Bab 6

Ketika perempuan menyerahkan seluruh hatinya padamu,percayalah bahwa kau adalah hidupnya.

*****

Kegiatan jaga pagi masih sama seperti sebelumnya. Namun kali ini Bagus menghampiri Desty sebagai sesi terapi kontrak ketiganya dengan gadis itu. Akhirnya gadis berambut pendek itu dipindah dari ruang isolasi ke ruang perawatan yang berisi lima tempat tidur dengan pasien yang sudah stabil. Setelah selesai mandi dan berdandan, biasanya pasien akan duduk-duduk di ruang tengah dimana ada satu televisi berukuran besar sedang menyiarkan FTV pagi.

Dilihatnya gadis bermata cokelat itu duduk sambil mendengarkan seorang pasien lain bercerita meski ia tidak menatap lawan bicaranya itu. Menurut Bagus, hal itu sudah merupakan salah satu kemajuan di mana pasien mau berinteraksi dengan orang lain sebagai salah satu terapi untuk mengusir suara yang mungkin masih mengganggu Desty. Sekalipun afek yang dihasilkan Desty masih datar. Perawat berperawakan tinggi itu menghampiri Desty. Gadis itu menoleh. Kedua matanya bertemu dengan kedua mata Bagus sekilas.

Pria itu mengukir senyum di bibirnya lalu berkata, "Selamat pagi. Boleh saya duduk?"

"Ya, boleh dong, Mas Bagus. Ini kursinya jelek semua ya. Besok saya beliin aja deh, saya punya kebun jati yang banyak biar di sini dibuatin kursi baru yang banyak."

Bagus tertawa sejenak untuk tidak menanggapi perkataan pasien yang berambut keriting sebahu yang memiliki waham kebesaran yang bernama Aminah. Pria itu duduk di sebelah kiri Desty yang menunduk sembari sesekali mencuri-curi pandang dirinya.

"Jadi, gimana perasaan kamu hari ini?" tanya Bagus.

Desty meliriknya sejenak sambil memilin ujung baju berwarna merah maroon berlabel rumah sakit. "Baik." Suaranya terdengar seperti bisikan dibanding lirihan. Bagus hampir menundukkan wajahnya ke gadis itu supaya bisa mendengar.

"Sebaiknya kita bicara di sini atau di tempat lain? Barangkali Desty suka tempat sepi."

Desty terdiam sejenak lalu mengangguk sambil menunjuk kamar pasien yang sedang dibersihkan petugas OB. Bagus mengangguk.

"Boleh. Yuk, kayaknya mereka sudah selesai mengepel."

Gadis bertubuh kurus nan mungil itu beranjak mendahului Bagus. Sedangkan hati bagus berbunga-bunga karena setidaknya kini ia mendapat respon lebih banyak dari sebelumnya. Terkadang membutuhkan waktu berhari-hari untuk membuat pasien mengungkapkan perasaan mereka.

Gadis itu duduk di atas pinggiran kasurnya yang terletak di tengah ruangan dan sudah di ganti sprei berwarna biru telur asin dengan aroma khas laundry. Bagus duduk di depan Desty memerhatikan gadis itu yang terlihat lebih asyik memandangi luar jendela berteralis di sisi kirinya. Hidung lancip dengan mata sayu itu membuat Bagus berkata,

"Kamu cantik." Sesaat ia salah tingkah sambil menggaruk kepalanya tak gatal. Ia takut apa yang diucapkannya salah. "Ma'af."

Desty tersipu malu sambil memandangi lantai meski Bagus tahu gadis itu sedang menyembunyikan rona merah di kedua pipinya yag tirus. Sembari memilin baju yang kini menjadi kebiasaanya, Desty berkata. "Saya belum pernah dipuji seperti itu."

"Adakalanya manusia membutuhkan pujian, Desty. Dan saya tulus mengatakan hal itu. Mungkin kamu mau cerita?"

Gadis bertubuh kurus itu memandang Bagus sejenak lalu ia menundukkan wajahnya. Selalu seperti itu. Beberapa saat ia hanya menghela napas seperti mengorek kembali masa-masa kehidupan sebelumnya yang kelam.

"Saya ... hanya merasa tidak berguna," lirih gadis itu sembari melihat tato yang terukir di pergelangan tangan kanannya.

Mau tak mau Bagus ikut membaca ukiran tato itu. Silvia. Ditulis dengan huruf tegak bersambung dengan hiasan setangkai mawar di belakangnya. Mungkin ini saatnya Bagus mengorek hubungan Desty dengan Silvia.

