20. Glycyrrhiza glabra

Di bab sebelumnya, ada bbrp pembaca yg nanya "Ah masa sih infused water itu hoax? Masa sih ga ada manfaatnya sama sekali?"

Penjelasan pertanyaan tsb bisa panjang. Oleh krn itu, utk menjawab pertanyaan tsb, Kakak2 boleh mampir ke Bab 2 novel "Waktu yang Salah". Disitu dibahas lbh lengkap. Berikut cuplikannya.


Selanjutnya, ada jg yg nanya, "ah masa sih, buah yg kaya antioksidan itu rusak kandungannya kalau diolah?"

Basicly, suatu zat bisa bersifat antioksidan memang kalau zat tersebut mudah teroksidasi. Dia harus teroksidasi lebih dahulu, utk melindungi zat atau sel lain agar tidak teroksidasi.

Penjelasan lebih jauh, Kakak2 bisa main ke novel Formulasi Rasa (Bab Antioksidan 2). Cuplikannya sebagai berikut.


Kakak2 silakan mampir ke cerita2 tsb. Semoga dg penjelasan tsb, Kakak2 lbh puas 😘😘

* * *

Mbok Nah sudah lama bekerja pada keluarga Erlang, sejak Erlang masih remaja. Setelah ibu Erlang meninggal, Erlang bercerai dengan Lidya, dan kembali tinggal di rumah orangtuanya seorang diri, Mbok Nah setia menemani. Sehingga ketika Mbok Nah ijin pulang kampung karena sudah sepuh, sebenarnya Erlang ingin membujuknya untuk tetap tinggal. Tapi itu kan hak Mbok Nah untuk menikmati masa tuanya di desa, sehingga Erlang tidak bisa melarangnya.

Salah satu hal yang membuatnya tersentuh dari pelayanan Mbok Nah selama ini adalah karena Mbok Nah selalu menunggunya pulang. Seberapa malampun Erlang pulang ke rumah, Mbok Nah selalu menyambutnya. Erlang sebenarnya sudah mengatakan pada Mbok Nah agar tidak perlu menunggunya pulang, karena ia selalu membawa kunci pagar dan kunci rumah sendiri. Tapi wanita itu tetap selalu membukakan pintu untuknya. Hal itu membuatnya selalu merasa "pulang".

Setelah Mbok Nah mudik, tentu saja tidak ada lagi yang menyambutnya pulang. Ia membuka pagar dan pintu sendiri, menyalakan lampu-lampu rumah sendiri. Tapi kini, sejak Ayu tinggal di rumahnya, gadis itu selalu membukakan pintu pagar dan pintu rumah untuknya. Lalu menyambutnya dengan segelas atau secangkir minuman di atas meja makan.

"Kamu nggak perlu bukain pintu, Yu. Saya kadang pulang malam sekali. Saya bisa buka pagar dan pintu sendiri," tegur Erlang suatu kali.

"Baik, Pak," jawab Ayu kala itu.

Tapi toh hari-hari berikutnya ia masih membukakan pintu dan menyiapkan minuman. Bahkan meski Erlang pulang jam 10 atau jam 11 malam.

"Kamu kalau mau tidur, tidur aja Yu. Nggak perlu nunggu saya pulang," kata Erlang di lain hari.

"Baik, Pak," jawab Ayu.

Tapi toh ia melakukannya terus.

"Saya nggak menganggap kamu sebagai ART, Yu. Jadi kamu nggak perlu seperti ini."

"Baik, Pak."

Tapi tetap saja Ayu tidak berubah.

Sejak Erlang menawarinya pekerjaan untuk membatu Erlang mengerjakan pekerjaan rumah, otomatis saat itu juga Ayu memposisikan dirinya sebagai ART. Ia sempat tidak mau lagi makan di meja makan yang sama dengan Erlang, dan memilih makan di dapur. Erlang sudah memaksanya makan di ruang makan bersamanya, tapi tetap saja Ayu selalu mengelak. Bilang sudah makan duluan lah, atau bilang belum lapar. Ujung-ujungnya Erlang tidak berhasil membuat Ayu tidak memposisikan dirinya sebagai pembantu di rumah itu. Seperti halnya malam itu, ia tetap membukakan pintu dan pagar, meski Erlang baru pulang jam 10 malam.

"Kenapa kamu belum tidur?" tanya Erlang, menoleh pada Ayu yang mengunci pintu ruang tamu.

"Iya Pak, belum," jawab gadis itu, nggak nyambung. "Misi, Pak." Gadis itu kemudian berjalan mendahului Erlang, buru-buru menuju ke ruang tengah.

Melihat gelagat mencurigakan Ayu, Erlang melangkah lebar mengikuti gadis itu. Sesampainya di ruang tengah, ia melihat gadis itu sedang buru-buru melipat alas setrika.

