15. Momordica charantia

Ya, harusnya mereka hanya menjadi orang asing.

Tapi kenapa orang asing itu sudah berdiri di dapurnya sepagi itu?

Sudah hampir dua bulan ini dapurnya tidak digunakan di waktu sepagi ini. Sejak Mbok Nah, asisten rumah tangganya, pulang kampung, dapur tersebut tidak lagi digunakan untuk menyiapkan sarapan. Ia belum mendapatkan asisten rumah tangga lain, sehingga biasanya Erlang hanya menyiapkan sarapan sederhana untuk dirinya sendiri, atau memanaskan masakan di malam sebelumnya. Ia hanya memasak untuk makan malam. Itupun kalau dirinya sedang malas memasak, ia cukup membawa makanan dari salah satu restoran miliknya yang sedang dikunjungiya.

Tapi pagi itu, gadis itu sudah menjajah area kekuasaan Mbok Nah dan dirinya.

"Pagi, Pak!" sapa gadis itu sambil menoleh, ketika menyadari Erlang memasuki dapur.

Penjajah dengan wajah berbahaya.

"Maaf saya nggak minta ijin Bapak dulu kalau mau pakai dapur."

Erlang tidak menjawab. Ia hanya duduk di salah satu kursi di ruang makan yang menghadap ke dapur. Lama ia terdiam disana, menyaksikan gadis itu berkutat di dapur, sampai akhirnya gadis itu kembali menoleh padanya dan melangkah menghampirinya.

"Bapak kalau pagi, ngopi kan?" Ayu bertanya, tapi sudah sambil meletakkan secangkir kopi di hadapan Erlang.

"Makasih," jawab Erlang. "Tapi harusnya kamu nggak perlu repot-repot, Yu. Saya biasa makan roti aja buat sarapan."

"Tapi rotinya udah berjamur dan kadaluarsa 2 hari lalu Pak. Jadi saya buang. Makanya saya pikir perlu masak buat sarapan," jawab Ayu.

Sepertinya Erlang memang lupa memeriksa dan membuang stok makanan yang hampir basi/kadaluarsa di rumah sebelum ia pergi ke Bali.

"Lagian, ini juga bentuk terima kasih saya, karena Bapak mau menampung saya sementara di sini. Kalau nggak, saya beneran nginep di bandara atau terminal bis."

Saat itu Ayu hanya tersenyum kecil kepadanya. Tapi entah mengapa senyum itu terlihat hangat. Saat itu sosok Ayu mengingatkan Erlang kepada Farah. Sebelum kesalahan setahun lalu itu terjadi, Farah juga gadis yang ceria dan hangat.

Barangkali karena perasaan inilah yang membuat Erlang kemarin, alih-alih berpisah dengan Ayu di bandara dan membiarkan gadis itu jadi gelandangan di Jakarta, justru menarik tangan gadis itu memasuki taksi bandara dan membawanya pulang.

"Kamu tinggal di rumah saya dulu aja," kata Erlang kemarin, dengan wajah tegas yang tidak menerima protes. "Kalau kamu sudah dapet kerja dan kosan, baru kamu bisa pergi."

Jadi akhirnya sejak siang kemarin Ayu tinggal di kamar tamu di rumah Erlang. Saat Erlang memasak makan malam dan Ayu menawarkan diri membantunya mencuci piring, Erlang juga sudah memberi tahu tempat penyimpanan sayur, buah, telur, daging dan bahan makanan lainnya. Juga tempat menyimpan peralatan masak dan makan. Kalau-kalau Ayu membutuhkan untuk memasak makanan yang diinginkannya sendiri, seperti mie instan misalnya. Tidak disangka, informasi itu justru digunakan Ayu untuk menyiapkan sarapan pagi ini.

Ayu kembali ke dapur dan sibuk di sana untuk beberapa saat, untuk kemudian kembali membawa semangkuk tumis pare-teri, omelette, dan sosis bakar dan meletakkannya di atas meja makan. Setelah itu beberapa kali ia bolak-balik dapur dan ruang makan untuk menyiapkan piring, sendok, garpu, mangkuk nasi dan air minum.

"Saya nemu pare di kulkas. Jadi saya masak," kata Ayu sambil duduk di kursi makan juga, di hadapan Erlang. "Tapi kalau Bapak nggak cocok makan nasi dan tumis pare-teri pagi-pagi, saya siapin omelette dan sosis juga."

"Saya pemakan segala. Semuanya saya suka," jawab Erlang. "Makasih ya."

"Sama-sama, Pak," jawab Ayu.

Erlang memindahkan nasi ke piringnya. Mengambil 2 sendok makan tumis pare-teri, setengah potong omelette, dan sepotong sosis bakar.

"Kamu juga makan," kata Erlang mempersilakan.

