27. Aconitum sp. (2)
Belum sampai sebulan Ayu berada di rumahnya. Tapi beberapa hari sudah berlalu dengan sikap diam dan jauh yang Ayu tunjukkan dengan terang-terangan. Gadis itu tetap mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga. Tapi terlihat jelas menghindari kontak dengan Erlang.
Erlang tidak menyalahkan sikap Ayu. Erlang sadar diri bahwa ini adalah kesalahannya. Sikap Ayu yang menjauh dan makin dingin pasti akibat sikapnya yang brengsek. Setelah kemarahannya pada Farah mulai terkendali, Erlang baru menyadari bahwa dirinya sudah bersikap sangat brengsek pada Ayu.
Dulu sekali saat dirinya masih remaja, Fariha sering menasehatinya, agar tidak bertindak dan berkata gegabah saat sedang emosi. Nyatanya setelah dua puluh tahun berlalu, dirinya tidak menjadi lebih dewasa dan bisa mengendalikan amarah. Memang sekarang dia lebih bisa mengendalikan emosinya. Tapi ada saat-saat dimana dia benar-benar tidak bisa mengendalikan diri. Entah kenapa Farah selalu berhasil membuatnya hilang kendali.
Pun saat Farah mencampakkannya, Erlang marah. Tapi ia tidak bisa melampiaskannya pada Farah. Atau pada Attar. Jadi tanpa sadar, ia melampiaskannya pada Ayu. Kini setelah emosinya mereda, barulah ia menyadari kesalahannya.
Begitu juga saat Erlang menawarkan sesuatu kepada Ayu beberapa jam lalu. Lelaki itu tahu bahwa kata-katanya sudah sangat keterlaluan dan merendahkan. Tapi kesadarannya datang terlambat.
Awalnya ia tidak berniat begitu. Ia hanya tidak ingin Ayu pergi dari rumahnya, mengontrak di tempat lain, sementara dirinya sudah terlanjur nyaman dengan gadis itu. Ia tidak perlu lagi pusing dengan urusan rumah sejak Ayu membantu di rumahnya. Di Jakarta sekarang, sulit mencari ART baru dari yayasan penyalur yang dapat bekerja dengan baik dan dapat dipercaya. Dan sejauh ini Ayu menunjukkan bahwa dirinya dapat dipercaya dan kinerjanya selalu memuaskan. Itu mengapa Erlang jadi kesal saat mendengar rencana Ayu untuk pergi dari rumahnya. Apalagi dengan alasan agar bisa pulang pagi jika bekerja di tempat lain. Jadi refleks saja Erlang menawari gaji yang lebih besar agar Ayu tetap bekerja di rumahnya.
Awalnya hanya seperti itu. Erlang hanya ingin meyakinkan Ayu untuk tetap tinggal dan bekerja di rumahnya. Tapi siapa sangka Ayu justru menuduhnya bermaksud mesum. Jadi karena kesal, sekalian saja Erlang menyambut prasangka itu dan memprovokasi Ayu.
Provokasi Erlang itu juga sebenarnya sekaligus untuk memancing Ayu agar mengelak, membantah atau marah. Atau jika beruntung, Erlang berharap Ayu menceritakan kesulitan keuangan yang dihadapinya. Sudah sejak awal Erlang penasaran dengan pekerjaan Ayu, terutama karena gadis itu kelihatan ngotot sekali ingin mencari uang sebanyak mungkin.
Melihat bagaimana Ayu bekerja di kelab, Erlang memang pernah menduga bahwa gadis itu bukan hanya bekerja sebagai pelayan di kelab, tapi juga sebagai pemuas hasrat para lelaki hidung belang. Apalagi Ayu selalu membiarkan para tamu kelab menjamah dirinya demi uang, dan gadis itu juga tidak pernah satu kalipun mengklarifikasi tuduhan Erlang. Tapi ketika beberapa jam lalu Ayu dengan tegas menolak tawaran Erlang untuk melayani dirinya seorang, Erlang menjadi ragu. Jangan-jangan selama ini Ayu memang tidak pernah melayani laki-laki lain.
