33. Rosmarinus officinalis (2)
Televisi menayangkan film lama yang tidak terlalu menarik perhatian Erlang, karena dirinya lebih tertarik membaca file yang dikirimkan Windy kepadanya. Omzet kafe dalam 3 bulan terakhir, meski tidak melonjak tajam, namun terus mengalami peningkatan. Dan Erlang menyadari bahwa hal ini berkat promosi yang dilakukan di media sosial. Bukan hanya menampilkan healthy fun facts pada postingan instagram kafe, Ayu juga beberapa kali menampilkan foto suasana makan yang seru di kafe. Membuat banyak komunitas mahasiswa dan anak muda tertarik untuk mencoba makan disana.
Pun pada Eet Smakelijk dan Pawon Putri. Meski dalam hal kuantitas pengunjung tidak meningkat setajam kafe Korea, namun Erlang juga mendapat laporan bahwa makin banyak yang reservasi untuk makan malam ulang tahun pernikahan yang romantis. Entah itu ada hubungannya atau tidak dengan cerita sentimentil yang mereka bagikan di website dan instagram restoran.
Di masa seperti saat ini, memang perlu kemampuan memanfaatkan media sosial untuk menarik minat calon pelanggan. Dan Erlang merasa tidak salah ketika mengambil keputusan untuk mempekerjakan Ayu sebagai content writer untuk mempromosikan kafe dan restorannya.
Nah! Baru saja dipikirin, gadis itu sudah muncul di depan mata Erlang!
Erlang menegakkan posisi duduknya di sofa ketika melihat Ayu melangkah memasuki ruang tengah sambil membawa laptopnya. Pasti gadis itu ingin minta persetujuan untuk postingan berikutnya.
"Gimana Yu?" sambut Erlang dengan senyum lebar ketika gadis itu datang.
"Lagi sibuk nggak Pak? Mau ngobrol sebentar."
"Oh, nggak. Nggak sibuk kok," jawab Erlang cepat. "Sini, Yu. Duduk." Ia menepuk bagian sofa di sebelah kirinya, agar gadis itu duduk disitu.
Ayu pun mengikuti instruksi Erlang. Duduk di sisi lelaki itu, dan meletakkan laptop yang dibawanya di meja di depan sofa, diantara dirinya dan Erlang.
"Gimana?" tanya Erlang.
"Ini Pak, saya mau nunjukin folder-folder foto dan draft caption atau cerita yang rencananya mau diupload."
Ayu kemudian membuka laptop tersebut, dan membuka folder yang dimaksud.
"Ini foldernya Pak. Saya pisah per resto, jadi nggak ketuker. Fotonya sudah saya kasih kode, caption atau ceritanya juga saya kasih kode yang sama. Nanti kalau kurang sesuai, Bapak bisa edit-edit juga. Trus ada 1 folder yang saya pisahin. Itu raw picture. Saya belum kepikiran mau nulis cerita apa untuk foto-foto itu. Mungkin nanti Bapak nemu ide," Ayu bercerita sambil menunjukkan folder-folder yang dimaksud di dalam laptop Erlang. "Ini semua sudah saya save di gdrive juga sih Pak. Jadi Bapak bisa akses kapanpun dimanapun."
"Tunggu, tunggu! Ini maksudnya apa? Kenapa kamu cerita ini ke saya?" potong Erlang, sebelum Ayu melanjutkan kata-katanya. "Ini kan tugas kamu untuk upload foto-foto dan cerita itu."
"Saya mau ijin berhenti, Pak."
"Hah?"
Ayu meletakkan kembali laptop Erlang di meja. Lalu duduk tegak menghadap lelaki itu.
"Saya mau ijin berhenti kerja, Pak." Ayu mengulang kata-katanya dengan lebih tegas.
"Berhenti? Berhenti mengelola medsos resto?"
"Berhenti dari kafe juga. Berhenti dari sini juga."
"Maksudnya?"
"Selama beberapa bulan ini, Bapak sudah banyak bantu saya. Sampai ngasih pekerjaan dan tempat tinggal juga. Makasih banyak ya Pak. Tapi saya nggak bisa terus-terusan merepotkan Bapak. Jadi saya berencana pindah. Juga cari kerjaan lain."
"Tunggu, tunggu! Sebentar!" kata Erlang cepat. "Saya nggak ngerti kenapa tiba-tiba gini. Kenapa kamu tiba-tiba pengen pindah dan nggak mau kerja di rumah ini lagi?"
"Nggak enak juga Pak, sama tetangga-tetangga Bapak. Meski mereka tahu saya ini sepupu Bapak, tetap aja saya merasa nggak enak."
"Kan saya sudah bilang, soal tetangga, itu urusan saya," sergah Erlang tegas. "Mereka sih enak aja mengomentari hidup orang, padahal mereka juga nggak bantuin saya nyari orang untuk bantuin saya di rumah. Memangnya mereka pikir gampang menerima orang baru yang bisa dipercaya untuk saya menitipkan rumah dan segala urusannya?"
