32. Rosmarinus officinalis (1)

Double update hari ini dipersembahkan untuk Kakak2 yang menghabiskan Sabtu malamnya dengan bekerja.

Apa itu Malam Minggu? Ah itu hanya halusinasi saja! Fiuuuhhh...

* * *

"Hmmm... hari ini masak apa ya?"

Erlang bergumam sambil menatap kulkas yang terbuka. Di belakang punggungnya, Ayu berdiri menanti Erlang mengambil keputusan. Sejurus kemudian Erlang mengambil beberapa bahan dan meletakkannya di meja dapur.

"Masak steak ya Pak?" tanya Ayu sambil mengamati bahan-bahan di meja dapur.

Erlang tersenyum pada gadis itu. "Pinter!"

"Wah, steaknya pake rosemary! Hmmm, pasti enak!"

"Kemarin saya mampir ke Eet Smakelijk. Ngambil dikit rosemary dari dapur Rui. Hehehe," kata Erlang. "Oiya, saya suka healthy facts yang kamu tulis tentang bahan-bahan yang dipakai di Eet Smakelijk. Menarik lho. Saya selama ini nggak perhatian tentang manfaatnya untuk kesehatan. Cuma mempertimbangkan penggunaannya untuk rasa dan aroma masakan aja. Tapi sekarang saya jadi tertarik untuk tahu lebih banyak."

"Beneran tertarik?" Ayu tersenyum dengan kerlingan mata menggoda.

"Beneran."

"Kalau Bapak beneran tertarik, coba, inget nggak apa healthy fact yang saya tulis tentang rosemary?"

"Ngetes ya?"

Ayu cengengesan.

Erlang menyadari makin hari Ayu jadi lebih terbuka mengekspresikan perasaannya. Jadi makin sering tersenyum, tertawa atau cengengesan. Tidak lagi seperti saat mereka bertemu di Bali dulu.

"Ya kan kali aja Bapak ngomong gitu cuma sopan-sopannya, untuk menghargai usaha saya aja, padahal bisa jadi Bapak sebenarnya nggak terlalu tertarik."

"Hmmm... rosemary... mengandung rosmarinic acid, yang berkhasiat antiinflamasi, sehingga dapat menjaga kesehatan saluran cerna dari kemungkinan penyakit Inflammatory Bowel Disease."

"Cakep!" seru Ayu, dengan tawa senang.

"Saya tahu saya cakep."

"Huuuu!"

Tanpa terduga Erlang sudah berdiri tepat di hadapan Ayu, menunduk untuk menyamakan tingginya dengan kepala Ayu, lalu menyentil dahi gadis itu.

"Makanya nggak usah sok-sok ngetes saya!" kata Erlang dengan seringai lebar.

Ia menegakkan kembali tubuhnya, lalu terkekeh senang melihat ekspresi Ayu yang syok dan manyun setelah dahinya disentil.

Erlang kembali menghadap meja dapur untuk mulai mengolah bahan-bahannya. Sementara Ayu berdiri di sampingnya, menunggu instruksi. Sehari-hari memang Ayu yang menyiapkan makanan. Tapi saat hobi memasak Erlang sedang kumat, maka Ayu hanya berperan sebagai asisten yang mempersiapkan bahan, mengaduk panci dan mencuci piring.

"Kamu sejak kapan tertarik tentang tanaman-tanaman gitu?" tanya Erlang sambil meraih daging, sementara ia menyerahkan daun kale kepada Ayu untuk dicuci.

"Hmmm, sejak kecil, Pak. Ibu saya suka berkebun. Sambil ngajak saya berkebun, Ibu biasa cerita tentang manfaat tiap tanaman yang ditanamnya. Waktu saya kecil dan susah makan, Ibu cerita tentang nutrisi dan manfaat masing-masing masakannya untuk kesehatan. Lama-lama ya jadi refleks aja pengen tahu tentang nutrisi dari apapun yang saya makan."

