12. Camelia sinensis


Ting-tong!

Itu bunyi bel biasa, tapi respon Ayu yang tidak biasa. Gadis itu terlonjak dari duduknya dengan kegugupan yang berlebihan. Ekspresi wajahnya siaga.

"Itu room service. Nggak usah takut," kata Erlang menenangkan.

Ayu memutar duduknya hingga membelakangi pintu. Siapapun petugas room service yang datang, ia pasti akan mengenali Ayu karena sama-sama pegawai di hotel itu. Dan Ayu tidak ingin hal itu terjadi.

Erlang melangkah menuju pintu, membukakan pintu dan bicara sebentar dengan petugas itu. Kemudian mengambil apa yang dibawa sang petugas, dan menutup kembali pintu kamarnya.

Ia melangkah mendekati Ayu yang duduk di kursi di depan meja rias, lalu meletakkan nampan yang tadi dibawakan petugas room service di meja rias.

"Minum dulu. Biar badan kamu lebih hangat. Dan lebih tenang," Erlang mempersilakan, sambil mengerling secangkir teh hangat di atas nampan.

Tapi Ayu bergeming.

Erlang meraih kotak obat di atas nampan yang sama, lalu membukanya.

"Jasmine tea. Aromanya bisa membantu menenangkan."

Ayu tetap bergeming.

"Kamu anemia?"

"Hah?" Kali ini akhirnya Ayu merespon, meski hanya dengan menolehkan kepalanya dan memandang Erlang dengan tatapan terganggu, sekaligus bingung.

"Teh mengandung tanin yang bisa mengganggu absorbsi sejumlah nutrisi dan zat yang kita konsumsi," kata Erlang dengan ekspresi tenang, seolah tidak terganggu dengan pelototan Ayu. "Makanya nggak dianjurkan minum obat dengan teh. Terutama pada orang yang punya penyakit anemia, minum teh akan menghambat absorbsi zat besi yang bisa memperparah kondisi anemia defisiensi besi."

Hah? Kok malah kuliah?

"Kamu nggak mau minum teh, bukan karena kamu anemia kan?"

Ayu menatap pria di hadapannya dengan makin sebal."Saya nggak butuh teh. Saya butuh pergi dari sini secepatnya."

"Luka kamu perlu diobatin dulu." Erlang mengulurkan tangannya yang memegang kapas yang sudah dibasahi antiseptik. Tapi Ayu menepisnya.

"Saya nggak perlu obat, Pak. Tolong biarin saya keluar dari sini. Saya harus pergi secepatnya."

Setelah tadi Ayu selesai mengemas pakaian dan barang-barang di kamarnya ke dalam sebuah tas besar, Erlang langsung menyambar tas besar itu. Tangannya yang satu lagi menyambar tangan Ayu dan menariknya menuju kamarnya di hotel. Ayu tidak mengerti maksud lelaki ini apa, tapi seiring waktu dia makin panik.

"Kamu mau pergi kemana?" tanya Erlang sekali lagi. Tadi ia sudah menanyakan hal itu, tapi malah dijawab mau pergi ke neraka.

Ayu menghela nafas dengan tidak sabar. "Kemana aja. Yang jauh. Makanya saya harus ke bandara sekarang. Makin lama saya disini, orang itu bisa aja udah sadar dan langsung nanya-nanya tentang saya ke bos saya di club. Dia bisa tahu saya kerja dan tinggal disini."

"Tapi dia nggak akan tahu kamu tinggal di kamar ini. Jadi disini, kamu aman."

"Bapak ngapain sih? Nggak usah ikut campur urusan saya!"

Erlang termenung sesaat. Benar juga. Ngapain dia mesti ikut campur urusan gadis ini sih? Kalau gadis ini punya masalah serius dengan lelaki tadi sampai harus kabur segala, bukankah yang Erlang lakukan kini hanya akan menambah masalah bagi dirinya? Kenapa dirinya mesti susah-susah memedulikan gadis ini sih?

"Apa Jakarta sudah cukup jauh?"

"Hah?"

"Saya udah cek. Penerbangan paling dekat baru ada jam 7 besok pagi."