"Saya masih bisa datang seminggu sekali, pas akhir pekan, untuk beres-beres, ngepel, nyuci dan nyetrika. Sampai Bapak dapat ART baru."
"Kamu juga mau berhenti dari kafe? Trus mau kerja dimana?"
"Ada minimarket yang sedang butuh kasir, Pak."
"Astaga Ayu!" Erlang menggeram. "Kamu sebenarnya kenapa sih? Apa saya ada salah sama kamu, sampai kamu nggak mau kerja sama saya lagi, dan bahkan berhenti dari kafe?"
Ayu tampak terdiam sesaat. Namun kemudian ia menjawab dengan tenang, "Bapak nggak ada salah apa-apa. Saya yang nggak bisa terus-terusan menerima kebaikan Bapak."
"Saya bukan menganggap kamu pengemis, Yu. Jadi kamu nggak usah terus-terusan ngomongin kebaikan saya. Saya menggaji kamu, karena kamu bekerja dengan baik."
Ayu diam, tidak menjawab. Matanya masih memandang pada Erlang. Tatapannya tenang. Tidak tampak takut atau ragu, tapi juga tidak menantang.
"Kamu yakin melepas kerjaan di kafe demi jadi kasir minimarket yang gajinya nggak seberapa? Trus apa? Nanti kamu mau cari 1 kerjaan lain lagi? Kerja di kelab atau bar lagi? Jadi perempuan panggilan lagi?"
Untuk sepersekian detik, ekspresi Ayu tampak berubah. Terganggu dengan perkataan Erlang. Tapi ia berhasil tetap tenang.
"Daripada kamu kerja di kelab lagi, pindah dari satu lelaki ke lelaki lain, lebih baik kamu melayani satu lelaki saja. Saya." Kesal dengan keputusan Ayu yang tiba-tiba, Erlang jadi kumat brengseknya.
Ayu menghela nafas lelah. Ia sudah pernah mengalami perdebatan seperti ini dengan Erlang. Seperti deja vu baginya.
"Bapak bukan orang seperti itu," jawab Ayu, tetap tenang. "Jadi Bapak nggak perlu pura-pura brengsek supaya saya tetap bekerja disini. Saya tetap bantu beres-beres rumah tiap akhir pekan kok Pak. Jadi Bapak nggak perlu khawatir urusan rumah meski saya nggak tinggal disini."
Erlang merasa Ayu sedang mengejek atau menantangnya. Hal ini membuat Erlang makin nekat.
"Kamu pikir saya cuma pura-pura brengsek? Kamu nggak inget saya pernah memperkosa kamu saat mabuk dulu? Mau mengulang?"
"Dulu Bapak mabuk dan mengira saya sebagai Mbak Farah. Tapi sekarang Bapak nggak mabuk, dan sadar bahwa saya bukan perempuan yang Bapak cintai." Ayu dengan cepat berdiri dari duduknya. "Saya ralat. I'm not asking for permission to quit the job. It's just notification."
Tapi belum sempat Ayu melangkah, Erlang sudah menarik tangan Ayu hingga gadis itu terduduk kembali.
"Saya nggak suka dipermainkan, Eugenia! Jawab yang jujur! Kenapa kamu tiba-tiba berhenti dan mau pergi dari sini?"
"Saya cuma mau cari pekerjaan lain sendiri Pak. Saya nggak mau terus-terusan memanfaatkan kebaikan Bapak. Lagian, semua materi untuk promosi 3 bulan kedepan sudah beres. Tinggal di-post sesuai rencana. Jadi sudah waktunya saya mandiri."
"Udah enak kamu kerja disini, nggak perlu melayani laki-laki manapun. Tapi malah mau pergi dan kembali bekerja kayak gitu," Erlang mendecih. "Atau kamu memang kangen melayani banyak laki-laki? Kalau gitu, kamu bisa mulai dengan saya."
Erlang memberondong. Mengkonfrontir. Gadis ini tipe perempuan yang sangat ahli berbohong sampai Erlang tidak tahu apa alasan sebenarnya gadis itu tiba-tiba minta pergi. Barangkali cara interogasi biasa tidak akan mempan untuk membuatnya jujur.
Sebenarnya itu hak Ayu sepenuhnya untuk menentukan mau bekerja apa, dan Erlang tidak berhak melarang. Meski demikian, entah mengapa Erlang merasa tidak suka membayangkan gadis itu kembali bekerja di dunia malam, dan melayani banyak lelaki nakal seperti dulu.
Ia meletakkan telapak tangannya di lutut Ayu, lalu bergerak makin naik.
"Pak!" Ayu memberi peringatan tegas, selagi menepis tangan Erlang yang mulai menjelajah lutut dan pahanya.
"Kenapa? Kamu mau melayani laki-laki lain, tapi nggak mau melayani saya?"
Dengan cepat Ayu kembali bangkit. Tapi Erlang juga dengan sama cepatnya meraih pergelangan tangan Ayu dan menariknya kembali. Kali ini Erlang menggunakan kekuatan yang lebih besar hingga Ayu jatuh terjerembab di sofa.
