10. Echinaceae purpurea

Sebelum kita mulai bab ini, saya mau klarifikasi dulu bhw Chrysantemum yg punya efek insektisida, dan Chrysantemum yg digunakan sebagau teh krisan, adalah 2 jenis yg berbeda.

Ini adl Chrysantemum cinerariaefolium yg mengandung piretrin, yg pny efek insektisida, utk menghalau serangga.

Sementara yg di bawah ini adl jenis krisan yg biasa digunakan sbg teh krisan, dapat menenangkan dan meredakan sakit kepala.

* * *

Hampir sebulan sejak Erlang pulang ke Jakarta, ia kembali lagi ke Bali. Kali itu untuk menjemput Farah. Setelah 1 tahun bekerja di sebuah hotel di Bali, akhirnya Farah memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Adiknya baru saja diterima kuliah di ITB dan akan segera pindah ke Bandung. Ayahnya sudah meninggal dan ibunya akan sendirian di rumah jika Farah tetap bekerja di Bali. Oleh karena itu Farah memutuskan untuk pulang ke Jakarta, bekerja disana sehingga bisa sekalian menemani sang Ibu.

Erlang mengetahui keputusan Farah ini sebelum ia pulang ke Jakarta pada kunjungan terakhirnya hampir sebulan lalu. Itu mengapa kini ia datang lagi ke Bali untuk menjemput Farah. Farah sudah menjelaskan bahwa ia tidak perlu dijemput. Tapi Erlang tetap berkeras datang dengan dalih sekalian membantu Farah pindahan.

"Kamu nggak akan balik kesini lagi. Jadi perlu bawa semua barang-barang yang kamu punya kan? Aku bisa bantu bawa. Kalau kamu sendirian, pasti berat kan?"  Erlang berdalih.

"Barang-barang apaan sih Om? Selama disini aku nggak banyak belanja. Palingan cuma nambah oleh-oleh buat Mama dan Faris," Farah mengelak.

Tapi apapun penjelasan Farah, tidak berdampak pada keputusan Erlang untuk tetap menjemput gadis itu. Lebih baik dirinya yang menjemput, daripada Farah dijemput laki-laki lain.

Hari sudah lewat Maghrib ketika Erlang selesai membantu Farah untuk mengemas pakaian dan barang-barangnya. Tinggal menyisakan  sepasang kaos dan celana jeans untuk dikenakan esok hari, serta handuk dan peralatan mandi. Yang lainnya, termasuk oleh-oleh, sudah masuk ke dalam koper dan ransel. Benar kata Farah, memang tidak banyak yang perlu dibawa pulang besok, sehingga tanpa Erlangpun, Farah bisa pulang sendiri. Selama 1 tahun tinggal di Bali, gadis itu hanya membeli keperluan sehari-hari. Katanya ia membeli beberapa pakaian juga, tapi tidak menambah volume koper secara signifikan.

Setelah selesai packing, Farah mengajak Erlang untuk makan di luar, sebagai ucapan terima kasih karena lelaki itu sudah membantunya berkemas, dan mengantarnya pulang besok. Akhirnya setelah setahun berjuang, pada hari terakhirnya di Bali, Farah luluh juga dan mau makan bersama Erlang -- makan bersama sesungguhnya, bukan hanya di depan teras kamar.

Farah baru saja mengunci kamarnya ketika ia melirik ke kamar sebelah dan menemukan lampu di dalam kamar itu mati. Jadi ia menoleh pada Erlang dan mengatakan ingin mengecek kamar sebelah terlebih dahulu.

"Mungkin emang orangnya lagi pergi kan, makanya lampunya mati," kata Erlang.

"Kayaknya nggak deh Om. Si Ayu lagi sakit hari ini. Tadi aja nggak masuk kerja."

"Oh?"

"Tadi sih katanya cuma masuk angin. Tapi jam segini kok lampu kamarnya mati gini, padahal dia ada di kamar. Aku jadi takut dia kenapa-kenapa. Aku ngecek ke sebelah dulu ya Om. Sebentar."

Tanpa menunggu respon Erlang, Farah melangkah ke kamar sebelah dan mengetuk pintunya. Erlang, akibat pertemuan terakhirnya dengan Ayu yang tidak menyenangkan, sebenarnya enggan bertemu dengan Ayu. Itu mengapa Erlang berdiam diri di depan pintu kamar Farah. Tapi setelah Farah mengetuk beberapa kali, ternyata tidak ada jawaban juga dari dalam kamar. Membuat Farah agak mulai panik.

"Ayu kemana ya Om? Aku takut dia kenapa-kenapa," kata Farah.

Hal itu membuat Erlang akhirnya menghampiri Farah yang berdiri di depan pintu kamar Ayu. Tapi baru saja ia ingin membantu Farah mengetuk pintu, pintu itu sudah terbuka.

"Iya, Mbak? Kenapa?" tanya Ayu, muncul di depan pintu. Bahkan hanya dengan penerangan temaram dari teras kamarnya (karena lampu kamarnya mati) terlihat dengan jelas wajah pucat dan kelelahan gadis itu.

