Bab 9
Kamu memang memiliki diriku tapi bukan hatiku.
****
Turun jaga malam, Bagus langsung melajukan mesin motornya ke kantor dinas sosial seakan tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Ia akan meminta tolong pada Andi untuk mencari keberadaan keluarga Desty di Medan. Lagipula, ini juga bukan hak Bagus untuk mencari sendiri keluarga gadis pendiam itu. Tapi, mungkin mempertemukan kakak Desty dengan adiknya adalah hak otonom yang harus diperjuangkan.
Ia menghentikan laju mesin motornya di pelataran kantor dinsos. Belum sempat ia memarkirkan motornya, kedua mata Bagus menangkap sosok Andi yang sedang memarkirkan motor di sudut kanannya.
"Hoi, Andi!" panggil Bagus setengah teriak membuat Andi memutar kepala padanya.
"Kamu nggak masuk kerja?" teriak Andi sembari menaruh helm di jok motor. Dia melangkahkan kedua kakinya mendekati Bagus. "Habis jaga malam kah?"
Kepala Bagus mengangguk. "Iya, aku mau minta tolong, nih."
"Duduk sana dulu gih," kata Andi menunjuk latar depan kantor dinsos. "Tungguin, aku mau absen dulu."
"Oke. Aku pesen kopi dulu di depan."
Mereka berdua berpisah sejenak. Bagus membeli secangkir kopi hitam untuk mengganjal rasa kantuknya. Tak lupa Bagus membeli beberapa gorengan untuk dimakan bersama. Semalam ia hampir tidak tidur karena memikirkan saran Benny. Memikirkan plus minus hubungannya dengan Rosa maupun dengan Desty. Bahkan dampak jika ia memilih salah satu diantara mereka.
Bagus kembali menemui Andi yang kini sudah duduk manis di bangku panjang depan pintu utama kantor dinsos. Ia pun mendudukkan diri disamping Andi yang sedang sibuk menyalakan seputung rokok.
"Jadi, kamu mau minta tolong apa?" tanya Andi.
Bagus menyeruput sejenak cangkir kopinya. "Kemaren aku nyari identitas Desty."
Andi menoleh lalu memandang Bagus lama. Sejenak ia tertawa mengejek. "Kamu beneran suka sama dia? Lesbian lho! Buat apa, Gus? Nggak ada masa depan gitu."
"Ini bukan soal suka apa enggak. Aku cuma pengen nolong dia aja."
"Halah pret!" cibir Andi sambil menyesap rokoknya, "Kamu ini jangan sampai salah pilih istri. Aku Cuma saran aja sih, karena perempuan seperti Desty itu kebanyakan sudah nggak punya masa depan. Apalagi kamu ini sarjana. Perawat lagi. Masa perawat jatuh cinta sama perawat jiwa? Nggak keren kamu, Gus."
Bagus tertawa mendengar ocehan Andi. Lalu ia mengeluarkan tas ransel milik Desty yang dilipatnya menjadi setengah bagian. Dibukanya tas itu lalu dikeluarkannya sebuah dompet kulit berwarna hitam.
"Punya siapa?"
"Desty." Bagus menyerahkan dompet itu kepada Andi.
Pria itu menerimanya dengan sejuta pertanyaan. "Darimana kamu dapat?"
"Dari cafenya. Ternyata dia dituduh mencuri uang. Aku juga ketemu sama pacarnya di sana. Tapi nih ya, aku merasa ada yang aneh sama pacarnya itu."
"Kenapa?"
"Desty bilang kalau dia nggak mencuri. Tapi bukti uang itu ada di tas-nya. Sedangkan dari keterangan pacarnya, bilang bahwa dia bosen sama Desty yang overprotektif gitu. Bisa jadi nggak sih kalau pacarnya itu yang ngambil uang terus ditaruh di tasnya Desty?"
"Lah, meneketehe. Lagian ngapain kamu ikut campur urusan orang."
"Pengen nolong aja. Kasian dia."
"Kasian apa suka?"
"Ck, kasian, Ndi. Cewek gitu harusnya hidupnya cerah. Masih muda―"
"Iya tahu," kata Andi memotong kalimat Bagus. "Ini aku bawa dulu ya. Nanti aku konfirmasi sama Pak Bowo. Semoga keluarganya mau jemput dia."
"Kalau nggak mau?"
