34. Valeriana officinalis (1)

Dengan setengah memaksa, Erlang menarik tubuh Ayu hingga gadis itu terduduk. Namun secepat itu ia duduk, secepat itu pula gadis itu menggeser duduknya ke sudut sofa. Tubuhnya meringkuk. Kedua tangannya menangkup, dan bibirnya terus merapal permohonan ampun.

Erlang mengulurkan tangannya untuk menjangkau gadis itu. Namun baru ujung jarinya yang berhasil menyentuh lengan Ayu, gadis itu merapal ampun dengan suara yang makin menyayat.

Tidak tahan dengan sikap Ayu, akhirnya Erlang nekat meraih tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Meski gadis itu meronta dan terus meminta ampun.

"Eugenia! Hush, hush. Tenang..." ucap Erlang, berusaha menenangkan gadis dalam perlukannya. "Ini Erlang. Airlangga. Bukan Bayu. Ini Erlang. Disini aman. Ini Erlang, Ayu!"

Setelah mendengar itu, rontaan Ayu perlahan mengendur. Perlahan pula ia membuka mata dan saat itu ia bertatapan dengan Erlang yang menatapnya dengan sorot mata khawatir.

"Ayu..." Hati-hati Erlang memanggil gadis itu.

Ketika kesadarannya mulai kembali, Ayu menghapus air matanya, lalu melepaskan diri dari pelukan Erlang. Dengan gerakan cepat, sebelum Erlang sempat mencegah, gadis itu sudah melangkah cepat kembali ke kamarnya.

"Yu, kamu nggak apa-apa?" Dengan langkah cepat pula Erlang mencoba mengejar Ayu. Tapi gadis itu telah menutup pintu kamarnya lebih dulu.

"Yu, are you okay?" Erlang mengetuk-ngetuk pintu kamar Ayu.

Sudah tentu gadis itu tidak sedang baik-baik saja. Tapi setidaknya Erlang ingin meyakinkan dirinya, bahwa gadis itu tidak melukai diri sendiri. Entah mengapa Erlang melihat sikap Ayu seperti orang yang mengalami trauma. Khawatirnya, hal itu bisa memicu gadis itu melakukan perbuatan nekat.

Erlang mencoba membuka pintu itu. Tapi Ayu sudah menguncinya dari dalam. Meski demikian, Erlang terus mencoba memanggil dan membuka pintu kamar Ayu.

"Yu, tolong jawab dulu, Yu. Kamu baik-baik aja kan? Tolong buka pintunya dulu. Sebentar." Ketika tidak ada juga jawaban dari Ayu, Erlang makin keras menggedor pintu itu. "Eugenia! Tolong buka dulu pintunya sebentar. Atau saya dobrak!"

Lalu terdengar suara ketukan pintu dari dalam kamar.

"Saya baik-baik aja Pak. Saya tidur dulu ya Pak." Begitu yang didengar Erlang dari balik pintu.

Tentu saja Erlang tidak percaya bahwa Ayu baik-baik saja. Tapi gadis itu masih menjawab panggilannya, sehingga Erlang memutuskan untuk memberi waktu kepada gadis itu.

Nyatanya, malam itu, bukannya tidur dan istirahat, Ayu justru menghabiskan malam dengan membersihkan seluruh rumah, menyapu, mengepel, menyikat kamar mandi, mempersiapkan sayur dan bahan-bahan makanan di kulkas agar siap diolah, hingga menyetrika pakaian. Pada jam 2 pagi ketika Erlang mengintip dari kamarnya, ia mendapati gadis itu berada di dapur sedang meminum obat, sebelum akhirnya masuk ke kamarnya dan tidur.

Ketika Erlang keluar dari kamarnya jam 5 pagi, Ayu sudah berdiri di dapur, memasak. Sikapnya datar, seperti tidak pernah terjadi apa-apa pada dirinya. Persis seperti sikap yang ditunjukkan Ayu pada pagi hari setelah Erlang memperkosanya.

Setelah gadis itu selesai memasak dan menyiapkan meja makan, barulah Erlang bisa bicara dengannya.

"Ayu, saya minta maaf soal kemarin," kata Erlang, memulai pembicaraan dengan hati-hati.

Ayu mengangguk dengan wajah datarnya. Alih-alih takut atau gugup, Ayu justru sudah berani membalas tatapan Erlang. Meski matanya seperti kosong, tapi Erlang mengagumi betapa cepatnya gadis ini memulihkan diri. Hal ini juga yang terjadi setelah malam itu di Bali.

"Kamu sudah yakin, nggak mau kerja di kafe atau di rumah ini lagi?" Erlang lanjut bertanya.

"Iya, Pak." Gadis itu menjawab mantap dan singkat.

Erlang hanya bisa menghela nafas. Setelah yang dilakukannya semalam, dan melihat efeknya pada Ayu, ia tidak berani lagi memaksa Ayu untuk tetap bertahan.

"Kapan kamu mau berhenti dan pindah?" tanya Erlang akhirnya.

"Mbak Windy minta saya nunggu sampai akhir bulan, supaya dia bisa mencari pengganti saya," jawab Ayu. "Saya sudah dapat kontrakan dan akan pindah akhir pekan ini. Tapi saya bisa tetap kesini tiap akhir pekan untuk bantu beres-beres rumah, sampai Bapak mendapat ART baru."

Erlang menghela nafas sekali lagi. Ternyata gadis itu sudah mempersiapkan segalanya untuk pergi.

"Oke kalau gitu," kata Erlang akhirnya.

Ayu mengangguk dan bersiap berdiri dari kursinya. "Terima kasih, Pak."