"Apa kesenangan itu juga yang membantu kamu mendapatkan medali perunggu olimpiade biologi tiga tahun lalu?"

Dari sudut matanya, Erlang memerhatikan gerakan tangan Ayu yang sedang mencuci daun kale di bawah aliran air terhenti selama beberapa detik.

Erlang mempercayai Ayu tinggal di rumahnya dan bekerja padanya bukan sekedar berdasarkan insting buta. Ia mencari tahu tentang gadis itu, berdasarkan data yang dimilikinya dari KTP Ayu. Meski tidak ada petunjuk dari media sosial, karena sepertinya gadis itu tidak punya akun medsos, tapi dari pencarian yang lebih dalam di internet, Erlang menemukan nama gadis itu sebagai nama salah satu siswi di salah satu SMA unggulan di kota Malang. Nama Eugenia Ranupadma juga pernah diberitakan di situs sekolah tersebut karena berhasil mengharumkan nama sekolah dengan berhasil membawa medali perunggu pada olimpiade sains nasional (OSN) tingkat SMA, bidang biologi. Kali ini Erlang menemukan momen yang tepat untuk mengkonfirmasi hasil pencariannya.

"Cuma perunggu, bukan emas," jawab Ayu singkat. Tangannya kembali bergerak meniriskan daun kale yang sudah dicuci.

Tapi jawaban singkat itu mengkonfirmasi jati diri Ayu. Benar firasat Erlang, ternyata gadis itu memang bukan gadis desa biasa. Terlihat dari pengetahuannya yang luas dan panjang akal sehingga bisa dengan cepat memikirkan alasan atau kebohongan di situasi terdesak, Ayu jelas gadis yang terdidik dengan baik.

"Tapi itu udah sampai tingkat nasional kan?" Erlang menanggapi. Sebisa mungkin ia mengatur suaranya agar terdengar santai dan tidak terlalu kepo.

"Hmmm."

"Dengan prestasi seperti itu, kenapa kamu nggak meneruskan kuliah? Pasti banyak kampus negeri yang bisa mempertimbangkan prestasi itu untuk calon mahasiswanya kan?"

"Saya nggak punya uang."

"Pasti ada kesempatan beasiswa untuk mahasiswa secerdas kamu kan."

"Ini kalenya mau dimasak apa Pak? Boerenkool soup? Saya iris-iris ya?"

Erlang mendesah tipis. Dan akhirnya meng-iya-kan pertanyaan Ayu.

Erlang bukannya tidak pernah mencoba bertanya pada Ayu tentang latar belakang gadis itu. Beberapa kali Ayu memang mau bercerita, terutama tentang hal-hal yang general. Tapi jika sudah menjurus pada kehidupannya yang lebih pribadi, gadis itu pasti akan mengalihkan pembicaraan. Dan karena hal itu adalah hak Ayu untuk menjaga privasinya, Erlang tidak berhak mendesak gadis itu untuk menjawab.

"Ayu..." panggil Erlang lembut, setelah beberapa saat mereka saling terdiam.

"Ya, Pak?" Ayu menoleh.

"Saya punya beef dan tuna. Kamu lebih suka steak apa?"

"Saya ikut aja, Bapak mau makan apa."

"I am asking your preference. I insist."

Ayu akhirnya berpikir sesaat sebelum memilih. "I prefer grilled tuna, then."

Erlang tercenung sesaat. Farah juga lebih suka grilled tuna dibanding beef steak. Dan cara gadis itu menjawab dengan yakin, sama sekali tidak mencerminkan sikap gadis desa yang hanya asal memilih.

"Okay!" Erlang menunjukkan ibu jarinya sambil tersenyum lebar. "Kamu pasti udah sering makan masakan seperti ini kan? Jadinya udah punya preference grilled tuna."

Erlang sudah berusaha membuat suasana kembali sensantai mungkin agar Ayu tidak sadar sedang diinterogasi, tapi sepertinya gadis itu sudah terlanjur waspada dan kembali membangun bentengnya.

