31. Atropa belladonae

Karena mengetahui bahwa Erlang selalu sarapan sebelum jam 7 pagi, biasanya jam 6 pagi sarapan sudah tersaji di meja makan. Tapi kali itu, sepulang Erlang dari jogging jam 6.30 pagi, meja makan masih kosong. Hal ini aneh sekali, sehingga Erlang memutuskan untuk mengecek Ayu di kamarnya.

Ayu adalah orang yang tanggap. Biasanya hanya dengan memanggil saja, Ayu langsung menemui Erlang. Tapi kali itu sudah beberapa kali Erlang mengetuk pintu kamarnya, Ayu tidak menyahut atau membukakan pintu. Erlang mencoba membuka pintu tersebut, tapi terkunci dari dalam. Erlang jadi teringat bahwa beberapa bulan lalu ia juga menemukan Ayu demam hingga nyaris pingsan di kamarnya di asrama hotel. Apakah kali ini Ayu tidak juga merespon karena demam juga?

Erlang mencoba kembali mengetuk-ngetuk kamar Ayu dan memanggil namanya dengan agak keras. Setelah beberapa saat mencoba kembali, akhirnya Ayu membukakan pintu.

"Pak, maaf saya kesiangan. Sebentar saya masakin sarapan, Pak," kata Ayu ketika membuka pintu. Suaranya lemah, wajahnya pucat. Gadis itu sudah mengikat rambutnya, tapi tidak seperti biasa, ikatan rambutnya terlihat berantakan.

"It's okay. Bukan soal sarapan," cegah Erlang, cepat. "Kamu sehat?"

"Nggak apa-apa, Pak." Ayu tersenyum. Tapi Erlang bisa melihat gadis itu memaksakan senyum.

Ayu hendak keluar kamar dan menutup pintunya, tapi Erlang menahannya. Lelaki itu meletakkan telapak tangannya di dahi Ayu untuk memastikan kondisinya. Tapi alih-alih demam, Erlang justru mendapati dahi Ayu sangat dingin. Dengan cepat telapak tangannya mengusap lengan Ayu dan mendapati lengan itu basah dengan keringat dingin.

Ayu memang tidak demam. Tapi jelas dia sedang tidak sehat. Oleh karena itu Erlang segera mendorong Ayu kembali masuk ke kamarnya.

"Pak, tapi saya harus masak," protes Ayu lemah, ketika tubuhnya didorong masuk.

"Kamu sakit. Apa yang kamu rasain?" Dengan lembut Erlang mendorong Ayu hingga terduduk di kasurnya.

"Cuma sakit perut biasa Pak. Datang bulan. Maaf saya terlambat bangun."

"Keram datang bulan?" tanya Erlang. "Biasanya akan hilang sendiri, atau kamu minum obat?"

"Kadang hilang sendiri, kadang perlu minum obat."

"Kamu belum minum obat?"

"Nanti saya sarapan dulu, baru minum obat, Pak," jawab Ayu. "Makanya saya mau masak dulu."

Dengan tidak sabar Erlang menggenggam kedua bahu Ayu dan mendorongnya lembut hingga jatuh tertidur. Ia mengusap dahi Ayu yang penuh keringat dingin. Ia lalu menarik kembali selimut untuk menutupi kaki hingga perut Ayu.

"Saya masak dulu sebentar. Habis itu kamu makan."

"Tapi, Pak___" Dengan suara lemahnya, Ayu masih mencoba protes. Tapi Erlang mengabaikannya dan langsung melangkah keluar dari pintu.

"Pintunya saya tutup, tapi jangan dikunci. Khawatir kamu pingsan," perintah Erlang. Tanpa mempedulikan penolakan Ayu lagi, Erlangpun berlalu.

Beberapa waktu setelahnya Erlang kembali ke kamar Ayu, membawa semangkuk sup ayam-jagung-telur yang sudah dicampur nasi sehingga nasinya lebih lembut. Juga segelas air mineral. Saat itu Ayu sudah kembali tertidur dengan dahi yang berkerut, seperti menahan sakit. Maka dengan perlahan, Erlang membangunkan Ayu.

"Makan dulu. Minum obat. Trus tidur lagi," perintah Erlang, setelah Ayu mengerjapkan matanya.