"Masih inget, kan, sama pasal 34 ayat 1 UUD 1945? Bahwa gelandangan dan fakir miskin dipelihara oleh negara. Otomatis ya di balik ke Liponsos, Gus."
Bagus mengangguk paham. Dia tersenyum menepuk bahu Andi. "Makasih ya."
####
Sepulangnya dari dinsos. Bagus langsung merebahkan diri di atas kasurnya. Sejenak ia merasa aneh dengan dinding kamarnya. Kedua manik matanya mengitari setiap dinding.
"Lho!" serunya saat ia tidak mendapatkan fotokopian gambar Mawar milik Desty. Bergegas ia mencari ibunya siapa tahu Ranti menemukan kertas itu.
"Ibu!!!" teriak Bagus mengitari rumah.
Ranti muncul dari belakang rumah sembari membawa dua ember di kedua tangannya.
"Ada apa? Pulang-pulang nggak salam malah teriak-teriak," ketus Ranti menaruh ember itu di sebelah mesin cuci.
"Bu, lihat kertas di kamar Bagus yang gambar Mawar nggak?"
Sontak Ranti melotot sambil berkacak pinggang. "Ibu sobek! Lagian ngapain kamu nyimpen gambar pasienmu sendiri. Kamu udah nggak waras, hah!"
Bagus sudah menduganya. Ia menahan kesal. Sejenak ia menarik napas lalu berkata, "Iya, itu punya pasien Bagus. Niatnya Bagus mau nolongin dia, Bu."
"Nolong? Heh, Gus. Kamu merawat orang gila aja udah termasuk nolong. Apa jangan-jangan itu yang bikin kamu nggak mau tunangan sama Rosa? Iya!"
Pria manik hitam itu menelan ludah. Ia terdiam sejenak seperti anak-anak yang ketahuan melakukan kejahatan besar. Dalam diri pria itu, apakah salah menyukai seseorang yang memiliki kekurangan?
"Jawab, Gus!" bentak Ranti semakin menjadi-jadi. "Ibu itu nyekolahin kamu supaya pinter. Tapi apa nyatanya! Milih cewek buat jadi istri aja kamu nggak bisa! Rosa itu kurang apa sih, Gus, sama kamu?"
"Bu, Bagus cuma butuh waktu. Lagipula ini bukan masalah suka atau tidak. Ini masalah kemantapan hati."
"Kemantapan apalagi! Dua tahun kamu sama Rosa. Jadi apa kamu kalau milih orang sinting itu, hah! Nggak kasian sama Ibu Bapakmu ini!"
BRAKK!!!
Bagus terkejut saat Ranti menggebrak pintu di sisi kirinya. "Ibu nggak setuju kamu suka sama pasienmu sendiri! Minggu depan, mau nggak mau. Suka nggak suka. Ibu sama Ibunya Rosa bakal bikin acara tunangan kalian!"
"Tap-tapi Bu―"
"Nggak usah bantah!" seru Ranti. "Kamu itu mau 31 tahun. Mau jadi apa kalau masih milih-milih cewek. Nunggu ibu mati dulu baru kawin?"
Ranti pergi meninggalkan Bagus yang berusaha membela diri. Ia tidak menyangka jika anaknya bisa jatuh Cinta dengan pasiennya sendiri. Bahkan apa yang membuat anaknya masih ragu dengan Rosa yang sudah memiliki segalanya? Apa Bagus juga ikutan tidak waras?
####
Semakin Bagus membantah maka semakin Ranti bersikeras. Mengadu pada sang ayah pun, tidak ada hasilnya. Ayahnya hanya menuruti keinginan istrinya. Lagipula usia Bagus memang seharusnya bukan untuk main-main dalam mencari pasangan. Apalagi Bagus anak tunggal. Jika putra semata wayangnya itu tidak menikah, lalu siapa yang akan meneruskan garis keturunan mereka?
Pertunangan yang sudah di depan mata membuat Bagus tidak mood melakukan apapun. Kecuali dalam pekerjaan yang dituntut tidak boleh membawa masalah pribadi ke sana. Menghilangkan stress, ia lebih banyak duduk di cafe sembari merokok hingga larut. Ponsel yang berulang kali memanggilnya tak ia hiraukan. Pesan whatsapp pun ia abaikan. Rasanya malas jika kehidupan pribadinya terlalu diurusi oleh ibunya sendiri.
