23. Nicotiana tabacum (3)
Lho kok udah update bab baru?
Cepet amat thor!
* * *
Hidup tanpa cinta,
Bagai langit tanpa bintang,
Hai, begitulah kata tetangga.
(siapa yang bacanya pakai nada?)
(kok "kata tetangga"?! Bukan "kata pujangga"?)
((sengaja, biar dikomen. Krn penulisnya fakir vote n komen))
Seperti itu pulalah yang dialami Erlang. Sama sekali tidak ada bintang yang terlihat pada langit malam yang ditatapnya. Barangkali karena tertutup awan mendung. Seperti halnya hatinya yang tertutup awan duka. Alampun seakan mengejek nasibnya.
Satu tahun terakhir ini hidupnya seakan hanya berfokus pada Farah. Kesalahan satu malam membuat hidupnya kacau. Apalagi ketika gadis itu hamil dan akhirnya keguguran. Rasa berdosa itu makin menghimpit dirinya. Apalagi ketika perbuatannya terungkap dan Fariha, ibu Farah sekaligus perempuan yang menjadi obsesinya sejak remaja, marah besar. Sejak itu fokus hidup Erlang adalah untuk meminta maaf pada Fariha dan membujuk Farah untuk menikah dengannya. Pikir Erlang, harusnya Farah dengan mudah menerima lamarannya, karena dirinyalah lelaki yang sudah mengambil keperawanan Farah. Tentu tidak banyak lelaki yang bisa menerima jika istrinya pernah hamil di luar nikah kan? Jadi harusnya Farah tidak punya pilihan lain selain menerima lamarannya. Tapi siapa sangka hadir Attar, yang tetap mendekati Farah meski tahu latar belakang kehidupan gadis itu.
Kini setelah Erlang tahu bahwa Farah sudah berhubungan dengan Attar, Erlang jadi gamang. Apakah dia harus maju terus, merebut kembali Farah dari Attar? Tapi hati bisa direbut? Atau ia harus menyerah saja?
Hhhh... mau jadi orang baik yang bertanggung jawab aja, susah bener sih?
Erlang sadar dirinya bukan laki-laki sempurna. Tapi saat melakukan kesalahan itu setahun yang lalu, ia hanya ingin jadi lelaki baik-baik yang bertanggung jawab. Ia tidak ingin jadi lelaki brengsek. Tapi kenapa justru gadis itu yang tidak menginginkan tanggung jawabnya?
Aneh sekali hidupnya!
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Erlang, tanpa menemukan jawaban. Tidak ada yang menjawabnya. Malam seusai hujan. Dingin dan senyap. Hanya ada suara hembusan angin dan suara kendaraan yang sesekali lewat. Hanya ada pemandangan temaram di hadapannya, yang sesekali tertutup asap rokok tipis yang dihembuskan oleh bibirnya sendiri.
Karena kesunyian malam itu, maka suara pintu terbuka yang haluspun dapat terdengar dengan baik. Erlang menoleh ke arah pintu, dan menemukan Ayu berdiri disana. Gadis itu pasti sedang mengecek pintu-pintu yang masih terbuka, untuk menguncinya, sebelum tidur.
Erlang bersitatap dengan gadis yang masih memegang handle pintu itu. Gadis itupun seperti mengerti bahwa pintu halaman belakang itu memang belum dikunci karena Erlang sedang menyendiri disana. Oleh karena itu, gadis itu hanya mengangguk sopan pada Erlang, lalu beranjak pergi.
"Yu...."
Langkah gadis itu tertahan dan ia berbalik. "Ya, Pak?"
"Duduk sini."
Wajah Ayu tampak bingung. Meski hanya sesaat. Ia kemudian menuruti perintah Erlang dan duduk di kursi tunggal di sebelah Erlang.
Lebih dari dua minggu tinggal bersama gadis ini, Erlang sudah mengantisipasi kalau gadis ini akan bicara atau berkomentar sesuatu. Meski tidak terlalu cerewet, tapi Ayu juga bukan orang yang pendiam. Dan Erlang sedang butuh distraksi, yang dapat mengalihkannya dari pikiran tentang Farah. Jadi ketika selewat 3 menit duduk disana dan Ayu hanya diam, Erlang menjadi tidak nyaman.
"Kenapa diam aja?" tanya Erlang, menoleh pada gadis itu.
Ayu membalas tatapan Erlang dengan wajah datarnya. "Bapak mau saya ngomong apa?"
