14. Ephedra sinica


Siapa yg nungguin Airlangga-Ayu?

Atau nungguin Erlang-Eugenia?

Sama aja Malih! Dasar aku! Hahaha.

* * *

Kopi, dengan kandungan kafeinnya, bukan satu-satunya tanaman yang memberi efek stimulansia pada tubuh manusia. Herba efedra merupakan tanaman lain yang bersifat stimulansia. Dalam pengobatan Cina, tanaman ini disebut Ma Huang.

Dua kandungan utama herba efedra adalah efedrin dan pseudoefedrin. Efedrin memiliki efek yang serupa dengan epinefrin, life-saving drug yang dengan segera dapat meningkatkan tekanan darah dan melegakan saluran nafas sehingga dapat menyelamatkan pasien syok anafilaksis yang kritis. Meski efek yang ditunjukkan efedrin memang lebih ringan/lemah dibanding epinefrin, namun efeknya terhadap sistem kardiovaskuler cukup adekuat dan lebih panjang sehingga digunakan untuk mengatasi hipotensi akibat anastesi.

Meski bukan tergolong narkotika dan psikotropika, namun pengadaan, produksi, distribusi dan penjualan efedrin dan pseudoefedrin diregulasi dengan cukup ketat. Karena kedua kandungan herba efedra ini merupakan prekursor pada sintesis metamfetamin.

Efedrin dan pseudoefedrin juga biasanya merupakan salah satu zat aktif dalam produk obat untuk mengatasi gejala flu, karena efeknya yang mendilatasi bronkus dan bronkiolus, sehingga dapat melegakan pernafasan. Karena efek stimulansianya, mengkonsumsi obat pereda flu yang mengandung efedrin atau pseudo efedrin dapat juga menyebabkan stimulasi sistem saraf pusat, meningkatnya kecepatan denyut jantung dan meningkatkan suhu tubuh.

Anehnya, meski tidak mengkonsumsi obat flu yang mengandung efedrin atau pseudoefedrin, kenapa Erlang merasakan efek stimulansia serupa? Denyut jantung dan aliran darahnya meningkat hingga wajahnya memerah, tubuhnya jadi merasa gerah, dan otaknya menjadi lebih aktif dan imajinasinya menjelajah. Meski itu hanya berlangsung sesaat dan Erlang berhasil mengendalikannya segera, tetap saja hal itu sempat berhasil mengganggunya.

Apakah respon tubuhnya itu akibat tadi pagi ia meminum 2 cangkir kopi dan secangkir teh, atau karena melihat perubahan penampilan Ayu yang tiba-tiba?

Gadis itu keluar dari kamar hotel dengan menggunakan setelan jeans dan kemeja lengan panjang, menggunakan kacamata hitam lebar yang nyaris menutupi seluruh pipinya, dan topi yang menahan rambutnya yang digelung. Dengan ransel di punggungnya dan tas besar di tangannya, penampilan tomboy Ayu membuatnya sekilas terlihat seperti lelaki (lelaki bertubuh pendek, tentu saja, karena tingginya yang hanya 160 cm).

Selama berada di taksi menuju bandara, Ayu mempertahankan penampilannya seperti itu. Tapi begitu memasuki bandara, sesaat sebelum turun dari taksi, Ayu membuka kemejanya, melipatnya dan memasukkannya ke dalam tas. Meninggalkan tubuh bagian atasnya yang tinggal terbalut tanktop. Gadis itu juga membuka topinya dan mengatur rambut bergelombangnya dengan jemarinya.

"Kamu... ngapain?" tanya Erlang, yang duduk di sebelahnya, berusaha agar tidak terdengar gugup.

Selama beberapa saat tadi dirinya tercekat melihat Ayu membuka kemejanya. Apalagi ketika kemudian melihat tubuh berbalut tanktop dengan rambut bergelombang terurai di pundaknya yang terbuka. Tubuh Ayu tidak tinggi semampai seperti Farah, tapi lebih berisi di bagian-bagian yang tepat. Dan hal itu justru membuat gadis itu terlihat sangat-sangat seksi.

"Menyamar, Pak," jawab Ayu santai.

Menyamar apaan?, gerutu Erlang bingung. Menyamar kok malah makin menonjol gini?

Apanya yang menonjol, Bro?

Sialan, Otak! Shut up!

