dengan waktu kepindahan mereka ke rumah baru, suasana rumah makin muram. Meski demikian, bagaimanapun mereka berat meninggalkan rumah itu, mereka tetap harus bersiap berkemas. Barangkali karena kesibukan berkemas beberapa hari itu, jadwal makan Ranu jadi tidak teratur, sehingga suatu hari di tengah kesibukan berkemas, Ranu merasa mual dan akhirnya muntah. Kali itu sudah hari ketiga Ranu muntah-muntah. Apalagi karena kemudian Ranu pingsan setelah muntah-muntah, Mama membawa Ranu ke klinik dokter.

Seolah-olah kemalangan keluarga mereka belum cukup berat, mereka masih harus menerima satu kemalangan lagi. Ranu hamil.

Mama sudah tidak sanggup lagi marah-marah. Ia hanya bisa duduk bersandar di sofa, sambil memegangi dadanya yang sakit. Air mata turun berderai di pipi beliau. Begitupun Ranu yang menangis sesenggukan sambil duduk bersimpuh dan memeluk kaki sang ibu.

"Kenapa kamu tega, Ranu? Kenapa kamu tega begini ke Mama?" desis sang ibu, nelangsa.

Papa dan Enggar yang baru masuk rumah jadi bingung dengan adegan aneh tersebut. Tapi belum sempat mereka mendekat, mereka mendengar kabar yang mengejutkan.

"Maafin Ranu, Ma. Ranu dipaksa...."

"Diperkosa?" Mata Mama membulat besar diantara air matanya. "Sama siapa? Pacar kamu?"

Ranu menggeleng frustasi. Mama terus mencecar Ranu dengan pertanyaan-pertanyaan. Sementara Papa dan Enggar terpaku tidak jauh dari Mama dan Ranu tanpa kedua wanita itu menyadari. Karena terus dicecar dan melihat kondisi Mama yang makin lemah, akhirnya Ranu menceritakan kejadian malam itu. Juga mengatakan siapa pelakunya.

"Setan!" maki Papa keras, begitu mendengar nama lelaki yang memperkosa Ranu.

Sontak Mama dan Ranu menoleh pada Papa dan Enggar. Barulah mereka menyadari kehadiran kedua lelaki itu. Tapi setelah itu Papa langsung berbalik pergi dari ruang tengah dengan aura kemarahan yang berkobar.

Enggar sendiri berdiri salah tingkah ketika bertatapan dengan kakaknya. Akhirnya kini ia mengerti kenapa sikap kakak perempuannya berubah belakangan ini. Apalagi terhadapnya, sang kakak tidak pernah lagi menanggapi keusilannya. Ranu lebih sering bersikap masa bodoh dan dingin. Apa kakaknya sebenarnya menyalahkan dirinya karena tidak berada di rumah malam itu?

Malam harinya Papa kembali dengan wajah kusut dan tertekan. Ketika melihat Ranu, tanpa benar-benar menatapnya, Papa berkata dengan dingin.

"Kamu nikah sama Bayu!" kata Papa. Bagai perintah yang tidak bisa dibantah. "Dia bersedia bertanggung jawab."

Satu kalimat itu bagai bom atom yang meluluh-lantakkan dunia Ranu.

* * *

Votenya turun terus ya. Apa tema ini terlalu dark buat Kakak2 pembaca ya?

Yg baca stres. Yg nulis stres jg sebenarnya. Tp krn ada agenda/idealisme khusus yg membuat saya menulis ini, jadi ya saya lanjutin aja ya. Nanti kl di-cut dsni, saya ditimpukin lagi. Hehehe.

Bab kali ini 2000 kata lebih. Smg byk yg vote n komen.

Makasih utk Kakak2 yg sll dukung cerita ini. Ada Kakak2 yg ga kuat baca tp tetap berkenan vote n komen,,, makasih byk ya Kak 😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top