19. Garcinia mangostana (2)

"Sayang..."

"Hah?!" Erlang sontak menoleh. Siapa yang dipanggil Sayang?

"Sayang kalau buah-buah ini kena gelatin panas-panas."

Erlang terdiam sejenak, sebelum akhirnya terkekeh. Sebenarnya ia hanya menertawakan dirinya sendiri, yang bisa-bisanya kaget mendengar sepotong kata itu. Memalukan sekali!

"Kenapa?"

"Ini buah-buah yang punya kandungan zat dengan aktivitas antioksidan tinggi. Sayang kalau kena suhu panas, nanti jadi lebih cepat teroksidasi."

Erlang bengong sesaat, sebelum kemudian ia tertawa lagi. Entah kenapa, tiap kali Ayu mulai sok tahu sebagai ahli obat herbal dan bahan alam, Erlang merasa gadis itu tampak lucu. Entah apa yang lucu, padahal semua yang dikatakan Ayu masuk akal dan benar.

"Kalau mengharapkan mendapat vitamin dan aktivitas antioksidan dari buah, ya mending langsung makan buah aslinya aja. Nggak usah diolah-olah gitu," kata Erlang, terkekeh.

"Betul itu, Pak!"

"Artinya, kalau mencampur buah ke dalam dessert gini ya sebenarnya hanya untuk mendapatkan rasa dan kandungan seratnya aja. Jangan terlalu mengharapkan kandungan vitamin dan daya antioksidannya. Vitamin dan daya antioksidannya tentu tetap ada, tapi mungkin hanya tersisa sedikit, karena sebagian kandungan zat-zat itu rusak selama pengolahan. Seperti menambahkan buah dalam infused water ya hanya untuk mengharapkan rasanya aja. Nggak bisa terlalu mengharapkan efek macem-macemnya."

"Nah, betul!"

"Ya kalau gitu, kali ini kita juga menambahkan buah ke panna cotta ini hanya untuk rasa dan seratnya."

"Tapi kalau buahnya ditaruh di atas gelatin yang udah nggak terlalu panas, kan nggak terlalu merusak daya antioksidannya, Pak."

"Nggak gitu juga Yu. Panas memang mempercepat proses oksidasi pada buah-buahan, tapi penyimpan juga begitu. Begitu kulit buahnya dibuka, buah-buah seperti ini akan cepat teroksidasi dan daya antioksidannya untuk tubuh berkurang drastis. Makanya, begitu kupas buah, harus langsung dimakan."

Ayu merengut. "Jadinya gimana nih? Buahnya saya taruh wadah sekarang apa gimana nih?" 

Erlang mengulum senyum melihat Ayu yang terdengar agak kesal.

"Yaudah, buahnya nanti aja ditaruh di atas gelatin kalau udah agak dingin," Erlang mengalah. Saat itu, senyum Ayupun terbit.

Bertepatan dengan itu, Erlang selesai mengaduk larutan gelatin di pancinya. Ia kemudian mulai menuangkannya di pinggan, mangkuk dan gelas kaca kecil yang telah ia siapkan sebelumnya.

Erlang selesai menuangkan larutan gelatin ke wadah-wadah bertepatan dengan Ayu yang selesai memotong buahnya. Setelahnya Erlang mengambil baskom besar, mengisinya dengan air keran, menambahkan es batu di kulkas dan menyebarkan garam juga di baskom.  Lalu ia meletakkan wadah-wadah kaca pada baskom air tersebut, agar gelatin di dalamnya lebih cepat dingin. Sementara itu, Ayu membereskan sampah sisa buah.

"Ini sisa buahnya mau dibuang, Pak?" tanya Ayu tiba-tiba.

Erlang, yang sedang menunggu gelatinnya agak dingin, menoleh dengan bingung. "Itu kan sampah, Yu. Sampah ya harusnya dibuang. Emang mau diapain lagi?"

"Ini ada kulit buah manggis juga lho Pak. Kali aja mau direbus atau diekstrak. Kan kulit buah manggis juga mengandung antioksidan. Bisa buat meningkatkan daya tahan tubuh. Kayak iklan gitu, Pak. Kabar gembira untuk kita semua. Kulit manggis kini ada ekstraknya~~~~"

Sontak saja Erlang tertawa. Selama ini Erlang lebih banyak melihat sosok Ayu yang dingin. Tapi ternyata bisa nyanyi juga dia.

Saat melihat tingkah seperti itu, Erlang jadi menyadari bahwa dibalik sikap dingin dan dewasanya selama ini, Ayu tetaplah gadis 20 tahunan biasa. Yang hangat dan ceria, kadang suka bercanda juga, tapi bisa juga ngambek. Jika selama ini gadis itu bersikap dewasa dan dingin, barangkali karena alasan tertentu, atau karena masa lalu yang menempanya.