Tapi bagaimanapun Erlang mengkonfrontasi, ternyata ia tidak berhasil mengorek keterangan apapun dari Ayu. Gadis itu jelas-jelas terlihat sangat marah padanya, tapi tidak sedikitpun membantah tuduhan Erlang.
Dan kata-kata selayaknya sembilu. Sekali dihujamkan, lukanya terlanjur tertoreh. Ayu pasti sudah sangat sakit hati dengan kata-katanya. Jadi ketika Ayu mengabaikannya saat berpapasan dengannya di ruang tengah, di pagi buta itu, Erlang tahu diri.
Malam itu, setelah percakapannya dengan Ayu yang diakhiri dengan hal brengsek yang diucapkannya, Erlang tidak dapat tidur dengan nyenyak. Kadang Erlang muak menjadi orang nanggung. Bukan orang baik, tapi juga tidak bisa jadi orang brengsek. Akibatnya, setelah berbuat brengsek, ia akan menyesali perbuatannya sendiri hingga tidak bisa tidur.
Jadi jam 1 pagi itu, ia memutuskan untuk pergi ke dapur. Memasak sesuatu, atau bahkan sekedar minum air putih, barangkali bisa menenangkannya. Siapa tahu ia jadi bisa tidur lebih nyenyak. Tapi siapa sangka di waktu sepagi itu ia justru bertemu dengan Ayu di ruang tengah, sedang mengepel.
Mengingat Ayu menghabiskan pagi hingga sore di kafe, sebenarnya wajar saja kalau gadis itu mengerjakan pekerjaan rumah tengah malam seperti itu. Tapi kini melihat sendiri gadis itu sudah kembali bekerja di waktu sedini itu, Erlang merasa kasihan juga.
"Lagi ngepel, Yu?" tanya Erlang basa-basi.
Ayu menoleh kaget. Mungkin tidak menyangka akan bertemu Erlang di waktu sepagi itu. Tapi setelah bertatapan dengan Erlang, Ayu mengatur ekspresinya kembali menjadi datar.
"Iya, Pak," jawab Ayu singkat. Kemudian ia melanjutkan pekerjaannya.
Erlang salut sekali pada gadis ini. Pada banyak kesempatan, gadis ini menunjukkan kendali diri yang baik, bahkan di usianya yang masih muda. Bahkan saat dirinya mengalami kejadian buruk atau berselisih dengan orang lain, Ayu masih bisa berpura-pura bersikap biasa saja dan tidak ketus.
"Membersihkan dan membereskan rumah seperti ini nggak perlu setiap hari. Dua atau tiga hari sekali nggak apa-apa," kata Erlang.
Ayu melirik Erlang sesaat dengan kombinasi ekspresi bingung dan malas. Tapi kemudian lagi-lagi ia hanya menjawab, "Iya, Pak," dengan datar. Lalu kembali bekerja.
Sikap Ayu yang seperti itu membuat Erlang salah tingkah. Ia melangkah ke hadapan gadis itu, berdiri tepat di depan stik pel yang sedang dipegang Ayu. Membuat Ayu menghentikan gerakan mengepelnya, dan menengadah menatap Erlang.
Erlang mengulurkan tangannya pada Ayu. Membuat Ayu menatapnya bingung.
"Saya minta maaf," kata Erlang. "Semalam kata-kata saya brengsek banget."
Ayu mengerjap. Bergantian menatap wajah dan tangan Erlang yang terulur. Beberapa detik kemudian barulah Ayu menyambut uluran tangan itu. Meski tanpa menjawab apapun.
Setelah Ayu melepaskan tangan Erlang, ia hendak melanjutkan kegiatan mengepelnya. Tapi Erlang menahannya, dan memintanya duduk dengannya di sofa. Tanpa penolakan, dengan wajah datarnya, Ayu mengikuti Erlang duduk di sofa.
"Kemarin omongan saya brengsek sekali. Saya minta maaf," Erlang memulai.
Ayu hanya diam saja mendengarkan.
"Hampir 3 bulan Mbok Nah berhenti. Saya kesulitan mencari penggantinya. Orang yang sama sekali asing, saya nggak bisa segera mempercayainya dan meninggalkan rumah begitu aja. Saya sudah cocok dengan hasil kerja kamu dan saya percaya sama kamu. Jadi tolong jangan pergi. Tetap kerja disini."