Merasakan Erlang masuk ke ruang tengah, Ayu buru-buru minta maaf. "Maaf ya Pak, saya nyetrika disini. Maaf Pak."

Erlang melirik pada televisi di ruang tengah yang belum sempat dimatikan oleh Ayu.

"Kamu nonton drama Korea?" tanya Erlang, memastikan. "Sambil nyetrika?"

"Maaf Pak," jawab Ayu, masih menunduk. Tangannya cekatan melipat alas setrika dan merapikan baju-baju yang belum sempat disetrika. "Saya takut kalau nyetrika di ruang laundry, nggak denger suara mobil Bapak kalau Bapak pulang. Jadi saya nyetrika disini." Ayu melirik Erlang sekilas dan nyengir minta maaf. "... sambil nonton. Maaf Pak."

Tapi alih-alih marah, Erlang justru tertawa melihat Ayu. Ternyata dibalik sikap cool yang sering diperlihatkannya, Ayu tetap gadis 20 tahunan biasa yang suka drama Korea.

"Sorry, Pak," Ayu meringis. Malu karena terpergok.

"It's okay. No problem at all," jawab Erlang, terkekeh. "Baju yang mau disetrika, masih banyak?"

Tangan Ayu berhenti memunguti baju yang belum disetrika.

"Masih banyak kan? Gelar lagi alas setrikanya. Lanjutin setrikanya disini," perintah Erlang.

Erlang masih sempat melihat wajah Ayu yang bengong, sesaat sebelum ia membalikkan tubuh menuju kamarnya.

"Dan channel TVnya jangan diganti," imbuh lelaki itu. Kali itu sambil tertawa terbahak, sebelum menutup pintu kamarnya.

* * *

Erlang menawari Ayu untuk membantu membereskan rumah dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena dua hal. Pertama, karena ia memang belum berhasil mendapatkan ART lagi, sementara rumah orangtuanya ini luas, tidak seperti apartemen yang pernah ditempatinya, yang efisien dan mudah dibersihkan. Kedua, karena ia sudah membawa anak ini ke Jakarta, ia tidak ingin anak ini terlantar di Jakarta. Tapi karena sepertinya Ayu adalah tipe orang yang tidak mau menerima kebaikan seseorang secara cuma-cuma, maka Erlang menduga Ayu pasti akan segera menolak tawarannya untuk tinggal di rumah itu hingga ia menemukan tempat kos sendiri. Oleh karena itu Erlang menawarinya pekerjaan sebagai asisten rumah tangga di rumahnya. Meski demikian, sejak awal ia tidak pernah menganggap Ayu sebagai pembantunya.

Jadi saat Erlang memerintahkan Ayu untuk tetap menyetrika di ruang tengah dan tidak mematikan TV yang menayangkan drama Korea, itu sebenarnya bukan perintah. Erlang hanya ingin menggoda gadis itu. Tapi ternyata gadis itu menurutinya, seperti yang dilakukan ART jika menerima perintah dari majikannya. Di satu sisi Erlang suka karena Ayu menurutinya. Tapi di sisi lain, Erlang tidak suka, karena itu berarti Ayu lagi-lagi memposisikan diri sebagai pembantu.

"Lho? Kok Bapak keluar lagi? Kirain langsung tidur." Ayu yang sedang duduk lesehan sambil menyetrika dan nonton drama Korea, menoleh pada Erlang yang muncul di ruang tengah setelah mandi. Kini dengan celana santai selutut dan kaos rumah.

"Hmmm." Erlang cuma bergumam menanggapi, lalu meletakkan sebuah toples yang tadi dibawanya di meja, dan menghempaskan diri di sofa.

Saat itu bersamaan dengan Ayu yang mematikan setrikanya, lalu bangkit dari duduk lesehannya.

"Bapak sudah makan malam kan?" tanya Ayu memastikan. Biasanya kalau pulang semalam ini, lelaki itu sudah makan malam diluar rumah.

"Sudah." Erlang mengangguk.

Ayu pun mengangguk, lalu melesat pergi. Lima menit kemudian gadis itu membawa secangkir teh hangat ke hadapan Erlang.

"Makasih," kata Erlang.

"Sama-sama, Pak," jawab Ayu singkat, mengangguk. Ia lalu kembali lesehan di depan TV dan menyalakan setrikanya lagi.

Erlang bersandar santai di sofa sambil pelan-pelan menyesap teh hangat. Tangannya yang satu lagi menggulir layar ponsel.

