29. Hibiscus sabdariffa (2)

Btw, restoran Chef Rui benar adl restoran tempat Pakde n Iva "kentjan" pertama kali. Yang makanannya bikin mules, karena harganya menguras dompet Iva 🤭🤭🤭

* * *

"Ngapain dari tadi curi-curi pandang ngeliatin saya?" tegur Erlang.

Ayu yang tertangkap basah, melengos, sedikit tergeragap.

"Terpesona apa naksir?"

Ayu mendengus. Sengaja memperjelas dengusan nafasnya agar Erlang tahu.

Lelaki itu kemudian terkekeh, sambil melanjutkan memilih sayuran segar. Sementara Ayu melangkah di sampingnya bersama dengan troli, bersiap menampung bahan-bahan yang dipilih Erlang.

Setelah lebih dari sebulan membantu di rumahnya, ini pertama kalinya Erlang mengajak Ayu turut serta berbelanja kebutuhan rumah. Biasanya Erlang berbelanja sendiri, dan Ayu tinggal mengolahnya di rumah.

"Kali ini kamu ikut saya. Lain kali saya minta tolong kamu yang belanja ya. Khawatirnya saya makin sibuk dan nggak sempat belanja lagi," kata Erlang sewaktu mengajak Ayu pergi.

Jadi hari itu, setelah mampir ke Eet Smakelijk, restoran masakan Indo-Belanda yang didirikan Erlang, lelaki itu mengajak Ayu berbelanja ke pusat perbelanjaan yang berada tidak terlalu jauh dari rumah Erlang.

"Mau nanya apa?" tanya Erlang sambil mengulum senyum geli melihat sikap Ayu yang salah tingkah. Sejak keluar dari restoran tadi, setelah makan siang, beberapa kali Erlang memergoki gadis itu sedang mencuri-curi meliriknya.

Gadis itu tidak segera menjawab. Ia hanya manyun-manyun sampai beberapa saat. Erlang tidak memaksa. Ia membiarkan gadis itu manyun-manyun sementara dirinya mengambil 4 karton susu dan memasukkannya ke dalam troli.

"Saya penasaran.... Pak," kata Ayu beberapa saat kemudian. Ia mengatakannya dengan hati-hati.

"Hmmm?" Erlang menanggapi dengan gumaman. Dirinya kini sedang menunduk di atas beberapa buah melon.

"Bu Lidya itu... mantan istri Bapak?" tanya Ayu perlahan.

"Iya." Erlang menjawab santai. Masih belum menoleh pada Ayu.

"Kata Chef Rui, Bapak membuka Eet Smakelijk buat Bu Lidya?"

"Bukan. Yang benar, saya membuka Eet smakelijk berkat Lidya."

Ayu menelengkan kepalanya, menatap Erlang lebih serius. Lelaki itu sudah memutuskan membeli melon yang mana. Ia mengambil melon pilihannya dan meletakkan di troli.

"Dulu saya karyawan biasa, Yu." Lelaki itu meraih troli dan mendorongnya. Membuat Ayu tersingkir dari tugasnya mendorong troli, dan melangkah di sisi lelaki itu. "Saya ketemu Lidya karena kami kerja di kantor yang sama. Lalu kami menikah. Dia tahu saya bekerja kantoran hanya demi memuaskan ego ibu saya. Menurut beliau, kalau bukan bekerja kantoran, artinya pengangguran. Setelah nikah, Lidya menyadari passion saya untuk punya usaha sendiri. Dan dia mendukung saya untuk mewujudkannya. Sebelumnya, sejak sambil kerja kantoran, saya memang punya usaha kuliner juga bareng beberapa teman, tapi saya cuma ikutan naruh modal aja. Nggak ikutan me-manage. Eet smakelijk adalah restoran pertama yang saya buka sendiri. Rui itu kenalannya Lidya. Dan Lidya yang suka wisata kuliner, suka konsep makanan akulturasi Indo-Belanda. Dan kebetulan Rui pernah ikut short culinary course di Belanda. Jadi kami sepakat dengan konsep itu. Jadi bisa dibilang, restoran itu berdiri memang berkat Lidya."

"Karena itu Bapak nggak mau Bu Lidya membayar disana? Karena hutang budi."

Erlang mengendikkan bahu. "Sort of," jawabnya. "Sejak awal, saya selalu menganggap restoran itu juga milik Lidya. Tapi bagi Lidya nggak begitu. Sejak kami bercerai, Lidya selalu keberatan kalau saya larang membayar. Karena dia bukan istri bos lagi, katanya. Padahal bagi saya, meski dia bukan istri saya lagi dan dia nggak menanam modal di restoran itu, tapi semua tentang restoran itu adalah idenya dia. Konsep interior dan eksteriornya. Menu-menu awal yang kami pilih untuk sajikan, semuanya makanan kesukaan Lidya. Dan ternyata itu jadi signature dish Rui dan menu favorit restoran sampai sekarang. Stamppot dan boerenkool soup. Jadi saya berhutang banyak sama dia."

Ayu mengangguk-angguk dengan mata menerawang. Beberapa saat kemudian Erlang berhenti mendorong troli dan mengamati wajah Ayu. Gadis itu merasa diperhatikan, dan balik menatap dengan mata bertanya.