"Yu? Kamu nggak___"

Sebelum Farah menyelesaikan kata-katanya, Ayu yang bersandar di daun pintu, sudah merosot jatuh. Untungnya sebelum tubuh gadis itu menyentuh lantai, Farah dengan cekatan menahannya.

"Om! Tolong bantuin, Om!" pinta Farah cepat.

"Hah?"

"Cepetan! Aku nggak kuat nahan. Gendong ke kasur dong!"

Erlangpun maju dengan cepat dan mengambil alih tubuh Ayu, menggantikan Farah. Lalu ia mengangkat gadis itu. Farah masuk ke dalam kamar lebih dulu dan menyalakan lampu. Erlang menyusul kemudian dengan menggendong Ayu, lalu merebahkannya ke kasur.

"Mbak, maaf...." lirih Ayu. Ia menoleh pada Farah dan Erlang dengan tatapan lemah.

Farah menunduk di atas kepala Ayu dan menyentuh dahinya.

"Kamu sakit dari tadi pagi, belum minum obat?" tanya Farah khawatir.

"Udah minum obat Mbak, tadi siang. Tapi ini kayaknya naik lagi demamnya."

Saat menggendong gadis itu tadi, Erlang juga tidak sengaja menyentuh kulitnya yang terasa lebih panas, meski tidak panas sekali.

"Kamu ketiduran?" Farah sudah menegakkan tubuh dan kini duduk di pinggir ranjang Ayu.

Ayu mengangguk menanggapi pertanyaan Farah.

"Belum makan malam?"

Kali ini Ayu menggeleng. "Nanti saya makan roti terus minum obat, Mbak."

Farah mengangguk lalu berdiri. "Dimana kamu nyimpen obat? Aku ambilin."

"Di meja, Mbak. Nanti saya ambil sendiri aja, Mbak."

Tapi Farah sudah terlanjur mencari obat di meja, dan tidak menemukan obat yang dicari. Disana terdapat beberapa stok obat Ayu, tapi tidak ada obat anti demam yang tersisa. Hanya ada 1 strip yang telah kosong di kotak obat itu.

"Obat kamu abis. Aku beliin dulu ya."

"Nggak usah repot-repot, Mbak. Besok biar saya beli sendiri."

"Telat. Kamu demamnya sekarang. Udah, aku pergi sebentar."

"Mbak___"

"Biar aku aja yang beli obat," potong Erlang sambil menoleh pada Farah. "Ada apotek di depan situ kan?"

Awalnya Farah tampak ragu menerima bantuan Erlang. Tapi kemudian ia setuju. Lebih baik begitu daripada dirinya yang pergi ke apotek dan meninggalkan Erlang menjaga Ayu, nanti mereka malah canggung. Kan kedua orang itu nggak saling kenal dekat, pikir Farah.

Setengah jam kemudian Erlang kembali membawa sebungkus obat-obatan. Pintu kamar Ayu tertutup, tapi saat memegang handle-nya, ia menyadari bahwa pintu itu tidak dikunci. Jadi Erlang masuk. Tapi ternyata di dalam hanya ada Ayu yang sedang terlelap tidur. Tidak terlihat sosok Farah disitu. Jadi Erlang meletakkan bungkusan obat di meja, lalu beranjak pergi.

"Makasih, Pak."

Tapi suara dari kasur menahan langkah Erlang. Membuatnya berbalik dan mendapati Ayu sudah membuka matanya dan sedang menatapnya. Erlang terdiam sesaat, tapi kemudian mengangguk.

"Saya sudah bawa obatnya. Mau minum obat sekarang? Saya ambilin? Kamu udah jadi makan roti?"

Ayu tampak tersenyum, lemah dan singkat. Perlahan ia mencoba bangkit dan rebahnya.

"Nggak usah bangun..."

Tapi Ayu tidak mendengar larangan Erlang. Gadis itu tetap bangkit, lalu duduk di ranjang. Menghadap pada Erlang yang berdiri di samping meja.

"Tadi saya udah sempet makan roti dikit, trus minum obat," Ayu menjelaskan. "Tadi nemu obat demam, sisa 1 tablet di tas."

"Oh..." Erlang menanggapi singkat.

"Mbak Farah ke dapur. Katanya mau masak sop sebentar." Di asrama itu memang tidak dilengkapi dapur di kamar masing-masing. Tapi ada dapur bersama di pojok tiap koridor.

"Oh..." Erlang mengangguk.

Dalam beberapa detik suasana menjadi canggung. Demi mengusir kecanggungan, Erlang akhirnya meraih kantong obat yang tadi dibawanya.