Ia meletakkan sup yang dibawanya di nakas samping tempat tidur Ayu, lalu duduk di tepi ranjang. Gadis yang berbaring di hadapannya menatapnya dengan mata yang sayu. Tidak seperti biasanya dimana gadis itu menatapnya dengan mata dingin, mata sinis atau mata berbinar.

Erlang menunduk. Ia meraih bahu dan lengan Ayu dan mengajaknya untuk duduk. Dengan cepat salah satu tangannya menata bantal di punggung Ayu dan menyandarkan gadis itu pada kepala ranjang yang telah diberi bantal.

"Masih sakit?" tanya Erlang lembut.

Ayu mengangguk pelan.

"Makan dulu ya," kata Erlang. "Kalau nggak nafsu makan, makan sedikit aja dulu."

Erlang mengambil mangkuk yang tadi ia letakkan di nakas, lalu meraih tangan Ayu dan meletakkan mangkuk di atas telapak tangannya. Di bagian bawah mangkuk tersebut, ia lapisi dengan piring, sehingga Ayu dapat memegang piringnya alih-alih mangkuk yang masih panas dengan kuah sup.

"Abis itu minum obat ya. Kamu masih simpan obatnya? Atau mau saya beliin?"

"Kayaknya masih ada Pak," jawab Ayu, pelan dan lemah.

"Dimana? Saya ambilin."

"Hmmm..." Awalnya Ayu nampak enggan mengatakan. Tapi akhirnya ia menjawab, "Ransel saya, saku paling depan."

Erlang beranjak dari tepi ranjang, menuju ransel Ayu yang terletak di pojok ruangan. Lelaki itu berjongkok dan mulai membuka saku ransel. Ia menemukan beberapa strip dan blister obat disana. Salah satunya sempat membuat matanya memicing. Tapi akhirnya ia mengambil satu obat lain yang ia kenali sebagai pereda rasa sakit saat menstruasi. Lidya pernah menggunakan obat yang sama dulu, yang mengandung ekstrak belladona. Salah satu zat aktif dalam ekstrak tersebut adalah skopolamin atau hyoscine, yang berefek spasmolitik atau meredakan kejang/keram otot.

Dengan cepat Erlang mengambil satu strip tablet pereda nyeri haid tersebut, lalu mengembalikan obat-obat lainnya ke saku ransel Ayu. Ia lalu kembali duduk di tepi ranjang.

"Gimana?" tanya Erlang, mengamati Ayu yang sedang menyuap supnya.

"Enak, Pak," jawab Ayu sambil tersenyum, meski tetap lemah. Ia melanjutkan mengunyah makanannya, sebelum kembali berkata, "Maaf, jadi Bapak yang harus masakin buat saya."

Erlang hanya tersenyum.

"Bapak udah makan?" tanya Ayu.

"Belum."

"Udah lewat jam 7. Bapak makan aja. Saya bisa sendiri."

"Saya diusir?"

"Bukan gitu, Pak..."

"Iya, iya," potong Erlang, terkekeh sambil menepuk kaki Ayu yang masih tertutup selimut. Ia kemudian menunjukkan strip obat yang dibutuhkan Ayu, lalu meletakkannya di nakas. "Obatnya saya taruh sini. Makannya dihabiskan. Trus obatnya diminum ya."

Meski masih terlihat lesu, tapi Erlang bisa melihat rona wajah Ayu sudah mulai kembali, saat gadis itu mengangguk sambil tersenyum padanya.

* * *

Erlang masuk ke kamar Ayu bertepatan dengan saat Ayu menyibak selimut yang menutupi kakinya dan bersiap turun dari ranjang.

"Ngapain?" tanya Erlang, sambil bergegas menghampiri Ayu dan menahannya di tempat tidur.

"Ini, Pak," Ayu menunjukkan mangkuk sup yang sudah kosong.

"Wah, habis! Bagus!" Erlang lalu mensabotase piring itu dari tangan Ayu.

"Eh, jangan Pak!"

Tapi Erlang tidak memedulikan  kata-kata Ayu. Ia melihat ke nakas, kepada gelas yang sudah kosong dan strip obat yang sudah dibuka. Lalu meraih semuanya dan meletakkan di atas mangkuk kosong Ayu.

"Biar saya yang bawa. Sebentar ya."

