Bab 4

Jangan mempercayai mulut yang berbicara tanpa kamu tahu kebenarannya

****

Kala sinar mentari perlahan memudar dengan jejak jingga yang berbaur dengan langit biru tua yang siap menyambut malam. Rembulan sudah mengintip malu-mau di atas langit Surabaya. Bagus membelokkan motor vixion biru miliknya menuju arah Dukuh Pakis tempat tinggal Andi, teman semasa kuliah. Macet di jalanan yang menjadi pemandangan setiap sore membuat kesabaran Bagus hampir terkuras habis. Namun, lagu rock and roll yang terdengar keras di kedua telinga melalui earphone. Mengalihkan pikirannya sejenak dari sosok manis Desty.

Entah mengapa rasanya waktu kerja di rumah sakit begitu kurang jika bertemu dengan pasien seperti Desty. Bagus tipe pria yang mudah penasaran jika menyangkut latar belakang pasien namun tidak pernah sampai seperti ini. Senyum kecut di bibirnya terukir. Ia menertawakan diri sendiri mengapa harus mempedulikan Desty seolah gadis malang itu begitu istimewa.

Tak sampai lima menit, motornya berhenti di depan sebuah warung kopi pinggir jalan. Warung yang bercat hijau itu sejak dulu selalu menjadi tempat nongkrong Bagus dengan Andi. Tempat tongkrongan yang buka sampai malam dan tidak pernah sepi walau hanya sekadar memesan satu gelas kopi dan sepiring mi goreng. Walau tempatnya tak seberapa luas, tapi karena ada fasilitas internet gratis yang menjadi poin plus mereka yang berselancar di dunia maya.

Tak disangka, Andi sudah duduk di sisi kanan warung kopi tengah menyuruput gelas dengan tangan kanan mengutak-atik ponsel. Merasa diperhatikan, Andi yang memiliki perawakan bongsor dengan rambut kriwul menoleh, lantas melambaikan tangan kanan. Usai memarkirkan motor, Bagus datang menghampiri usai memesan segelas kopi susu dengan sepiring nasi campur. Dia agak tercengang kala warung langganannya ini mulai menambah daftar makanan di dalam menu mereka. 

"Jadi, siapa lagi yang jadi objek kekepoan-mu?" tanya Anda to the point seraya menyalakan putung rokok saat Bagus duduk berhadapan dengannya. 

"Desty Amora Sinaga."

"Oalah, kenapa? Naksir?" ejek Andi sambil tertawa, mengepulkan asap rokok membumbung tinggi ke udara dan menyatu dengan panasnya kota. "Bahaya dirimu, Gus."

"Bukan. Cuma kasihan aja An, masih muda kok stress."

"Lah, sakit jiwa kan enggak pandang umur, Gus. Sama kayak penyakit darah tinggi, kan? Makanya jadi manusia mesti dijaga jiwa dan pikirannya, jangan sampai ada masalah dipendam sendiri. Mau sakit jiwa?"

"Enggak lah!" elak Bagus kemudian tertawa lantas mereka berdua terdiam sejenak kala si anak pemilik warung mengantarkan pesanan bagus. Aroma kopi yang dikombinasi dengan susu tercium dan mampu menenangkan jiwa Bagus yang sedang dilanda resah.

Andi tertawa begitu juga Bagus. Lalu pria jangkung itu terdiam sejenak sambil menyeruput kopinya.

"Dia anak rantau katanya. Identitasnya nggak ada sewaktu dibawa ke mari oleh petugas Satpol PP. Cuma ... seingatku ada anak dalam yang kenal Desty bahwa dia pernah kerja di cafe."

"Eh? Kafe? Kafe mana?" tanya Bagus antusias.

"Wuih, semangat amat. Santai aja, sekarang makan dulu biar kenyang," kata Andi. "Oh ya, gimana kabarnya Rosa?"

"Baik," jawab Bagus singkat.

"Kapan anak itu dipinang? Bulan depan si Amir kawin tuh, masa kamu enggak?" goda Andi. 

Bagus hanya bisa memutar bola mata. "Halah, kayak kamu mau kawin aja. Tuh, status jangan jomlo terus," ejeknya.

"Gini-gini udah punya gebetan. Tunggu aja tanggal mainnya," tandas Andi penuh keyakinan.