"Buang aja semuanya. Saya males dan capek rebus-rebus kulit manggis," jawab Erlang, terkekeh. "Saya lebih suka antioksidan vitamin C. Atau lebih mending saya makan buah manggis langsung, atau produk herbal terstandar kulit manggis, yang sudah jelas proses ekstraksinya tidak merusak aktivitas antioksidannya."

"Oke Pak," jawab Ayu. Ia merapikan sisa buah ke dalam sebuah kantong plastik kecil. "Nanti saya jadiin kompos aja ya Pak?"

"Terserah kamu lah," jawab Erlang sambil lalu, karena melihat anak itu keukeuh sekali ingin memanfaatkan sisa kulit buah tadi.

Ketika gelatin di wadah-wadah kecil sudah agak dingin, Erlang meminta Ayu membantunya menata buah di bagian atas panna cotta.

"Tadi gimana hari pertama di kafe?" tanya Erlang selagi mereka menata buah di atas panna cotta, bersisian.

"Baik-baik aja. Makasih ya Pak. Berkat Bapak, Mbak Windy mau nerima saya."

"Apa sih..." Erlang menggerutu, seperti tidak mengerti mengapa Ayu berterima kasih.

"Tadi Bapak kenapa bilang bahwa saya keponakan Bapak? Supaya Mbak Windy nerima saya ya?"

"Ck, nggak usah GR. Disana memang sedang butuh karyawan tambahan." Erlang berdecak dan mengibaskan tangannya. Mengisyaratkan bahwa hal itu adalah bukan hal besar yang merepotkan dirinya. "Cocok kerja disana?"

"Sejauh ini baik-baik aja sih Pak. Mbak Windy baik. Sejauh ini teman-teman yang lain baik."

"Good! Semoga betah."

Mereka sempat terdiam selama beberapa saat. Sebelum kemudian Ayu kembali membuka pembicaraan.

"Nama Bapak, Erlangga ya?"

Erlang menoleh sekilas. "Airlangga," Erlang menjawab.

"Oh, pantes. Tadi Mbak Windy manggilnya Pak Angga."

Erlang tersenyum menanggapi.

"Yang manggil Bapak Erlang, cuma Mbak Farah ya?"

Tangan Erlang, yang sedang menata buah, sempat terhenti sesaat. Tapi kemudian ia melanjutkan.

"Farah dan keluarganya."

Ayu mengangguk-angguk. Dengan jawaban itu, jelas sudah seberapa dekat hubungan Erlang dan Farah, hingga Farah dan keluarganya memanggil Erlang dengan nama khusus yang tidak digunakan orang lain.

"Apa saya boleh manggil Bapak Pak Erlang juga?"

"Hmm?" Erlang menoleh dan menatap gadis kecil di sebelahnya dengan jarak diantara kedua alisnya yang berkerut.

"Maksudnya, itu kan panggilan khusus. Panggilan sayang. Cuma Mbak Farah, dan keluarganya, yang manggil Bapak begitu. Jadi, apa saya boleh manggil begitu juga? Atau Bapak lebih nyaman saya panggil Pak Angga aja, seperti yang lain?"

Erlang tidak segera menjawab. Ia baru benar-benar menyadarinya, bahwa karena hanya Fariha dan keluarganya (termasuk Farah) yang memanggilnya begitu, itu menjadi semacam panggilan sayang, panggilan akrab. Attar, dan kini Ayu, memang memanggilnya seperti itu juga karena Farah memperkenalkannya kepada kedua orang itu dengan nama itu. Tapi setelah kini Ayu sengaja menanyakannya, Erlang jadi memikirkannya. Apakah nama itu adalah panggilan sayang yang hanya boleh diucapkan orang-orang tertentu saja? Apakah
ia keberatan kalau Ayu juga memanggilnya dengan panggilan sayang yang sama?

"Panggil apa aja yang kamu mau," putus Erlang, sambil meletakkan kiwi terakhir di atas panna cotta nya.

Ia rasa, ia tidak keberatan Ayu memanggilnya dengan nama itu.

"Kalau gitu saya tetap panggil Pak Erlang, boleh ya? Lebih ganteng."

Dirinya sudah bukan remaja, usianya sudah hampir 40 tahun. Jadi kenapa telinganya harus memanas mendengar kalimat sederhana seperti itu? Sungguh memalukan.

Ayu mengangkat mangkuk kecil panna cotta yang telah dihiasnya dengan buah.

"Perlu saya dinginin, Pak?"

Ayu sedang membicarakan panna cotta kan? Bukan membicarakan wajah dan telinganya yang memanas kan?

* * *

Ckckck om Erlang. Kukira suhu, ternyata cupu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top