Dengan cepat Erlang mengunci tubuh Ayu. Gadis itu memberontak dan membentak. Sikap dan wajah dingin yang sejak tadi ditunjukkan Ayu, perlahan sirna. Berganti wajah panik dan takut.
"Pak Erlang... Bapak orang baik. Jangan begini!" bentak Ayu dengan suara galak. Tapi entah bagaimana Erlang bisa mendengar nada takut pada suara galak itu.
Erlang mengabaikan protes Ayu. Tanpa menjawab sepatah katapun, telapak tangan Erlang mulai menjelajah. Ia terus mendesak hingga gadis ini menyerah dan mau mengatakan alasan yang sebenarnya, atau membatalkan rencananya untuk kembali bekerja di kelab malam.
Kini wajah tenang dan dingin yang selalu ditunjukkan Ayu, sudah tidak lagi tersisa. Gadis dengan posisi terdesak di bawah dirinya ini, kini menatap Erlang dengan panik dan takut. Sepertinya ia kaget dan tidak menduga Erlang bisa mengkonfrontir sejauh ini. Tangannya makin panik memukuli Erlang. Kakinya juga berusaha menendang Erlang.
Apa hal ini yang terjadi malam itu, ketika ia meniduri gadis ini saat mabuk? Samar-samar ia mengingat potongan kejadian malam itu. Gadis itu memang melawan seperti yan dilakukannya saat ini.
Lalu saat itulah Erlang yakin akan satu hal. Eugenia Ranupadma bukan perempuan yang bekerja seperti itu. Respon tubuh gadis ini bukan respon tubuh seseorang yang sudah biasa melayani banyak lelaki.
Ayu masih terus meronta berusaha melepaskan diri, tapi tidak mau memberikan keinginan Erlang. Jadi untuk mengkonfrontir lebih jauh, Erlang bertindak makin nekat.
Lelaki itu akhirnya menindih kedua kaki Ayu. Menarik kedua tangannya ke atas kepala Ayu, dan mengunci kedua pergelangan tangan yang kecil itu dengan tangan kirinya. Sementara ia mulai membawa tangan kanannya memyentuh perut gadis itu. Berbeda dengan saat Erlang mengelus perut Ayu untuk meredakan keram menstruasinya, kali itu tangan Erlang masuk ke balik pakaian Ayu dan membelai kulit perutnya langsung. Kedua jemarinya juga berpura-pura hendak membuka celana yang digunakan gadis itu.
Saat itu tiba-tiba respon tubuh Ayu menegang. Matanya, yang semula menatap nyalang dan penuh perlawanan, tiba-tiba menutup dan air mata deras mengalir dari sudutnya. Tubuhnya gemetar hebat.
"Am...pun..." Erlang harus mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu agar dapat mendengar lirih dari bibir yang pucat dan gemetar itu. "A-ampun M-mas..."
Erlang menghentikan gerakan pura-puranya di tepi celana Ayu. Ia membelai kulit perutnya, berharap bisa menenangkan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
"Ampun Mas... Jangan... Sakit..." Ayu merintih dengan mata yang memejam makin kuat dan tubuh yang makin gemetar sekaligus kaku. Suaranya, meski lirih, terdengar makin memilukan.
Kalau ini hanya acting Ayu, actingnya benar-benar bagus, hingga Erlang percaya dan berubah panik. Lelaki itu segera melepaskan cekalan tangan kirinya dari kedua pergelangan tangan Ayu, dan menggeser tubuhnya agar tidak lagi menindih kaki gadis itu.
Jika gadis itu hanya beracting, saat Erlang melepaskannya, harusnya gadis itu segera memanfaatkan kesempatan untuk berlari pergi. Tapi alih-alih, gadis itu justru mengkerut, seperti berusaha membenamkan diri ke dalam sofa. Berusaha membuat dirinya menghilang.
Erlang melihat Ayu tampak sangat rapuh. Tidur bergelung memeluk tubuhnya, menangis dengan isak lirih, sambil berkali-kali minta ampun.
Erlang duduk di tepi sofa. Perlahan mengulurkan tangannya pada Ayu dan hati-hati bermaksud mengusap lengannya, untuk menenangkan. Tapi seperti refleks, gadis itu menepisnya. Tapi bukan menepis dengan galak, seperti biasanya. Melainkan menepis dengan ketakutan.
Gadis itu mengkerut makin dalam. Kedua tangannya menangkup bagai seseorang yang sedang minta maaf. Wajahnya menunduk, tersembunyi di balik tangannya.
"Ampun Mas... Jangan. Sakit, Mas. Ampun, Mas Bayu..."
* * *
Kuis: Apa alasan Ayu pgn berhenti kerja di kafe n di rumah Erlang?
* * *
Selamat berakhir pekan, Kakak2. Sampai jumpa hari Senin 😘
..... atau barangkali lebih cepat kl vote n komennya ramai 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top