Nama Farah tertera di layar ponselnya. Kotak pesannya menampilkan status online. Dahi Erlang mengernyit tipis. Jam 10 malam dan Farah masih online? Tumben. Sebab seingat Erlang, Farah adalah tipe orang yang tidur cepat. Biasanya jam 9 malam ia sudah tidur, lalu bangun sekitar jam 2 atau jam 3 pagi. Jadi, apa yang sedang Farah lakukan, masih online WA, pada waktu semalam ini?

Apalagi saat melihat chat antara dirinya dan Farah, ternyata pesan terakhir yang ia kirimkan pada Farah beberapa hari lalu belum juga dibalas. Dirinya menanyakan kapan Farah punya waktu untuk mampir ke restorannya, agar ia bisa menyerahkan oleh-oleh yang sudah disiapkannya untuk gadis itu. Erlang juga memberi alternatif lain, barangkali Farah sudah bersedia dikunjungi ke rumahnya akhir pekan depan. Tapi sampai sekarang Farah belum menjawab dan memberi kepastian.

Malam itu, Erlang sekali lagi mencoba menghubungi Farah. Mumpung Farah sedang online, Erlang meneleponnya. Ia pikir Farah akan segera menjawab panggilannya. Tapi ternyata setelah beberapa saat, panggilan itu tidak juga terjawab. Tidak putus harapan, Erlang mengirim pesan kepada Farah. Tapi lagi-lagi ia dikecewakan harapannya.

Dia online. Tapi bukan online demi gue. Pahit!

"Ck! Far... susah banget bales gitu aja..." Erlang berdecak dan menggumam kesal.

"Kenapa Pak?" sambut Ayu.

"Hah?" Erlang mengalihkan matanya dari layar ponselnya kepada Ayu yang menoleh padanya. "Kenapa?" Dia malah balik bertanya.

"Barusan Bapak nanya ke saya nggak? Tentang Mbak Farah?"

Shit! Erlang memaki dirinya sendiri. Suara gumamannya ternyata terlalu nyaring hingga Ayu dapat mendengarnya.

"Bukan kok. Sori," jawab Erlang cepat.

Ayu sepertinya tahu Erlang mengelak. Tapi ia tidak ingin memperpanjang urusan. Jadi ia hanya mengangguk singkat, lalu kembali membalikkan tubuh, memunggungi Erlang, dan melanjutkan menyetrika.

Selagi duduk di sofanya, menunggu balasan pesan dari Farah yang tidak kunjung muncul juga, tatapan Erlang tanpa sengaja teralih pada Ayu.

Di hadapannya televisi menayangkan drama Korea yang ia tidak tahu apa judulnya. Sementara Ayu masih menyetrika pakaiannya dengan tekun. Sesekali ia melihat gadis itu mengangkat kepala dari pakaian yang disetrikanya untuk melirik televisi, tapi itu hanya sekilas.

"Baju yang perlu disetrika masih banyak, Yu? Ini udah malam. Kamu istirahat aja," kata Erlang, iseng saja membuka percakapan. "Kalau kamu nggak sempat nyetrika, itu bisa saya masukin laundry, untuk jasa setrika aja."

"Saya belum ngantuk kok Pak," jawab Ayu tanpa menoleh. Ia masih menunduk pada kemeja biru di hadapannya. "Ini tinggal dikit lagi selesai. Lagian, buat apa Bapak gaji saya sebagai pembantu disini kalau Bapak masih harus laundry baju di luar."

"Sudah saya bilang berkali-kali, saya nggak anggap kamu pembantu, Yu. Saya cuma minta tolong kamu membantu mengerjakan beberapa pekerjaan rumah."

"Kalau saya nggak dianggap pembantu, nanti saya digaji nggak nih Pak?"

"Ya tetep digaji lah."

"Nah, berarti ini memang kerjaan saya."

Erlang menghembuskan nafas panjang.
Beberapa kali berdebat dengan Ayu, dia lebih sering kalah. Berbeda dengan Farah yang dulu lebih banyak mengalah demi dirinya.

"Kamu suka nonton drama Korea?" Erlang akhirnya mengalihkan percakapan.

"Suka, Pak. Tapi suka yang biasa aja. Bukan yang fanatik banget," jawab Ayu masih tanpa menoleh.

Erlang terkekeh. "Anak jaman sekarang emang lebih cinta budaya asing ya, daripada budaya negeri sendiri. Si Farah juga suka nonton drama Korea kan."

"Iya, Mbak Farah juga suka drakor, Pak," jawab Ayu. "Tapi apa hubungannya dengan nggak cinta sama budaya negeri sendiri ya Pak?"

"Ya itu misalnya, lebih suka nonton drama dari negara lain."

"Jadi supaya dibilang cinta Tanah Air, harus lebih suka nonton sinetron azab dibanding nonton drama Korea ya?"

"Emmmm..."

