40. Eugenia caryophyllata (2)
Yang belum 17thn, monggo melipir.
Yang hatinya nggak kuat, monggo melipir juga.
* * *
Malang, dua tahun lalu
Matahari sudah turun, tinggal meninggalkan warna merah di cakrawala yang sebentar lagi berubah gelap. Tapi Enggar Respati, remaja 14 tahun itu belum juga pulang. Ranu berdecak kesal, ketika mengecek ponselnya dan melihat adik lelakinya itu belum juga membalas pesannya.
Ck! Katanya cuma belajar kelompok buat ujian. Belajar kelompok apa mabar, sampe malem gini?
Andai di rumah itu bukan hanya ada dirinya sendiri, tentu Ranu tidak akan keberatan kalau Enggar pulang malam. Bahkan jika anak itu tidak pulang sekalian dan menginap di rumah temannya, Ranu juga tidak peduli.
Masalahnya, malam ini ia sendirian di rumah. Kedua orangtuanya sedang menginap di Bandung, menghadiri pernikahan salah seorang kerabat mereka. Beliau berdua merasa tenang meninggalkan Ranu dan Enggar, meski mereka masih remaja, karena ada Mbok Dar yang bekerja sebagai asisten di rumah sehingga bisa menjaga dan mengawasi kedua remaja itu. Ndilalah, sore tadi Mbok Dar menerima telepon dari suaminya bahwa anak lelakinya dirawat di RS karena terserempet motor. Itu mengapa Mbok Dar pamit pergi dengan terburu-buru. Ia berjanji besok siang sudah kembali bekerja.
Ranu tentu saja memberi ijin pada Mbok Dar untuk segera pergi menemani anaknya di RS. Ia paham jika Mbok Dar panik. Lagipula, ia pikir Enggar akan segera pulang setelah selesai belajar kelompok di rumah temannya. Siapa sangka ternyata sampai lewat Maghrib begini, belum ada kabar juga dari anak itu.
Suasana rumah jadi lebih menakutkan karena di luar hujan sangat lebat. Untuk menghalau perasaan takut karena sendirian di rumah, Ranu sengaja menghidupkan lampu di seluruh bagian rumahnya, dan memastikan semua pintu terkunci.
Ranu duduk di atas karpet ruang tengah sambil menonton tivi dan memakan makan malam yang tadi sudah sempat disiapkak Mbok Dar. Ia sengaja menonton acara tivi yang lucu, agar tidak merasa terlalu takut sendiran di tengah hujan badai dan malam ini.
Sebuah telepon dari Enggar datang. Tapi alih-alih membuat lega, kabar yang dibawa Enggar justru membuat khawatir.
"Mbak, aku ning omah Yayok sik yo Mbak. Rodo malem aku bali. Ra popo tho? Ujan deres buanget ki. Takut selip sepedaku. Angine jiaaann. Ning kono piye Mbak ujane?"
Alasan Enggar masuk akal. Dia tadi mengendarai sepeda ke rumah Yayok. Dan dengan hujan sederas ini, tas dan buku-bukunya tidak akan selamat dari terpaan hujan, dan bisa jadi sepedanya juga terbawa angin yang kencang. Akhirnya Ranu tidak punya pilihan selain membiarkan Enggar menunggu lebih lama di rumah Yayok hingga hujan reda.
Ranu masih menonton tivi hingga setengah jam kemudian terdengar suara bel pagar berbunyi. Ia kira Enggar akhirnya pulang tapi lupa membawa kunci pagar. Ranu sudah bersiap mengomeli adiknya itu, ketika ternyata yang ditemuinya di depan pagar adalah orang lain.
"Pak Burhan? Om Bayu? Kok?"
Pak Burhan, satpam di kompleks perumahan itu, lelaki yang memakai jas hujan, dengan cepat dan singkat menceritakan bahwa mobil Bayu mogok di dekat gerbang perumahan mereka. Jadi karena tujuan Bayu adalah ke rumah Ranu, maka Pak Burhan memberi tumpangan dengan motornya untuk ke rumah ini, sementara mobil Bayu ditinggal di dekat pos satpam. Nanti setelah hujan reda barangkali orang bengkel yang dipanggil Bayu bisa memperbaiki atau mendereknya.
Di samping Pak Burhan, seorang lelaki tampan bertubuh besar tampak kebasahan karena hujan. Setelah Pak Burhan selesai menjelaskan dan berpamitan, Ranu segera mempersilakan Bayu masuk.
"Papa lagi ndak di rumah, Om. Om belum janjian sama Papa ya kalau mau kesini?" tanya Ranu.