Dengan sigap Erlang bangkit dari tepi ranjang, membawa mangkuk, piring, gelas dan strip obat kosong keluar dari kamar Ayu. Tidak memberikan kesempatan bagi Ayu untuk mencegahnya.

Beberapa saat kemudian Erlang kembali dengan satu gelas air di tangan kanan dan satu botol kaca berisi air di tangan kiri. Ia meletakkan botol kaca yang dilapisi handuk kecil itu di nakas ketika duduk di tepi ranjang, dan mengangsurkan segelas air pada Ayu.

"Mau minum lagi?" Erlang menawarkan.

Ayu mengangguk, meraih gelas itu dan meminum setengah isinya. Lalu meletakkan gelas itu di nakas.

"Botol air panas?" tanya Ayu sambil menunjuk botol terbungkus handuk yang tadi diletakkan Erlang di nakas.

Erlang mengangguk. "Dulu kalau Lidya lagi keram menstruasi, dia suka pakai itu."

"Makasih ya Pak."

"Sekarang kamu tiduran..."

"Eh? Eh, nggak usah Pak!"

Tapi Ayu tidak mampu melawan Erlang saat lelaki itu mencengkeram kedua lengannya dan mendorongnya hingga kembali rebah di ranjangnya.

"Saya bisa sendiri, Pak."

"Sssttt!"

Erlang membawa botol itu menuju perut Ayu yang masih tertutup kaos rumahnya. Dengan cepat Ayu menggenggam pergelangan tangan Erlang dan menggeleng ngeri. Tapi lelaki itu tidak memedulikannya. Ia tetap meletakkan botol itu dalam posisi horizontal di perut Ayu yang terlapisi pakaian.

Terdengar suara nafas yang tercekat saat dinding botol yang panas itu menghantarkan hangat menembus kaos yang dikenakan Ayu. Gadis itu masih memegangi pergelangan tangan Erlang dengan kuat, masih mencoba mencegah tangan itu untuk menggulir botol air panas itu di atas perutnya. Tapi kemudian tangan Erlang yang satu lagi meraih tangan Ayu yang menahan tangannya.

"Eugenia..." Erlang berbisik lembut. "Lepas tangan kamu," perintahnya, sambil perlahan melepaskan cengkeraman Ayu dari pergelangan tangannya. "Nikmatin aja ya."

Cengkeraman Ayu sudah terlepas sepenuhnya dari tangan Erlang. Sehingga lelaki itu kini dengan bebas menggulirkan botol air panas itu pada perut Ayu.

"Nggak terlalu panas kan?" tanya Erlang memastikan.

Ayu menggeleng. Matanya masih menatap Erlang dengan tatapan nanar.

Menyadari ada yang aneh dengan Ayu, Erlang menghentikan sejenak gerakan botol air panas itu. Kini ia menggantikannya dengan telapak tangannya sendiri, membelai perut Ayu dari balik kaosnya. Gadis itu terkesiap kecil.

"Otot perut kamu kaku banget. Coba dibikin rileks..."

Bergantian Erlang membelai perut Ayu dengan telapak tangannya, lalu dengan botol air panas. Ia melakukannya selang-seling hingga beberapa kali sampai otot perut Ayu dirasakan mengendur dan lebih rileks.

"Feel better?" Erlang mengalihkan tatapannya dari perut ke wajah Ayu.

Saat itu ia mendapati gadis itu sedang menatapnya dengan tatapan yang intens. Untungnya dia bukan bocah remaja lagi, sehingga tatapan seperti itu tidak akan membuatnya salah tingkah.

"Pak Erlang..."

"Hmm?"

"Saya bisa sendiri. Biar saya lanjutin sendiri."

"Nggak apa-apa. Kamu santai aja. Rileks. Nikmatin aja. Tutup mata kamu. Nanti keram dan sakitnya berkurang."

"Pak..."

"Hmm?"

"Jangan terlalu baik sama saya. Saya cuma pembantu."

Kali itu Erlang membalas tatapan Ayu. Dahinya mengernyit. "Saya nggak pernah anggap kamu sebagai pembantu, Yu."

Tatap mata mereka bertemu. Erlang menyadari Ayu tidak lagi sepucat tadi. Bahkan wajahnya justru mulai memerah.

"Jadi bagi Bapak, saya siapa?"

* * *

Jawab Pak!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top