"Kenapa seseorang harus disalahkan kalau nggak bisa cinta atau suka sama sesuatu? Rasa suka itu kan hak asasi. Kenapa kalau anak muda jaman sekarang suka nonton drama Korea langsung dicap nggak cinta Indonesia? Kenapa kalau orang Indonesia berkarya di luar negeri dan bukannya kerja di dalam negeri, trus dibilang nggak cinta Indonesia, nggak mau mengabdi pada Bangsa?"

Hah? Ini jam 10 malam lho. Kenapa urusan drama Korea berubah jadi obrolan serius gini sih?, Erlang bingung.

"Daripada menghakimi orang yang nonton drakor sebagai orang yang nggak cinta Indonesia, kenapa bukan sineas Indonesia yang memperbaiki kualitas sinetron supaya layak ditonton?"

Saat ini punggung Ayu agak membungkuk. Dari balik punggungnya, Erlang melihat gadis itu sedang melipat kaos rumahannya yang sudah disetrika. Tapi bahkan tanpa saling bertatap, kata-kata Ayu tajam menghunus. Suaranya dingin. Mengingatkan Erlang saat gadis itu pertama kali bicara dengannya setelah malam ia mabuk itu.

"Daripada menghakimi orang yang memilih kerja di luar negeri dengan sebagai orang yang nggak mau mengabdi pada Tanah Air, kenapa nggak memperbaiki sistem dan birokrasi disini, agar orang lebih nyaman berkarya disini?"

Kok jadi ngomongin birokrasi? Kok si Ayu jadi serius banget?

"Daripada maksa-maksa orang untuk mencintai kita, daripada menyalahkan selera orang yang nggak suka sama kita, bukannya harusnya kita yang memperbaiki diri sehingga layak dicintai?"

Dan kalimat penutup itu sukses membanting Erlang.

Ayu bicara kasus umum. Bukan tentang Erlang. Bukan tentang Farah. Tapi mengapa Erlang merasa tersindir? Selama ini dirinya tidak memakasa-maksa Farah membalas cintanya kan? Ia layak untuk dicintai Farah kan? Bukankah dulu juga Farah yang lebih dulu mencintainya, iya kan?

...... iya, kan?

Kenapa sekarang Erlang jadi ragu sendiri? Selama ini dia sedang memperjuangkan hati Farah kan? Bukan memaksa kan?

Suara "ctik" pelan membuat pikiran Erlang terdistraksi. Terlihat Ayu sudah mencabut kabel setrika dan merapikannya. Ia juga merapikan kain alas setrika. Lalu membawa keduanya ke ruang laundry.

Ayu kembali beberapa saat kemudian untuk meletakkan beberapa pakaian Erlang di sofa, di sebelah tempat Erlang duduk. "Buat dimasukin ke kamar, Pak," kata Ayu. "Kemeja-kemeja yang nggak dilipat, saya gantung di ruang laundry. Tinggal diambil aja, Pak."

Sejak beberapa hari bekerja di rumah itu, Ayu memang belum pernah masuk ke kamar Erlang. Semua baju Erlang yang ia setrika, ia letakkan di ruang laundry, untuk kemudian Erlang ambil disana untuk disimpan di lemari pakaian di kamarnya.

"Makasih," kata Erlang.

"Sama-sama, Pak," Ayu mengangguk. "Saya pamit tidur duluan ya Pak. Itu channel tivi-nya, kalau Bapak mau ganti." Ayu mengerling remote TV di hadapan Erlang.

"Oke," Erlang mengangguk. "Oiya, salah seorang chef di restoran saya baru pulang liburan. Dia bawain oleh-oleh." Erlang mengerling toples berisi permen berwarna hitam yang tadi ia bawa dan letakkan di meja.

Ayu ikut mengerling toples tersebut. "Chef-nya abis liburan ke Belanda, Pak?"

"Kok kamu tahu?" Mata Erlang memicing bingung.

Ayu kemudian menunjuk toples kaca berisi permen hitam tersebut. "Dropjes kan?"

"Hah?"

"Itu dropjes kan? Permen khas Belanda, dari licorice? Yang bisa buat obat batuk juga kan?" tanya Ayu. "Itu bahan yang sama untuk obat batuk hitam kan? Tapi mendingan saya minum OBH deh daripada makan dropjes. Rasanya aneh. Hehehe. Maaf ya Pak, ini bukannya saya nolak rejeki lho. Cuma, nggak cocok aja rasa dropjes di lidah kampung kayak saya. Hehehe."

Erlang masih diam dengan mata memicing menatap Ayu.

"Pak, saya pamit ya. Tidur duluan. Mari, Pak."

Gadis desa mana yang tahu banyak tentang dropjes?, gerutu Erlang dalam hati, mengiringi kepergian Ayu yang menghilang ke dalam kamarnya.

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top