Erlang terdiam. Ia juga tidak tahu ia berharap Ayu bicara apa. Jadi akhirnya Erlang kembali menyandarkan punggungnya ke kursi dan kembali diam. Kembali menikmati rokoknya dalam diam.
Ia pikir dengan begitu, Ayu akan bosan dan akhirnya memulai pembicaraan. Tapi nyatanya tidak. Gadis itu tetap duduk di tempatnya, diam tak tergoyahkan.
"Farah sudah akan menikah sama laki-laki itu," kata Erlang akhirnya. Tidak tahan dengan hening diantara mereka.
Ayu menoleh. Tapi ketika mereka saling bertatap kembali, Ayu tetap diam.
"Apa dia sering mengunjungi Farah di Bali?" tanya Erlang.
"Pak Attar?" Ayu akhirnya menanggapi dengan bertanya balik.
"Hmmm."
"Cuma 1 kali," jawab Ayu.
"Cuma 1 kali itu? Cuma 1 minggu, kali itu?"
Ayu mengangguk.
"Saya berkali-kali kesana," kata Erlang. "Saya memperjuangkan Farah jauh lebih gigih. Tapi kenapa laki-laki itu yang berhasil?"
Ayu tidak menjawab.
Erlang kembali menghembuskan asap rokoknya. "Ibunya Farah adalah guru SMA saya, tapi kami sudah sangat akrab. Ibunya Farah menganggap saya seperti adik. Itu kenapa saya dekat juga dengan Farah. Dulu Farah yang ngejar-ngejar saya. Sampai akhirnya saya tergoda dan hilang kendali. Dan akhirnya menghamili dia."
Dari sudut matanya Erlang tahu Ayu masih menatap padanya.
"Saya bersedia bertanggung jawab. Tapi Farah malah menolak. Saat akhirnya dia keguguran, dia menjauhi saya dan pergi ke Bali. Saya nggak ngerti, kenapa dia begitu? Dia tergila-gila sama saya, tapi kenapa dia menolak saya nikahi? Saya yang menghamili dia, tapi kenapa dia nggak mau saya bertanggung jawab menikahi dia? Bukannya harusnya dia yang nuntut saya untuk bertanggung jawab menikahi dia?"
Dengan gundah Erlang menghisap rokoknya dan menghembuskan kembali asapnya.
"Saya mendatangi Attar. Meminta dia merelakan Farah untuk saya. Tapi dia menolak. Kenapa, Yu? Saya sudah mengambil kegadisan Farah. Bukannya biasanya laki-laki, sebejat apapun dia, ingin perempuan baik-baik sebagai istri? Kenapa Attar justru menginginkan perempuan yang sudah saya rusak, Yu?"
Ayu tidak menjawab.
"Apa dia lebih baik daripada saya?"
Ayu masih diam.
"Jawab, Yu!" kesal Erlang.
"Saya nggak tahu Pak," jawab Ayu, dengan nada bicara yang disabar-sabarkan. Seperti menghadapi anak kecil yang sedang ngambek. "Saya cuma ketemu beberapa kali sama Bapak dan Pak Attar. Itupun, saya nggak pernah ngobrol sama Pak Attar. Mana saya tahu siapa yang lebih baik?"
Erlang menghela nafas berat.
"Tapi dari yang Bapak ceritakan tadi, Pak Attar nggak menganggap Mbak Farah sebagai perempuan rusak, atau perempuan bekas orang lain. Beliau juga nggak menganggap Mbak Farah bukan perempuan baik-baik hanya karena pernah berbuat salah. Saya pikir itu berarti Pak Attar lelaki yang baik."
Deg!
"Dan kalau Bapak tanya, kenapa Mbak Farah nggak mau menerima tanggung jawab Bapak untuk menikahinya... hmmm... nggak ada perempuan yang mau dinikahi hanya karena rasa tanggung jawab, Pak. Sama halnya perempuan yang diperkosa, sebenarnya juga nggak mau dinikahkan dengan pemerkosanya hanya untuk menutupi aib."
Mata Erlang terpaku pada Ayu. Tapi Ayu tidak mengalihkan tatapannya dari Erlang. Dia dengan tenang melanjutkan kata-katanya, seperti tanpa tendensi.
"Saya juga nggak pernah lihat Pak Attar merokok____"
Tangan Erlang yang memegang rokoknya, menggantung seketika.
"Merokok bukan patokan seseorang baik atau buruk," Erlang membela diri. "Banyak koruptor atau kriminal yang nggak merokok. Banyak juga pemuka agama yang merokok. Jadi merokok atau nggak, bukan parameter seseorang baik atau nggak."