Bagus mendongak memandangi langit-langit cafe dimana ia bertemu dengan Silvia. Entah mengapa kedua kakinya melangkah pada tempat yang membuatnya kembali merasa gelisah. Berada di sini membuat pikirannya tertuju pada Desty. Pria jangkung itu tersenyum tipis sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya. Ah ... andaikan Desty tidak mengalami depresi seperti itu. Pasti ibunya akan setuju, kan?
Kedua telinganya sayup-sayup mendengar lantunan salah satu penyanyi ajang pencarian bakat di televisi. Liriknya simpel dan langsung mengingatkannya pada Rosa. Sejenak ia pejamkan kedua matanya. Ia memang mempermainkan perasaan Rosa. Memberikan harapan pada gadis itu tapi tidak kunjung memberikan hatinya. Memberi janji tapi tak kunjung ditepati. Bukankah dia seperti buaya?
Hanya dengan sepatah kata
Kau buatku larut dalam cinta
Buat hati menutup mata
Hingga tak melihat kau buaya
Buatku mudah percaya
Walau ternyata berbahaya
Tersadar aku kini
Tak mau ku dibodohi begini
Namun bukan cinta yang ingin kau miliki
Bila kau hanya main-main saja
Sudah, kau buang waktu percuma
Hati ini bukan untuk coba-coba
Jadi, enyah, kau pergilah saja
(Marion Jola ft Rayi)
"Lho!" seru suara seorang wanita membuat Bagus membuka kedua matanya. "Kamu lagi!"
"Oh, Silvia," kata Bagus membenarkan posisi duduknya.
"Ck, mau tanya Desty lagi?" tanya Gadis itu dengan nada ketus sembari menaruh pesanan Bagus berupa roti bakar di atas meja bernomor 54 itu.
Pria itu menggeleng. "Kenapa? Kamu kok sewot kalau saya ke sini. Memangnya cafe ini milik kamu?"
Merasa di-skak mat Silvia terdiam mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Ia menghela napas sejenak mengatur emosi jika melihat orang-orang yang berhubungan dengan Desty.
"Duduk dulu, Sil. Ada yang mau aku tanyakan," kata Bagus.
Gadis berambut cokelat kemerahan itu menarik kursi. Lalu ia duduk. Ditatapnya wajah Bagus yang terlihat berantakan dengan kedua lingkaran hitam terlihat jelas. Belum lagi bau rokok yang menyengat hidung lancip Silvia.
"Kamu nggak mandi berapa hari? Bau kayak wedhus gitu," ejek Silvia.
Bagus tertawa lalu membaui kedua ketiaknya sendiri. Kemudian ia mematikan putung rokok yang masih setengah Batang ke dalam asbak.
"Jadi mau tanya apa? Aku lagi nggak ada waktu buat cowok yang ada hubungannya sama Desty."
Mendengar itu refleks Bagus tertawa terbahak-bahak membuat Silvia salah tingkah. Memangnya ada yang salah dengan perkataannya. Tidak, kan?
"Bacot!" maki Silvia sambil berdiri.
"Sebenarnya kamu, kan, yang memasukkan uang itu ke dalam tas Desty?" sahut Bagus dengan intonasi cepat membuat Silvia membeku seketika.
Gadis itu berbalik menatap Bagus tak percaya. "Aku? Maksud kamu apa? Nuduh aku? Habis nyicipin selangkangan Desty ya sampai bisa nuduh aku kayak gitu?"
Tak terima dengan perkataan kotor Silvia. Bagus berdiri menatap kedua mata gadis itu dengan tajam. Beberapa orang memandangi mereka berdua dengan tatapan aneh. Termasuk pegawai cafe di belakang Silvia.
Pria itu tersenyum miring. "Kenapa? Cemburu? Asal kamu tahu, Sil. Desty tidak bersalah sama sekali. Kau tahu apa yang lebih buruk dari seorang wanita pelacur? Mulut harimaumu."
Bagus meninggalkan gadis itu dengan menyenggol bahunya kasar. Sebenarnya ia belum tahu pasti siapa yang mencuri uang itu. Ia hanya sedang memancing Silvia untuk mengatakan sebenarnya. Tapi dalam hati, ia yakin jika Desty bukan pencuri. Ia hanya dijebak sampai menderita depresi seperti itu.
Apa aku benar-benar telah melewati batas seorang simpatisan sebagai perawat? Ya Tuhan, apa aku salah?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top