Meski tidak lebar, Ayu tampak agak melongo. Erlang menduga, Ayu kaget karena tidak mengira dirinya akan bersikap baik. Sepertinya saking brengsek dirinya, Ayu sampai tidak percaya dirinya bisa bersikap baik dan sopan.
"Saya juga serius waktu bilang akan memberi gaji 10 juta per bulan. Jadi kamu nggak perlu kerja di night club," imbuh Erlang.
"Maaf, tapi saya juga serius, nggak mau jadi pelampiasan fanta____"
"No! No! Please, jangan salah paham," potong Erlang cepat. "Satu-satunya tugas kamu di tempat tidur saya adalah membereskan tempat tidur saya."
Mata Ayu menyipit. "Bapak artis?"
"Hah?"
"Kayaknya cuma pembantu artis atau pengusaha yang bisa dapet gaji 10 juta per bulan."
"Saya pengusaha," jawab Erlang percaya diri.
Mulut Ayu yang sudah siap mendebat, diam menganga. Sepertinya ia baru ingat bahwa Erlang memang pengusaha. Pengusaha kuliner. Meski belum masuk kategori pengusaha besar.
"Saya kerja di rumah ini cuma setengah hari, Pak. Setelah pulang dari kafe dan sebelum berangkat ke kafe. Jadi saya bukan pembantu penuh waktu. Mana mungkin saya digaji sebanyak itu."
"Mungkin aja. Ini uang, uang saya kok. Terserah saya mau dihabiskan buat apa kek."
Ayu memutar bola matanya. "Tetap nggak masuk akal, Pak. Masa 10 juta cuma untuk beres-beres rumah, masak dan cuci-setrika?"
Erlang mengusap wajahnya kasar. Susah banget sih perempuan ini. Nyari-nyari kerjaan dobel. Tapi pas dikasih duit banyak, nolak.
"Kamu bisa fotografi?" tanya Erlang akhirnya.
"Nggak bisa, Pak."
"Tapi kata Windy, kamu yang bikin postingan di IG kafe."
"Oh, itu mah iseng-iseng aja Pak. Fotonya juga cuma pakai hape Mbak Windy, bukan kamera DLSR."
Justru itu!, kata Erlang dalam hati, pakai kamera ponsel aja hasilnya bagus.
"Kamu juga bisa copy writing kan?"
"Nggak bisa Pak."
"Caption di postingan IG kafe, itu kamu juga yang nulis kan?"
"Aduh, tulisan gitu doang."
Pantes miskin, gerutu Erlang, nyinyir dalam hati, dia punya potensi tapi nggak sadar sama potensinya. Sehingga nggak bisa mengoptimalkan dan mengkomersilkan potensinya.
"Kalau gitu, 10 juta itu adalah gaji kamu membantu saya di rumah, dan sebagai content creator untuk mempromosikan restoran-restoran saya," putus Erlang.
"Hah?" Ayu tidak mengerti.
"Detil pekerjaan kamu bisa dibahas nanti," kata Erlang tidak sabar. "Gimana? Deal kan?"
Ayu tampak tergeragap karena tiba-tiba mendapat penawaran seperti itu.
"Atau 10 juta itu belum cukup juga?" tanya Erlang. "Kamu butuh uang berapa sebenarnya?"
"Banyak," jawab Ayu, cemberut. "Bapak kenapa percaya sama saya, sampai berani ngasih kerjaan dengan gaji sebesar itu ke orang asing seperti saya?"
"Kamu bukan orang asing. Farah____"
"Mbak Farah juga nggak kenal sama saya sepenuhnya. Bisa jadi penilaian Mbak Farah salah," potong Ayu. "Gimana kalau sebenarnya saya orang jahat? Gimana kalau saya pembunuh? Gimana kalau___"
"Kamu mau bunuh saya pakai apa?" potong Erlang tidak sabar. "Badan kamu kecil. Tenaga saya lebih kuat. Mau pakai sianida? Kamu pasti langsung dicurigai dan bakal ditangkap polisi."