Bayu masih berdiri di depan pintu masuk rumah Ranu dengan tubuh basah bagai tikus tercebur got. Sementara Ranu segera berlari ke dalam rumah dan kembali dengan membawa handuk untuk Bayu.
"Om cuma mau mampir tadinya. Jadi memang ndak janjian sama Pak Bram. Ndilalah mobil mogok. Pas hujan-hujan pula. Sial banget." Lelaki itu menggunakan handuk untuk mengeringkan kepala, wajah dan lengannya.
Melihat tampang nelangsa Bayu, Ranu justru terkekeh.
"Om basah banget bajunya. Mandi aja ya Om. Nanti Ranu ambilin baju Papa buat ganti."
"Aduh, pengen nolak karena akan merepotkan, tapi Om butuh. Om mulai kedinginan ini."
Ranu terkekeh kembali. "Udah, ndak usah sok nolak. Sebentar Ranu ambilin ya Om."
Setelah mengambilkan satu set kaos dan celana training milik ayahnya, Ranu mengarahkan Bayu ke kamar mandi. Sementara lelaki itu mandi, Ranu menyiapkan teh hangat.
Setelah Bayu keluar dari kamar mandi, Ranu menemaninya membawa baju basah ke mesin cuci agar dapat dikeringkan dengan cepat.
"Sori ya Ran," kata Bayu, ketika membantu Ranu menjemur pakaiannya yang sudah dikeringkan dengan mesin cuci. "Om nggak tahu Papa kamu lagi pergi. Trus mobil Om tiba-tiba mogok. Sekarang jadinya malah ngerepotin kamu banget."
Ranu hanya tersenyum kecil.
Setelah itu Bayu mengikuti Ranu duduk dan menonton tivi di ruang tengah, selagi menunggu hujan reda, sambil menikmati teh hangat yang disiapkan Ranu.
Ranu mengenal Bayu sudah sejak 2-3 tahun terakhir. Seperti juga ayahnya yang memiliki usaha pengembangan perumahan di Malang, Bayu juga memiliki usaha serupa di Surabaya. Ranu tidak tahu persisnya, entah ayahnya yang memperluas usahanya ke Surabaya, atau Bayu yang memperluas usahanya ke wilayah Malang, yang jelas sejak 2-3 tahun ini Bayu sering berkunjung ke rumah Ranu. Entah sekedar menjemput sang ayah untuk main tenis bersama, atau ikut makan siang dan makan malam bersama keluarganya.
Usia Bayu hanya 8 tahun lebih muda daripada ayah Ranu, menyebabkan kedua orang itu dengan mudah akrab secara personal. Otomatis, dengan anggota keluarga yang lain, Bayu juga cukup akrab. Itu mengapa ketika kini mereka nonton berduaan di ruang tengah, Ranu tidak lagi merasa canggung dengan Bayu.
"Orang rumah sudah pada tidur semua atau gimana? Kok sepi amat?" tanya Bayu, karena merasa suasana sangat tenang. Hanya suara dari tivi yang menemani mereka.
"Mbok Dar lagi pergi ke RS, Om, anaknya kecelakaan. Enggar lagi belajar kelompok, tapi bentar lagi pulang sih kalau hujan udah reda," jawab Ranu polos.
Sementara Bayu hanya menanggapinya dengan mengangguk-angguk.
"Bisa-bisanya anak SMA malam-malam begini malah nonton, bukannya belajar," sindir Bayu sambil terkekeh.
"Ranu udah selesai UN, Om. Tinggal nunggu pengumuman," Ranu membela diri.
"Ya kalau gitu belajar buat ujian masuk PTN lah."
"Lho, buat apa? Ranu udah diterima kok. Ikut seleksi dengan nilai rapor dan prestasi akademik."
"Wow! Serius?"
Mata Ranu berbinar-binar menjawab. "Iya dong, Om. Coba tebak Ranu diterima dimana?"
Awalnya dahi Bayu berkerut. Tapi melihat ekspresi Ranu yang seperti sedang menyimpan rahasia membahagiakan, Bayu tiba-tiba bisa menerka jawabannya.
"UNAIR!" terka Bayu.
Ranu tertawa, sebagai jawaban.
"Jurusan apa?"
"Tebak lagi dong!"
"Jangan bilang FK!"
Sesuai instruksi, Ranu tidak mengatakan apapun. Ia hanya tertawa mendengar jawaban Bayu. Dan bagi Bayu, itu sebuah konfirmasi.