"Oh. Iya, Pak. Makasih." Ayupun mengikuti Erlang, mengambil makanan-makanan itu ke atas piringnya.

Erlang mencoba sesuap nasi dan tumis pare-teri terlebih dahulu. Namanya pare memang pahit, dan Erlang sudah mengantisipasi kalau-kalau rasa tumis pare ini akan sangat pahit. Tapi ketika mulai mengunyah dan rasanya menyebar di lidah dan rongga mulutnya, ternyata rasa tumis pare-teri yang dimasak oleh Ayu tidak terlalu pahit. Itu artinya gadis itu mampu mengolah pare dengan baik sehingga rasanya tidak terlalu pahit lagi.

Erlang menoleh pada Ayu. Dan ternyata gadis itu sedang menatapnya dengan penuh antisipasi. Sepertinya menunggu respon Erlang terhadap masakannya.

"Rasanya enak, Yu. Kamu udah biasa mengolah pare?"

Senyum Ayu terbit. Setelah itu ia menyuapkan makanannya sendiri.

"Kamu suka makan pare?" tanya Erlang, sambil memakan sesuap lagi.

Ayu hanya menggeleng diam karena sambil mengunyah. Ketika sudah menelan nasinya, ia baru menjawab, "Bukan favorit saya sih. Tapi di kulkas sayurnya tinggal pare, sawi hijau dan kol. Saya bingung mau dimasak apa. Yaudah jadinya gini."

"Oh iya ya." Erlang jadi teringat isi kulkas yang ia tunjukkan pada Ayu kemarin sore, memang tinggal sedikit. Ia sudah berencana untuk berbelanja lagi hari ini. "Tapi kamu nggak apa-apa makan pare? Orang yang nggak terbiasa, pasti merasa ini pahit banget."

"Kalau kita udah pernah merasakan yang lebih pahit, yang begini aja mah nggak ada apa-apanya."

Erlang terdiam sesaat. "Kamu pernah merasakan yang lebih pahit?"

"Pernah," jawab Ayu ringan. Erlang mendapati Ayu tetap tenang menyantap sarapannya. Dan sebelum sempat Erlang bertanya yang lain, gadis itu melanjutkan bicara. "Tapi sesekali emang kita perlu konsumsi yang pahit gini sih Pak. Biar sadar bahwa selama ini kita udah merasakan banyak hal manis. Lagian kalau kebanyakan makan manis, bisa sugar addicted kan."

Tiba-tiba ia ingat, cerita Farah tentang Ayu dan lemon water yang rasa asamnya tidak seasam hidupnya. Apa hidup gadis ini memang seasam atau sepahit itu, atau ini hanya karena Ayu yang pandai curcol --curhat colongan?

"Kadang yang pahit, justru memang diperlukan tubuh. Obat, misalnya. Meski pahit, ya harus diminum untuk mengobati tubuh. Pare ini juga gitu. Meski rasanya pahit, tapi berkhasiat sebagai antihiperglikemik lho, untuk membantu menurunkan glukosa darah pada pasien diabetes. Jadi kalau kita udah keseringan makan makanan yang manis-manis, sesekali makan pare bakal bagus untuk mencegah atau meringankan diabetes."

Tanpa sadar, bibir Erlang tertarik ke samping mendengar celoteh gadis itu.

"Eh? Kok saya malah diketawain?" Tapi gadis itu malah protes melihat Erlang tersenyum padanya. "Ini saya serius lho Pak. Momordicin dan charantin dalam pare bisa meningkatkan sensitivitas insulin sehingga bisa mengubah glukosa darah menjadi glikogen, dan menurunkan kadar glukosa darah. Saya serius kok malah diketawain?"

Sontak Erlang tertawa keras. Ia yang awalnya tidak berniat menertawakan Ayu, tapi karena komentar terakhir gadis itu, Erlang justru merasa sikap Ayu makin lucu.

"Sori, sori," kata Erlang, tiga detik kemudian ketika mendapati wajah cemberut Ayu. "Bukannya pengen ngetawain. Tapi kamu menarik juga ya."

"Jangan naksir! Saya nggak suka om-om!" tukas Ayu.

Tapi alih-alih tersinggung, tawa Erlang makin kencang. Merasa gadis ini makin lucu. "Pelajaran biologi anak SMA jaman sekarang membahas tentang momordicin dan charantin ya?" tanya Erlang, mengalihkan percakapan dengan topik random.

"Belajar kan nggak harus dari buku pelajaran aja, Pak," jawab Ayu ketus. Membuat Erlang makin gemas.

Beberapa lama kemudian mereka berdua saling terdiam menghabiskan sarapannya masing-masing. Setelah sarapan di piringnya habis, barulah Ayu bicara kembali.

"Makasih ya Pak, saya boleh tinggal sementara di sini. Hari ini saya pamit ya Pak."