Tapi jujur saja, memang benar penampilan Ayu stunning. Bahkan meski dengan kacamata hitam lebar yang menutupi hampir separuh wajahnya, Erlang yakin akan ada banyak pria yang melirik jika gadis ini melenggang di bandara dengan penampilan seperti ini. Ini memang Bali sih. Banyak turis yang berpakaian lebih seksi dan lebih terbuka. Tapi tetap saja penampilan Ayu ini akan menarik perhatian banyak lelaki. Jadi dimana letak penyamarannya, kalau dia justru akan menarik perhatian lebih banyak orang?!

"Tadi di hotel saya sengaja pakai baju kayak cowok, supaya temen-temen saya di hotel nggak mengenali saya. Setahun lebih saya kerja disana, takutnya banyak yang ngenalin saya kalau pakai baju begini," kata Ayu melanjutkan penjelasannya. Sepertinya ia melihat kebingungan Erlang."Nah, kalau di bandara, saya justru harus tampil mencolok begini. Kalau memang ada orang yang nyari saya di bandara, dia nggak akan menyangka bahwa saya akan berpenampilan begini kan Pak. Pasti dia justru lebih waspada sama orang yang penampilannya serba tertutup."

Pantas saja gadis itu tadi sengaja mengeriting rambut saat sarapan. Ternyata ini tujuannya.

Penjelasan yang masuk akal sih. Tapi justru sekarang Erlang yang bersikap waspada saat melangkah di samping gadis itu.

Ayu melangkah dengan penuh percaya diri. Dengan tank top hitam, celana jeans dan sandal gunung. Dengan kacamata hitam lebar dan rambut bergelombang yang tergerai, sebagian menutupi sebelah kanan wajahnya. Dengan ransel dan tas besar di tangan. Gadis itu tampak seperti pelancong biasa yang akan pulang setelah berlibur di Bali. Bukan seperti orang yang sedang melarikan diri. Dan seperti perkiraan Erlang, beberapa pria terlihat menatap Ayu dengan berminat.

Sesaat sebelum duduk di kursi panjang untuk menunggu boarding, Erlang melepas blazernya dan menyampirkannya di sepanjang bahu Ayu yang sudah duduk lebih dulu. Ayu menengadah dan menatapnya dengan bingung.

"Sudah cukup menyamarnya. Sebentar lagi kita boarding," kata Erlang sambil duduk di sisi Ayu. "Nggak ada laki-laki yang tadi malam disini. Malahan kamu menarik perhatian banyak laki-laki nakal."

Ayu menerima bantuan itu dalam diam. Ia hanya menengadah, menatap Erlang. Dan karena Ayu masih mengenakan kacamata hitamnya, Erlang tidak tahu gadis itu menatapnya dengan tatapan seperti apa. Dan ketidaktahuan itu membuatnya merasa tidak nyaman.

"Suhu di pesawat dingin. Kamu yakin mau pakai tanktop begitu aja?" kata Erlang dengan suara sok cool, ketika duduk di sisi Ayu.

Setelah naik ke pesawat dan mendapatkan tempat duduknya, Ayu mengeluarkan kemejanya dari ranselnya sebelum meletakkan ransel itu di kabin. Ia melepas blazer Erlang dan memakai kemejanya sendiri, lalu mengembalikan blazer itu kepada pemiliknya.

"Makasih udah minjemin, Pak," kata Ayu sambil duduk di sisi Erlang yang sudah terlebih dulu duduk di kursi dekat jendela.

Erlang menerima blazernya, melipatnya dan meletakkannya di pangkuan. Ia melirik gadis yang kini tubuhnya sudah tertutup dengan kemeja.

Sesaat setelah pesawat take-off, Erlang melihat gadis itu melepas kacamata hitamnya, mengikat rambutnya dan bernafas lega. Barangkali, meski sejak tadi gadis itu tampak percaya diri, sebenarnya ia sedang menutupi rasa takut jika ditemukan oleh lelaki yang semalam memukulnya.

"Sudah lega sekarang?" tanya Erlang.

Ayu menoleh. Awalnya seperti tidak paham dengan pertanyaan Erlang. Tapi sesaat kemudian ia segera paham, dan mengangguk. "Makasih banyak Bapak sudah bantu saya pergi, Pak."

Ayu kemudian merogoh ke dalam hand bag kecil yang dibawanya. Ia mengambil sebuah amplop, lalu meletakkannya di atas blazer yang tersampir di pangkuan Erlang.

"Ongkos tiket pesawat," kata Ayu sambil menatap wajah Erlang yang bingung, "Makasih Bapak sudah memesankan."

Erlang mendengus tidak kentara. Lalu mengambil amplop itu dan memindahkannya ke atas hand bag yang ada di pangkuan Ayu.