"Waktu kerja di hotel, chef-nya suka ngasih ke saya untuk nyicipin."

Erlang mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ia tahu Ayu berbohong. Tapi ia tidak akan mengkonfrontirnya lebih jauh. Untuk sekarang, cukup dulu. Berdasarkan pengalaman 3 bulan ini, memberikan pertanyaan memberondong kepada Ayu hanya akan membuatnya makin defensif.

Untuk beberapa menit kemudian, dapur hening. Hanya terdengar suara dentingan alat masak dan beberapa kali instruksi Erlang saat Ayu mengolah kalenya menjadi boerenkool soup. Sesekali Ayu yang bertanya, untuk memastikan tahapan yang dilakukannya benar, dan tidak akan mengacaukan rasa masakan yang sedang dibuatnya.

Dalam posisi berdiri bersisian dengan Ayu seperti ini, Erlang tiba-tiba jadi teringat pada Farah. Dulu Farah juga sering datang ke rumahnya untuk membantunya memasak dan mencicipi kreasi menu baru yang dibuatnya untuk restorannya. Tepat seperti ini, Erlang yang memberi instruksi dan Farah dengan patuh mengikuti tahapan yang diinstruksikannya.

Refleks saja Erlang tersenyum ketika mengingat hal itu.

Tiga bulan sudah berlalu sejak Farah menolak bertemu Erlang lagi. Setelah dua bulan penuh pikiran Erlang terdistraksi oleh kesibukan promosi restorannya, ini pertama kalinya Erlang kembali teringat pada Farah. Barangkali pertemuannya dengan Farah yang terjadi secara tidak sengaja di pusat perbelanjaan kemarin, yang membuat Erlang kembali teringat.

Sejak Farah memutuskan menjauh dari Erlang, gadis itu benar-benar menutup diri dari Erlang. Pesan WhatsApp pun tidak pernah dibalas lagi. Usaha Erlang untuk menemui langsungpun tidak pernah berhasil. Dengan begitu Erlang sempat berpikir bahwa Farah sudah memulai hidup baru bersama Attar, dan barangkali mereka sedang mempersiapkan pernikahan. Siapa sangka, kemarin ketika ia tidak sengaja bertemu Farah dan meminta kesempatan bicara, ia baru tahu bahwa Farah sudah putus hubungan dengan Attar.

"Kalian putus karena kejadian waktu itu?" tanya Erlang dengan hati-hati, saat mereka bertemu kemarin.

Farah mengangguk. Berbeda dengan sikapnya tiga bulan lalu, sikap Farah sekarang lebih tenang. Tidak lagi menunjukkan wajah marah atau terganggu saat bertemu kembali dengan Erlang.

"Jadi aku harus minta maaf?"

Farah menggeleng. "Nggak perlu Om. Dengan atau tanpa kejadian itu, Pak Attar memang harusnya nggak sama Farah."

"Maksudnya?"

"Pak Attar berhak bersama perempuan yang lebih baik. Dengan masa lalu yang bersih."

Kali ini Erlang yang menggeleng. "Kalau kamu sama aku, kamu nggak perlu merasa insecure dan minder terus-terusan gitu, Far. Nggak perlu mengkhawatirkan masa lalu."

Farah membalas dengan gelengan juga. Kali ini sambil terkekeh.

"Karena kamu sudah nggak berhubungan sama Attar lagi, apa aku nggak boleh mencoba lagi, Far? Apa kamu nggak mau berbaik hati, ngasih aku kesempatan lagi?"

Erlang masih ingat, Farah menghela nafas berat sebelum akhirnya menjawab. "Om, ini bukan karena aku punya hubungan dengan Pak Attar atau laki-laki lain. Bahkan meski aku sendiripun, aku nggak akan nerima Om. Kenapa? Karena aku sekarang udah bisa menelaah perasaanku, Om.