"Yu..." Erlang memanggil cepat sebelum gadis itu berdiri. Membuat Ayu urung pergi. "Saya merasa terbantu sekali selama kamu disini. Jadi saya kaget waktu kamu tiba-tiba bilang ingin berhenti. Apa saya ada salah sama kamu? Atau ada yang nggak kamu suka selama kerja di kafe."

Ayu menatap Erlang, tidak segera menjawab. "Bapak nggak ada salah apa-apa. Di kafe juga semua baik-baik aja. Saya cuma nggak mau terlalu tergantung lagi sama Bapak, nggak enak sudah banyak merepotkan Bapak."

"Yu, sebenarnya kamu nggak perlu merasa nggak enak atau merasa merepotkan. Hubungan kita murni profesional__"

Sekilas Erlang melihat Ayu menggigit bibir bawahnya.

"___Kamu bekerja, saya menggaji sesuai pekerjaan kamu. Kamu nggak berhutang apa-apa sama saya. Jadi sebenarnya kamu nggak perlu berhenti kalau hanya alasan nggak enak hati."

Ayu hanya diam. Bagai anak sekolah yang sedang dinasehati kepala sekolah.

"Tadi malam sikap saya keterlaluan. Maaf ya."

Ayu hanya diam. Dia bahkan tidak repot berbasa-basi, berpura-pura seolah ia tidak apa-apa atas perlakuan Erlang semalam. Kadang Erlang merasa sikap Ayu kontradiktif dalam beberapa hal. Gadis itu lugas, tapi sekaligus penuh misteri. Gadis itu tidak berbasa-basi, tapi sekaligus tertutup.

"Saya bingung kenapa tiba-tiba kamu mau berhenti. Jadinya saya malah mendesak kamu dengan cara yang salah," lanjut Erlang. "Apa karena sikap saya yang brengsek dan sering nggak terkendali, makanya kamu nggak betah kerja sama saya?"

"Hmm, bisa jadi."

Jleb!

"Kalau gitu saya minta maaf."

"Pagi ini Bapak sudah tiga kali minta maaf. Dan sudah saya maafkan."

"Kalau gitu, kalau kamu udah maafin saya, kamu nggak jadi berhenti kan?"

"Memaafkan dan keputusan berhenti, itu dua hal yang berbeda Pak."

Erlang mendesah. "Jadi kamu nggak mengubah keputusan?"

Gadis itu menggeleng.

"Apa ada hal yang bisa saya lakukan supaya kamu membatalkan niat kamu?"

Erlang melihat mata gadis itu menatap kepadanya. Bukan tatapan menantang, bukan pula tatapan takut. Hanya tatapan biasa. Tapi entah mengapa terasa dalam.

"Saya cuma karyawan biasa, Pak, cuma orang yang bekerja pada Bapak. Seperti yang pernah Bapak bilang, saya ini bagian dari aset perusahaan. Tapi aset seperti saya ini bisa dengan mudah dicari gantinya. Mbak Windy akan segera dapat waitress baru. Bapak juga bisa segera dapat ART kalau Bapak mau. Bapak kan cari ART, bukan IRT, jadi nggak perlu terlalu pilih-pilih."

Jleb!

"Jadi Bapak nggak perlu melakukan apapun supaya saya tetap disini. Karena kalau saya pergipun, Bapak akan segera dapat gantinya kok. Nggak usah khawatir."

"Yu..."

"Pak, udah siang. Bapak belum sarapan. Saya juga harus siap-siap ke kafe."

Dan dengan kalimat itu, Ayu bangkit dari kursi dan mengembalikan kursi makan itu ke posisinya.

"Yu..." panggil Erlang sebelum gadis itu beranjak pergi.

"Ya Pak?" Ayu menoleh.

"Tadi malam kamu... kelihatan panik. Apa sekarang sudah baik-baik aja? Kalau kamu mau istirahat dulu sehari, nggak usah ke kafe dulu. Nanti saya yang bilang ke Windy."

Ayu tersenyum. "Makasih Pak. Tapi saya bisa ke kafe kok."

"Yu..."

"Ya Pak?"

Erlang tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Ia terganggu dengan respon panik Ayu semalam, dan penasaran dengan penyebabnya. Tapi menanyakan terlalu detil tentang masa lalunya hanya akan membuat gadis itu kembali membangun tembok, bahkan mungkin yang lebih tinggi.

"Kalau perlu teman ngobrol, atau ada yang mau kamu ceritakan, ada saya, Yu. Kamu bisa cerita."

Untuk beberapa jenak, Ayu tampak terpaku. Tapi kemudian ia terkekeh sambil geleng-geleng kepala.

"Pak Erlang lucu. Masa pembantu curhat sama majikannya. Saya kan bukan Mbak Farah yang dekat banget sama Pak Erlang, sampai bisa curhat-curhat segala."

Gadis itu kemudian mengangguk sekali kepada Erlang. "Anyway, makasih ya Pak. Saya pamit siap-siap berangkat kerja."

Tidak ada yang salah dengan kata-kata Ayu. Gadis itu juga mengatakan dengan cara yang sopan. Tapi ketika melihat punggung Ayu menghilang di balik pintu kamarnya, mengapa Erlang merasa tidak nyaman ya?

* * *

Kuis 1:

"Apa ada hal yang bisa saya lakukan supaya kamu membatalkan niat kamu?"

Merasa familiar dengan kalimat spt ini? Pernah baca kalimat yang mirip begini, di cerita saya yang mana hayo?

Iye, emang penulisnya ga kreatip. Demennya cerita romance bos - childfuit gini hahaha.

* * *

Kuis 2:

"... Seperti yang pernah Bapak bilang, saya ini bagian dari aset perusahaan."

Ada yang tahu/ingat, kapan Erlang pernah ngomong gini?

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top