"Memang," jawab Ayu santai. "Tapi cuma orang pengecut yang mencari pembenaran dari perbuatan salahnya, dengan membandingkan dengan perbuatan salah orang lain."
Wajah Erlang mengeras. Bahkan dalam remangnya malam, tidak dapat menutupi pancaran mata tajam Erlang ketika menyorot gadis di hadapannya.
"Dan seperti Pak Erlang yang sah-sah saja saat menganggap perempuan yang sudah tidak perawan lagi sebagai perempuan rusak, saya juga sah-sah aja dong kalau menganggap laki-laki yang tidak merokok lebih baik dan lebih pintar daripada laki-laki yang merokok. Saya nggak bicara soal karakter atau sifat baik dan buruk. Saya bicara tentang pilihan yang bodoh dan buruk."
Rahang Erlang makin mengetat.
"Semua orang tahu bahwa merokok itu memasukkan racun ke dalam tubuh. Menyebabkan ketergantungan. Bisa menyebabkan banyak penyakit paru-paru, termasuk kanker dan fibrosis paru. Jadi kalau ada yang tetap melakukannya padahal sudah tahu efek buruknya, itu kan artinya bodoh.
Sudah banyak edukasi bahwa efek buruk rokok terhadap perokok pasif lebih buruk dan lebih luas, dibanding perokok aktif. Jadi kalau sudah tahu hal itu dan tetap menyebabkan orang sekitar menjadi perokok pasif, itu kan namanya jahat.
Merokok adalah cara bunuh diri yang paling tidak efektif, menghabiskan biaya dan ngajak-ngajak orang lain menderita."
Deg!
"Kalau gitu, harusnya rokok ini berhenti diproduksi aja? Gimana dengan orang-orang yang bekerja di industri ini? Petani-petani tembakau, mereka bisa kehilangan mata pencaharian."
Ayu terkekeh. "Ah itu sih alasan aja Pak. Daun tembakau itu bukan cuma bisa dibuat rokok kok. Sekarang banyak penelitian tentang pemanfaatan ekstrak daun tembakau sebagai anti bakteri, insektisida, anti jamur, dan anti ketombe kok."
"Kamu kelihatannya sinis banget ya sama perokok?" komentar Erlang, sinis. Dia bilang Ayu sinis, padahal kalimatnya barusan terdengar tidak kalah sinisnya. "Kenapa? Suami kamu perokok, dan dia brengsek? Itu yang bikin kamu membenci perokok?"
Erlang melihat ekspresi Ayu berubah. Tapi hal itu tidak menghentikan Erlang. Dia terus menyerang gadis itu dengan kata-katanya.
"Dulu saya sempat mikir, laki-laki di club yang mukulin kamu itu penagih utang. Tapi sekarang saya jadi penasaran, jangan-jangan dia suami kamu? Atau sudah jadi mantan suami? Dia brengsek dan perokok, makanya kamu benci perokok?" Erlang menyeringai sinis.
Kali itu mata Ayu memicing marah.
"Aneh juga kamu benci perokok. Bukannya perempuan seperti kamu biasanya juga merokok?"
Erlang sudah mematikan rokoknya. Tidak ada lagi asap diantara mereka. Tapi udara malam yang membentang diantara mereka sangat pekat dan menyesakkan.
Melihat mata Ayu yang berkobar dan nafasnya yang berat, Erlang sudah siap jika Ayu membalasnya dengan amarah. Tapi ternyata, setelah lama saling mempertahankan tatapan intens mereka, akhirnya Ayu yang menunduk. Matanya yang semula menyala marah, kini meredup.
"Berkali-kali saya memikirkan cara untuk mati...." lirih Ayu, dalam tunduknya, "Sayangnya saya terlalu pintar, sehingga rokok nggak pernah ada dalam pilihan saya. Tapi mungkin memang harusnya perempuan seperti saya merokok saja... supaya bisa menikmati proses mati pelan-pelan."
Gadis itu bangkit dari duduknya. Lalu pergi, sebelum Erlang sempat mencegahnya. Dari sudut matanya, Erlang melihat gadis itu menggigit bibirnya.
* * *
Ngeliat kelakuan Om di bab ini, Om masih nanya kenapa Farah lebih milih Pak Attar? Ckckck Om....
Kuingin memberi cermin....
Kakak2 masih kuat bacanya ga nih, gaes?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top