"Jadi, di kafe mana Desty kerja?" tanya Bagus menatap lekat temannya.

"Ck, astaga nih anak. Kafe Mania daerah Gubeng sana. Emang ke ... lho, Gus!" seru Andi melihat tubuh pria tinggi itu telah pergi dari sampingnya dengan meninggalkan selembar uang dua puluh ribu. "Oh, dasar semprul!"

####

Kafe Mania yang disebutkan Andi bertema rustic dengan sentuhan modern di mana catnya dominan hitam dengan beberapa bagian diwarnai cokelat kayu. Ornamennya tak banyak, hanya beberapa kursi dan meja berbahan besi serta lampu-lampu yang menggantung manis. Beberapa lukisan abstrak dipajang untuk menambah kesan seni. Pengunjung pada hari ini cukup banyak terutama kaum adam. Selain itu pula, alunan lagu Alan Walker memenuhi area kafe.

Langkah Bagus semakin dalam memasuki tongkrongan anak muda jaman now. Ia pun berhenti di depan kasir untuk memesan kopi serta roti bakar. Kedua matanya sibuk melihat sekeliling. Kafe ini cukup ramai, batin Bagus. Kenapa Desty bisa keluar dari sini?

"52.500,Mas," kata si petugas kasir.

Bagus merogoh isi dompet lalu menyerahkan selembar mata uang seratus ribu. "Mbak, saya boleh bicara dengan pemilik kafe di sini?" tanya Bagus tanpa basa-basi.

Si petugas kasir itu mengerutkan alisnya sejenak. "Ada perlu apa ya, Mas?"

"Saya ada keperluan pribadi."

"Sebentar, ya, Mas. Saya bilang dulu ke owner-nya. Atas nama siapa?" tanya petugas kasir sembari memberikan uang kembali.

"Bagus,Mbak."

"Silakan ditunggu di tempat duduk, Mas."

Bagus mengangguk. "Tolong ya, Mbak. Ada perlu penting saya."

Sambil mendudukkan diri di atas kursi berbahan kayu di meja nomer 17, Bagus menunggu pemilik kafe. Tak lama, seorang pria berperawakan tinggi berkulit sawo matang dengan setelan kaus polo merah dan jeans menghampirinya. Di belakangnya, seorang pelayan mengantarkan pesanan Bagus.

"Mas Bagus, ya?" kata pria itu sambil menarik kursi di depan Bagus.

Si pelayan tadi menaruh kopi dan roti bakar di atas meja Bagus sambil tersenyum.

"Makasih," kata Bagus.

"Jadi, ada perlu apa sama saya?"

"Maaf. Saya bicara dengan Mas siapa?" tanya Bagus sambil mengulurkan tangan kanannya.

"Saya Eko." pria yang bernama Eko itu membalas uluran tangan Bagus singkat.

"Maaf jika saya mendadak datang ke cafe milik Mas Eko. Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan kepada Mas Eko."

"Apa itu?"

"Ehm ... apakah di sini ada karyawan yang bernama Desty Amora Sinaga?"

Sontak kedua mata Eko melotot. "Kamu kenal sama anak itu?"

Bagus mengangguk membuat emosi Eko naik.

"Ngapain kamu nyari pencuri itu di sini!"

"Pencuri? Dia mencuri apa?" tanya Bagus dengan ekspresi bingung.

"Mencuri uang kasir saya, Bangsat! Untung dia nggak kubunuh! Saya hampir rugi satu juta gegara dia!"

Bagus menganga seakan tak percaya. Jika Desty mencuri harusnya dia di penjara bukan di rumah sakit jiwa. Pasti ada yang aneh di sini.

"Saya denger kalau Desty itu lesbian?"

"Lho! Kamu ini sebagai temannya kok nggak tahu sama sekali! Dia itu cewek nggak bener! Suka sesama jenis pula! Rugi kamu kalau berteman dengannya!" seru Eko dengan nada tinggi. "Untung saja Silvia sudah putus sama Desty. Cewek nggak jelas gitu."

