22. Nicotiana tabacum (2)
Halo Kakak2!
Gimana? Ketupat udah abis? Perut udah begah? Udah mulai nyari kang bakso? Hehehe.
Apakah kemarin berhasil menjawab pertanyaan sodara2, "kapan lulus?", "kapan kawin?", "kapan hamil?" atau "kapan nambah anak?" hehehe
Kalau dipikir2 lagi sih, sebenarnya bukan pertanyaan2 itu yg bikin senewen ya. Tapi pernyataan setelahnya.
Kita mah selow ditanya "kapan lulus?" asal nggak disambung dg pernyataan "makanya belajar yg bener, jangan main mulu."
Kita mah biasa aja kalau ditanya "kapan nikah?" asal ga dilanjut sama kata2 "anak tante baru 20 tahun udah nikah. Makanya jangan ngejar karir mulu."
Iya ga sih gaes?
* * *
Erlang biasa menghabiskan hari Sabtu dan Minggu dengan bersantai. Pergi main tenis, wisata kuliner untuk mencari inspirasi menu baru untuk restoran(-restoran)nya, nonton bioskop, atau sekedar jogging di pagi hari dan melakukan hobi memasaknya di siang hari. Tapi hari Sabtu itu, pada waktu sepagi itu, yang dilakukan Erlang justru menyumbangkan polusi udara.
Belum pukul 6 pagi. Udara di teras halaman belakang rumahnya masih dingin, dan matahari masih mengintip malu-malu. Tapi Erlang sudah menghabiskan 3 batang rokok.
Ia bukan perokok. Tapi ada masa-masa dimana ia memerlukan rokok untuk melampiaskan emosinya. Saat itu adalah salah satunya.
Sudah beberapa hari Erlang tidak bisa mengendalikan emosinya. Tepatnya, setelah ia tahu bahwa ternyata Farah memiliki hubungan khusus dengan Attar. Entah berapa lama hubungan mereka sudah terjalin, tapi Erlang tahu bahwa hubungan itu sudah serius. Buktinya Attar berani-beraninya mengklaim diri sebagai calon suami Farah. Firasat Erlang mengatakan bahwa lelaki itu bukan sekedar membual.
Yang membuatnya marah adalah karena Farah tidak mengatakan kepadanya tentang hubungan gadis itu dengan Attar. Kenapa Farah begitu jahat padanya, membiarkan dirinya terus menerus mengejar Farah, padahal gadis itu sudah berhubungan serius dengan Attar. Harusnya Farah bisa dengan tegas menolak Erlang, dan tidak memberi harapan palsu kan?
Eh?
Tapi...
Bukankah Farah memang sudah sering, berkali-kali, menolak dirinya? Farah memang tidak pernah mengatakan bahwa dia sudah berkomitmen dengan Attar, tapi gadis itu juga tidak pernah memberikan harapan palsu kan? Meski tidak tegas dan cenderung terlihat bimbang, tapi gadis itu sudah menolak.
Erlang mengusap wajahnya kasar. Frustasi.
"Pak..."
Tanpa menolehpun, Erlang tahu itu Ayu. "Hmmm."
"Sarapan sudah siap."
Erlang menengadah menatap langit. Ternyata matahari sudah makin tinggi.
"Iya." Erlang hanya menjawab singkat. Kemudian ia kembali termenung di tempatnya.
Ia membuka WA Farah. Pesan-pesan yang Erlang kirimkan kepada Farah sejak hari itu tidak pernah lagi berbalas. Teleponnya juga tidak pernah diangkat lagi. Bukannya tidak tahu, Erlang sudah menduga bahwa Farah sudah mengetahui bahwa dirinya sudah mengangkat telepon dari Attar tanpa sepengetahuan Farah. Dan kemungkinan, Farah marah besar kepadanya karena itu. Barangkali Farah jadi bertengkar dengan Attar gara-gara itu. Jika memang begitu, baguslah! Erlang sekalian berharap mereka bertengkar hebat dan akhirnya putus. Karena sejak awal, Farah adalah miliknya. Ia tidak akan merelakan gadis itu untuk orang lain.
Sejak kecil gadis itu sudah bersama dirinya. Bergelayut manja pada dirinya. Tersenyum lebar tiap Erlang datang ke rumahnya membawa buku atau makanan kesukaannya. Gadis itu bahkan menyatakan cinta padanya dan rela menyerahkan diri pada Erlang. Gadis itu yang mengandung calon anak mereka, meski harus digugurkan karena merupakan kehamilan ektopik. Jadi sudah seharusnya Erlang yang menikahi Farah. Sudah seharusnya Erlang yang bertanggung jawab pada gadis itu. Kenapa Attar harus bersikap sok pahlawan dan merebut semuanya dari dirinya?!
"Pak..."
"Apa lagi?!" jawab Erlang dengan tidak sabar.
Kenapa perempuan ini bolak-balik melulu sih?!, pikir Erlang kesal ketika melihat Ayu menemuinya lagi.
"Saya pamit ya Pak. Ke kafe."
"Hmmm."
"Sarapan udah siap di meja, Pak."
"Hmmm."
"Makanannya udah hampir dingin. Ini juga udah lewat jam 7. Bapak jangan kelewat sarapan, nanti sakit."
"Nggak usah sok perhatian! Tugas kamu disini cuma ngurusin rumah. Nggak usah ngurusin saya!"
Erlang melampiaskan kemarahannya pada gadis di hadapannya. Gadis itu tampak terkejut sesaat mendengar bentakan Erlang. Tapi kemudian mengangguk patuh.
"Baik, Pak."
Dan gadis itupun berlalu pergi.