Jujur, aku pernah sangat menyayangi Om. Mencintai Om. Aku nggak akan denial. Tapi saat tahu Om cintanya sama Mama, perasaan Farah lama-lama berubah, Om. Sekarang Farah nggak lagi mencintai Om. Terserah kalau Om mau bilang bahwa Om sekarang nggak cinta lagi sama Mama, Farah tetap udah nggak cinta lagi sama Om.

Dalam perjalanan belajar mengidentifikasi perasaan itu, Pak Attar selalu ada disana, menemani Farah. Dia selalu ada, tanpa pernah memaksa Farah menerima perasaanya. Tapi justru itu yang bikin Farah jatuh cinta sama Pak Attar.

Tapi, Om, bahkan tanpa adanya Pak Attarpun, perasaan Farah kepada Om sudah berubah. Dengan atau tanpa kehadiran orang lain, perasaan Farah ke Om sudah berubah. Farah nggak bisa lagi sayang dan cinta ke Om seperti dulu. Jadi sudah ya Om. Jangan mengikat diri dengan sia-sia seperti ini."

Farah memang sudah berubah. Tingkahnya mungkin masih pecicilan dan kenes. Tapi lihat caranya mengambil keputusan. Dia tegas, tidak lagi ragu atau sungkan. Erlang tidak bisa lagi memanfaatkan rasa bersalah Farah. Waktu dan pengalaman perlahan sudah mengubahnya.

"Perasaan Om ke Farah tuh bukan cinta, Om. Om merasa bersalah dan bertanggung jawab. Om merasa harus memperbaiki semua yang pernah kita rusak. Om merasa harus bertanggung jawab atas masa depan Farah, gara-gara Mama khawatir nggak ada laki-laki lain yang mau nerima perempuan seperti Farah.

Tapi Om, disini bukan cuma Om yang salah, Farah juga salah. Bukan cuma Farah yang salah, Om juga salah. Kita sama-sama salah dan kita sama-sama sudah berusaha memperbaiki keadaan sejauh yang kita bisa. Tapi kertas yang sudah lecek karena diremas-remas, nggak bisa mulus lagi seperti semua, sebesar apapun usaha yang kita lakukan. Jadi jangan lagi merasa bersalah Om. Kita sama-sama sudah berusaha yang terbaik untuk memperbaiki. Jangan lagi merasa terikat sama Farah hanya karena rasa bersalah dan tanggung jawab, Om."

Farah mengulurkan tangannya dan menepuk-nepuk lengan Erlang dengan pelan, tapi mantap. Seolah sebagai usaha terakhir untuk meyakinkan Erlang, bahwa dirinya baik-baik saja dan Erlang tidak perlu lagi terpenjara rasa bersalah dan bertanggung jawab.

"Om berhak menikah dan hidup bahagia bersama perempuan yang Om cintai. Bukan perempuan yang harus Om jaga karena rasa bersalah dan tanggung jawab."

Kalimat terakhir Farah itu, bersama tepukan Farah di lengannya, masih terasa sangat nyata sekarang. Rasa hangat telapak tangan itu pada kulit lengannya, dan bahkan ia bisa merasakan tangan itu mengguncangkan tubuhnya.

"Ya, Far?"

"Grilled tunanya gosong, Pak!"

Terdengar suara ctek! yang mengembalikan kesadaran Erlang. Matanya kembali fokus pada tuna yang sedang diolahnya. Ia lalu melihat tangan kanan Ayu pada lengannya. Mungkin gadis itu yang tadi menggoyangkan tubuhnya berusaha menyadarkannya. Sementara tangan kiri Ayu berada di kenop kompor, baru saja mematikan kompor tersebut.

"Oh, so-sorry. Thank you, Far... eh, Yu." Erlang tergeragap salah tingkah.

Ayu segera mendorong Erlang pelan, menjauhi kompor. Gadis itu kemudian mengangkat tuna yang salah satu sisinya gosong, memindahkannya ke piring, dan membawa pan kosong yang hampir gosong tersebut ke wastafel.