"Makasih infonya, Pak," kata Ayu cepat. Ia berdiri dari duduknya.

Hampir saja Ayu menyambar ransel dan tas besar di sisinya, tapi Erlang dengan cepat menyambar lengan Ayu dan memaksanya duduk kembali.

"Kalau orang itu udah sadar sekarang dan tahu kamu tinggal di asrama, kalau dia tahu kamu udah pergi dari asrama, bisa jadi dia langsung nyari kamu ke bandara, pelabuhan atau terminal. Terlalu lama nunggu di tempat publik seperti itu, kamu bakal ketahuan," kata Erlang. "Jadi mendingan kamu pesan tiket disini, dan ke bandara sesaat sebelum waktu boarding."

Ayu terdiam. Mungkin merasa usul Erlang masuk akal.

"Makasih sarannya Pak," kata Ayu kemudian.

Ia lalu mengeluarkan ponselnya dari kantong jaket yang dikenakannya, dan dompet dari dalam tasnya. Ia menarik keluar KTPnya dan bersiap untuk memesan tiket pesawat secara online. Tapi gerakannya terhenti karena tiba-tiba KTPnya berpindah tangan. Erlang merebut tanda pengenal itu.

"Biar saya yang pesan. Sekalian saya mau balik ke Jakarta."

"Pak!" bentak Ayu akhirnya, habis sabar.

Erlang menyodorkan nampan, mendekat kepada Ayu. Gadis itu menghela nafas dengan gusar menatap nampan yang di atasnya terdapat secangkir teh (yang mungkin sudah tidak terlalu hangat lagi), mangkuk dengan es batu yang diikat di dalam kain yang lembut, juga kotak obat yang sudah terbuka (ada kasa yang sudah dibasahi antiseptik tapi belum digunakan). Pipinya memang sakit, dan tepi bibirnya memang sobek, setelah ditampar oleh pria di kelab tadi. Sekantong es batu, antiseptik dan salep tentu bisa membantu mengurangi nyeri dan mempercepat penyembuhan luka di tepi bibirnya. Tapi bagi Ayu, bukan hal itu prioritasnya sekarang.

"Pak Erlang maunya apa sih?!" tanya Ayu kesal. "Saya udah bilang makasih, karena Bapak bantu saya tadi. Tapi yaudah, sampai situ aja. Saya bisa pesan tiket sendiri, saya bisa pergi sendiri."

Setelah tadi berkali-kali Ayu mengabaikan kata-kata Erlang, kali ini giliran Erlang yang gantian mengabaikan protes gadis itu. Pria itu melangkah menjauh dan duduk di ranjangnya. Ia meletakkan KTP Ayu di ranjang, tepat di sebelah tempatnya duduk, kemudian mengambil KTPnya sendiri dari dompetnya. Ia juga mengeluarkan ponselnya.

Kesal karena protesnya diabaikan, membuat Ayu bangkit dari duduknya. Ia melangkah cepat ke arah ranjang. Tepat saat Erlang meraih KTP Ayu yang tadi diletakkannya di ranjang, di saat yang sama Ayu juga mencoba merebut KTP itu.

Erlang sudah menduga bahwa Ayu bukanlah gadis yang mudah diajak bicara. Juga bukan gadis yang mudah mau menerima bantuan. Itu mengapa Erlang sudah mengantisipasi Ayu akan menolak bantuannya. Jadi saat Ayu berusaha merebut KTPnya, itu juga sudah diprediksi Erlang. Itu mengapa lelaki itu bisa dengan sigap menghindar. Membuat Ayu justru jadi terjerembab di ranjang dalam posisi menelungkup. Dengan cekatan Erlang meraih kedua lengan Ayu, lalu membawanya ke belakang tubuh gadis itu, dan menguncinya.

"Pak! Lepas!" pekik Ayu galak.

"Saya lepas kalau kamu nggak nyusahin saya lagi."

"Saya emang nggak mau nyusahin Bapak. Makanya saya mau kabur sendiri, nggak ngajakin Bapak. Bapak nggak usah ikut repot."