Erlang menghembuskan nafas keras. Ia menekan rokoknya, yang entah sudah berapa batang, ke asbak hingga mati. Lalu membantingnya, sebelum akhirnya pergi dari rumah.
* * *
"Belakangan ini kamu kenapa Far?" tanya Erlang, tanpa basa-basi, ketika akhirnya Farah membukakan pintu.
Siang itu Erlang memang sengaja mendatangi Farah ke rumahnya. Setelah berkali-kali mengetuk pintu dan tidak ditanggapi, namun karena ia persisten mengetuk pintu, akhirnya Farah mau membukakan pintu.
"Om masih nanya, kenapa aku begini?" Farah bertanya balik sambil menatap tajam. Ia bahkan tidak mempersilakan Erlang masuk. Ia membiarkan Erlang bicara padanya di depan pintu.
Erlang menantang tatapan Farah. "Attar?"
"Kenapa Om melakukan itu? Kenapa Om angkat telepon buatku? Itu nggak sopan Om!"
"Jadi benar, kamu ada hubungan sama Attar?!"
"Iya!" Farah menjawab dengan tegas dan menantang.
Erlang mengepalkan tangan dengan kuat. Berusaha menahan diri untuk tidak memukul apapun.
"Setelah semua yang aku lakukan buat kamu selama ini, Far... please, jangan begini sama aku, Far."
"Selama ini aku selalu berusaha tetap sopan dan menghormati Om. Makanya selama ini aku menahan diri, nggak ngomong frontal ke Om. Tapi sejak lama aku kan udah bilang, aku nggak minta Om melakukan apapun buatku. Jangan mengharapkan aku lagi. Aku udah bilang baik-baik, Om. Tapi ternyata selama ini aku terlalu lembek. Jadi karena kemarin Om udah melanggar privasiku, sekarang aku udah nggak perlu bersikap sungkan lagi."
Erlang terpukul mendapati sikap Farah yang kali ini frontal. Tapi ia tidak mudah mundur.
"Setelah semua yang kamu lakukan, merusak hidupku, trus sekarang kamu mau pergi ninggalin aku gitu aja, Far?! Kamu harus tanggung jawab!" kata Erlang nekat.
Itu bukan kata hati Erlang yang sesungguhnya. Hanya saja, ia merasa terpojok oleh sikap Farah. Dia tidak tahu lagi bagaimana caranya mempertahankan Farah agar tetap menjadi miliknya. Jadi kali ini ia nekat memanfaatkan rasa bersalah Farah selama ini, untuk kepentingannya.
"Merusak hidup?!" bentak Farah tertahan. "Nggak salah, Om?! Kalau mau ngomongin merusak hidup, bukannya Om yang lebih merusak hidup Farah?"
Mereka saling menatap dengan intens. Farah dengan rasa marah. Erlang dengan rasa putus asa.
"Disini, aku yang kehilangan banyak hal! Aku yang udah nggak perawan lagi___" Farah mendesis marah. "... dan sekarang saat ada laki-laki yang mau menerima keadaanku, Om malah merusak semuanya!"
"Buat apa nyari laki-laki lain, Far? Aku jelas menerima kamu. Bahkan aku yang memohon supaya aku bisa bertanggung jawab atas kamu. Kurang apa aku sama kamu Far?"
"Nah! Itu Om!" tukas Farah. "Bener kata Faris. Kita tuh sama. Aku nggak tegas sama Om karena merasa bertanggung jawab, sudah bikin hubungan Om dan Mama rusak. Sementara Om ngejar-ngejar aku karena merasa bertanggung jawab atas malam itu. Hubungan kita bertahan hanya karena rasa tanggung jawab, Om. Dan hubungan seperti itu nggak sehat."
Wajah Farah memerah saking marahnya. Dan wajah Erlang pias.
"Aku nggak mau hubungan kita kayak gini terus Om!" kata Farah tegas. "Jadi sekarang biar aku yang memutuskan! Aku nggak akan lagi merasa bersalah atau merasa bertanggung jawab atas hubungan Om dan Mama. Kejadian malam itu memang salahku, aku minta maaf. Karena itu, Om nggak usah merasa bertanggung jawab!
Malam itu aku salah. Tapi Om adalah laki-laki dewasa yang punya kendali diri. Jadi kejadian malam itu, ada andil kesalahan Om juga. Karena itu, aku juga nggak akan lagi merasa bersalah dan bertanggung jawab.
Jadi udah ya Om, nggak ada lagi ikatan nggak sehat yang mengikat hubungan kita. Udah ya Om, jangan lagi merasa terbebani. Om bebas melanjutkan hidup. Aku juga udah berusaha sebisaku untuk mengembalikan hubungan baik Om dan Mama, jadi aku rasa udah cukup. Udah ya Om."
"Nggak Far!" tolak Erlang. "Dari lama aku udah bilang, ini udah bukan lagi masalah tanggung jawab. Sejak lama, aku cinta sama kamu."
Lalu hening menyelimuti Farah dan Erlang.
"Kita perlu waktu, Om," kata Farah akhirnya. "Tanpa satu sama lain."
"Far, please, jangan gini ke aku..."
"Barangkali setelah kita berpisah, Om bisa benar-benar sadar, Om cinta sama Farah atau nggak. Farah juga gitu. Barangkali setelah kita berpisah, aku bisa lebih peka, apakah aku merasa kehilangan Om atau nggak."
Bagi Erlang, tanpa berpisahpun, kini ia sudah merasa kehilangan Farah. Dan tanpa harus menunggu kepastian apapun, Erlang sudah tahu, ia sudah kalah.
* * *
One word for Om Erlang?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top