"Sori, saya bengong tadi," kata Erlang. "Dulu Farah sering main kesini. Bantuin saya masak, seperti kamu gini. Favoritnya dia juga grilled tuna, seperti kamu. Kebetulan kemarin saya ketemu Farah, jadi pas kita masak bareng gini, tiba-tiba aja saya ingat dia lagi."

Ayu tidak merespon. Gadis itu sedang mengaduk boerenkool soupnya, sebelum mematikan kompornya. Sementara Erlang menuju kulkas dan mengambil air dingin untuk minum, untuk meredakan kegundahannya.

"Dia bilang dia udah putus sama Attar. Tapi dia nggak mau nerima saya lagi," kata Erlang setelah menenggak minumnya. Ia kemudian menoleh pada Ayu. "Menurut kamu, kalau saya berkeras memperjuangkan dia, apa akhirnya dia akan luluh?"

Ayu tidak segera menjawab. Gadis itu sedang berdiri memunggunginya, memindahkan sup dari panci ke mangkuk.

"Kalau Bapak cinta mati sama Mbak Farah, kejar lagi aja, Pak," jawab Ayu akhirnya. Ia sudah selesai memindahkan sup ke mangkuk, dan membawanya keluar dapur, menuju meja makan.

Selagi Ayu keluar dapur, Erlang mengecek piring berisi tuna yang salah satu sisinya gosong. Masih bisa dimakan sebenarnya, kalau sisi gosongnya dibuang. Tapi aroma gosong akan tetap terasa, dan itu akan mengurangi kenikmatan rasanya.

"Steak dan supnya sudah di meja makan, Pak. Silakan makan." Ayu memberi tahu ketika melangkah memasuki dapur.

"Makasih," kata Erlang. "Saya masakin lagi tunanya ya. Ini gosong. Abis itu kita makan bareng."

"Nggak usah, Pak. Saya makan ini aja," jawab Ayu, sambil meraih piring di tangan Erlang.

"Jangan. Saya masakin yang baru aja." Erlang mengambil kembali piring berisi tuna gosong. Hendak menyisihkannya. Tapi tanpa diduga, Ayu merebutnya kembali.

"Udah saya bilang nggak usah!" Erlang terkesiap karena gadis itu membentak.

Selama mengenal Ayu, ini baru kali kedua gadis itu membentak. Yang pertama, saat dulu ia panik dikejar seseorang di klub di Bali. Selain itu, Ayu biasanya hanya bersikap sinis dan dingin saat marah. Tapi kenapa sekarang gadis itu membentak?

Gadis itu dengan cepat merebut piring dari tangan Erlang. Menyambar garpu. Lalu segera memakan tuna itu. Tanpa menambahkan mushroom sauce andalan Erlang. Bahkan tanpa menyisihkan bagian gosongnya.

"Hei! Yu! Kamu kenapa sih?"

Ayu membalikkan tubuh, membelakangi Erlang. Dan makan dengan kecepatan super. Lalu meletakkan piring kosong ke wastafel.

"Kamu kenapa sih? Kok tiba-tiba marah-marah? Marah karena saya bikin gosong grilled tuna kamu?"

Ayu tidak menjawab. Dia hanya diam sambil mulai mencuci semua alat masak.

Dengan kesal dan bingung Erlang meninggalkan dapur. Ia akan membiarkan Ayu ngambek sekarang. Besok pasti akan reda lagi. Gadis itu marah, pasti karena tadi ia memberondongnya dengan pertanyaan tentang masa lalunya.

* * *

Kuis: Apa alasan Ayu marah?

* * *

PS. Saat ini event OSN (Olimpiade Sains Nasional) telah berganti nama menjadi KSN (Kompetisi Sains Nasional). Tapi mempertimbangkan timeline cerita ini, jadi pada bab ini masih ditulis OSN.

* * *

Bab ini mengandung lebih dari 2000 kata. Jadi boleh dong vote n komennya yang rame, Kakak2kyuuuu

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top