"Kamu pegang aja," kata Erlang. "Di Jakarta nanti, kamu akan butuh banyak."

"Jangan Pak, saya udah ngerepotin Bapak. Saya nggak mau berhutang." Ayu mengembalikan amplop itu ke atas blazer.

Dan Erlang kembali memindahkan amplop itu ke atas hand bag Ayu. "Kalau gitu anggap aja hutang saya impas."

"Hutang?"

"Saya... berhutang maaf," kata Erlang berat. Tapi meski gengsi, ia harus mengatakannya. "Malam itu saya memaksa kamu, saya minta maaf. Beberapa kali kita bicara, saya juga selalu bicara kasar dan nggak sopan. Saya minta maaf."

Ayu tidak menjawab.

"Tolong jangan salah paham. Saya bukan mau membeli maaf dengan uang," Erlang buru-buru menambahkan. "Saya serius minta maaf."

Ayu masih terdiam. Tangan kanannya masih memegang amplop di atas hand bagnya.

Erlang kemudian mengulurkan tangannya kepada Ayu. "Maafin saya ya," pintanya.

Ekspresi Ayu tampak tidak nyaman. Tapi kemudian ia menyambut uluran tangan Erlang.

"Apa rencana kamu setelah ini?" tanya Erlang, berusaha mengalihkan pembicaraan, setelah Ayu melepaskan tangannya.

"Cari kerja, Pak," jawab Ayu. "Tapi pastinya harus nyari kosan dulu."

"Mau kerja apa?"

"Kerja apa aja yang mau nerima lulusan SMA kayak saya, Pak."

"Kamu...nggak lanjut kuliah?"

Ayu tersenyum tipis. Wajahnya seperti sudah lelah menerima pertanyaan seperti itu. Teman-teman seusianya memang sedang kuliah tahun kedua saat ini.

"Nggak punya uang Pak," jawab gadis itu enteng.

Erlang terdiam sesaat setelah mendengar jawaban itu. Ternyata gadis di hadapannya ini memang berasal dari keluarga dengan finansial yang kurang.

"Sudah dapat kos di Jakarta?"

"Saya coba searching online sih, nggak nemu kosan yang diiklankan online. Tapi gampang lah itu. Nanti saya bisa tanya-tanya di sekitaran terminal bis, pasti ada. Ini bukan pengalaman pertama saya pergi dadakan ke tempat baru. Jadi pasti...."

"Bukan pengalaman pertama?" potong Erlang refleks.

Bibir Ayu mengatup. Sepertinya dia baru sadar bahwa sudah terlalu banyak bicara.

"Sebelumnya kamu pernah kabur juga? Apa kabur dari laki-laki yang sama?"

Sejak lama Erlang sudah merasa bahwa gadis ini memiliki kepribadian yang tidak tertebak. Di awal mengenal Ayu, Erlang melihat Ayu sebagai gadis yang ramah dan ceria. Tapi setelah malam dimana dirinya mabuk, gadis itu berubah sebagai sosok yang sinis. Yang mana, hal itu wajar saja. Tapi anehnya, alih-alih marah dan meminta tanggung jawab, gadis itu justru mengusirnya pergi.

Lalu tadi malam ketika mereka bertemu lagi, setelah semua perlakuan buruk dan kata-kata kasar yang pernah Erlang ucapkan, ia sudah siap menerima kesinisan yang sama dari gadis itu. Tapi tadi malam hingga tadi pagi, gadis itu terlihat santai sekali berinteraksi dengan dirinya. Meski tanpa senyum, Ayu sama sekali tidak terlihat takut atau canggung tinggal di kamar yang sama dengan lelaki yang pernah memperkosanya. Tapi kini, lagi-lagi sikap gadis itu tiba-tiba berubah. Setelah sepagian ini Erlang merasa sikap gadis itu mulai terbuka, kini justru Ayu tampak kembali membangun benteng yang tinggi.

Gadis itu menatap Erlang. Kali ini tidak lagi dengan wajah yang ramah, melainkan dengan sorot mata tegas.

"Bapak bilang, Bapak cuma bantu saya sampai saya tiba di Jakarta kan? Setelah itu, saya mau jadi gelandangan, Bapak juga nggak peduli kan?" tanya Ayu. "Kita akan jadi orang asing kan? So, let's be it. Dan saya nggak perlu menjelaskan diri saya kepada orang asing."

* * *

Kalo pas di bandara, Ayu penampakannya kayak gini (minus tato dan plus kacamata item), ya gimana jantung n otak Om Erlang nggak stimulated kan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top