"Sambil nyiapin makanan, saya bisa tambahin ekstrak aconite sedikit-sedikit. Karena efeknya kardiotoksin, lama-lama Bapak jadi punya masalah jantung. Aritmia, bradikardi, hipotensi. Dosisnya saya naikin sedikit-sedikit, sampai suatu saat Bapak mengalami henti jantung. Dikira serangan jantung biasa, padahal itu diracun."
Erlang memajukan duduknya dan menatap Ayu dengan lebih intens."Dapet ide dari mana kamu?"
"Drama Korea."
Sontak Erlang tertawa terbahak-bahak. Kalau pintu dan jendela rumahnya dalam keadaan terbuka, barangkali tetangga bisa mengira mendengar suara genderuwo saking kerasnya suara tawa itu.
Ayu benar. Bagi Erlang, Ayu memang orang asing. Erlang hanya mengenal gadis itu dari cerita Farah. Tapi Erlang bukan orang bodoh. Sejak awal, ia tahu ada yang berbeda dengan sosok Ayu. Gadis itu bukan gadis desa biasa. Ia barangkali miskin dan membutuhkan banyak uang, tapi dia bukan gadis dengan pendidikan rendah. Andaipun gadis itu memang hanya lulusan SMA, Erlang yakin latar belakang keluarga gadis itu sudah membentuk pola pikir dan wawasannya yang luas.
Apalagi mengingat kelihaian Ayu berbohong di depan Pak RT dan Pak Rudi. Setelah dipikirkan kembali, Erlang makin yakin bahwa perempuan ini telah banyak berbohong untuk menutupi jati dirinya sebenarnya. Erlang jadi tidak tahu mana cerita Ayu yang benar dan mana yang bohong.
Tapi instingnya mengatakan, bahwa dirinya bisa memercayai Ayu. Entah kenapa, makin besar usaha Ayu untuk menunjukkan citra buruk dirinya, semakin Erlang percaya hal sebaliknya.
"Saya orang yang mempercayai insting," kata Erlang. "Dan meski tidak selalu benar, insting saya jarang meleset dan cukup bisa diandalkan. Saya juga bukan orang yang takut mengambil risiko. Tanpa keberanian mengambil risiko, saya nggak akan berhasil membuka usaha kuliner saya."
Erlang berhenti sesaat dan menatap Ayu dengan serius.
"Jadi dengan insting itu pula, saya mengambil risiko untuk mempercayai kamu," kata Erlang mantap.
Ayu mengerjap.
Erlang mengulurkan tangannya. "Deal ya? Kamu tetap bantu saya disini?"
"Tapi Pak RT..."
"Urusan Pak RT dan omongan tetangga, itu urusan saya."
"Bapak nggak naksir sama saya kan?"
Erlang terkekeh sambil menggeleng.
"Nggak bakal belakangan minta macem-macem ke saya kan?"
"Nggak. Cuma bantu di rumah dan restoran."
"Saya sudah menikah."
"Saya tahu."
"Jangan naksir sama saya!"
Erlang memutar bola matanya. "Sepakat nggak nih?" desak Erlang makin tidak sabar. "Pegal nih!" lanjutnya, sambil menggoyangkan tangannya yang sudah terulur sejak tadi.
Ayupun akhirnya menyambut uluran tangan Erlang. "Makasih, Pak."
Erlang menggenggam tangan Ayu dengan mantap. Melihat Erlang tersenyum padanya, perlahan Ayu tidak bisa menahan bibirnya agar tidak tertarik ke atas. Akhirnya ia membalas senyuman Erlang itu.
Dan Erlang mengakui, saat tidak berwajah dingin, senyum Ayu cantik juga.
"Bapak kok pagi-pagi buta udah bangun? Nggak bisa tidur? Mau saya bikinin teh?"
Erlang tersenyum. "Boleh. Tapi jangan ditambah ekstrak aconite ya."
"Tenang aja Pak, saya belum nanem pohonnya atau beli akar herbalnya."
Sekali lagi Erlang tertawa lepas. Membuat senyum Ayu bertahan lama di wajahnya.
* * *
Jangan sesumbar, Yujin! Di drama korea, yg bilang "jangan naksir saya" biasanya justru jatuh cinta duluan! Klise banget Yu!
Inget suami di rumah!
#authorjulid Julid aja lihat orang baikan dan senyum2an.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top