"Kenapa?" tanya Erlang, yang merasa Ayu seperti sedang melamun.

"Oh, nggak, Pak," jawab Ayu. "Saya cuma merasa... it's beautiful."

"Lidya? Yes, she is."

"No, bukan Bu Lidya aja. Tapi Bapak juga."

"Saya cantik?"

Ayu terkekeh kecil. "Maksudnya, hubungan Bapak dan Bu Lidya. Indah sekali. Kalian sudah pisah, tapi nggak ada saling benci. It's a beautiful relationship. And such a pity that it's ended."

"Justru kalau nggak diakhiri, mungkin kami akan berakhir saling membenci."

Ayu menelengkan kepalanya.

"Kami berawal sebagai teman kantor. Dan ternyata keputusan untuk mengubah pertemanan itu menjadi hubungan yang lain, bukan keputusan yang tepat. Kami memang lebih cocok berteman. Kalau kami terus memaksakan hubungan pernikahan, bisa jadi makin lama kami makin saling menyakiti. Lidya deserves someone better."

"... deserves someone better.... " suara Ayu seperti orang menggerutu.

"Kenapa?"

"Itu kalimat klise yang biasa dipakai untuk memutuskan hubungan, tapi nggak punya alasan yang masuk akal."

Alih-alih tersinggung, Erlang justru tertawa. Ia membiarkan Ayu berasumsi sendiri.

"Jadi Bapak dan Ibu pisah bukan karena orang ketiga? Mbak Farah, misalnya?"

Erlang menggeleng sambil tertawa kecil. "Saya kenal Farah sejak dia lahir. Sejak awal menikah, Lidya juga kenal dengan Farah dan keluarganya. Dan kejadian antara saya dan Farah, itu terjadi setelah saya dan Lidya bercerai. Jadi kami pisah bukan karena orang ketiga. Kami pisah baik-baik."

"Anak-anak ikut Bu Lidya?"

"Kami belum punya momongan."

"Oh...." Ayu melirik Erlang. "Apa karena Bu Lidya belum hamil juga, makanya Bapak menceraikan Bu Lidya?"

"No," jawab Erlang. "Nggak ada masalah dengan kesehatan kami. Kalaupun Lidya belum hamil juga, itu memang karena kami rencanakan."

"Hah?"

"Kami menikah karena keputusan sendiri, bukan dijodohkan. Tapi perubahan status hubungan kami terlalu cepat. Jadi kami memutuskan untuk menunda memiliki momongan, sampai perasaan antara kami jadi lebih kuat. Dan ternyata sampai akhir kami berpisah, perasaan kami tidak menjadi lebih kuat daripada sekedar teman. Jadi kami pisah bukan karena saya menceraikan dia akibat belum hamil juga. Saya nggak secupat itu menilai perempuan hanya dari kemampuannya hamil."

Ayu mengangguk mengerti.

"Nggak semua happy ending itu berarti menikah dan hidup bahagia selamanya," kata Erlang sambil mencari kopi dan teh kesukaannya dari rak display. "Kadang berpisah dan menemukan diri masing-masing, itulah happy ending."

"True..." lirih Ayu. "Indeed, not every marriage ends happily."

Erlang menoleh. "Pernikahan kamu sendiri, gimana?"

Ayu tampak tergeragap sesaat. Barangkali tidak menyangka Erlang tiba-tiba menanyakan hal itu.

"Yah...." Ayu mengangkat bahu dengan gerakan yang canggung.

"Kamu belum pernah cerita tentang keluarga kamu," kata Erlang. "Suami kamu kerja apa? Gimana ceritanya seusia kamu sudah menikah? Kalian teman SMA atau dijodohkan? Apa kalian sudah punya momongan?"

"Pak, kita beli ini ya?" Tanpa lampu sen, tiba-tiba Ayu membelokkan topik percakapan mereka. Ia menunjukkan sebuah kemasan aluminum berbentuk pouch dengan label yang menunjukkan foto bunga berwarna merah. "Rosella. Bisa buat membantu menurunkan hipertensi nih Pak. Supaya Bapak nggak ngegas melulu, nggak marahin saya melulu."

Beberapa kali Erlang memerhatikan Ayu yang bisa bersikap dingin, berubah gelisah tiap topik tentang suaminya diungkit. Pun kali itu, ketika Erlang menanyakan tentang suami dan keluarganya, Ayu tampak tidak nyaman untuk berceriya, sehingga gadis itu langsung mengalihkan pembicaraan.

"Emang saya marah-marah mulu ya?"

Ayu mengangguk. "Sejak Mbak Farah ke rumah waktu itu, mood Bapak jelek terus. Saya kena marah terus. Nanti saya bikinin teh rosella ya Pak. Supaya tensinya turun dikit, nggak ngegas mulu sama saya."

Erlang tahu pembahasan tentang teh rosella ini hanya untuk mengalihkan topik pembicaraan. Tapi demi menghormati usaha Ayu untuk ngeles, akhirnya Erlang menanggapi komentar tersebut.

"Iya, iya, terserah kamu aja."

Ayu mengangguk, meletakkan kemasan rosella itu di troli, lalu mengambil alih troli dari tangan Erlang dan mendorongnya pergi.

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top