Mendengar kata Silvia, Bagus menjadi ingat dengan tato yang ada di lengan Desty. Ia pun harus mengorek kehidupan Desty sebenarnya sebelum masuk ke rumah sakit jiwa. Siapa tahu informasi dari Silvia nanti bisa menjadi benang merah tentang apa yang dialami Desty sebelumnya. Meskipun Bagus tidak mendukung ada hubungan sesama jenis ini, tapi ia tahu bahwa seseorang tidak semena-mena menyimpang begitu saja tanpa ada sebabnya.

"Ma'af, Mas. Apa saya boleh bertemu Mbak Silvia?"

"Heh! Siapa sebenarnya kamu ini, polisi atau bukan sih kok tanya bajingan itu aja! Saya bilangin ya Mas, nggak ada untungnya kamu berteman dengan Desty yang nggak jelas asal usulnya. Jangan tertipu sama wajah polosnya. Cantik tapi busuk!"

Eko pun berdiri setelah melontarkan kalimat sarkas kepada Bagus mengenai Desty. Pria yang sudah tersulut emosi itu memanggil seorang gadis bertubuh seksi dan berisi serta memakai lipstik merah menyala. Bagus yakin gadis yang rambutnya di cat cokelat sedikit kemerahan itu adalah Silvia.

Silvia duduk di kursi yang tadi diduduki Eko. Kedua pupil yang ditutupi softlens biru itu memandangi Bagus dari atas kebawah dengan tatapan selidik.

"Siapa kamu?" tanya Silvia dengan nada ketus.

"Saya teman Desty."

Silvia menganga sejenak lalu tertawa. "Teman? Desty punya teman? Setauku dia itu sebatang kara di sini."

"Apa benar kamu ... teman lesbiannya Desty?" tanya Bagus.

Silvia melipat kedua tangannya membuat belahan dada gadis itu terlihat semakin kentara di balik kemeja putihnya.

"Mantan. Kenapa? Mau nyoba?" tawar Silvia membuat Bagus bergidik ngeri. "Aku punya kondom kok di tas."

Astaga! batin Bagus.

"Nggak, terima kasih. Saya cuma mau tanya tentang Desty. Ehm ... dia gadis seperti apa dan dia berasal darimana kalau saya boleh tahu?"

"Berani bayar berapa kamu mau tahu informasi Desty? Lagipula kamu bisa tanya ke dia langsung. Eh ... dia udah mati apa masuk penjara? Apa masuk rumah sakit jiwa? Apa gelandangan ya?"

Bagus menahan sabar atas perkataan Silvia yang diluar dugaannya. Ia pun mengeluarkan dua lembar uang ratusan ribu. Diserahkannya uang itu kepada Silvia. Gadis centil itu menganga lebar. Ia menjadi penasaran, siapa pria di depannya ini. Kenapa ia begitu ingin tahu sosok Desty.

"Segitu setidaknya cukup, kan, untuk buat kamu bicara tentang Desty?"

Silvia menarik senyum miring. "Dia itu anak Rantau dari Medan. Dia hidup di sini sendirian nggak ada keluarga. Aku ketemu dia waktu jemput saudaraku di bandara. Dia kayak anak bingung. Ya sudah aku ajak dia ke kosku."

"Lalu?"

"Ya gitu deh. Karena kita sekamar akhirnya sama-sama suka. Lagian dia pernah bilang nggak tertarik sama cowok."

"Kenapa?"

Silvia mengangkat kedua bahunya. "Bukan urusanku. Yang penting aku bisa seks sama dia."

"Tapi ... Desty beneran mencuri? Kenapa? Dia pasti ada alasannya, kan?"

"Ya nggak tahu. Situ kok kepo sama pencuri, sih!" Silvia pun meninggalkan Bagus dengan ekspresi kesal setelah mengambil dua lembar uang dari Bagus.

Pria bermata bulat itu menatap punggung Silvia dengan sejuta pertanyaa. Ia merasa ada yang janggal dengan kejadian yang menimpa Desty. Namun, mencari informasi dari Silvia rasanya susah. Apakah orang yang dibuang pantas dipungut kembali? Berulang kali Bagus mempertanyakan hal itu dalam hatinya saat semua orang di sekeliling Desty tidak menginginkan dirinya lagi. Bagus harus tahu kebenarannya. Ia tidak ingin salah mengambil keputusan.

Harapan terpendam gadis itu atau stigma seorang pencuri yang melekat pada Desty.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top