"Tapi bukan begitu rencana saya."

"Hah?"

"Kamu diam! Jangan berisik lagi! Kamu harus ikut saya ke Jakarta. Jadi kalau tiba-tiba saya ditangkap di bandara karena tuduhan penganiayaan, kamu masih bareng saya untuk jadi saksi bahwa saya cuma nolongin kamu___"

Dalam posisi telungkup di atas ranjang, dengan kedua lengannya terkunci di punggung, Ayu cuma bisa menghela nafas lelah.

Alasan apaan tuh? Ngadi-ngadi amat?!

"Setelah sampai Jakarta, terserah kamu mau jadi gelandangan atau gimana disana. Okay?!"

Meski tidak semua yang dikatakan Erlang masuk akal, tapi sebagian sarannya benar juga. Jadi Ayu akhirnya diam saja. Ayu tidak tahu kenapa Erlang harus menolongnya hingga sejauh ini, tapi barangkali ini hanya untuk menebus rasa bersalahnya.

Saat tubuh Ayu tidak memberontak lagi, Erlang akhirnya melepaskan kedua lengan Ayu dan membiarkan gadis itu bangkit dari ranjang, kemudian duduk tidak jauh darinya.

Setelah yakin Ayu tidak akan menyerang lagi, Erlang bisa duduk dengan tenang bersama ponsel dan kedua KTP di tangannya, untuk memesan tiket pesawat. Ini pemesanan last-minute, Erlang tidak yakin masih ada kursi tersisa. Tapi bagaimanapun, ia tetap mencoba. Jadwal penerbangan jam 7 pagi, yang 30 menit lalu dilihatnya masih tersedia, ternyata sudah tidak ada lagi.

"Sori. Penerbangan paling pagi yang bisa kita dapat, jam 10. How?" tanya Erlang, beralih pada Ayu.

Gadis itu menghembuskan nafas dan mengendikkan bahu. "If no other option, then i have no choice."

Erlang tahu bahwa karyawan hotel pasti mendapat pelatihan bahasa Inggris sederhana, apalagi karyawan hotel di Bali. Tapi pelafalan dan aksen gadis ini sangat baik. Bukan seperti bahasa Inggris yang diduganya akan didengarnya dari seorang pelayan restoran hotel biasa. Apalagi mengingat aksen asli Ayu yang saat bicara bahasa Indonesia seperti logat Jawa meski tidak terlalu kental, Erlang tidak menduga aksen bahasa Inggris gadis itu bisa se-native itu.

"Oke. Kalau gitu saya pesan tiketnya sekarang. Dan sambil nunggu besok pagi, kamu bisa istirahat di sini. Kalau kamu nggak nyaman sekamar sama saya, saya bisa buka 1 kamar lagi___"

"Nggak perlu," potong Ayu cepat. Tindakan itu hanya akan membuat teman-temannya yang bekerja di hotel itu curiga. Toh dirinya bisa istirahat di sofa.

Erlang mengangguk. Ia mulai dengan memesan tiket untuk dirinya, baru kemudian untuk Ayu. Ia meraih KTP Ayu untuk mulai memesankan tiket. Tapi ketika matanya menatap KTP itu, ekspresi wajah Erlang berubah.

"Eugenia Ranupadma..." Erlang bergumam. Wajahnya terangkat dan menatap Ayu. "Ini nama kamu?"

Ayu mengangguk. "Iya, Pak."

Erlang menunduk lagi untuk membaca KTP itu. Dan ekspresi wajahnya makin kaget dan bingung.

Di tempatnya duduk, Ayu tersenyum sinis. Ia sudah bisa menduga apa yang membuat Erlang kaget. Jadi ketika Erlang kembali menatapnya dan Ayu sudah membalasnya dengan senyum mengejek, ia tidak menduga Erlang justru hanya menanyakan hal tidak penting.

"Darimana panggilan Ayu-nya?"

* * *

Yuhuuu,,, siapa disini yang sudah menduga nama asli Ayu?

Coba tebak, data KTP apa yang bikin Erlang lebih kaget dibanding nama asli Ayu?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top