"Apa yang membuatmu tidak berguna? Setiap manusia yang diciptakan Tuhan itu memiliki peran masing-masing di dunia ini. Saya, kamu, dan orang lain. Hanya saja tidak selamanya peran yang kita lakukan itu berjalan mulus, Desty. Hidup selalu diwarnai dengan liku-liku tapi pada akhirnya kita akan menemukan akhir dari liku itu, kan?"

Gadis itu menarik napas mencoba mengisi rongga paru-parunya yang mulai terasa sesak setiap kali mengingat kekacauan itu. Sejenak ia memejamkan kedua mata. Dicintai dan dikhianati dalam waktu bersamaan membuat emosi Desty bergerumuruh. Kristal bening di pelupuk matanya memaksa keluar saat bayangan Silvia kembali menggerayangi pikirannya.

Desty membuka kedua mata lalu menengadah mencoba menahan bulir kristal bening yangs udah berada di ujung pelupuk mata. Ia kembali menunduk memandangi kedua kaki telanjangnya dengan sedih lalu berkata, "Meski saya tidak mencuri mereka tetap menyalahkan dan mengusir saya. Tidak ada hal yang baik dalam diri saya meski telah mencoba mencari ujung liku hidup saya."

"Saya tahu tapi saya memikirkan hal baik saat melihat kamu hanya saja kita perlu bekerja sama untuk menggali kegiatan positif dalam diri kamu. Suka menggambar?"

Desty mengangguk lemah menatap sekilas wajah Bagus yang menatapnya lekat. "Dulu saat SMP. Pernah juara walau bukan juara satu."

"Apa yang kamu rasakan?"

Desty kembali terdiam. Bayangan saat dirinya berada di kampong halaman menari-nari dalam pikirannya. Sekilas ia tersenyum begitu simpul. Ada secercah rindu di hatinya akan masa lalu itu. Dirinya yang bahagia membayangi kepalanya namun seketika sirna saat suara itu kembali membisikinya. Desty menggeleng keras sambil mengusir suara itu dalam kepalanya lalu menatap Bagus dibalik iris mata cokelat sayunya. "Saya merasa bebas, menjadi diri sendiri, dan bermain dalam dunia yang saya buat. Saya rindu akan hal itu."

"Bagaimana jika besok kita menggambar? Saya punya objek bagus untuk digambar."

"Apa itu?"

"Kamu," ucap Bagus dengan cepat.

Desty terdiam menatap Bagus. Pandangan mereka bertemu cukup lama. Seperti dunia yang berhenti berputar, justru detak jantung Bagus berpacu cepat melebihi batas normal detak jantung dewasa. Walau dia tidak sesak, ia merasa oksigen di sekitarnya menipis. Bagus berpikir, sedikit lucu baginya saat ia bisa menjadi seorang pujangga di depan pasiennya sendiri.

###

Seperti yang dijanjikan sebelumnya, setelah pulang dinas pagi Bagus langsung bergegas menuju rumah kekasihnya yang berada di pinggiran kota. Pikirannya kembali melayang pada si gadis manis bertato di ruang Bougenville. Beberapa kali senyum tipis terukir di bibir tipis Bagus. Kadang ia membayangkan bagaimana jika bertemu gadis itu jauh sebelum bertemu Rosa. Kadang pula ia membayangkan seandainya Desty kembali kepada kodratnya akankah gadis itu menemukan cinta sejatinya.

Mesin motor Bagus memasuki gang memasuki perkampungan di daerah Wiyung. Lalu ia menghentikan mesin motornya di depan sebuah rumah sederhana dengan cat putih berpagar biru muda dan banyak tanaman hias yang ditanam di halaman rumah itu. Bagus masuk sambil mengucapkan salam. Tak berapa lama, wanita berambut panjang sepinggang dengan senyum cantiknya menyambut pria bermata bulat itu.

"Aku kira Mas lupa," kata Rosa sambil menarik tangan kanan Bagus dan menciumnya layaknya suami. "Ayo, masuk. Papa tadi nanyain lho."

Mendapat perlakuan itu lagi-lagi darah pria itu berdesir. Ia tidak dapat menghitung berapa kali pompa darahnya dibuat seperti ini oleh dua wanita sekaligus. Langkahnya mengekori kaki jenjang Rosa yang dibalut celana legging hitam.

Seorang lelaki berperawakan bongsor dan bermata bulat seperti Rosa keluar dari salah satu kamar dengan mengenakan sarung dan kemeja koko berwarna cokelat. Lelaki itu tersenyum saat Bagus menghampirinya dan mencium punggung tangannya.