"Selamat ya Ran! Kok nggak bilang-bilang? Kan Om bisa bantu cari kosan. Atau mau nginep di rumah Om aja? Ada paviliun di rumah Om."
"Hahaha. Lebih asik kos ah. Nanti kalau di rumah Om, sama aja kayak disini dong. Diawasin melulu sama orangtua. Padahal kan Ranu sengaja pilih kampus di luar Malang, supaya bisa kos. Jadi kalau pergi malem Mingguan, ndak dicariin melulu sama Papa Mama."
Bayu mengulurkan tangannya dan mengacak rambut Ranu. Membuat gadis itu terkekeh makin girang.
"Kamu masih pacaran sama cowok yang waktu itu? Siapa namanya? Ezra?" tanya Bayu.
"Lho kok Om kenal Mas Ezra? Kenal dima___ Oh iya, ketemu pas Ranu OSN ya? Hehehe. Iya, masih, Om," jawab Ranu. "Dia di UNAIR juga, FISIP."
"Jadi kamu sengaja pilih UNAIR buat nyusul dia?"
Ranu tertawa malu-malu karena ketahuan.
"Yah, Om patah hati deh," celetuk Bayu.
"Ih apa sih Om, bercanda aja." Ranu mencubit pelan lengan Bayu. Dan Bayu hanya membalasnya dengan senyum.
"Memangnya kalian kalau pacaran ngapain aja, sampai nggak mau diawasi orang tua?" tanya Bayu.
"Ya ndak ngapa-ngapain, Om. Cuma nonton dan jalan bareng aja," jawab Ranu, dengan wajah mulai merah.
"Yang bener? Bukan melakukan hal yang iya-iya?"
"Ih, apaan sih Om? Ndak pernah kok!" Ranu mengelak dengan terlalu ngotot.
"Nggak pernah pegang-pegangan tangan?"
"Emm.. Gitu doang kok Om."
"Rangkul dan peluk pasti udah sering kan? Om lihat waktu kalian di auditorium pas OSN."
"Eh, itu kan.... Udah sih! Apaan sih Om, kok jadi interogasi? Mau lapor Papa ya? Please jangan dong, Om."
"Kalau ciuman udah pernah?"
Wajah Ranu kini sudah sepenuhnya memerah. "Apa sih___"
Belum juga Ranu menyelesaikan protesnya, Bayu sudah mengecup bibirnya. Hanya kecupan singkat dan ringan.
Ranu langsung menutup bibirnya dengan telapak tangan begitu bibir Bayu terlepas. Matanya melotot, antara kaget dan marah.
"Tadi Om nggak bercanda, Ranu," kata Bayu. Suaranya tenang, tapi berat dan dalam. Membuat Ayu gentar saat mendengarnya. "Om sudah lama tertarik sama Ranu."
"Apa sih Om? Ndak lucu!" Ranu bangkit dari duduknya dan berniat menghindar. Tapi Bayu dengan cepat menarik tangan Ranu hingga kembali terduduk di sofa.
"Tadinya Om mau minta ijin ke Papa Ranu untuk menikahi Ranu setelah Ranu lulus SMA," kata Bayu. "Kalau ternyata Ranu diterima di UNAIR, lebih bagus kan? Habis nikah, kita bisa tinggal bareng. Rumah Om dekat kampusnya."
Ranu menatap lelaki di hadapannya dengan ngeri. Ternyata selama ini lelaki itu berada di sekitar dirinya sambil berusaha mengambil kesempatan.
Ranu belum pulih dari kekagetannya, dan belum sempat membalas kata-kata Bayu, ketika lelaki itu kembali mencuri ciuman darinya. Kali ini lebih lama dan lebih dalam. Rambut kasar sisa bercukur yang berada di sekitar rahang Bayu, menggesek pipi dan dagunya. Jujur saja ini membuat Ranu sempat kewalahan, karena selama 2 tahun berpacaran dengan Ezra, dia hanya pernah berpelukan dan berciuman ringan saja.
Tapi berbeda dengan saat pertama tadi, ketika Ranu benar-benar masih kaget sehingga hanya bisa diam, kali ini gadis itu sudah bisa melawan. Ia menggelengkan kepalanya, berusaha melepaskan bibirnya dari bibir lelaki itu. Sementara tangannya mendorong dada bidang yang keras dan kekar itu.
"Pacar kamu belum pernah mencium seperti itu kan?" tanya Bayu, dengan seringai yang membuat Ranu takut.
Sekuat tenaga karena penuh kemarahan, Ranu menampar wajah Bayu. "Jangan kurang ajar, Om! Nanti aku lapor Papa!"