"Ini saya beli 1 strip obat demam. Kata Farah, tadi pagi kamu bilang masuk angin, jadi saya beli obat herbal anti masuk angin juga. Ada multivitamin juga," Erlang menjelaskan sambil mengeluarkan sesaat produk-produk tersebut dari dalam kantong obat yang tadi dibelinya, "Ada suplemen herbal peningkat imunitas tubuh juga. Supaya daya tahan tubuh kamu membaik. Dari Echinacea. Tapi katanya nggak boleh diminum terus-terusan lebih dari 8 minggu karena bisa jadi imunosupresan. Kamu kerja non-stop dari ma___"

Penjelasan Erlang terhenti karena melihat Ayu yang tersenyum padanya. Saat itu Erlang merasa sudah terlalu banyak bicara.

"Makasih, Pak."

Erlang tidak membalas kata-kata Ayu. Tapi ia masih memerhatikan gadis itu. Sesaat kemudian Erlang mengambil dompet dari saku celananya, membukanya, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang. Ia meletakkan lembaran uang itu di ranjang, di sebelah Ayu. Hal itu membuat senyum Ayu memudar dan keningnya berkerut dalam.

"Saya tahu, uang yang saya kasih sebulan lalu, itu nggak cukup. Jadi tadi sambil beli obat, saya ambil uang tunai di ATM. Apa segitu cukup?"

Ayu tidak segera memahami maksud Erlang. Tapi kemudian ekspresinya perlahan berubah. Mungkin ia telah mengingat kejadian sebulan lalu.

"Kamu udah tahu kan, besok Farah pulang ke Jakarta? Dan nggak balik kerja disini lagi?" tanya Erlang kemudian.

Ayu tidak menjawab. Dia hanya menatap Erlang. Tapi Erlang sendiri tidak yakin gadis itu menatapnya. Tatapan Ayu seperti jauh ke belakang, melampaui Erlang.

"Saya juga nggak akan kesini lagi. Tapi kalau ada sesuatu, kamu bisa hubungi saya." Kali itu Erlang meletakkan kartu namanya di atas lembaran uang yang tadi diletakkannya di atas ranjang.

Ayu masih diam dengan tatapan yang jauh. Erlang jadi tidak tahu apakah gadis itu memahami kata-katanya atau tidak. Jadi ia mempertegasnya.

"Saya mungkin bukan satu-satunya laki-laki yang tidur sama kamu. Tapi waktu itu saya nggak pakai pengaman. Dan saya nggak mau jadi orang brengsek yang nggak bertanggung jawab. Jadi tadi saya belikan testpack juga. Kalau ada apa-apa.... kalau kamu hamil... hubungi saya. Saya akan bertanggung jawab."

Ketika Erlang menyelesaikan kalimatnya, ia melihat air muka Ayu berubah.

"Bertanggung jawab gimana?" tanya Ayu. Suara dan ekspresinya seperti orang yang sedang bergumam sambil melamun. "Membayar biaya aborsi? Atau menikahi dengan terpaksa?"

"Jangan. Jangan digugurkan," kata Erlang. Suaranya pahit, tapi tegas. Tidak ada keraguan pada keputusannya.

Erlang tahu dirinya bukan orang baik. Tapi ia pernah kehilangan anak yang tidak pernah ia tahu ada. Dan ia tidak ingin ada anak lain yang meninggal, apalagi jika karena tidak diinginkan.

"Jadi pernikahan karena terpaksa, adalah solusinya?" Kali ini mata Ayu tidak lagi seperti orang melamun. Alih-alih, ia menatap Erlang dengan tegas. "Sejak kapan korban pemerkosaan merasa senang atau lega dinikahkan dengan orang yang memperkosanya dengan dalih tanggung jawab? Menikahkan korban dengan pelaku pemerkosaan, hanya agar tidak malu, adalah solusi paling jahat!"

Tanpa peduli pada respon Erlang yang kaget, gadis itu meraih kartu nama Erlang, membacanya sekilas, lalu merobeknya. Membuat Erlang terkesiap.

Tapi belum sempat Erlang mengatakan apa-apa, Ayu mengadu tatapannya dengan lelaki itu. Erlang pikir itu sikap menantang, tapi tatapan mata Ayu tidak lagi terlihat menantang. Alih-alih, justru terlihat hampa.

"Nggak perlu khawatir. Saya nggak akan hamil. Saya pakai IUD."

Erlang tidak mengantisipasi akan mendengar hal seperti. Sehingga kekagetannya terlihat jelas di wajahnya. Seingatnya, Farah pernah cerita bahwa Ayu baru berusia 20 tahun. Apa di usia semuda itu, gadis itu sudah menikah? Kalau belum, kenapa gadis itu memakai IUD? Apakah itu berarti dugaannya benar, bahwa gadis itu aktif secara seksual sehingga memakai IUD segala untuk mencegah kehamilan?

Melihat ekspresi kaget Erlang, Ayu menyeringai, mencemooh. Masih dengan menatap hampa dan jauh, gadis itu bergumam, "Kenapa? Kaget? Bukannya udah tahu, saya perempuan kayak gini? Kenapa masih kaget pas tahu saya pakai IUD?"

* * *

Kakak2 disini tahu IUD kan?

Kok makin mencurigakan ya ini cewek. Hmmm~~~~

Echinaceae purpurea

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top