"Nah karena Mas Bagus udah datang, Papa main catur biar Rosa yang masak buat makan bersama nanti," ucap wanita berpipi tembem itu.

"Idih, mentang-mentang pacarnya datang jadi sok rajin," goda Papa Rosa sambil terkekeh membuat anak semata wayangnya itu merona malu.

Kedua lelaki itu duduk di teras sambil menata bidak catur. Sesekali Bagus bertanya tentang kabar, pekerjaan, dan seputar berita dunia. Jika bertemu seperti sekarang, Bagus dan Papa Rosa seperti dua kawan lama yang tidak pernah bertemu. Kecocokan mereka terutama catur dan badminton membuat mereka sering kali terhanyut dalam topic yang seru.

Papa Rosa pun memindahkan pion kuda ke arah kiri lalu berkata,"Jadi, kapan nih? Om udah pengen liat Rosa gendong anak lho, Gus."

Seketika itu pula Bagus merasa canggung. Ia menatap lelaki di depannya sejenak lalu memindahkan pion kecil untuk menggeser pion milik Papa Rosa. "Insha Allah, Om."

"Insha Allah terus kapan majunya? Hubungan itu jangan diragukan selagi ada kelancaran dari kedua belah pihak. Om sih nggak maksa Cuma Rosa kan anak Om satu-satunya, nggak enak juga kalau diliat orang pacaran lama-lama."

"Iya, Om," kata Bagus dengan rasa canggung.

Tak berapa lama Rosa datang membawa segelas teh hangat dan makanan ringan. "Ini, silakan diminum, Mas," kata Rosa lalu duduk di samping ayahnya.

"Oh ya, kamu terusin dulu caturnya, Papa mau ke kamar mandi," kata Papa Rosa dengan maksud memberi ruang untuk sejoli itu lalu ia beranjak masuk ke dalam rumah.

Rosa memandangi papan catur lalu menggeleng sambil tertawa. "Aduh, Rosa nggak bisa main catur, Mas."

Bagus tersenyum sambil menatap wajah Rosa membuat wanita di depannya salah tingkah. "Ros, emang kamu sudah siap kalau hidup sama aku?"

Sejenak wanita itu terdiam. Ia mengira pasti Papanya berusaha membujuk Bagus untuk segera meminang dirinya. Rosa menarik napas, ia tidak ingin segala sesuatunya dipaksa bahkan masalah hati dan ikrar suci.

"Siap kalau Mas juga siap," jawab wanita bermanik hitam itu. "Semenjak kenal Mas, Rosa sudah niat untuk membawa hubungan ini ke arah yang serius. Tapi, mengingat Mas Bagus masih ragu jadinya ... Rosa hanya bisa menunggu." Sejenak wanita itu menunduk merasa takut salah dengan apa yang baru saja ia lontarkan.

"Maafin aku ya, Ros. Aku hanya tidak ingin terlalu cepat mengambil keputusan. Lagipula aku ingin pernikahan ini nanti hanya satu untuk selamanya."

"Apa aku harus tetap menunggu? Mas, tahu kan kami para wanita membutuhkan kepastian? Jika Mas Bagus tidak bisa memberikan kepastian kenapa Mas masih saja tidak melepas Rosa?" tanya Rosa sambil menatapnya nanar.

Cukup lama bagi Bagus untuk menjawab pertanyaan itu. Otaknya serasa sangat sulit diajak berpikir ketika harus dihadapkan dengan pertanyaan yang sama. Bukannya Bagus tidak mau hanya saja baginya mencintai satu wanita tidak semudah yang dibayangkan. Bagi Bagus ia ingin memiliki satu wanita yang akan menjadi miliknya sampai akhir hayat. Ia memang menyukai Rosa tapi sampai saat ini belum ada sedikit pun keingininan untuk meminang wanita itu.

Mungkin bagi orang lain Bagus terbilang cukup naif. Rosa dengan kecantikan, kesederhanaan, dan kebaikannya tentu saja bisa menarik pria di mana pun. Bagus bisa jadi pria terbodoh di dunia jika ia menolak Rosa untuk menjadi istrinya.

"Karena ... aku takut salah meninggalkanmu, Ros," jawab Bagus.

Tapi, aku juga takut jika terus menggantung perasaanmu seperti ini, lanjutnya dalam hati.


Menurut kalian, ada gak sih cowok kayak Bagus? Nggak suka tapi gk mau ngelepasin wkwkwkwk maunya apa coba

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top