Erlang meletakkan sendok dan garpu pada piringnya yang telah bersih. "Kamu udah dapet kosan?"

"Belum Pak. Justru karena itu saya mau mulai nyari pagi-pagi."

"Mau kos dimana?"

"Belum tahu juga Pak," jawab Ayu santai. "Saya rencananya mau ke terminal bis dulu. Trus nyari kosan di rumah-rumah warga sekitar situ. Besok mau nyari kerja di sekitar kosan dulu. Nanti kalau saya udah lebih lama di Jakarta, baru saya nyari kerjaan yang gajinya lebih besar dan pindah ke kosan yang lebih dekat sama tempat kerja."

"Mau cari kerja apa?"

"Apa aja, Pak. Dimana aja yang mau nerima lulusan SMA. Kalaupun belum dapat kerjaan, ya kali aja ada warung makan yang butuh tukang cuci piring, atau ada rumah-rumah yang butuh tenaga cuci-setrika dan beres-beres rumah."

Ayu bangkit dari duduknya lalu mengambil piringnya dan piring Erlang yang telah kosong. Gadis itu kemudian membawa piring kotor ke wastafel dapur.

Ayu sudah selesai mencuci piring. Begitu juga dengan alat masak yang tadi digunakannya. Ia kembali ke meja makan, merapikan mangkuk berisi sayur dan piring kecil berisi sosis yang masih tersisa, lalu menutupnya dengan tudung saji.

Gadis itu kemudian menegakkan tubuh dan mengangguk sopan pada Erlang. "Saya pamit ya Pak. Makasih banyak suda____"

"Kamu bisa bantu beres-beres rumah?"

"Eh?" Ayu bengong sesaat ketika tiba-tiba ditanya begitu.

"ART di rumah saya sudah sepuh dan minta pulang kampung sejak bulan lalu. Jadi sudah lebih dari sebulan ini tidak ada yang membantu saya mengerjakan pekerjaan rumah. Saya juga belum mendapat penggantinya."

Ayu membalas tatapan Erlang, seperti ia mulai paham kemana arah pembicaraan Erlang.

"Jangan salah paham. Tolong jangan tersinggung," kata Erlang buru-buru menambahkan. "Saya bukan menganggap kamu pembantu atau gimana. Tapi kalau kamu bisa dan nggak keberatan bantuin saya, kamu bisa tinggal disini sampai kamu dapat kos yang cocok."

Ayu masih diam dan belum menjawab. Seperti masih menimbang tawaran yang Erlang berikan.

"Kalau kamu bersedia bantuin saya di rumah ini, tentu itu nggak gratisan. Ada gajinya," tambah Erlang. "Dan kalau kamu sudah dapat kos atau sudah dapat kerja, kamu bisa berhenti kapanpun."

Ini bukan pengalaman pertama Ayu mencari pekerjaan di kota yang sama sekali asing baginya. Setahun lalu saat ia pindah ke Bali, ia merasakan sendiri sulitnya mencari tempat tinggal yang layak dengan uang yang terbatas sebelum ia menemukan pekerjaan. Dan di kota Jakarta, yang katanya lebih kejam dari ibu tiri ini, tentu mencari pekerjaan dan tempat tinggal yang sesuai dengan gajinya akan lebih menantang. Oleh karena itu, tawaran Erlang kali ini sangat menggiurkan.

Kalaupun Erlang menganggapnya sebagai pembantu, Ayu bahkan tidak keberatan. Lelaki itu bersedia menampungnya di rumahnya, gratisan, dan menawari pekerjaan sebagai ART. Bagi Ayu, itu sangat melegakan dirinya bisa mendapatkan pekerjaan hanya dalam waktu 1 hari sejak kedatangannya di kota ini. Apalagi sepertinya Erlang tidak melarangnya mencari pekerjaan lain dan membebaskannya untuk pergi setelah mendapat pekerjaan dan kos lain.

"Saya bisa, Pak," jawab Ayu akhirnya, sambil mengangguk. "Makasih udah ngasih saya kerjaan, Pak."

Erlang menjawabnya dengan senyum. Dan Ayu membalasnya dengan senyum lebarnya.

Akhirnya, setelah sekian lama hanya melihat senyum tipis, senyum dingin atau senyum sinis Ayu, pagi itu Erlang kembali mendapati senyum Ayu yang hangat dan lebar, seperti yang dulu biasa ditunjukkannya saat menyambut tamu hotel yang sarapan di resto hotel.

Erlang menatap gadis itu dan bertanya dalam hati... apakah senyum yang lebar dan hangat itu sekedar senyum profesionalitas, karena sekarang gadis itu bekerja padanya?

* * *

Om Erlang mulai ngarepin senyum yang lain atau gimana sih Om?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top