"Oh boleh, silakan. Kalau perlu, kamu sekalian cerita apa yang akan aku lakukan ke kamu."
Lalu tanpa Ranu sempat mengantisipasi, pria setinggi hampir 190 cm dengan berat 80 kg itu sudah membuat dirinya terpojok di sofa. Sekuat tenaga Ranu memukul dan menendang bagian tubuh Bayu yang manapun yang mampu diraihnya. Tapi dada itu terlalu besar, bahunya terlalu lebar, otot lengannya terlalu liat, dan kakinya terlalu kuat untuk menahan tangan dan kaki kecil Ranu. Bahkan meski Ranu berteriak keras minta tolong, suaranya tertutup oleh suara hujan yang deras di luar rumah.
Ketika Ranu akhirnya tidak sanggup lagi menahan Bayu, ia akhirnya merengek meminta belas kasihan.
"Om, jangan Om! Please! Ini Ranu, Om. Jangan..."
Tapi alih-alih membuat Bayu berhenti, jemari lelaki itu justru menyisip pada celana piyama Ranu. Lalu dengan satu gerakan cepat, lelaki itu menarik turun celana piyama sekaligus celana dalam Ranu.
Tangis Ranu pecah saat itu juga.
Kaos yang dikenakannya sudah tersibak hingga tulang selangka. Pun penutup dadanya sudah tidak lagi berfungsi menutupi. Tapi sejak tadi Ranu masih terus berjuang untuk lepas. Tapi ketika bagian paling pribadi dirinya terekspos saat Bayu melepas celananya, Ranu langsung sadar, bahwa ia tidak bisa lagi mempertahankan diri.
Dengan gerakan cepat yang tidak lagi bisa dibendung oleh gadis kecil yang sudah kehabisan tenaga karena memberontak itu, Bayu melebarkan kedua kaki gadis itu dan menempatkan diri diantaranya. Lelaki itu juga mengambil kedua pergelangan tangan Ranu dan menyatukannya di atas kepala gadis itu.
Satu tangan Bayu yang bebas mulai membelai turun dari leher, dada, hingga perut. Seketika perut Ranu menegang. Apalagi bersamaan dengan itu milik Bayu mulai menggesek Ranu di bawah sana.
"Nikmatin aja, Ranu," bisik Bayu di leher Ranu. Suaranya sensual. Tapi bagi Ranu, itu mengerikan. "Kalau kamu melawan, akan makin sakit."
Dan benar saja, hal itu benar-benar menyakitkan. Bahkan meski Ranu sudah berteriak minta tolong, juga sudah memohon Bayu untuk berhenti, lelaki itu malah mempercepat gerakannya. Dan seiring setiap gerakan Bayu, Ranu merasa dirobek. Hingga ketika hal itu berakhir, Ranu merasa tubuhnya bagai selembar kertas yang sudah tercabik-cabik.
Begitu Bayu menarik dirinya, Ranu segera mengerut, berbalik memunggungi Bayu, berusaha membenamkan dirinya sedalam mungkin ke dalam sofa. Tangisnya tidak lagi terlalu jelas terdengar. Ia sudah terlalu lelah. Hanya isak yang masih tersisa.
"Jahat!" desis Ranu.
Ranu pikir Bayu sudah pergi meninggalkannya karena suasana hening untuk beberapa saat. Hanya riuh tetes hujan yang menerpa jendela yang terdengar. Tapi kemudian tiba-tiba ia merasa kakinya ditarik dan dibuka kembali.
Oh, jangan lagi!, desis Ranu nelangsa.
Ia ingin memberontak. Tapi tenaganya sudah habis.
"Aku cuma mau bersihin ini," suara berat itu kali ini terdengar lembut. Lalu Ranu merasa bagian bawah tubuhnya diusap dengan tisue. "Ini pasti perih."
Ranu tidak berani melihat ke bawah karena malu dan takut. Tapi ia memang merasa sakit. Sakit sekali.
Dengan mata terpejam, Ranu merasakan lelaki itu membelai perutnya dengan lembut.
"Aku akan tanggung jawab, Ranu. Aku sayang kamu." Lelaki itu berbisik mantap. Lalu mengecup perut itu dengan penuh sayang. Lalu kecupan-kecupan itu makin turun dan berubah menjadi lumatan-lumatan.
... dan Ranu merasa makin jijik pada dirinya sendiri.
* * *
Enggar: Mbak, maaf, aku nginep ae yo ning omah Yayok. Iki ujane ora bar bar. Mbak ra popo tho ning omah karo Mbok Dar thok? Ojo ngadu Mama lho yo!
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top